Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
20
Meskipun dalam arti terminologis terdapat beberapa definisi yang berbeda, tetapi saling melengkapi satu sama lainya. Perbedaan
ini disebabkan oleh perbedaan dalam sudut pandang dikalangan para ulama. Salah satu diantaranya adalah:
عاتěتسا كėĚ ديċيĖ عراشĖا ġعض Ĥ دقع ÊاåěĖا عاتěتسا ĕحĤ ÊاåěĖ اب ĕج åĖا
ĕجåĖاب
Artinya: “Akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan
bersenang-senang antara
laki-laki dengan
perempuan dan
menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki- laki”
9
Di kalangan para ulama Syafi’iyah definisi yang dipakai adalah:
جيçتĖا Ĥا حاēĞ اا ظċėب ءøĥĖا Ëحاب ا ĝě÷تي دقع
Artinya: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan mengunakan lafaz na-ka-ha
atau za-wa- ja”
10
Definisi perkawinan dari golongan Syafi’iyah sebagaimana yang disebutkan di hadits di atas melihat kepada hakikat dari akad itu
bila hubungan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya yaitu bolehnya bergaul, sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung
di antara keduanya tidak ada kebolehan. Hampir berdekatan dengan ini dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah, yaitu:
ادصق ËعتěĖ ا كėĚ ديċي دقع
9
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2003, h. 8.
10
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang- undang Perkawinan, h. 37.
21
Artinya: “Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada
seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja”
11
Dalam definisi lain dari perkawinan Muhammad Abu Ishrah, yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat:
Čĥقح ĝĚ اěģيēĖ اĚ دحيĤ اěģĞĤاعتĤ ÊاåěĖاĤ ĕجåĖا ĝيب ÊåشعĖا ĕح ديċي دقع ÌاÉجاĤ ĝĚ ġيėع اĚĤ
Artinya: “Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan keluarga suami istri antara laki-laki dan perempuan dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak
bagi pemiliknya serta memenuhi kewajiban bagi masing- masing”
Dari defenisi ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, yaitu adanya saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan
mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Definisi lainya yang dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah
dalam bukunya al-Akhwal al-Syakhsiyyah, sebagai berikut:
عĤåشěĖا ġجĥĖا ىėع åخااب ĝيدقاعĖا ĝĚ ĕك ع اتěتسا ĕح ديċي دقع
Artinya: “Akad yang berfungsi untuk membolehkan bersenang-
senang berhubungan badan antara dua orang yang berakad dengan cara yang disyariatkan
”
12
Maksud dari makna dua orang yang berakad disini adalah antara calon suami dengan calon istrinya.
Dari Defenisi-defenisi yang di ungkapkan para ulama terdahulu sebagaimana yang terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik
yang tertulis di atas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan
11
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 9, Damaskus: Dar al-Fikr, 2007, hal. 6514.
12
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,Qaharih: Dar al-Fikr, 2005, h. 19.
22
melakukan hubungan kelamin setelah terjadi akad perkawinan itu.
13
Oleh karena itu ulama kontemporer mencoba memperluas jangkauan defenisi ataupun pengertian perkawinan, misalnya defenisi yang
diberikan oleh Dr. Ahmad Ghundur dalam bukunya al-Ahwal al- Syakhsiyah fi al-
Tasyri’ al-Islamiy,
14
yang berbunyi: “Akad yang
membolehkan bergaul antara lai-laki dengan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusian dalam kehidupan, dan menjadikan untuk
kedua belah pihak secara timbal balik hak dan kewajiban”. Dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 2 disebutkan
bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah: “Pernikahan yaitu
akad yang kuat atau mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan me
laksankannya merupakan ibadah”. Sedangkan dalam Bab Ketentuan Umum pada pasal 1 huruf c disebutkan bahwa akad ialah
rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya serta di saksikan oleh dua orang
saksi. Sedangkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 seperti yang
berbunyi dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai:
15
“Ikatan lahir dan batim seorang pria dengan seorang wanita sebagai
13
Ibid.
14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang- undang Perkawinan, h. 39.
15
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, Jakarat: Prenada Media, 2004, h. 42.
23
suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagi
a dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
16
. Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertama, sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian. Disini juga tidak hanya dari segi hukum formal, tapi juga dilihat dari
sifat social sebuah perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga.
17
Dari semua perumusan defenisi perkawinan diatas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita”,
disini dijelaskan bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.
2. Ungkapan “sebagai suami istri” maksudnya adalah bertemunya
dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
3. Disini juga mempunyai defenisi yang bertujuan perkawinan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam
perkawinan mut’ah dan tahlil.
16
Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, Ciputat: UIN Jakarat Press,2007, h. 4.
17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, Jakarat: Prenada Media, 2004, h. 42.
24
4. Penyebutan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
menunjukkan bahwa bagi Islam perkawinan adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.
18
Jadi dari semua penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa perkawinan itu adalah
“suatu akad yang membolehkan hubungan suami istri untuk membangun keluarga yang sakinah,mawaddah,
kekal dan diridhoi Allah SWT ”
b. Dasar Hukum Perkawinan
Melihat dari hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dengan perempuan melakukan sesuatu yang
sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan adalah boleh atau mubah. Namun melihat kepada
sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak semata- mata dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu mubah.
