Memberikan Alat Bukti Sah Pada Persidangan

94 telah dilakukannya, misalnya atas mayat seorang untuk menentukan sebab kematian dan lain sebagainya, keterangan yang mana diperlukan oleh hakim dalam suatu perkara. 94 Menurut Fockeman-Andrea dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek tahun 1977, VR adalah laporan dari ahli untuk pengadilan, khususnya dari pemeriksaan oleh dokter, dan didalam perkara pidana. Menurut kesimpulan NY. Karlinah P.A. Soebroto SH. Dari Sema No. 350 tahun 1973 Pasal 1 dan Pasal 2, VR adalah surat keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpahjanji jabatankhusus, tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya. 95 Maka dapat disimpulkan bahwa VR adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihatnya dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli dokter tidak terlepas dari keberadaan laboratorium forensik. Keterangan ahli yang di tuangkan dalam laporan tertulis Visum Et Repertum adalah hasil dari pemeriksaan dari laboratorium forensik. Laboratorium forensik mempunyai tanggung jawab dan tugas yang sangat penting dalam membantu pembuktian untuk mengungkap segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu tindak pidana pembunuhan. Dalam pembuatan Visum Et Repertum, dokter dapat menggunakan laboratorium forensik untuk memeriksa korban pembunuhan untuk mengetahui perkiraan saat kematian korban, identitas korban, sebab kematian korban dan perkiraan cara kematian korban lebih akurat. 94 Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Aksara, Jakarta Barat, 1997, halaman 2. 95 Ibid. 95 a Kedudukan Visum Et Repertum sebagai alat bukti. Visum Et Repertum adalah surat yang dikategorikan sebagai alat bukti surat sesuai dengan Pasal 184 ayat 1 huruf c KUHAP. Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. 96 Visum Et Repertum secara substansial tentang bukti surat ini ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah surat dari keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan itu mencakup Visum Et Repertum yang sebenarnya telah ditentukan sebagai alat bukti yang sah dalam Staatblad 1937-350. Visum Et Repertum juga bisa diganti dengan keterangan saksi ahli apabila Visum Et Repertum tidak ada sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 10KKr1969 tanggal 5 November 1969. 97 Kekuatan alat bukti surat tidak ada dimuat dalam KUHAP, yang diatur dalam Pasal 187 KUHAP sebenarnya adalah macam-macam surat, tetapi harus diingat bahwa sesuai dengan sistem negatif yang dianut oleh KUHAP, harus ada keyakinan dari hakim terhadap alat bukti yang diajukan di persidangan. Nilai alat bukti itu bersifat bebas. Oleh karena yang dicari dalam hukum pidana adalah kebenaran material atau kebenaran sejati, maka konsekuensinya hakim bebas untuk menggunakan atau mengesampingkan sebuah surat. 96 Hari Sasangka, Lily Rosita,Op. cit, halaman 62. 97 Ibid, halaman 66. 96 Walaupun demikian haruslah diingat pula tentang adanya minimum pembuktian, walaupun ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi otentik yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaannya pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri, ia harus tetap memerlukan dukungan dari alat bukti yang lain. Berarti sifat kesempurnaan formalnya, harus tunduk pada asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP. 98 b Peranan Visum Et Repertum dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan. Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian, suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman. Apabila hasil pembuktian alat-alat bukti yang dinilai tidak cukup menurut undang-undang, maka terdakwa dapat dibebaskan dari hukuman, tapi jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. Oleh karena itulah VR berperan untuk membuktikan apakah telah terjadinya suatu tindak pidana pembunuhan. Perlu diketahui bahwasanya Visum Et Repertum itu dibuat bukan untuk kepentingan dokter dan bukan pula hanya untuk sekedar pemuas keingintahuan dari dokter, misalnya di dalam mengetahui penyebab kematian. Visum Et Repertum dibuat dan dibutuhkan di dalam kerangka upaya penegakan hukum dan 98 Ibid, halaman 74. 97 keadilan. 