Pandangan Kematian Anak – Anak di Jepang

36 dilaksanakan. Setelah sampai 49 hari, abu jenazah tersebut kemudian dikuburkan ke dalam pemakaman keluarga. b. Pasca Pemakaman Tanah Setelah abu jenazah disemayamkan dan dibekali dengan beberapa kali ritual roh, abu jenazah disemayamkan di makam keluarga. Akan tetapi, bukan berarti prosesi atau upacara yang mesti dilakukan pihak keluarga yang tinggal telah berakhir. Dalam keluarga yang menganut sistem tradisional, harus membuat altar pemujaan roh di rumah, dan melanjutkan ritual pemujaan roh di rumah. Waktu-waktu upacaranya adalah hari ke-100, setahun, tiga tahun, terakhir 33 tahun. Upacara pada tahun ke-33 adalah upacara pamungkas. Setelah upacara tersebut, roh yang meninggal dipercaya sudah berada di tempat yang suci dan menjadi kami. Tinggal pihak anak-cucu menunggu berkah dan perlindungan yang akan turun dari kami tersebut. http:hendrizalman.blogspot.com201110arti- kematian-dan-pemakaman-bagi.html

2.4 Pandangan Kematian Anak – Anak di Jepang

Anak adalah anugerah terindah bagi setiap orang tua. Kehadirannya yang selalu dinanti, tidak hanya menambah “gelar” kedua orang tua, dari yang semula hanya sebagai suami dan istri bagi pasangannya, menjadi ayah dan ibu bagi anak- anaknya. Anak menjadi aset berharga, tumpuan harapan di dunia dan akhir masa, juga merupakan sebab diangkatnya kedudukan kedua orang tua ke derajat yang lebih mulia. Maka akan sangat menderitanya orang tua apabila anak yang mereka cintai dan sayangi meninggal lebih dulu mendahului mereka. Sehingga setelah Universitas Sumatera Utara 37 anak tidak ada lagi di dunia, berbagai cara dilakukan oleh orang tua agar arwah anak mereka bahagia di alamnya dan tidak merasa dilupakan oleh orang tua dan keluarganya. Ojizo adalah perantara bagi orang tua yang merasa rindu dan ingin mendoakan anak mereka agar bahagia dan selamat di dunia bawah. Ojizo disembah dengan membawa makanan dan mengganti pakaiannya jika kotor, Ojizo diperlakukan selayaknya anak mereka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mati berarti sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi. Mati berarti terpisahnya antara ruh dan nyawa. Menurut Maeda, dalam pemikiran masyarakat tradisional Jepang, kematian adalah sesuatu yang menular, oleh karena itu mayat harus segera dijauhkan dari pandangan mata. Kemudian perkembangan pikiran, dalam kematian ada pemisah antara roh dan raga, sehingga ada ketakutan terhadap roh. Karena rasa takut atau rasa cinta terhadap keluarga yang meningal maka diadakanlah sederetan upacara bagi bagi orang mati. Rasa takut yang disebut diatas berkaitan dengan pemikiran masyarakat Jepang yang menganggap bahwa roh orang yang baru meninggal dianggap labil dan berbahaya. Menurut Inouguchi, dalam Situmorang 2009: 50 pada Jepang zaman dahulu kala, tidak jelas batas antara mati dan hidup. Dalam tubuh setiap orang memiliki minimal satu roh, jika roh tersebut keluar dari tubuh seseorang disebut dengan kondisi hanshi pingsan. Kemudian apabila selamanya roh pergi, hal tersebut dinyatakan mati. Universitas Sumatera Utara 38 Melihat pemikiran di atas, batas antara hidup dan mati dalam pemikiran Jepang adalah apakah roh ada di dalam tubuh atau tidak. Oleh karena itu masyarakat tradisional Jepang mengenal acara tamayobai. Tamayobai adalah suatu acara untuk memanggil roh orang yang mati tersebut untuk kembali lagi ke dalam jasad. Kemudian apabila acara tamayobai sudah dilakukan maka seseorang tersebut diputuskan sudah meninggal. Cara melakukan acara tamayobai dimasing- masing daerah di Jepang berbeda-beda. Misalnya dengan dengan membuat makanan disamping mayat lalu memanggil orang tersebut kembali. Tetapi ada juga yang memanggil roh tersebut ke sumur atau ke atap rumah. Acara tamayobai disebut juga mogari. Jadi acara mogari adalah suatu acara untuk menentukan seseorang tidak hidup lagi. Dasar pemikiran mogari adalah bahwa manusia meninggal karena rohnya pergi meninggalkan badan kemudian pergi ke dunia sana, apabila belum pergi terlalu jauh masih bisa dipanggil kembali. Oleh karena itu setelah dilakukan upacara mogari, apabila roh tidak dapat dipanggil kembali maka diputuskanlah seseorang itu telah meninggal. Setelah seseorang dinyatakan sudah meningal dengan acara mogari atau tamayobai, maka keluarga akan memberitahukan kepada sanak keluarga yang lain. Pemberitahuan ini disebut dengan shirase. Shirase biasanya diilakukan oleh dua orang. Tetapi jikalau harus dilakukan sendirian, maka biasanya orang tersebut membawa boneka, jika di dalam keluarga yang sedang diberitahu kabar kematian tersebut ada yang usianya sama dengan yang meninggal maka orang tersebut membuat mimifutagi yang berarti menutup telinga dengan tutup periuk. Universitas Sumatera Utara 39 Menurut Mogami dalam Situmorang dalam pandangan orang Jepang bahwa roh ada di dalam tulang-belulang. Oleh karena itu persembahan- persembahan diarahkan kepada tulang belulang dan pergi ke Ihai yaitu sebuah papan yang bertuliskan nama dan tanggal meninggalnya orang tersebut . Zaman dahulu kala di Jepang di kenal sistem dua kuburan yaitu satu kuburan kotor yang berisi tulang belulang yang biasa dibawa ke gunung, sedangkan yang satunya adalah kuburan yang suci sebagai tempat pemberian sesajen. Biasanya kuburan yang kedua ini berada di pinggir desa. Rak penyembahan roh leluhur di rumah di sebut dengan kamidana atau butsudan. Pada altar resebut di letakan Ihai. Sehingga ke sanalah ditujukan sesajen di dalam penyembahan yang ada di rumah. Penyembahan ini disebut dengan kuyo, kuyo biasanya dilakukan selama 33 tahun menurut budhis atau 49 tahun menurut shinto. Sementara roh orang yang tidak mendapat persembahan disebut dengan muenbotoke, muenbotoke adalah roh yang tidak diberi sesajen oleh keluarga.

2.5 Ojizo dan Penyembahan Realita