Rukun dan Syarat Perkawinan

32 perkawinan sehingga tidak dapat dibatalkan. Seperti calon suami sekufu dengan istrinya 31 . Menurut ulama Syafi’iyah 32 yang dimaksud dengan perkawinan adalah keseluruhan yang secara berlangsung berkaitan perkawinan dan segala urusannya, bukan hanya akad nikah saja. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu adalah: a. Calon mempelai laki-laki Beragama Islam, bukan mahramnya, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan 33 b. Calon mempelai perempuan Beragama meskipun Yahudi atau Nasrani, jelas orangnya, bukan mahramnya, dapat diminta persetujuannya c. Wali dari mempelai perempuan Laki-laki, telah baligh dewasa, muslim, orang merdeka, berpikir baik, adil 34 d. Dua orang saksi Berakal, baligh, muslim, melihat dan mendengar serta memahami akan akad nikah 31 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang- undang Perkawinan, h. 60. dan untuk lebih jelasnya lihat Wahbah al-Zuhsili VII, 6533. 32 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang- undang Perkawinan, h. 61. 33 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, h. 62. 34 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, cet ke-2, h. 93. 33 e. Ijab dan qabul Adanya pernyataan mengawinkan dari wali, dan menerima bagi calon mempelai, antara ijab dan qabul bersambung, maksudnya jelas dan ada empat orang diantaranya calon mempelai, wali dari perempuan dan dua orang saksi Disini mahar menurut ulama Syafi’iyah hanya sebagai syarat karena mahar tersebut tidak mesti disebutkan dalam akad nikah dan tidak mesti diserahkan waktu akad itu berlangsung. Akad nikah itu sendiri adalah perjanjian yang berlangsung antara dua belah pihak yang berakad dalam bentuk ijab dan qabul. Disni para ulama berbeda pendapat, ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa lafaz ijab dan qabul selain dua lafaz nikah dan zawaj yang mengandung arti kepemilikan akan sesuatu adalah sah, seperti lafaz hibah pemberian, at-tamlik memiliki, al-atiyyah pemberian, dan lainnya. Tetapi dengan syarat niat nikah atau diketahui maksudnya oleh para saksi 35 . Adapun alasan yang dikemukakan adalah a Terdapat penggunaan kata hibah dalam al-Qur’an suarat al-Ahzab ayat 50:                               35 Asruron Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1, h.22. 34                                 36  Artinya: “Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan demikian pula anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri- isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”. b Penggunaan lafaz tamlik sebagaimana sabda Rosulullah Saw yang diriwayatkan oleh sahl bin Sa’ad ra. Yang artinya: “Sabda Rosulullah Saw. kepada seorang laki-laki yang tidak mempunyai harta untuk dijadikan mahar, lalu Nabi berkata kepadanya: “Aku telah memilikkan menikahkan kamu dengannya, dengan apa yang kamu hafal dari ayat al- Qur’an”. HR. Bukhari c Sighah adalah setiap perkataan yang mengandung asas saling rela dan menerima dari calon suami, wali atau yang mewakili keduanya seperti perkataan, “ saya menikahkan”, “memberikan”, atau lainnya sambil menyebutkan mahar. 36 Al- Qur’an surat al-Ahzab ayat 50. 35 Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, yang mengatakan bahwa akad tidak sah apabila diucapkan selain lafaz nikah dan zawaj karena keduanya telah disebutkan dalam al- Qur’an 37 . Karena itu cukup hanya menggunakan keduanya tanpa membolehkan menggunakan lafaz lain. Adapun alasannya adalah: a Penggunaan dua lafaz sudah terdapat dalam al-Qur’an b Dalam hadist Nabi yang diriwayatkan Jabir bin ‘Abdillah ra: Artinya “Bertakwalah kamu kepada Allah dalam urusan perempuan, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka sebagai amanah Allah dan halal bagimu menggauli mereka karena kalimat Allah”. c Menggunakan kata qiyas tidak dibolehkan dalam masalah ini karena nikah termasuk ibadah, maka tidak sah sighah kecuali kedua lafaz diatas 38 Namun dalam UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali 39 . Mungkin UU Perkawinan menempatkan akad perkawinan itu sebagai perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata. Namaun dalam KHI secara jelas mengatur akad perkawinan dalam pasal 27 40 , 28 dan 29 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh. 37 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2008, cet 23 h.311. 