99 Otopsi forensik ialah otopsi yang dilakukan untuk kepentingan peradilan yaitu guna membantu penegak hukum. Pelaksanaan otopsi forensik diatur dalam KUHAP, yang pada prinsipnya otopsi forensik boleh dilakukan jika ada surat permintaan tertulis dari penyidik dan setelah keluarga diberi tahu serta telah memahaminya atau setelah 2 hari dalam hal keluarga tidak menyetujui otopsi atau keluarga tidak ditemukan. Jadi otopsi forensik tidak diperlukan izin dari keluarga, bahkan kalau ada pihak-pihak yang merintangi pelaksanaan otopsi dapat dipidana. Barang bukti yang diperiksa adalah mayat yang diduga atau diketahui merupakan akibat dari suatu tindak pidana pembunuhan. Untuk membuat terang dan jelas suatu kematian, otopsi perlu dilakukan. Untuk dapat menjelaskan hal tersebut diatas, dokter dapat melakukan otopsi. Otopsi ialah suatu pemeriksaan terhadap jenazah meliputi pemeriksaan luar dan dalam dari tubuh jenazah. Dikenal ada 3 macam otopsi yaitu otopsi anatomic, otopsi klinik, dan otopsi forensik. Untuk melakukan otopsi forensik sebaiknya dilakukan di laboratorium forensik agar hasil otopsi yang dilakukan dapat lebih akurat karena didukung dengan perlatan yang lengkap dan canggih. Cara melakukan otopsi forensik terdiri dari beberapa langkah yaitu : 1 Pemeriksaan luar. 2 Pembukaan rongga kepala, bagian dalam leher, rongga dada, rongga perut dan rongga panggul. 3 Pengeluaran organ-organ tubuh. 99 Abdul Mun’im Idries, Op. cit, halaman 7. 98 4 Pemeriksaan tiap-tiap organ. 5 Pengembalian organ-organ tubuh ke tempat semula. 6 Menutup atau menjahit kemali rongga-rongga tubuh yang terbuka. 7 Melakukan pemeriksaan tambahan, misalnya pemeriksaan toksikologi, mikroskopik, serologik dan sebagainya. Dengan demikian dokter dapat membuat sebuah Visum Et Repertum yang objektif dan berdasarkan fakta-fakta yang menjelaskan tentang : a Identitas korban Identitas atau jati diri korban harus dapat ditentukan secara pasti, yaitu dengan melakukan pemeriksaan dengan memanfaatkan metode identifikasi. Dari sembilan metode identifikasi yaitu metode secara visual, dokumen, perhiasan, pakaian, medis, gigi, sidik jari, serologi, dan secara eksklusi; maka hanya pemeriksaan sidik jari yang dapat dilakukan oleh dokter. Adapun kriteria yang biasa digunakan adalah minimal dari dua metode, misalnya identifikasi primer dari pakaian dan identifikasi yang dikonfirmasi dari medis. 100 b Perkiraan saat kematian korban Walaupun hasil dari penentuan tersebut tidak tertutup kemungkinan berbeda dengan identitas menurut pihak penyidik. Dengan dapat ditentukannya identitas secara ilmiah, pihak Penyidik akan membuat suatu daftar tersangka yang akan berguna didalam penyidikan. halaman tersebut berpijak kepada kenyataan bahwa kebanyakan dari korban telah mengenal siapa pelakunya ada korelasi antara korban dengan pelaku. 100 Ibid, halaman 8. 99 Perkiraan saat kematian korban, yang dapat diketahui dari perubahan post- mortal, yaitu : 101 1 Penurunan suhu 2 Terbentuknya lebam mayat 3 Terbentuknya kaku mayat 4 Perkiraan saat kematian juga dapat diketahui dari keadaan lambung korban Apabila dari penetuan identitas korban berguna didalam hal siapa saja yang patut dicurigai sebagai pelaku pembunuhan, maka dari perkiraan saat kematian akan dapat diketahui siapa diantara mereka yang termasuk dalam “daftar tersangka”, yang lebih patut dicurigai dan mendapat perhatian khusus, yaitu untuk mengetahui alibi tersangka tersebut atau dengan kata lain akan mempersempit daftar tersangka yang semula dibuat atas penentuan identitas korban. 102 c Penyebab kematian korban Berdasarkan prinsip ilmu kedokteran forensik, bedah mayat autopsi, mutlak dilakukan bila ingin mengetahui penyebab kematian seseorang. Dalam kasus-kasus tertentu bedah mayat harus disertai dengan pemeriksaan lengkap laboratorium forensik seperti pemeriksaan toksikologi, pemeriksaan histopatologi, dan pemeriksaan bakteriologi. 103 101 Abdul Mun’im Idries, Agung Legowo Tjiptomarnoto, Op. cit, halaman 294. Tujuan utama dari penentuan sebab kematian adalah untuk mengetahui alat senjata yang dipakai untuk membunuh, yaitu atas dasar jenis luka dan jenis kekerasan. Dengan diketahui secara pasti, alat atau senjata yang dipakai untuk membunuh korban atas dasar jenis luka dan jenis kekerasan, maka selain pihak penyidik harus hati-hati 102 Ibid. 103 Ibid, halaman 296. 100 didalam mengupayakan alat bukti, maka penasehat hukum terdakwa juga dapat mengetahui apakah alat atau senjata yang dihadirkan di pengadilan itu memang sesuai dengan luka pada korban yang menimbulkan kematian. 