Struktur Organisasi
Sumber: Akta notaris Ahmad Dimyati, SH NO 181. Kauman Lor, RT 03RW 01, kecamatan Pabelan-Kabupaten Semarang.
D. Sistem Pendidikan yang diterapkan di Pondok Pesantren Al-Falah
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren adalah sistem bandongan
atau seringkali juga disebut weton, sistem pengajaran ini mulai dipergunakan di pondok pesantren Al-Falah pada tahun 1980. Metode
bandongan atau weton yaitu metode pembelajaran yang mana guru
membacakan, kemudian murid mendengar dan mencatat. Dalam sistem ini sekelompok murid antara 5 sampai 50 mendengarkan seorang guru yang
membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Seorang murid memperhatikan bukunya sendiri-
sendiri dan membuat catatan-catatan tentang kata-kata yang sulit untuk
Pelindung 1.
Kepala Desa 2.
Ta’mir Masjid Ketua
KH M Ghozi H.R
Sekretaris M Maksum
Seksi Bendahara
Umi Nasiroh
Humas Sumadi
Pembangunan Solikhin
Usaha Dana Choirul Anam
Pendidikan Munir
mereka pahami. Metode bandongan adalah kyai menggunakan daerah setempat, kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan, kalimat demi
kalimat kitab yang dipelajarinya, santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kyai dengan memberikan catatan-catatan tertentu pada
kitabnya masing-masing dengan kode-kode tertentu sehingga kitabnya disebut kitab jenggot karena banyaknya catatan yang menyerupai jenggot seorang
kyai. Dengan metode pengajaran bandongan ini lama belajar santri tidak tergantung lamanya tahun belajar tetapi berpatokan kepada waktu kapan murid
tersebut menamatkan kitabnya yang telah ditetapkan oleh pondok atau oleh santri itu sendiri, bisa saja santri menargetkan agar iaselesai dalam waktu satu
bulan namun ada juga yang nenargetkan selesai dalam waktu dua sampai tiga bulan kedepan.
Selain menggunakan metode bandongan pondok pesantren Al-Falah juga menggunakan metode sorongan. Pengertian metode sorongan yaitu sorongan
berasal kata sorog yang berarti bahwa menyodorkan. Metode sorongan berarti bahwa santri menghadap kyai atau ustadz pengajarnya satu persatu dan
menyodorkan kitab untuk dibaca dan atau dikaji bersama dengan kyai atau ustadz tersebut. Metode sorogan itu sendiri merupakan kegiatan pembelajaran
bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan individual, di bawah bimbingan seorang ustadz atau kyai
Ridlwan Nasir, 2005:20. Dalam metode ini santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak biasanya
seorang kyai tidak mengabsen santrinya satu persatu. Kyai sendiri mungkin
tidak mengetahui siapa santri-santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama jika jumlah mereka puluhan atau ratusan, sehingga seorang kyai tidak sempat
untuk mengabsen para santrinya. Namun dalam setiap kegiatan pembelajaran yang menggunakan sistem bandongan tentunya para santri menyadari bahwa
pembelajaran yang diterapkan di pondok pesantren sangat penting. Metodologi pengajaran yang dikenal dengan nama sorogan, wetonan, dan
khataman semuanya menampilkan liberalisasi dalam proses pembelajaran.
Santri bebas untuk mengikuti pengajian atau tidak, dimana pelajaran tidak diatur dalam silabus yang terprogram, melainkan berpegang pada bab-bab
yang tercantum didalam kitab-kitab yang diajarkan oleh kyai. Kitab-kitab Islam klasik yang lebih popular dengan sebutan kitab
kuning. Kitab-kitab ini ditulis oleh ulama-ulama Islam pada zaman pertengahan. Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari
kemampuannya membaca, serta mensyarahkan menjelaskan isi kitab-kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang santri
dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahwu Salammusibyan, syaraf
, Jurumiah, Mriti dan lain sebagainya KH.Ghozi Harun, 04-08-2012. Ada beberapa hal yang penting yang perlu diperhatikan dalam mengikuti
proses pembelajaran kitab di pesantren, yang menyangkut interaksi antara kyai-santri dan sumber belajar, antara lain sebagai berikut:
a. Kyai sebagai seorang guru dipatuhi secara mutlak, dihormati termasuk
anggota keluarganya, dan kadang dianggap memiliki kekuatan gaib yang dapat memberikan berkah.
b. Diperoleh tidaknya ilmu itu bukan semata-mata karena ketajaman akal,
ketetapan metode mencarinya, dan kesungguhan dalam berusaha, melainkan juga bergantung pada kesucian jiwa, restu, dan berkah dari seorang kyai serta
upaya ritual keagamaan seperti puasa, doa, dan riadhah. c.
Kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah marah. Karena itu, kitab harus dihormati dan dihargai atas jasanya yang telah banyak memambah ilmu
pengetahuan kepada para santri. d.
Transmisi lisan para kyai adalah penting. Meskipun santri mampu menelaah kitab-kitabnya sendiri, namun hal yang demikian ini belum disebut mengaji Al
Qur’an. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran kitab-kitab kuning yaitu Al-
Qur’an Hadist, nahwu, shorof, jurumiah , dan mriti yang menggunakan sistem
bandongan biasanya dilakukan hal-hal seperti berikut ini:
a. Seorang kyai menciptakan komunikasi yang baik dengan santrinya.
b. Memperhatikan situasi dan kondisi apakah santrinya sudah siap untuk
mengikuti kegiatan pembelajaran apa belum. c.
Setelah menyelesaikan pembacaan pada batasan tertentu, seorang kyai atau ustadz memberi kesempatan kepada para santrinya untuk menanyakan hal-hal
yang belum jelas atau belum dipahami. Jawaban dilakukan langsung oleh kyai atau ustadz atau memberi kesempatan terlebih dahulu kepada para santri yang
lain yang bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh teman mereka.
d. Sebagai penutupnya terkadang seorang kyai atau ustadz menyebutkan
kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan pembelajaran yang telah berlangsung Baidlowi, 06-08-2012.
Dalam penerapan pembelajaran dengan menggunakan metode
bandongan biasanya santri membentuk lingkaran atau membentuk setengah lingkaran, namun kadang juga berjejer lurus dan berbanjar kebelakang
menghadap berlawanan arah dengan kyai. Dari berbagai macam bentuk ini yang jelas para santri dalam pengajiannya mengelilingi secara berkerumun
dengan duduk bersila menghadap kyai. Pembelajaran terhadap kitab-kitab klasik dipandang penting karena dapat menjadikan santri menguasai dua
materi sekaligus. Pertama, bahasa Arab yang merupakan bahasa kitab itu sendiri. Kedua, pemahaman atau penguasaan muatan dari kitab tersebut.
Dengan demikian, seorang santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren diharapkan mampu memahami isi kitab secara baik, sekaligus dapat
menerapkan bahasa kitab tersebut menjadi bahasa kesehariannya Armai Arief, 2002: 20.
Sistem evaluasi dengan menggunakan metode bandongan yaitu seorang kyai atau ustad menilai terhadap berbagai aspek yang ada pada dalam diri
santri, baik aspek pengetahuan terhadap penguasaan materi kitab itu atau perilaku yang mesti ditunjukkan dari pengkajian materi kitab, ataupun
ketrampilan tertentu yang diajarkan dalam kitab tersebut Muhammad Ma’sum, 05-08-2012.
a. Aspek pengetahuan kognitif dilakukan dengan menilai kemampuan santri
dalam membaca, menterjemahkan dan menjelaskan makna atau isi yang terdapat dalam kitab-kitab kuning.
b. Aspek sikap afektif dapat dinilai dari sikap dan kepribadian santri dalam
kehidupan keseharian dan cara santri tersebut bersosialisasi dengan lingkungan yang ada disekitar mereka.