38 Asruron Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1, h.23. 39 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang- undang Perkawinan, h. 63. 40 Adapun isi dari pasal 27 “ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu”. 36 Membahas mengenai keabsahan nikah tanpa wali, ada dua pendapat dikalangan ulama. Pendapat pertama oleh jumhur ulama bahwa suatu pernikahan tidak sah tanpa keberadaan wali. Ini berdasarkan nash al- Qur’an dan hadist. Adapun nash al-Qur’an disebutkan dalam surat al- Baqarah ayat 232:        Artinya: “Maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya ” Ayat diatas menunjukkan peran dan fungsi seorang wali, jika tidak maka wewenang “menghalangi” dalam ayat diatas tidak punya arti apa-apa bagi seorang wali. Dan berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Musa al- Asy’ari ra, yang artinya “Bahwa perkawinan tidak sah kecuali dengan adanya wali ”. Maksud hadist ini adalah sebuah perkawinan tidak sah jika wali tidak ada, karena seorang perempuan atau mewakilkannya kepada orang lain jika wali berhalangan untuk menikahinya, dan jika ia lakukan hal itu maka nikahnya tidak sah. Sebagaimana sabda Rosulullah Saw. “bahwa wanita siapa saja yang menikah tanpa seijin walinya maka nikahnya tidah sah ” HR. Abu Dawud 41 Dan yang kedua dikemukakan oleh Hanafiyah, bahwa perempuan berakal yang sudah baligh, baik gadis maupun janda, dapat menikahkan dirinya dan anak perempuannya, dan boleh mewakilkannya kepada orang 41 Syamsu al-Haq al- ‘Azami Abadi, Aunu al-Ma’bud Syah Sunah Abi Dawud, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1995, cet ke-2, jilid 6, h. 72. 37 lain. Karena wali dalam hal ini tidak wajib melainkan sunnah saja 42 . Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Meskipun UU perkawinan tidak menjelaskan wali sebagai salah satu syarat atau rukun dalam perkawinan, UU perkawinan ada menyinggung wali nikah dalam pembatalan perkawinan pada pasal 26. Dan dalam KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap dan keseluruhan mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama, khususnya Syafi’iyah. Wali ini diatur dalam pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 43 . Dua orang saksi para ulama sepakat keberadaan sanksi sebagai salah satu syarat sah nikah berdasarkan nash hadist. Sebagimana yang disabdakan Rosulullah Saw. yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra: ا دĥģشباا حاēĞ “tidah sah perkawinan kecuali ada saksi” Dan selanjutnya hadits riwayat ‘Aisyah ra “nikah tidak sah tanpa adanya dua orang saksi dan apabila perkawinan diadakan tanpa dua orang saksi maka perkawinna itu batil, dan maka apabila mereka berselisih maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak punya wali ” HR. at-Tirmidzi Al-Ghazali dalam bukunya Menyingkap Hakikat Perkawinan tidak membedakan antara syarat dan rukun perkawinan. Di dalam bukunya 42 Asruron Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1, h.23. 43 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang- undang Perkawinan, h. 80. 38 mempunyai empat rukun dan syarat yang harus dipenuhi demi syahnya perkawinan, yaitu: 1 Adanya izin dari calon istri atau dari penguasa negri apabila tidak ada wali yang sah 2 Adanya asas kerelaan dari calon mempelai perempuan. Hal ini berlaku bagi perempuan yang janda dan telah cukup umur baligh. Atau seorang gadis yang telah cukup umur apabila yang bertindak sebagai walinya bukan ayah kandungnya sendiri atau kakeknya 3 Adanya dua orang saksi yang dikenal luas sebagai orang-orang baik yakni orang yang adil. Apabila keadaan keduanya tidak dikenal, boleh juga diterima kesaksian mereka selama hal itu sangat diperlukan 4 Adanya lafal ijab qabul yang tersambung tidak terputus antara keduanya dengan ucapan-ucapan lain yang tidak ada hubungannya. Ijab dan qabul dengan lafal “menikahkan”,”mengawinkan” atau dalam bahasa lain yang mengandung makna seperti itu. Lafal ijab dan qabul harus di ucapakan oleh dua orang laki-laki dewasa, yaitu calon suami dan wali dari calon isrti atau wakil-wakil dari keduanya. 