104 Perlu juga dibedakan antara penyebab kematian cause of death dengan mekanisme kematian mechanism of death. Pendarahan, mati lemas, syok dan refleks vagal adalah mekanisme kematian, sedangkan kekerasan tajam tusukan, tembakan, pencekikan, dan keracunan gas CO, merupakan contoh dari penyebab kematian. 105 d Perkiraan cara kematian korban Penentuan atau perkiraan cara kematian akan membantu penyidik didalam menentukan langkah apa yang harus dilakukan. Bila cara kematian korban adalah wajar, yaitu karena penyakit misalnya pada kasus kematian di hotel atau Rutan, maka pihak penyidik akan dapat dengan segera menghentikan penyidikan. Bila kematiannya ternyata tidak wajar, misalnya karena pembunuhan, maka penyidik dapat pula menentukan langkah apa yang harus dilakukannya apakah kasus tersebut terus diselidiki dan diteruskan sampai ke pengadilan, atau justru malah dihentikan oleh karena tidak ada pihak lain yang dapat dimintai tanggungjawabnya secara hukum atas kematian seseorang. Walaupun dokter tidak boleh memastikan cara kematian secara jelas didalam VR oleh karena tidak melihat proses kejadian melainkan memberikan suatu penilaian atau penghargaan tentang hasil akhir dari suatu proses, dokter harus dapat menjelaskan hal tersebut secara tersirat didalam kesimpulan VR yang 104 Ibid. 105 H. R. Abdussalam, Op. cit, halaman 23. 101 dibuatnya. Dengan menyatakan bahwa korban didapatkan luka tembak masuk pada belakang kepala atau punggung, hal ini mengarahkan penyidik kepada kasus pembunuhan dan sebagainya. 2. Dokter Forensik Sebagai Saksi Ahli Dalam Pembuktian Kasus Pembunuhan. Salah satu tugas pokok dari hukum acara pidana ialah untuk menemukan kebenaran materil, yaitu kebenaran yang sesungguhnya. Tugas itu tidaklah mudah bagi aparat penegak hukum yang tidak berada pada tenpat dimana tindak pidana pembunuhan itu terjadi. Tugas itu amat berat harus dilaksanakannya hanya dengan memanfaatkan saksi, terdakwatersangka dan barang bukti. Mungkin tidak begitu sulit bagi aparat penegak hukum untuk memeriksa saksi, tersangka atau terdakwa karena mereka dapat berbicara. Tetapi untuk menjadikan agar barang bukti yang ditemukan dapat membantu mengungkapkan suatu tindak pidana, mereka akan mendapatkan kesulitan. Sebagai penegak hukum, mereka mungkin tidak dibekali dan juga tidak mungkin dibekali segala macam ilmu dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk menganalisa dan menyimpulkan secara ilmiah setiap barang bukti yang ditemukan dari suatu tindak pidana pembunuhan. Oleh sebab itu diperlukan jasa para ahli, yaitu orang-orang yang menurut Pasal 1 butir 28 KUHP memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam hal barang bukti itu berupa manusia yang telah mati atau sesuatu yang merupakan bagian dari tubuh manusia maka ahli yang tepat yang dapat menganalisa secara ilmiah dengan menggunakan bantuan dari laboratorium forensik untuk membuat kesimpulan dari hasil analisanya itu ialah dokter sebab 102 merekalah yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang anatomi, fisiologi, biokimiawi, patologi, psikiatri dan juga ilmu kedokteran forensik. Yang menjadi pertanyaannya adalah dokter manakah yang menurut KUHAP dapat diakui sebagai ahli? Sehubungan dengan pertanyaan tersebut perlu dimaklumi bahwa didalam KUHAP tidak ada satu Pasal pun yang secara eksplisit menyatakan bahwa dokter itu ahli. Tetapi kalau diperhatikan dengan seksama bunyi Pasal 1 butir 28, Pasal 133 ayat 1 dan Pasal 179 ayat 1 KUHAP dapat dikatakan bahwa secara implisit setiap dokter adalah ahli baik ia ahli ilmu kedokteran forensik ataupun bukan. Memang benar bahwa menurut penjelasan dari Pasal 133 KUHAP yang dapat memberikan keterangan ahli adalah ahli ilmu kedokteran forensik, sehingga secara implisit menurut penjelasan pasal itu, dokter umum atau dokter lain bukan ahli. Namun perlu diteliti sekali lagi bunyi Pasal 133 ayat 1 KUHAP yang jelas-jelas menyatakan bahwa penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran forensik atau dokter atau ahli lainnya. Pada tingkat pemeriksaan di pengadilan, dokter diminta sebelumnya oleh penyidik untuk memeriksa suatu objek benda untuk diperiksa dan dianalisis di laboratorium forensik terlebih dahulu sebelum memberikan keterangannya tentang objek benda yang diperiksanya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah keterangan dari dokter dalam kapasitasnya sebagai ahli, dapat berlaku sebagai alat bukti? Jawabnya tentu tergantung dari cara dokter memberikan keterangannya. Tidak semua keterangan yang diberikan oleh dokter sebagai ahli secara otomatis 103 berlaku sebagai alat bukti. Menurut KUHAP, ada 4 kemungkinan yang akan terjadi atas keterangan dokter di sidang pengadilan, yaitu : 106 1 Sebagai alat bukti : a kategori surat Visum Et Repertum b kategori keterangan ahli 2 Sebagai keterangan yang disamakan nilainya dengan alat bukti. 