Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN
158
2 Pihak-pihak yang dapat mengajukan permintaan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium forensik. 3
Bidang-bidang pemeriksaaan laboratorium forensik. 4
Jenis tindak pidana yang dapat diperiksakan dengan menggunakan laboratorium forensik.
c. Keterkaitan laboratorium forensik dengan KUHP dan KUHAP dalam
melakukan pengusutan tindak pidana pembunuhan untuk dapat dapat mengklasifikasikan jenis pembunuhan melalui KUHP serta untuk dapat
meyelesaikan pengusutan tindak pidana tersebut sesuai dengan prosedur hukum melalui KUHAP.
2. Peranan laboratorium forensik dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan
a. Dalam membuat terang suatu perkara pembunuhan dengan mencari bukti-
bukti awal tindak pidana pembunuhan penyidik dapat meminta bantuan ahli forensik untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti awal atau
barang bukti suatu tindak pidana pembunuhan pada TKP dan pada mayat korban pembunuhan untuk diperiksakan pada laboratorium forensik
sehingga diperoleh keterangan dan jawaban mengenai identitas baik pelaku maupun korban, penyebab kematian korban, memperkirakan saat
kematian korban, serta memperkirakan cara kematian korban
b. Memberikan alat bukti yang sah dalam persidangan. Vissum et Repertum
dan keterangan ahli adalah hasil pemeriksaan laboratorium forensik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan untuk
meyakinkan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam Vissum et
159
Repertum memuat keterangan tentang identitas korban, perkiraan saat kematian, penyebab kematian, dan perkiraan cara kematian.
c. Sebagai keterangan ahli, dokter forensik hadir hadir untuk memberikan
keterangan tentang hipotesa kematian dan memberikan keterangan terhadap objek korban dan terdakwa. Hal ini dilakukan karena hal yang
disampaikan dokter forensik dalam VER dianggap kurang memuaskan atau untuk semakin meyakinkan majelis hakim dalam suatu tindak pidana
pembunuhan 3.
Kebijakan hukum pada tindak pidana pembunuhan dikaitkan dengan hasil pemeriksaan labfor dalam proses pembuktian di pengadilan.
a. Kebijakan Hukum untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik
pada hakikatnya tidak terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakt social
welfare. Dalam upaya perlindangan masyarakat social defence dilakukan melalui kebijakan hukum criminal policy yaitu Penal dan non
penal. Terkait dengan penyelesaian tindak pidana pembunuhan, penggunaan kebijakan hukum penal dengan memberikan pemidanaan
kepada pelaku yang diselesaikan dengan melalui jalur pengadilan dirasa sudah tepat. Karena menurut Sue Titus Reid dalam M. Sholehuddin
mengajukan filsafat pemidanaan, yaitu rehabilitasi, inkapasitasi, pencegahan dan retribusi.
160
b. Kebijakan hukum penal secara kasar lebih menitik beratkan pada sifat
repressive penindasan pemberantasan penumpasan sesudah kejahatan terjadi.
c. Kebijakan hukum jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat
preventive pencegahan penangkalan pengendalian sebelum kejahatan terjadi. Karena penanggulangan kejahatan lewat jalur “non-penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatn
baik secara langsung maupun tidak langsung. d.
Sistem pembuktian yang dipergunakan Indonesia adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Sistem ini
menekankan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan
pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat
dari adanya alat-alat bukti itu. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP.
e. Pada kasus pembunuhan pertama Putusan Nomor 1998Pid.B2012PN
dengan Terdakwa Dedy Arianto Nasution, penuntut umum memberikan Vissum Et Repertum hasil pemeriksaan laboratorium forensik sebagai alat
bukti. Kemudian majelis hakim menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara selama 12 tahun.
161
f. Pada kasus kedua Putusan Nomor 197Pid.B2011PN.Pwt dengan
terdakwa Suparno bin Kusmanto, dalam Vissum Et Repertum bahwa penyebab kematian korban disebabkan kekurangan oksigen. Dalam
persidangan keterangan ahli forensik oleh dr. Muhamad Zainuri Syamsu Hidayat, Sp.KF, M.Si., Med. Kemudian majelis hakim menyatakan
terdakwa bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara selama 10 tahun. g.
Pada kasus ketiga Putusan Nomor 109PKPid2007 berdasarkan otopsi yang dilakukan lembaga forensik di Belanda korban meninggal akibat
keracunan, jenis racun yang dugunakan adalah arsen dalam tingkat yang mematikan. Pemeriksaan juga dilakukan pada pakaian korban yang
terkena muntahan hasilnya bahwa pada muntahan tersebut positif mengandung racun jenis arsen berdasarkan BAP Labfor No. Lab :
3972KTF2002 tanggal 14 Juli 2005. Selain itu, penemuan bukti baru salah satunya adalah keterangan ahli forensik bidang toksikology yang
menjelaskan tentang perkiraan waktu kematian korban. Maka dengan demikian semakin memperkuat keyakinan hakim bahwa memang
terdakwa yang melakukan pembunuhan tersebut. Kemudian majelis hakim menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara selama
20 tahun.