44 Selanjutnya disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sebagi peraturan yang diakui dan dijadikan landasan oleh pemerintah Indonesia dalam melaksanakan ketentuan perkawinan, sebagai berikut: 44 Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan, h. 63. 39 1. Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan dua belah pihak 2. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua 3. Dalam hal salah satu dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang masih mampu menyatakan kehendaknya 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengarkan orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini 6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum maisng-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain 45 45 Undang-undang Perkawinan, h. 3-4. 40 Sedangkan menurut Ijma’ Ulama Indonesia dalam Hukum KHI menjelaskan bahwa rukun perkawinan itu ada lima dan masing-masing itu memiliki syarat-syarat tertentu. Sebagaimana berikut: a. Calon mempelai laki-laki calon suami 46 , dan syarat-syaratnya: 1. Bukan mahram dari calon istri 2. Tidak terpaksa, atas kemauan sendiri 3. Orangnya tertentu, jelas b. Calon mempelai wanita calon istri 1 Tidak ada halangan hukum, yaitu Tidak sedang bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah 2 Merdeka atas kemauan sendiri 47 3 Jelas orangnya Dalam pasal 15 KHI ayat 1 “untuk kemaslahatan rumah tangga dan keluarga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri berumur 16 tahun” c. Wali nikah, dan syaratnya 1. Laki-laki 2. Islam 3. Baligh 46 Disebutkan dalam pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 ditentukan juga bahwa calon suami minimal berumur 19 tahun. 47 Dalam pasal 16 KHI dijelaskan bentuk persetujuan calon istri dapat perupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat. 41 4. Sehat akalnya d. Dua orang saksi, syaratnya: 1. Laki-laki 2. Islam 3. Adil 4. Sehat akalnya 5. Dapat mendengar dan melihat 6. Akil baligh 7. Bebas, tidak dipaksa e. Ijab dan Kabul, syaratnya: 1. Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak pelaku akad dan penerima akad dan saksi 2. Akad dilakukan sendiri oleh wali 3. Kabulnya diucapkan sendiri oleh calon suami Syarat-syarat perkawinan selain yang ada diatas adalah syarat mengenai berikut: a Perempuan yang bukan mahram Secara hukum, perempuan yang akan dinikahi adalah perempuan yang halal untuk dijadikan sebagai istri. Jadi, perempuan itu bukanlah perempuan yang haram untuk dinikahi, baik haram untuk sementara waktu ataupun haram untuk selamanya. 42 b Mahar Secara istilah mahar adalah “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah atau dukhul”. Mahar secara ekplisit dijelaskan dalam al- Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4, sebagai berikut:                  Artinya: “berikanlah maskawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah ambillah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya ” Asbabul nuzul dari ayat ini yaitu pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Dan dari penjelasan surat an- nisa’ tersebut para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al- Qur’an. Sedangkan sebagian ulama menetapkan sebagai syarat sahnya nikah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd di dalam Bidayatul al-Mujtahidnya. Ulama kalangan Malikiyah menempatkan mahar sebagai rukun dari rukun nikah yang ada, tetapi tidak mewajibkan penyebutannya ketika akad dilangsungkan. Berbeda dengan wabah Al-Zuhaily dalam kitabnya “ al-fiqh al-Islam wa Adillatuhu” yang menjelaskan bahwa mahar itu bukanlah rukun dan juga syarat dari perkawinan, melainkan atsar atau akibat hukum dari perkawinan. Dengan penjelasan dalam kitabnya: 43 كر سيĖ ġĞ ا ĥĢ اěĞاĤ جاĤçĖا ø Ĥ åش ĝĚ اط åشاĤ اğ åثا Ġراثا ĝĚ “bahwasanya mahar bukanlah rukun dan juga syarat dari beberapa syarat perkawinan, akan tetapi mahar merupakan akibat hukum dari beberapa atsra- atsar perkawinan” Selain terdapat rukun dan syarat tersebut yang harus dipenuhi, dalam suatu ikatan perkawinan juga terdapat beberapa asas yang harus diaksanakan 48 , diantaranya adalah: a sukarela antara kedua calon mempelai dan keluarganya, b persetujauan antara kedua belah pihak, c kebebasan memilih pasangan, d kemitraan suami istri, e untuk selama- lamanya, f monogamy terbuka, maksudnya diperbolehkan poligami asalkan memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan.

