Agama Dan Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Huta Pungkut

Prilaku yang terus menerus dilakukan perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan tersebut ditiru orang, maka ia akan menjadi kebiasaan orang lain. Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan kebiasaan tadi, maka kebiasaan itu menjadi “adat”, 28 dalam kebiasaan yang menjadi norma-norma tersebut dijadikan landasan kehidupan masyarakatnya. Patik merupakan nilai yang benar atau salah yang berupa kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ajaran moral. Jadi patik adalah etika perilaku orang madina, baik sebagai anggota keluarga, kerabat, maupun sebagai anggota masyarakat pada umumnya. Termasuk patik dalam hapantunon “sopan santun”, habisukon “budipekerti”, untuk membentuk orang madina agar berbudi pekerti yang halus dan baik. Uhum adalah norma, aturan atau ketentuan yang mengikat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan kendalian tingkah laku yang seseuai dan berterima di dalam masyarakat madani. Uhum mempunyai daya paksa, yang artinya pelanggaran terhadap uhum akan mengakibatkan sanksi. 29 Demikian halnya di dalam adat mandailing, yang proses sosialisasi dalam nilai-nilai budaya yang diajarkan dalam adat 28 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju. 2003, h.1. 29 Basyral Hamidi Harapan, Madina yang Madani, Jakarta: PT. Merto Pos, 2004, h.355- 356. mandailing tersebut. Sedangkan dalam kajian usul fiqh dilihat dari penilaian baik dan buruknya suatu “adat”, maka dapat dibagi kepada: 1. Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang-ulang dilakukan. Diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan norma- norma agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya melakukan halal bi halal saat hari raya: memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi. 2. Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku disuatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang Negara dan etika sopan santun. Misalnya pesta dengan menghidangkan minuman haram. 30

b. Perkawinan Adat Mandailing

Berbicara mengenai perkawinan dalam adat mandailing pada awalnya disebut dengan perkawinan manjujur. Perkawinan manjujur adalah perkawinan yang sifatnya eksogami patriarchat 31 . Yang dinamakan eksogami adalah perkawinan yang mengharuskan laki-laki mencari pasangan hidup diluar marganya clan patrilinial, dan sangat dilarang menikah dengan orang yang satu marga. 32 30 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Prenada Media Kencana, 2008, h. 368. 31 Pandapaton Nasution, Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya, Jakarta: Widya Press, 1994, h. 53. 32 Hilman Hadikusuma, Hukum Perakwinan Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990, h. 68. Perkawinan adat mandailing disebut dengan perkawinan eksogami patriarchat, karena perkawinan tersebut wanita akan meninggalkan clannya dan masuk kedalam clan suaminya. Dengan melepaskan si wanita ini masuk kemarga suaminya, orang tua si wanita ini harus menerima imbalan untuk itu yang disebut dengan jujur. Jujur itu sendiri adalah untuk menjaga keseimbangan atas hilang seorang anggota keluarganya yang masuk ke anggota keluarga suaminya. Adapun benda yang akan diberikan sebagai jujur ini berupa sere emas, sehingga diberi nama emas kawin, dan sampai sekarang istilah menyerahkan uang jujur di Mandailing dengan sebutan manulak sere menyerahkan emas kawin. 33 Dalam paradaton sistem adat Mandailing, si suami disebut sebagi bayo pangolin dan si istri adalah baru nan i oli. Ada dua jenis sere yang akan diberikan sesuai dengan fungsinya, yaitu: a. Sere Namenek emas berukuran kecil Yaitu sejumlah emas atau uang diberikan oleh pihak laki- laki kepada perempuan sesuai dengan yang telah disepakati. Disamping itu ada beberapa tambahan yng berupa kain tenunan bugis yang jumlahnya ganjil. Ungkapan ini sebenarnya sebagai gamabaran bahwa, itu merupakan sesuatu yang masih mungkin untuk dibayarkan oleh 33 Pandapaton Nasution, Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya, Jakarta: Widya Press, 1994, h. 54