Kaitan laboratorium forensik dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
49
tersebut ialah forensik yang terdiri dari ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia forensik, serta ilmu fisik forensik.
41
Kejahatan dari segi teknis dilihat dari bagaimana cara kejahatan itu terjadi. Perbuatan kejahatan itu pasti meninggalkan barang bukti physical evidence yang
dapat digunakan penyidik dalam pengusutan kejahatan tersebut dengan menggunakan bantuan ilmu forensik. Bagi setiap orang yang dengan sengaja
menghilangkan atau menyembunyikan barang bukti yang dilakukan pelaku kejahatan sehingga aparat penegak hukum kesulitan untuk membuktikannya.
maka bagi orang tersebut dapat disangkakan melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHP, yaitu :
42
1. Pasal 221 :
1 Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah :
1. Barang siapa denga sengaja menyembunyikan orang yang melakukan
kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa, memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan
oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara
menjalankan jataban kepolisan;
2. Barang siapa setelah melakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk
menutupinya, atau menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikannya
benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang
dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk
sementara menjalankan jabatan kepolisan.
2 Aturan diatas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk melepaskan atau menghindarkan bahaya penuntutan
terhadap seorang keluarga sedarah atau semendanya dalam garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua dan ketiga, atau terhadap
suamiisterinya atau bekas suamiistrinya.
41
Musa Perdanakusuma, Op. cit halaman 207.
42
H. R. Abdussalam, Op.cit halaman 9.
50
2. Pasal 222
Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.
3. Pasal 224
Barang siapa dipanggil menurut undang-undang sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa, dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-
undang yang harusnya dipenuhinya, diancam : 1.
Dalam perkara pidana, denga pidana pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
4. Pasal 225
Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah yang sah untuk menyerahkan surat-surat yang dianggap palsu atau dipalsukan, atau yang
harus dipakai untuk dibandingkan dengan surat lain yang dianggap palsu atau dipalsukan atau yang kebenarannya disangkal atau tidak diakui, diancam :
1.
Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; 2.
Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. Dengan adanya barang-barang bukti yang telah dikumpulkan penyidik dan
diperiksa dengan menggunakan ilmu forensik, maka penyidik dapat menyimpulkan apakah suatu perbuatan itu dapat dikatakan sebuah tindak pidana
yang telah memenuhi unsur-unsur suatu tindak pidana yang diatur dalam KUHP. Misalkan saja dalam kasus pembunuhan, seseorang ditemukan tewas. Pada lokasi
kejadian ditemukan pula selongsong peluru dari sebuah senjata api. Setelah dilakukan pemeriksaan di laboratorium forensik, maka disimpulkan bahwa korban
meninggal karena luka tembakan pada bagian dada menembus jantung. Dengan fakta-fakta yang diberikan oleh laboratorium forensik, penyidik dapat
menyimpulkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yaitu pembunuhan karena telah terpenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 338 KUHP.
51
Dalam rangka pelaksanaan KUHAP tersebut diperlukan pengetahuan serta keterampilan yang lebih luas dan lebih dalam bagi para penegak hukum.
Kepolisian sebagai penyidik perlu memiliki berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan penyidikan, disamping pengetahuan mengenai hukum
pidana dan hukum acara pidana. Tepat tidaknya serta lengkap tidaknya hasil penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian, sangatlah ditentukan oleh bekal ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Kejaksaan sebagai penuntut umum meskipun tidak memiliki wewenang dalam penyidikan atas suatu kejahatan, hal ini sama sekali
tidaklah berarti bahwa aparat kejaksaan tidak perlu mengetahui ikhwal mengenai penyidikan. Tepat tidaknya penuntutan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh
kejaksaan sangatlah ditentukan oleh hasil penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Bagaimana kejaksaan dapat menilai tepat tidaknya serta lengkap
tidaknya hasil penyidikan, mutlak diperlukan pengetahuan mengenai penyidikan. Kejahatan sebagai masalah hukum memerlukan pengetahuan hukum pidana
dan hukum acara pidana. Sebagai masalah teknis penanganan kejahatan memerlukan pengetahuan kriminalistik yang pada hakikatnya merupakan
gabungan dari tiga komponen ilmu pengetahuan, yakni ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia forensik dan ilmu fisika forensik. Penanganan masalah kejahatan
berdasarkan hukum pidana dan hukum acara pidana menemui banyak kesulitan, bahkan dalam kasus-kasus misterius tak akan terselesaikan sebagaimana mestinya.
Adalah sangat keliru anggapan yang menyatakan bahwa hukum pidana dan
52
hukum acara pidana mampu menyelesaikan penanganan semua perkara-perkara pidana.
