46
Apabila dalam suatu rumah tangga tidak terwujud rasa saling kasih dan sayang antara suami istri, tidak mau saling berbagi suka
maupun duka, maka berarti tujuan pernikahan tidaklah sempurna, kalau tidak dapat dikatakan pernikahan itu telah gagal yang berakibat
terjadinya perceraian. 3
Menjaga diri dari perbuataan yang tercela Seorang tokoh agama Yahudi yang bernama Farwed pernah
menjelaskan kepada pengikutnya, bahwa mereka harus melampiaskan insting biologis, dengan dalil bahwa tanpa tindakan tersebut akan
menyebabkan seseorang mengalami gangguan pada kejiwaannya. Cases Carl juga menuliskan dalam buku yang berjudul “Al-
Insaan Dzaalikal Majhuula ”: “Bahwa biasanya kecerobohan didalam
seks itu akan menurunkan daya kerja otak dan akal sehat, hanya hubungan seksual yang sehatlah yang mampu mencapai orgasme yang
alami”.
53
Oleh sebab itu Islam dengan ajarannya yang sangat mengakomodir kebutuhan dasar manusia, menjadikan perkawinan
sebagai sarana untuk memenuhi insting seksual, disamping juga ingin menyehatkan akal sehat yang di khawatirkan bisa rusak yang
diakibatkan oleh seks bebas tersebut. Dalam sebuah hadits dijelaskan yang artinya sebagaimana berikut:
“dari Abddillah bin Mas’ud, dia berkata: “suatu ketika Rasulullah SAW, pernah menyuruh kami:
53
Mahmud Mahdi Al-Istranbuli, Kado Pernikahan, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999, h.12.
47
“Hai para pemuda Siapa saja kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih
memejamkan pandangan mata dan lebih dapat memelihara kemaluan, dan siapa yang belum tidak mampu, maka hendaklah dia
b erpuasa, karena puasa itu adalah obat pengekang baginya” H.R.
Muttafaq’alaih
54
4 Latihan Memikul tanggung jawab
Apabila perkawinan untuk mengatur fitrah manusia, dan mewujudkan kelangsungan hidup manusia di muka bumi, maka faktor
yang keempat yang tidak kalah pentingnya dalam perkawinan adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab. Hal ini berarti, bahwa
perkawinan adalah merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikul tanggung jawab itu sendiri.
54
Ahmad Mudjab Muhalli, dan Ahmad Rodhi Hasbullah, Hadits- hadits Muttafaq ‘Alaih,
Jakarta: Prenada Media, 2002, h. 33-34.
48
BAB III SEJARAH DAN POTRET DESA HUTA PUNGKUT
A. Kondisi Geografis dan Sosial masyarakat desa Huta Pungkut
a. Sejarah Singkat Kerajaan Huta Pungkut
Kerajaan Huta Pungkut merupakan salah satu bagian dari daerah Mandailing. Mandailing menurut Prapanca di dalam bukunya
Negarakertagama
1
, Mandailing termasuk ke dalam wilayah kerajaan Majapahit. Namun demikian dapat dikatakan bahwa sampai sekarang
wilayah Mandailing belum termasuk yang banyak dibicarakan. Demikian juga peristiwa-peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di
wilayah bersangkutan. Keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan sejak abad ke-14
dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah Palapa gajah mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca
sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka 1365 ke beberapa wilayah di luar Jawa. Mandailing pada masa tersebut
diperkirakan sudah berkembang, dengan kondisi masyarakat yang homogen, tumbuh dan terhimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan
dengan kebudayaannya yang sudah tinggi di zaman tesebut
2
. Berabad sebelum Prapanca, di Mandailing telah tumbuh
masyarakat berbudaya tinggi berdasarkan catatan sejarah serangan
1
http:banuamandailing.blogspot.complintasan-sejarah-mandailing.html, diakses pada tanggal 2 April 2014, pukul 21:10
2
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h.5.
Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 M ke Kerajaan Panai di hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane mulai dari
Binanga, Portibi di Gunung Tua hingga lembah pegunungan Sibualbuali di Sipirok. Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat
bermarga pane di Sipirok, Angkola dan Mandailing
3
. Dalam buku sejarah Batak yang dituliskan pada kesusasteraan
klasik Toba Tua Tonggo-tonggo Siboru Deak parujar , juga telah disebut nama Mandailing sebagai tempat asal nenek moyang Suku
Batak Toba. Diperkirakan, Tonggo-tonggo tersebut diciptakan setelah kelahiran si raja Batak generasi ke-6 Siboru Deakparujar dan Siraja
Odap-odap pada tahun 1305 M. Siraja Batak diduga tinggal di Mandailing yang kemudian pindah ke tanah Toba dan terus
berkembang. Hal ini juga dipertegas oleh Z. Pangaduan lubis dalam bukunya „Kisah Asal-usul Marga di Mandailing‟
4
. Nama Mandailing diduga berasal dari kata Mandehilang bahasa
Minangkabau, artinya ibu yang hilang, kata Mundahilang, kata Mandalay nama kota di Burma dan kata Mandala Holing nama
kerajaan di Portibi, Gunung Tua Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke Selatan pada tahun 1500 SM karena desakan
Bangsa Aria. Sebagian bangsa Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat Sumatera.
3
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 5
4
http:banuamandailing.blogspot.complintasan-sejarah-mandailing.html, diakses pada tanggal 2 April 2014
Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diduga berawal sejak abad ke-9 atau -10. Mayoritas marga yang ada di
Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi Selatan
5
. Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di Hutapanopaan sekarang
Kotanopan dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi
berikutnya dari keturunan Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah Guluan Gajah
6
. Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan
Namora Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan
keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan istri pertamanya yang berasal dari Angkola. Sedangkan pembawa marga Nasution
adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan antara Batara Pinayungan dari kerajaan Pagaruyung dengan Lidung Bulan adik perempuan
Sutan Pulungan yang menetap di Penyabungan Tonga. Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal dari
kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung Aji dijuluki „orang Nan Ditakuti‟, dan berubah menjadi
Rangkuti yang menetap di Huta Lobu Mandala Sena Aek Marian. Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat
5
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 7
6
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h.8
dan salah satunya ke daerah Tamiang, membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga Batubara, Matondang dan Daulay bernama
Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo dua orang pemimpin serombongan orang Melayu berasal dari Batubara, Asahan
7
. Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami
tiga suku lainnya, jauh sebelum abad ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan suku Lubu Siladang
8
. Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga ditemukan di daerah Dumai
dan Duri Riau serta Malaysia. Suku Hulu Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan adatnya, mirip dengan bahasa
dan adat Riau serta Padang Pesisir. Suku Lubu Siladang bermukim di lereng Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya berbeda dengan bahasa
dan adat Mandailing dan Melayu. Begitu pula ciri fisiknya yang tegap, kekar, mata bulat berwarna coklat tua, dan sikap yang ramah, rajin,
selalu merendahkan diri. Masyarakat Mandailing
9
di dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya menggunakan satu struktur sistem adat yang disebut Dalihan
Natolu tungku yang tiga, yang mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang terdiri atas Kahanggi,
kelompok orang semarga, Mora kelompok kerabat pemberi anak gadis dan Anak Boru kelompok kerabat penerima anak gadis. Ketiga
unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap pelaksanaan kegiatan
7
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 9
8
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 17-18
9
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 60-65