3 Sebagai keterangan yang hanya menguatkan keyakinan hakim. 4 Sebagai keterangan yang tidak berfungsi apa-apa. Agar keterangan dokter dapat berlaku sebagai alat bukti atau sebagai keterangan yang disamakan nilainya dengan alat bukti atau sebagai keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim dibutuhkan syarat formal dan sayarat materil. Pada kategori keterangan ahli syarat formalnya adalah : 107 1 Diberikan secara lisan di sidang pengadilan. 2 Dengan mengucapkan sumpahjanji sebelumnya dan jika hakim memandang perlu juga sesudah memberikan keterangan. Syarat materilnya adalah : 1 Isi keterangan sesuai dengan kenyataan yang ada pada objek yang diperiksa. 2 Tidak bertentangan dengan teori kedokteran yang telah teruji sebelumnya. Jika keterangan dokter tidak memenuhi syarat formal dan atau syarat materil maka keterangan dokter tersebut tidak dapat berfungsi apa-apa. Sudah tentu menjadi wewenang hakim di sidang pengadilan untuk menguji apakah keterangan dokter memenuhi persyaratan atau tidak. Sejauh yang menyangkut persyaratan 106 Alfred G. Satyo, Ilmu Kedokteran Kehakiman, USU-Press, Medan, 1990, halaman 29. 107 Ibid, halaman 30. 104 materil maka hakim perlu mencocokkan dengan alat bukti lain, misalnya dengan keterangan saksi atau keterangan terdakwa. jika hakim ragu-ragu terhadap kebenaran materil dari keterangan dokter maka hakim mempunyai kewenangan meminta bantuan dokter lain untuk melakukan pemeriksaan uloang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa justru keterangan dokter yang diragukan itu lah yang benar dan keterangan lain misalnya keterangan saksi yang salah. Alat bukti keterangan ahli tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat, atau kerap diistilahkan dengan nilai kekuatan pembuktian bebas atau “vrij bewijskracht”. Pada alat bukti keterangan ahli tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna volledig bewijskracht dan juga tidak melekat didalamnya sifat kekuatan yang mengikat dan menentukan beslissende bewijskracht. Keterangan ahli hanya memberikan keterangan sesuai dengan pengetahuannya saja. Oleh karena itu, alat bukti keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki pembuktian yang menentukan. 108 Alat bukti keterangan ahli sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaannya dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggap sempurna atau tidak, dimana tidak ada keharusan untuk menerima kebenaran setiap keterangan ahli. Guna keterangan ahli di persidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk menentukan kebenaran. Hakim bebas untuk menerima ataupun 108 Hari Sasangka, Lili Rosita, Op. cit, halaman 60. 105 mengeyampingkan suatu keterangan ahli. Apabila keterangan ahli bersesuaian dengan kenyataan yang lain di persidangan, maka keterangan ahli diambil sebagai pendapat hakim sendiri. Jika keterangan ahli tersebut bertentangan, bisa saja dikesampingkan oleh hakim. Namun keterangan ahli yang dikesampingkan harus berdasarkan alasan yang jelas, tidak bisa mengeyampingkan suatu keterangan ahli begitu saja tanpa ada alasan. Karena dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, hakim harus benar-benar bertanggungjawab, atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran serta kepastian hukum. a Memberikan keterangan tentang hipotesa kematian Adakalanya dalam pemeriksaan pada tingkat pengadilan masih terdapat keragu-raguan terhadap sebab kematian, perkiraan saat kematian, cara kematian maupun identitas korban, meskipun sudah ada Visum et Repertum. Oleh karena itu dapat dihadirkan pembuat Visum et Repertum tersebut ke muka persidangan untuk mempertanggungjawabkan pendapatnya tersebut. Keterangan ahli ini juga dapat menambah keyakinan hakim tentang benar atau tidaknya tuduhan dari pihak penuntut umum. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa untuk mengetahui lebih pasti mengenai tentang kematian korban tindak pidana pembunuhan, dokter atas wewenang yang diberikan kepadanya dapat melakukan otopsi pada jenazah. Otopsi dilakukan guna untuk mengetahui lebih pasti tentang sebab kematian, perkiraan saat kematian, cara kematian serta identitas korban. Kemudian hasil pemeriksaan dokter tersebut disampaikan didalam persidangan untuk membuat terang perkara tersebut. Baik penuntut umum, hakim maupun penasehat hukum 106 dapat bertanya tentang hal-hal yang terkait seputar tentang kematian korban yang tidak tercantum dalam Visum Et Repertum. Seperti seseorang yang diduga meninggal dunia karena mati lemas karena pencekikan, penasehat hukum dapat bertanya apakah mati lemas bisa disebabkan karena suatu penyakit sehingga kematian korban merupakan mati wajar. Disinilah peranan ahli untuk menjelaskan kesimpulan hasil pemeriksaannya seperti yang dicantumkan dalam dalam Visum Et Repertum dengan didukung barang bukti yang lain sehingga menambah keyakinan hakim. b Memberikan keterangan terhadap objek terdakwa dan korban Dalam hal ini, kepada dokter disodorkan suatu objek untuk diperiksa kemudian melalui berbagai cara yang dibolehkan menurut KUHAP, hasil pemeriksaan itu berupa analisa dan kesimpulan disampaikan kepada pihak peminta. Objek-objek itu antara lain objek terdakwa dan korban. 109 Objek terdakwa perlu dimintakan keterangan kepada dokter sebagai ahli apabila : 110 1 Terdakwa menunjukkan tanda atau gejala kelainan jiwa. Dalam hal ini keterangan yang dibutuhkan dari terdakwa untuk kepentingan peradilan adalah : a. Tentang ada tidaknya kelainan jiwa. b. Bila ada, apa jenis kelainan jiwa itu. c. Apakah dengan kelainan jiwa jenis itu terdakwa masih mampu bertanggung jawab atau tidak terhadap perbuatannya. 109 Abdul Mun’im Idries, Op. cit, halaman 101. 110 Ibid. 107 2 Terdakwa tidak diketahui dengan jelas umurnya, sehingga sulit menentukan status terdakwa, sebagai terdakwa anak-anak atau dewasa. Perlu diketahui bahwa tata cara mengadili terdakwa anak-anak berbeda dengan terdakwa dewasa. Disamping itu bila terdakwa anak-anak terbukti bersalah dapat diserahkan menjadi anak negara atau diserahkan kepada orang tuanya untuk dididik. 3 Terdakwa dicurigai menderita impotensi, sedangkan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya merupakan tindak pidana yang salah satu unsurnya adalah persetubuhan. Perlu diketahui bahwa seseorang penderita impotensi tidak mungkin dapat melakukan persetubuhan, dengan demikian tidak mungkin ia dapat melakukan tindak pidana perkosaan atau perzinahan. Sedangkan jika objeknya adalah korban pembunuhan korban mati terdiri atas bayi dan bukan bayi : 111 1 Objek bayi mati perlu dimintakan keterangan kepada dokter tentang : a. Apakah bayi itu viable mempunyai kemampuan hidup diluar kandungan atau tidak. b. Apakah bayi lahir hidup atau mati. c. Apakah kematiannya wajar karena penyakit atau tidak wajar. Jika tidak wajar perlu ditentukan jenis lukanya, jenis kekerasannya, dan sebab kematiannya. 2 Objek mati bukan bayi perlu dimintakan keterangan kepada doter tentang : a. Apakah kematiannya wajar karena penyakit atau tidak wajar. 111 Ibid. 108 b. Jika tidak wajar perlu diketahui antara lain jenis lukanya, jenis kekerasannya dan sebab kematiannya. 3 Objek-objek lain yang perlu dimintakan kepada dokter sebagai ahli untuk ikut membantu menemukan kebenaran material, objek-objek tersebut antara lain : 112 a. Bercak darahbercak yang diduga darah. b. Bercak manibercak yang diduga mani c. Benda-benda atau jaringan-jaringan yang berasal atau diduga berasal dari tubuh manusia. c Wajib mengucapkan sumpah atau janji Ketika seorang dokter memberikan keterangannya dalam persidangan khususnya dalam bidang kedokteran forensik terdapat Pasal yang mengatur tentang kewajiban seorang dokter dalam menyampaikan keterangannya. Dalam Pasal 179 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : 113 1 Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. 2 Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi meraka yang yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, dokter wajib mengucapkan sumpah atau janji sebagai ahli sebelum ia memberikan keterangan dan juga sesudah memberikan keterangannya apabila dipandang perlu oleh hakim. Dalam hal dokter menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji didepan penyidik 112 Ibid. 113 I Ketut Murtika, Djoko PrakosoTolib, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, halaman 115. 109 sewaktu memberikan keterangan lisan, dokter tidak boleh disandera. Penyanderaan hanya dimungkinkan pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan surat penetapan hakim ketua sidang. 114 114 Muhammad Rusli, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, halaman 118. 110