43
Kaitan antara forensik dan KUHAP dapat dilihat dari 2 tahap dalam pengusututan suatu kejahatan, yaitu :
1. Pada Tingkat Penyidikan
Dalam Pasal 7 ayat 1 huruf f KUHAP disebutkan bahwa penyidik berwenang untuk mengambil sidik jari dan memotret seseorang. Pemeriksaan
sidik jari Daktiloskopi merupakan salah satu identifikasi yang latent dan tidak ada yang sama atau mirip satu sama lain, tidak dapat diubah kecuali dihilangkan
sama sekali, dipotong, dicacah, atau dirusak baik menggunakan senjata tajam, api maupun zat kimia sehingga sidik jari tidak dapat di identfikasi lagi.
44
43
Musa Perdanakusuma, Op. cit halaman 200.
Pemeriksaan sidik jari ini dilakukan dengan alat-alat sidik jari yang merupakan bagian dari pemeriksaan laboratorium forensik. Kemudian pada huruf h Pasal 7
ayat 1 KUHAP, dan Pasal 120 ayat 1 dan 2 KUHAP penyidik berwenang mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan.
Misalkan saja dalam kasus pembunuhan, dimana tidak terdapat saksi dan pelaku tidak diketahui, penyidik dapat memanggil ahli forensik untuk membantu
mengumpulkan bukti-bukti awal. Ahli tersebut mengangkat sumpah atau janji di muka penyidik bahwa dia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya
yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan dia menyimpan rahasia dapat
menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
44
H. R. Abdussalam, Op. cit halaman 167.
53
2. Pada Tingkat Peradilan
Pada Pasal 133 dan 134 untuk kepentingan peradilan, penyidik dapat miminta bantuan laboratorium forensik untuk memeriksa mayat yang diduga mati
karena suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana. Pemeriksaan mayat dalam istilah forensik dikenal dengan Autopsi Mediko-Legal yang bertujuan untuk :
45
Dibawah ini akan dikemukakan pasal - pasal dalam KUHAP yang berhubungan dengan Forensik :
46
1. Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum
jelas. 2.
Untuk memperkirakan saat kematian. 3.
Untuk menentukan sebab pasti kematian. 4.
Untuk menentukan cara kematian kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan.
5. Pada kasus bayi baru lahir adalah untuk memastikan apakah bayi
dilahirkan hidup atau tidak. Pada Pasal 135 dan 136 KUHAP, untuk kepentingan peradilan penyidik
dapat melakukan penggalian mayat. Penggalian mayat dilakukan atas perintah penyidik atas persetujuan dari keluarga korban. Pemeriksaan mayat dilakukan
oleh dokter dan dilakukan di ruang bedah, bisa juga dilakukan di lapangan apabila telah disediakan bilik pemeriksaan dengan pengamanan yang mencukupi. Adapun
alasan penyidik memerintahkan penggalian mayat antara lain :
47
45
P.V. Chadha, Ilmu Forensik dan Toksikologi edisi V : Catatan Kuliah, Widya Medika, Jakarta, 1995, halaman 19.
46
H. R. Abdussalam, Op. cit halaman 11.
47
Abdul Mun’im Idries, Agung Legowo Tjiptomarnoto, Op. cit, halaman 209.
54
1 Pada kasus penguburan mayat secara illegal untuk menyembunyikan
kematian seseorang atau karena alasan-alasan kriminal. 2
Pada kasus dimana penyebab kematian yang tertera dalam surat keterangan kematian death certificate, tidak jelas dan menimbulkan
pertanyaan. 3
Pada kasus dimana identitas mayat yang dikubur perlu dibuktikan kebenarannya atau sebaliknya.
Pada Pasal 186 KUHAP, disebutkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli ini dapat juga sudah
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dengan mengingat sumpah pada waktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan. Dalam kasus pembunuhan, seorang ahli kedokteran forensik dihadapkan di muka persidangan untuk memberikan
keterangan tentang hipotesa sebab-sebab kematian korban, perkiraan kematian korban, dan cara kematian korban.
Dalam Pasal 187 KUHAP huruf a surat adalah berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Pada huruf c disebutkan surat keterangan dari seorang ahli atau yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. Contoh surat keterangan dari seorang ahli yang dimaksud adalah Visum Et
55
Repertum. Pembuatan Visum Et Repertum untuk korban mati pada kasus pembunuhan dibuat dengan tujuan untuk menentukan sebab kematian, dan cara
kematian. Penentuan sebab dan cara kematian ini dapat diketahui dengan pemeriksaan menggunakan laboratorium forensik.
56