c. Aspek keterampilan skill yang dikuasai oleh para santri dapat dilihat melalui
praktek kehidupan sehari-hari ataupun dalam bidang fiqh, misalnya dapat dilakukan dengan praktek atau demonstrasi yang dilakukan oleh para santri
pada halaqah tersebut. Armai Arief menjelaskan pada umumnya pesantren yang belum
mencangkok sistem pendidikan modern belum mengenal sistem penilaian evaluasi. Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang
dipelajari. Santri sendiri yang mengukur dan menilai, apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian kitab
berikutnya. Masa belajar tidak ditentukan sehingga memberikan kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu
yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat, dan kalau santri belum puas, tidak salah baginya untuk pindah pesantren lain dalam rangka
mendalami ilmunya Armai Arief, 2002: 21. Pada penerapan metode bandongan ada kelebihan dan kekurangan
diantaranya adalah :
a. Kekurangan metode bandongan
1 Metode ini dianggap lamban dan tradisional, karena dalam menyampaikan
materi sering diulang-ulang. 2
Guru lebih kreatif dari pada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu jalur monolog.
3 Dialog antara guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat
bosan. 4
Metode bandongan ini kurang efektif bagi murid yang pintar karena materi yang disampaikan sering diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya.
b. Kelebihan metode bandongan
1 Lebih cepat dan praktis untuk mengajar santri yang jumlahnya sangat banyak.
2 Lebih efektif bagi murid yang telah mengikuti system sorogan secara intensif.
3 Materi yang diajarkan sering diulang-ulang sehinnga memudahkan anak untuk
memahami. 4
Sangat efisien dalam mengajarkan ketelitian memahami kalimat yang sulit untuk dipelajari dan dimengerti.
Pendidikan tradisional di pesantren salah satunya meliputi pemberian pengajaran dengan struktur, metode, dan literatur tradisional. Pemberian
pengajaran tradisional ini dapat berupa pendidikan formal disekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun
pemberian pengajaran dengan sistem pengajaran dalam bentuk pengajian weton
dan sorogan. Ciri utama dari pengajian tradisional ini adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan harfiah atas
suatu kitab tertentu. Dalam prakteknya selalu berorientasi pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas.
Zamakhsyari Dhofier menyebut metode sorogan sebagai cara belajar secara individual antara santri dan kyai, yang kemudian terjadi interaksi saling
mengenal di antara keduanya. Metode ini disebut metode sorogan karena santri atau peserta didik menghadap kyai atau ustad pengajarnyaa secara satu
persatu dan menyodorkan kitab untuk dibaca dan atau dikaji bersama dengan kyai atau ustadz tersebut. Lebih lanjut Zamakhsyari Dhofier menyebutkan
metode sorogan sebagai cara belajar secara individual antara santri dan kyai, yang kemudian terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Dan
secara spesifik Dhofier menambahkan bahwa metode ini diberikan dalam pengajian kepada santri-santri yang telah menguasai pembacaan Al Qur’an
atau sebagai pembelajaran dasar kepada santri-santri baru yang masih membutuhkan bimbingan individual sebelum mengikuti pengajian kitab di
pesantren Zamakhsyari Dhofier, 1994: 21. Sebagai
model pendidikan
dasar Zamakhsyari
Dhofier juga
menambahkan bahwa santri sebagai peserta didik harus mematangkan diri pada tingkat sorogan sebelum dapat mengikuti pendidikan tingkat selanjutnya
di pesantren. Hal ini menurut Dhofier, karena hanya santri-santri yang telah menguasai metode sorogan sajalah yang dapat memetik keuntungan dari
pelaksanaan metode bandongan dan wetonan. Sebagaimana diketahui, bahwa mayoritas pembelajaran di pesantren adalah menggunakan kitab-kitab
berbahasa Arab sebagai referensinya. Dan melalui metode sorogan seorang
santri dapat belajar memahami bahasa Arab lebih mendalam Zamakhsyari Dhofier, 1994: 22.
