Hukum Perkawinan Satu Marga dalam Pandangan Hukum Islam
Islam di sekitar awal abad ke-20
.
22
Dilihat dari istilah diatas kurang tepat kesesuaiannya dengan ajaran Islam, sebaiknya bahasanya disempurnakan,
dalam hal ini penulis menyaankan “hombar do adat dohot syari’at”
mengingat bahwa ibadah adalah sub dari sistem syari’at, contohnya dalam hal perkawinan, yang dimana pe
rkawinan merupakan syari’ah namun melaksanakan perkawinan adalah ibadah.
23
Dilihat dari ungkapan di atas dapat dipahami makna seandainya hukum Islam bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam adat
Huta Pungkut, maka hukum agama yang lebih didahulukan, artinya kalau tidak ada nilai ibadahnya dalam adat yang berlaku maka yang menjadi
tolak ukur dalam mengambil keputusan adalah prinsip Islam, jika ajaran agama melarang maka adat tidak oleh menghalalkan, dan begitu
sebaliknya jika ajaran agama menghalalkan maka adat pun tidak boleh mengharamkannya.
Maka dari itu permasalahan perkawinan satu marga dalam adat Huta Pungkut, baik itu dari segi asal muasal marga, alasan dilarangnya
perkawinan satu marga maupun sanksi adat yang diberikan, dari sini penulis ingin melihat sesuai dengan ajaran Islam, namun dari segi yang
lain pelarangan itu terdapat kontra dengan ajaran Islam, dan kedua segi ini akan lebih terperinci dan jelas sebagai berikut, ini:
22
http:gondang.blogspot.com201211agama-adat-mandailing.html , diakses tanggal 15
Mai 2014
23
L. P. Hasibuan gelar Patuan Daulat Baginda Nalobi, Pangupa Buku Nenek Moyang Masyarakat Tapanuli Selatan Berisi Falsafah Hidup, Medan: Horas Tondi Madingin, Pir Tondi
Matugo, 1989, h. 71
a Relevansi adat Huta Pungkut dengan ajaran agama Islam dalam hal
pelarangan perkawinan a.
Karena mereka merupakan mahram Adanya kesesuaian antara hukum Islam dengan adat dalam
masalah perlarangan perkawinan satu marga ialah karena mahram yang disebutkan di dalam fiqh tersebut sebagian terdiri dari orang-
orang yang semarga. Adapun mahram dalam fiqh dan semarga dalam adat ialah
pertama, anak perempuan dan termasuk didalamnya cucu perempuan sampai kebawahnya. Dikarenakan garis keturunan yang
bersifat patriliniel dalam adat Mandailing, maka secara otomatis marga pun ditentukan oleh pihak ayah, misalnya ayah bermarga
Lubis, maka anak-anaknya pun bermarga Lubis. Kedua saudara perempuan, dalam hukum Islam saudara
perempuan merupakan mahram selama-lamanya, hall ini dikarenakan pertalian darah atau hubungan nasab, maka dalam adat
Huta Pungkut pun saudara perempuan merupakan teman semarga, pelarangan menikahi saudara perempuan dalam adat sesuai dengan
mahram yang ditetapkan dalam al Qur’an. Ketiga saudara perempuan ayah, dalam adat Huta Pungkut
saudara perempuan dari ayah dipanggil dengan tutur bou, dan saudara ayah merupakan teman satu marga, karena dia semarga
dengan ayah, sementara marga kita sendiri berasal dari marga
ayah. Dalam hukum Islam saudara ayah merupakan mahram selama-lamanya, hal ini dikarenakan pertalian darah atau nasab.
Keempat yaitu anak perempuan dari saudara laki-laki, dalam adat Mandailing Huta Pungkut seseorang semarga dengan
saudaranya, sedangkan anak perempuannya dari saudara laki-laki semarga dengan saudara ayahnya, maka dengan sendirinya anak
perempuan tersebut semarga dengan saudara ayahnya. Saudara laki-laki dalam adat merupakan teman satu marga. Hal ini senada
dengan hukum Islam ang mengharamkan anak perempuan saudara laki-laki untuk dinikahi.
Dapat dilihat dari uraian diatas dalam hal mahram yang diatur dalam hukum Islam terdapat kesamaan dengan perkawinan
antara hukum Islam dan adat Huta Pungkut. Dengan demikian dapat dipahami dari satu segi pelarangan
perkawinan satu marga dalam adat Huta Pungkut sesuai dengan ajaran Islam, hal ini dikarenakan sebagian teman semarga
merupakan termasuk dalam golongan mahram orang-orang ynag diharamkan untuk dinikahi dalam hukum Islam
b. Karena hubungan kekeluargaan
Penulis disini setuju dengan pelarangan perkawinan satu marga terhadap orang-orang yang dekat sistem kekerabatannya,
walaupun mereka tidak tergolong dalam mahram, golongan yang penulis maksud adalah anak perempuan saudara ayah sepupu.
Anak dari saudara ayah dalam adat merupakan teman semarga, dalam hukum fiqh kelompok ini memang tidak termasuk dalam
kelompok mahram, tetapi baik hukum Islam dan adat memiliki persamaan dalam hal sama-sama menekankan untuk menghindari
perkawinan dengan kerabat dekat, dengan alasan sebagaimana berikut:
Yang Pertama : Untuk menghindari Lemahnya Keturunan, menurut para fuqaha,
Sa’id al-Bakri bin Assaid Muhammad Syatho Addimyati al-
Misri dalam Hasyi’ah i’anatut Thalibin menjelaskan bahwa “menikahi perempuan kerabat yang jauh hubungan
nasabnya dari laki-laki itu adalah lebih baik dari pada perempuan yang dekat kekerabatannya, karena perkawinan dengan kerabat
dekat dapat menyebabkan keturunan lemah”.