19
Perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan dianjurkan oleh syara’ yang sekaligus merupakan sunnah Rasulullah
saw, sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh al-Imam al- Bukhari dan Muslim, dari anas
20
, yang berbunyi:
Ğا ĝع Ĥ ها ىضر كĖ اĚ ĝب س
ها دěح ęėسĤ ġيėع ها ىėى صÉğĖا Ĝا ġğع فاĤ Ęĥىا ĘاĞاĤ ,ىėىا اĞا صğēĖ :ĔاقĤ ġيėع ىğثاĤ
ĝěف , ءاسğĖا جĤçتاĤ åط .صğĚ سيėف صتğس ĝع بغر
18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang- undang Perkawinan, h. 40.
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang- undang Perkawinan, h. 43.
20
Hafidz bin Hajar al- ‘Asqalani, Buluq al-Maram,ttp. : Syirkah al-Nur Asiya, t.t., h.
200-201.
25
Hadist diatas seirama dengan firman Allah dalam surat Ar- Rum ayat 21
21
:
Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”. Dari hadist dan ayat di atas, perintah dan anjuran untuk
menikah tertulis dengan sangat jelas, bahkan dalam hadist tersebut tertulis bahwa siapa yang membenci sunnahku maka ia bukanlah
umatku. Dengan demikian, hukum asaldari perkawinan adalah mubah tetapi melaksanakannya adalah sunnah
22
dan agama Islam sangat menganjurkannya, karena perkawinan itu mempunyai banyak manfaat
dan menolak madharat bagi yang melaksanakannya. Bahkan Islam juga menganjurkan agar umatnya saling membantu dalam mencari
jodoh sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:
21
Al-Quran al-Karim, Surat Ar-Rum 30, ayat: 21.
22
Sunnah dalam hal ini berarti ucapan, perbuatan, serta ketetapan-ketetapan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Sunnah dilihat dari tiga sisi dan esensinya yaitu sunnah
Qauliayah, sunnah Fi’iliyah, dan sunnah Taqririyah, Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqih,
Penerjemah: Saefullah Ma’shum,Jakarta: Pustaka Firdaus, 199, cet. ke-4, h. 149.
26
Artinya: “dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia- Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha
mengetahui”.
23
Golongan ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama itu adalah golongan Zhahiriyah yang mengatkan hukum
perkawinan bagi orang yang mampu melakukan hubungan kelamin dan biaya perkawinan adalah wajib atau fardu. Dasar dari pendapat
golongan Zhahiriyah ini adalah perintah Allah dan Rasul mengandung kaidah setiap
sighat “amar” itu menunjukkan wajib secara mutlak, yakni satu kali menikah untuk seumur hidup walaupun yang
bersangkutan impoten. Ulama Syafi’iyah secara rinci menyatakan hukum perkawinan
itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. Sunnah bagi orang-orang yang berkeinginan untuk nikah, telah
pantas nikah dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan.
b. Makruh bagi orang yang belum pantas nikah, belum punya
keinginan untuk nikah, perbekalan untuk pernkawinan juga belum ada. Begitu pula bagi dia yang mempunyai perlengkapan untuk
perkawinan, namun fisiknya cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lain-lainnya.
23
Al-Quran al-Karim, Surat an-Nur ayat 32.
27
Sedangkan ulama
Hanafiyah menambahkan
hukum perkawinan secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai
berikut: a.
Wajib bagi orang-orang yang sudah pantas untuk nikah,berkeinginan untuk nikah dan memiliki perlengkapan untuk
nikah, ia takut terjerumus berbuat zina kalau ia tidak nikah. b.
Makruh bagi orang yang dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasa akan berbuat curang dalam perkawinannya itu.
Ulama lain menambahkan hukum perkawinan selain pendapat Syafi’iyyah dan Hanafiyah sebagaimana berikut ini:
a. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi
ketentuan syara’ untuk melakukkan perkawinan atau ia yakin
perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’ dan akan
merusak kehidupan pasangannya. b.
Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk nikah dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan
kemudaratan apa-apa kepada siapa pun. Dari beberapa pendapat para ulama dalam menentukan
kedudukan hukum dari perkawinan, namun secara umum dapat disimpulkan hukum perkawinan itu berdasarkan kondisi orang yang
mau melaksanakan perkawinan tersebut. Hukum asal suatu perkawinan itu mubah, namun berubah menjadi sunnah, wajib,
28
makruh dan haram sesuai dengan kondisi dan rinciannya sebagimana berikut
24
: a.
Sunnah bagi orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melakukan perkawinan, akan tetapi ia tidak takut
atau tidak khawatir akan terjebak ke dalam perbuatan terlarang b.
Wajib bagi mereka yang telah mampu nikah, nafsunya telah mendesak, dan takut akan terjerumus kedalam lemabah perzinahan
kalau ia tidak nikah. Seperti dalam kaidah Ushul Fiqh sebagai berikut:
“Tidak sempurna suatu yang wajib tanpa adanya yang lain, maka sesuatau itu wajib adanya”
c. Haram bagi orang yangtidak mampu memenuhi nafkah bathin dan
lahir kepada istrinya, serta nafsunya pun tidak mendesak. Haram juga bagi seseorang yang menikahi wanita atas niat untuk
menyakiti. d.
Makruh bagi orang yang belum pantas nikah, belum punya keinginan untuk nikah, perbekalan untuk pernkawinan juga belum
ada. Begitu pula bagi dia yang mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisiknya cacat, seperti impoten, berpenyakitan
tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lain-lainnya. e.
Mubah bagi oarng yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir
24
Ahamad Surdirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Mazhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari,2006, h. 7.
29
akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istrinya.