Walaupun metode sorongan dianggap lebih rumit dalam penerapannya, namun metode sorongan lebih efektif daripada metode-metode pembelajaran
yang lain yang digunakan di pondok pesantren. Dengan cara santri menghadap kyai atau ustad secara individual untuk menerima pelajaran secara langsung,
sehingga kemampuan santri dapat terkontrol oleh ustadz dan kyai yang mengajarnya. Maka dengan metode ini kyai dan ustad dapat mengawasi,
menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan para santrinya dalam menguasai pelajaran, atau sebagai pendidikan dasar di pesantren, untuk
menguasai bahasa Arab yang menjadi bahasa kitab. Kelebihan-kelebihan dari metode sorongan adalah:
1 Ada interaksi yang terjadi antara kyai dengan santrinya.
2 Santri sebagai peserta didik lebih dapat dibimbing dan diarahkan dalam
pembelajarannya, baik dari segi bahasa maupun pemahaman isi kitab. 3
Dapat dikontrol, dievaluasi dan diketahui perkembangan dan kemampuan diri santri.
4 Ada komunikasi yang efektif antara santri dan pengajarnya.
Namun selain ada kelebihan yang dimiliki oleh metode sorongan tetapi juga ada kekurangan dalam menggunakan metode sorongan yaitu tidak
tumbuhnya budaya tanya jawab atau dialog dan perdebatan, sehingga timbul budaya anti kritik terhadap kesalahan yang diperbuat oleh pengajar pada saat
memberikan keterangan atau jawaban. Dan mungkin inilah yang menyebabkan
sebagian orang atau tenaga pendidik tidak memanfaatkan metode ini sebagai metode pembelajaran yang resmi.
Teknik pembelajaran dengan menggunakan metode sorongan yaitu pembelajaran atau pengajian dengan metode sorogan biasanya diselenggarakan
pada ruang tertentu yang disitu tersedia empat duduk untuk ustadz dan kyai sebagai pengajar, dan didepannya tersedia juga bangku atau meja kecil untuk
meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Sementara itu, santri yang lainnya duduk agak menjauh sambil mendengarkan apa yang disampaikan atau melihat
peristiwa apa saja yang terjadi pada saat temannya maju menghadap dan menyorogkan kitabnya kepada ustadz atau kyai sebagai bahan perbandingan
baginya pada saat gilirannya tiba. Namun secara teknis pembelajaran dengan menggunakan metode sorongan yaitu dengan cara sebagai berikut:
1 Seorang santri yang mendapat giliran menyorongkan kitabnya menghadap
langsung secara tatap muka kepada ustad atau kyai yang mengampu pelajaran kitab tersebut. Kemudian kitab yang menjadi media sorogan diletakan diatas
meja atau bangku kecil yang ada diantara mereka berdua. 2
Ustad atau kyai tersebut membacakan teks dalam kitab dengan huruf Arab yang dipelajari baik sambil melihat bin nadhor maupun secara hafalan
bilghoib, kemudian memberikan arti atau makna kata per kata dengan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh santrinya.
3 Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan ustad atau kyainya
dan mencocokannya dengan kitab yang dibawanya. Selain mendengarkan dan menyimak, santri terkadang juga melakukan catatan-catatan seperlunya seperti
mencatat kosakata yang kurang dimengerti dan di terjemahkan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka sendiri.
Maka dengan demikian bahwa penggunaan metode pembelajaran yang diterapkan di pondok pesantren hampir sama dengan metode pembelajaran
yang diterapkan di sekolah-sekolah pada umumnya. Penggunaan metode bandongan
dan metode sorongan yang diterapka di pondok pesantren Al- Falah pada dasarnya kedua metode tersebut sangat efektif diterapkan pada
proses kegiatan belajar mengajar. Karena metode Bandongan dan metode sorongan
itu sendiri sudah diterapkan sejak pondok pesantren Al-Falah berdiri hingga sekarang kedua metode tersebut masih digunakan Nurkholis Madjid,
1997: 12. Di pondok pesantren Al-Falah metode bandongan dan metode sorongan
juga diterapkan di madrasah diniyyah dan taman pendidikan Al-Qur’an. Madrasah diniyyah dan taman pendidikan Al-Qur’an yang menerapkan sistem
bandongan ini sangat efektif bila diterapkan dalam proses kegiatan belajar
mengajar karena pada sistem bandongan ini guru menjelaskan dan kemudian santrinya mendengarkan dan mencatat, karena biasanya santri-santri yang ada
di madrasah diniyyah ini masih memeprlukan penjelasan dari ustad atau kyai.
E. Sistem pendidikan Formal yang ada di pondok pesantren Al-Falah