24
Adapun yang termasuk dalam lingkup kerabat dekat ialah anak perempuan paman, anak perempuan saudara laki-laki ibu,
anak peempuan dari saudara perempuan ayah, anak perempuan dari saudara ibu. Dan adapun kerabat jauh itu adalah anak perempuan
dari anak saudara laki-laki ayah, anak perempuan dari anak laki- laki saudara perempuan ayah, anak dari anak saudara laki-laki ibu,
dan yang terakhir anak perempuan dari saudara perempuan ibu.
25
24
Sa’id al-Bakri bin Assaid Muhammad Syatho Addimyati al-Misri, Hasyi’ah i’anatut Thalibin, Singapura: Dar al-
Thiba’ah al-Misriyah,tt, juz 3, h. 270
25
Sa’id al-Bakri bin Assaid Muhammad Syatho Addimyati al-Misri, Hasyi’ah i’anatut Thalibin,
… …, h. 271
Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa sesungguhnya syahwat itu lemah di antara kerabat. Oleh karena itu mereka
memakruhkan nikah dengan anak perempuan paman, anak perempuan saudara laki-laki ibu, anak perempuan dari saudara
perempuan ayah, anak perempuan dari saudara ibu.
26
Yang kedua: Untuk Memperluas Persaudaraan, salah satu tujuan dari sebuah perkawinan dalam Islam ialah untuk
mengembangkan kehidupan manusia di muka bumi ini, Allah menganjurkan manusia untuk memperluas persaudaraannya sesame
manusia, hal ini dijelaskan dalam firman Allah dalam surat Al- Hujarat:
Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan antara keluarga suami dan keluarga istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan
26
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Arabi, 1987, jilid 3, cet ke-8, h.
105
masyarakat yang aman dan sejahtera lahir batin di bawah naungan rahmat Allah SWT, dan akan memperluas persaudaraan.
27
Tujuan perkawinan adalah memenuhi perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang damai dan teratur. Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal sebagaimana
berikut: memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia,
memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan,membentuk dan mengatur rumah tangga yang
basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang, menumpahkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan
yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.
28
Maka dari itu penulis bisa pahami bahwa pengembangan kehidupan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada keturunan yang akan
dilahirkan oleh pasangan suami istri, tetapi lebih jauh dari itu bahwa dengan bertemunya keluarga pihak istri dan keluarga pihak suami itu juga
termasuk dalam
memperluas serta
mengembangkan kehidupan
bermasyarakat. Hal ini sama dengan sistem yang ada dalam adat halak hita kalau
seseorang telah menikah, itu berarti telah membentuk Dalian na tolu yang
27
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, h. 2.
28
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1947 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, h. 26-27.
berupa kahanggi, mora dan anak boru jadi kalau dia menikah satu marga berarti dia hanya menjalin kekeluargaan dengan orang yang selama ini
dikenalnya, dia tidak dapat memperluas tali persaudaraan. Hukum adat Huta Pungkut yang melarang untuk melangsungkan perkawinan satu
marga mengandung makna agar sistem kekeluargaan tidak terbatas dalam lingkungan yang bersifat rotasi, tetapi dengan perkawinan dalam adat
diharapkan dapat memperluas sisolokot. b
Perbedaan adat Huta Pungkut dengan ajaran agama Islam dalam hal Perkawinan
Adapun perbedaan antara hukum Islam dengan hukum adat dalam pelarangan perkawinan satu marga ialah karena teman semarga
untuk zaman sekarang belum tentu terdapat hubungan kekerabatan. Dari sini penulis melihat larangan perkawinan satu marga
dalam adat Huta Pungkut sudah seharusnya para tokoh adat membuat katagori semarga yang dilarang untuk dinikahi, seperti dengan
mempertimbangkan kekerabatan dan lainnya. Pada dasarnya, dalam adat Huta Pungkut orang yang semarga adalah orang yang benar-
benar memiliki hubungan nasab sesamanya, maka dewasa ini, marga dapat dimiliki seseorang karena dimaksudkan sebagai gelar
kehormatan belaka. Marga dijadikan sebagai sarana dalam pendekatan terhadap suku mandailing, dan seiring dengan alkulturasi budaya
mandailing dalam hal marga khususnya yang bisa dimiliki orang dari luar suku, maka marga yang awalnya dapat menentukan nasab, dapat
penulis simpulkan bahwa orang yang bermarga sekarang ini belum tentu memiliki hubungan nasab, karena marga telah dapat dimiliki
oleh orang dari luar suku, seperti orang jawa yang masuk dalam kawasan Tapanuli, baik Selatan ataupun Utara
29
. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pelarangan perkawinan
satu marga dalam adat Huta Pungkut dari satu segi sesuai dengan larangan perkawinan dalam Islam, tapi dari segi yang lain ada
berbedaan antara keduanya. Kesesuaian adat Mandailing dengan hukum Islam dalam masalah larangan perkawinan satu marga ialah
dikarenakan sebagian teman semarga dalam adat Mandailing merupakan mahram dalam fiqh dan memiliki hubungan kekerabatan.
Adapun perbedaan ialah dikarenakan pemberian sanksi terhadap orang yang melangsungkan perkawinan satu marga yang tidak diketahui titik
temu kekerabatannya.