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PADA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

DIKAITKAN DENGAN HASIL PEMERIKSAAN LABFOR DALAM PROSES PEMBUKTIAN DI PENGADILAN

A. Kebijakan Hukum Pidana

Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” dalam bahasa inggris atau “politiek” dalam bahasa belanda. Berangkat dari kedua istilah ini kebijikan hukum pidana dapat pula disebut dengan isitilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechtspolitiek”. 115 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. SUdarto, politik hukum adalah : 116 a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 115 Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta 2008, halaman 3. 116 Ibid. 111 Bertolak dari penegrtian tersebut Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang- undangan pidana yang baik. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh karena itu kebijakan hukum pidana sering pula dikatakan merupakan bagian dari kebijakan penegekan hukum pidana. Prof. Sudarto, S.H pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu : 117 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi c. Dalam arti paling luas ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 117 Ibid.

Dokumen yang terkait

Fungsi dan Peran Laboratorium Forensik dalam Mengungkap Sebab Sebab Kematian Korban Tindak Pidana Pembunuhan

5 57 114

FUNGSI DAN PERAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN FUNGSI DAN PERAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN.

0 2 11

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Peranan Laboratorium Forensik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Di Laboratorium Forensik Polri Cabang Semarang).

0 2 11

PENDAHULUAN Peranan Laboratorium Forensik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Di Laboratorium Forensik Polri Cabang Semarang).

0 0 15

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Peranan Laboratorium Forensik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Di Laboratorium Forensik Polri Cabang Semarang).

1 3 17

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Peranan Laboratorium Forensik Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Melalui Pemeriksaan Metalurgi (Studi Kasus Di Laboratorium Forensik Cabang Semarang).

0 4 11

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Peranan Laboratorium Forensik Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Melalui Pemeriksaan Metalurgi (Studi Kasus Di Laboratorium Forensik Cabang Semarang).

0 1 19

PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA Oleh Mirna Andita Sari, Eddy Rifai, Gunawan Jatmiko Email: mirnaanditagmail.com Abstrak - PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PE

0 0 12

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

0 0 10

PERANAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DALAM MENGUNGKAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (STUDI KASUS PEMBUNUHAN WARIA DI GUNUNGPATI, SEMARANG) - Unika Repository

0 0 12