C. Tujuan Perkawinan

Sebagaimana hukum-hukum yang lain yang ditetapkan dengan ketentuan dan tujuan sesuai dengan tujuan dibentuknya, demikan pula halnya syariat Islam perkawinan dengan tujuan-tujuan yang tertentu pula. Secara medis kedokteran, perkawinan dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan. Sebab, sperma bisa keluar secara normal. Bila sperma lama tidak keluar maka akan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Kerna prilaku seksual yang normal dapat merupakan keseimbangan antara “motor erotik” 49 yang mendorong hasrat untuk aktifitas seksual, dan suatu “rem seksual” yang menjaga keinginan tersebut 48 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, cet. ke-9, h. 126. 49 Rahman Syakur, Fikih Kita di Masyarakat, antara Teori dan Praktek, Pasuruan: Pustaka Pesantren Sidogiri, tt, h. 83. 44 bisa dikendalikan. Apabila sinyal “motor erotik” ini tidak ada pemenuhannya dapat mengakibatkan kelainan libido yang menyebabkan distress, maupun kesulitan berhubungan dengan orang lain. 50 Sedangkan dalam Islam tujuan perkawinan ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajban anggota keluarganya, sejahtera yaitu tercapainya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan. 51 Sejalan dengan ajaran Islam Undang-undang dan KHI itu tidak jauh berbeda, diantaranya untuk menghujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, sebagaimana yang tercantum dalam KHI pasal 3. 52 Dan dalam penjelasan Undang-undang perkawinan juga diuraikan, bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Di antara tujuan-tujuan itu adalah sebagaimana berikut: 1 Melanjutkan keturunan Yang merupakan sambungan hidup dan sambungan cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga menjadi umat, ialah umat Nabi Muhammad saw umat Islam. Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan dalam firman Allah dalam an-Nahl ayat 72: 50 Linda J. Heffener dan Danny J. Sechust, At a Glance Sistem Reproduksi, edisi kedua, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, h. 74. 51 Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 22. 52 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,1995, h.114. 45                        Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak- anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah Bedasarkan ayat diatas dijelaskan, bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan satu sama lainya, supaya berkembang baik mengisi bumi ini dan memakmurkannya. Atas kehendak Allah, naluri manusia pun menginginkan demikian. 2 Menenteramkan jiwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan dan tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu adalah sesuatu yang alami, yaitu pria tertarik kepada wanita dan begitu sebaliknya. Dalam al- Qur’an surat ar-Ruum ayat 21 yang berbunyi:                       Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” 46 Apabila dalam suatu rumah tangga tidak terwujud rasa saling kasih dan sayang antara suami istri, tidak mau saling berbagi suka maupun duka, maka berarti tujuan pernikahan tidaklah sempurna, kalau tidak dapat dikatakan pernikahan itu telah gagal yang berakibat terjadinya perceraian. 3 Menjaga diri dari perbuataan yang tercela Seorang tokoh agama Yahudi yang bernama Farwed pernah menjelaskan kepada pengikutnya, bahwa mereka harus melampiaskan insting biologis, dengan dalil bahwa tanpa tindakan tersebut akan menyebabkan seseorang mengalami gangguan pada kejiwaannya. Cases Carl juga menuliskan dalam buku yang berjudul “Al- Insaan Dzaalikal Majhuula ”: “Bahwa biasanya kecerobohan didalam seks itu akan menurunkan daya kerja otak dan akal sehat, hanya hubungan seksual yang sehatlah yang mampu mencapai orgasme yang alami”. 53 Oleh sebab itu Islam dengan ajarannya yang sangat mengakomodir kebutuhan dasar manusia, menjadikan perkawinan sebagai sarana untuk memenuhi insting seksual, disamping juga ingin menyehatkan akal sehat yang di khawatirkan bisa rusak yang diakibatkan oleh seks bebas tersebut. Dalam sebuah hadits dijelaskan yang artinya sebagaimana berikut: “dari Abddillah bin Mas’ud, dia berkata: “suatu ketika Rasulullah SAW, pernah menyuruh kami: 53 Mahmud Mahdi Al-Istranbuli, Kado Pernikahan, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999, h.12.