Ojizo dan Penyembahan Realita

39 Menurut Mogami dalam Situmorang dalam pandangan orang Jepang bahwa roh ada di dalam tulang-belulang. Oleh karena itu persembahan- persembahan diarahkan kepada tulang belulang dan pergi ke Ihai yaitu sebuah papan yang bertuliskan nama dan tanggal meninggalnya orang tersebut . Zaman dahulu kala di Jepang di kenal sistem dua kuburan yaitu satu kuburan kotor yang berisi tulang belulang yang biasa dibawa ke gunung, sedangkan yang satunya adalah kuburan yang suci sebagai tempat pemberian sesajen. Biasanya kuburan yang kedua ini berada di pinggir desa. Rak penyembahan roh leluhur di rumah di sebut dengan kamidana atau butsudan. Pada altar resebut di letakan Ihai. Sehingga ke sanalah ditujukan sesajen di dalam penyembahan yang ada di rumah. Penyembahan ini disebut dengan kuyo, kuyo biasanya dilakukan selama 33 tahun menurut budhis atau 49 tahun menurut shinto. Sementara roh orang yang tidak mendapat persembahan disebut dengan muenbotoke, muenbotoke adalah roh yang tidak diberi sesajen oleh keluarga.

2.5 Ojizo dan Penyembahan Realita

Menurut Setiadi 2007: 179 manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan segala potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik baik itu positif maupun negatif. Universitas Sumatera Utara 40 Van Gennep dalam Damayanti 2009: 17 menjelaskan bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa individu dari suatu status sosial yang lain. Dalam setiap ritual penerimaan ada tiga tahap: 1. Pemisahaan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau kelompok atau status. 2. Peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek dari prosedur-prosedur perubahan. 3. Penggabungan, ia resmi ditempatkan dalam suatu tempat, kelompok atau status baru. Dari tahapan-tahapan tersebut kita melihat bahwa sesuatu yang penting adalah status seseorang dalam masyarakat, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pelaksanaan ritual tersebut adalah merupakan tindakan yang dilakukan untuk memperkenalkan status seseorang dalam hubungan sosial masyarakat. Meski terlihat sebagai negara kota yang metropolitan, di mana teknologi yang mutakhir dan industri berkembang sangat pesat, Jepang masih sangat taat menjalani ritual-ritual dan tradisi dalam penghormatan praktek kuno. Mungkin salah satu pemandangan paling umum dan mendominasi di Jepang adalah patung yang ada di pinggir jalan, dan patung-patung berukuran kecil disekitar kuil, yaitu patung bayi yang berwajah Buddha yang sering terlihat mengenakan celemek anak bewarna merah, dan rajutan topi wol. Patung-patung yang mulia menggambarkan salah satu dewa yang paling dicintai dan populer di Jepang dialah Ojizo Sama. Universitas Sumatera Utara 41 Menurut penjalasan masyarakat Jepang, dahulu kala Ojizo terinspirasi oleh sosok Ksitigarbha, yaitu seorang biarawan yang bertekad pada dirinya untuk bertanggung jawab bagi mereka di enam dunia alam dewa, alam manusia, alam binatang, alam jin, alam setan kelaparan, dan alam neraka antara kematian dan pencerahan. Berbekal kemampuan yang dapat membuka gerbang neraka dan permata untuk menerangi kegelapan, Ksitigarbha menolak untuk pergi sampai ranah neraka dikosongkan dari orang-orang yang menderita. Setiap kebudayaan memiliki gambaran yang berbeda dan dongeng untuk menjelaskan asal Ksitigarbha, beberapa percaya dia menjadi seorang biarawan fana yang mencapai keabadian karena pencarian abadi untuk membantu orang lain, sementara beberapa mempercayai bahwa Ksitigarbha adalah benar-benar seorang wanita, yang berdoa untuk menyelamatkan ibunya dari neraka, tapi setelah ia dibawa ke neraka dan diberitahu bahwa ibunya telah diselamatkan, ia terkejut melihat begitu banyaknya manusia dalam neraka dan mendapat siksaan. Lalu yang ia bersumpah untuk menyelamatkan mereka. Patung Ojizo sangat banyak dijumpai di seluruh Jepang, dewasa ini eksistensi penyembahan-penyembahan untuk patung Ojizo pun masih banyak dilakukan sebagian besar masyarakat Jepang. Ukuran dan bentuknya pun berbeda- beda ada yang besar, sedang dan kecil. Tapi pada umumnya tetap terlihat seperti anak kecil dengan baju dan topi yang beragam. Dan kebanyakan dari mereka yang mendatangi dan menyembah Ojizo adalah pasangan suami istri yang masih baru berumah tangga. http:www.axiommagazine.jp20120627ojizo-sama Universitas Sumatera Utara 42

BAB III OJIZO DALAM MASYARAKAT JEPANG