Pembuktian Perkara Pidana Menurut Hukum Acara Pidana di
115
Dari itu pembuktian terdiri dari : a.
Mengenai peristiwa-peristiwa yang dapat diterima panca indera; b.
Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut;
c. Menggunakan pikiran logis.
123
Dengan demikian pengertian membuktikan sesuatu berarti menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra mengutamakan hal-hal tersebut dan
berfikir secara logika. Pembuktian ini dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam persidangan supaya hakim dapat memutuskan perkara dengan adil. Dengan
adanya pembuktian ini, maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepala sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya
apa yang sebenarnya terjadi sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut. Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut :
124
1 Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk
meyakinkan hakim yang berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.
2 Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha
sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan
hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang
123
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanase, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, halaman. 185-186.
124
Hari Sasangka, Lily Rosita, Op. cit, halaman 13.
116
menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.
3 Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat
bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukumterdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.
Secara teoritis terdapat 4 macam sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu sebagai berikut :
1.
Sistem Pembuktian Semata-mata Berdasar Keyakinan Hakim Conviction in Time
2. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Logis La
Conviction Raisonnee Conviction-Raisonee 3.
Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif 4.
Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif Sistem pembuktian yang dipergunakan Indonesia adalah sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif. Sistem ini menekankan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Menurut
teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan
hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
117
Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini
berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-
undang minimal dua alat bukti dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.
125
Undang-undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6, juga mengatur hal ini, yaitu tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila
pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah
bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. HIR juga mengatur tentang hal ini, yaitu dalam Pasal 294 ayat 1 yang berbunyi, tiada seorang pun boleh
dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-
orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu. KUHAP dan undang-undang pokok kekuasaan kehakiman menekankan
kepada alat bukti yang sah dahulu, kemudian keyakinan hakim, sedangkan HIR mendahulukan keyakinan hakim baru kemudian alat bukti yang sah. KUHAP
lebih tegas menekankan dua alat bukti yang sah, sedangkan UUPK dan HIR hanya menyebutkan alat bukti yang sah dan alat pembuktian yang sah. Antara sistem
pembuktian undang-undang secara negatif dengan sistem pembuktian yang berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis terdapat persamaan dan
125
Ibid, halaman 188.
118
perbedaan. Persamaannya ialah keduanya mengakui adanya keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia
bersalah. Perbedaannya, sistem pembuktian undang-undang secara negatif didasarkan atas dua alat bukti yang sah, diikuti dengan keyakinan hakim,
sedangkan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis harus didasarkan atas keyakinan hakim, dimana keyakinan itu didasarkan kepada
suatu kesimpulan yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan sendiri, menurut pilihannya
sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan dipergunakan. D. Simons mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang
berdasar undang-undang secara negatif negatief wettelijke bewijs theorie ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda dubbel en grondslag,
yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-
undang. Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan
terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan aturan yang mengikat hakim dan menyusun
keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan.
119
M. Yahya Harahap berpendapat lain, sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif. Sedangkan mengenai keyakinan hakim, hanya bersifat unsur pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsur formil dalam
model putusan. Unsur keyakinan hakim itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan
terdakwa, keyakinan itu dapat saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan
terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalu mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan.
halaman lain berkaitan dengan keyakinan hakim ini adalah seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 158 KUHAP, hakim dilarang menunjukkan sikap atau
mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran
materiil. Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman,
keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP,
yaitu : a.
keterangan saksi; b.
keterangan ahli; c.
surat; d.
petunjuk;
120
e. keterangan terdakwa.
Dengan demikian, untuk dapat menjatuhkan pemidanaan kepada seseorang haruslah terdapat minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur dalam
Pasal 184 KUHAP yang mengatur secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. halaman tersebut diatas, juga mengisyaratkan bahwa KUHAP
juga menganut prinsip Batas Minimum Pembuktian yang mengatur batas tentang keharusan yang dipenuhi dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Selain kelima alat bukti tersebut, tidak dibenarkan untuk dipergunakan dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Alat bukti yang dibenarkan dan
mempunyai kekuatan pembuktian hanyalah kelima alat bukti tersebut. Dan kaitannya dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan maka, laboratorium
forensik membantu aparat penegak hukum untuk memberikan setidak-tidaknya 2 alat bukti yang sah yaitu berupa surat visum et repertum dan keterangan ahli dari
ahli forensik.