80 bebas di kalangan partai-partai yang tak terbatas, yang kesemuanya berkampanye dengan
penuh semangat. Hasil-hasil yang paling penting adalah sebagai berikut: Tabel 2
Perolehan Suara Pemilihan Umum 1955
Partai Suara yang sah
Suara yang sah
Kursi parlemen
Kursi parlemen PNI
8.434.653 22,3
57 22,2
Masyumi 7.903.886
20,9 57
22,2 NU
6.955.141 18,4
45 17,5
PKI 6.176.914
16,4 39
15,2 PSII
1.091.160 2,9
8 3,1
Parkindo 1.003.325
2,6 8
3,1 Partai Katholik
770.740 2,0
6 2,3
PSI 753.191
2,0 5
1,9 Murba
199.588 0,5
2 0,8
Lain-lain 4.496.701
12,0 30
11,7 Jumlah
37.785.299 100
257 100
Sumber, Ricklefs, 2008: 496.
Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan. Jumlah partai bertambah banyak, dengan 20 partai mendapat kursi. Hanya empat partai
yang mendapat lebih dari delapan kursi: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Meskipun sistem politik Indonesia sampai tahun 1957 mempunyai kelemahan-
kelemahan, namun rakyat Indonesia telah mendapatkan suatu kemenangan yang luar biasa. Indonesia mulai tegak dan kokoh sebagai negara kesatuan yang wilayahnya
meliputi Sabang-Merauke.
2. Demokrasi Terpimpin
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah menjadi gong penutup bagi kehidupan demokrasi liberal yang menganut sistem demokrasi parlementer. Menurut Moh. Mahfud
MD: “Sejak dikeluarkan dekrit itu, dimulailah langgam otoritarian dalam kehidupan
politik di Indonesia di bawah bendera demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin akan mengolah proses pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat dan
berdasarkan semangat gotong royong. Implikasi sistem ini dijabarkan dalam amanat presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang diberi nama Manifesto Politik
Manipol yang rinciannya secara sistematis dikenal dengan akronim USDEK atau UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia”. Moh Mahfud MD, 2010: 139.
81 Selama kurun waktu 1959-1965 Presiden Soekarno dengan sistem demokrasi
terpimpinnya menjelma menjadi seorang pemimpin yang otoriter. Partai-partai yang pernah marak pada era demokrasi liberal secara praktis menjadi lemah dan tak berdaya,
kecuali PKI yang dapat memperluas pengaruhnya dengan berlindung di bawah kekuasaan Soekarno, sementara Angkatan Darat dapat memperluas peran dan kekuasaan politiknya.
Pengertian Demokrasi Terpimpin bisa ditemukan juga dalam pidato kenegaraan Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita”.
Dikatakan oleh Soekarno, butir-butir pengertian demokrasi terpimpin terdiri dari: pertama, tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat,
dan negara, kedua, tiap orang mendapat kehidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara Moh Mahfud MD, 2010: 140.
Sementara menurut Syafii Maarif, sebelumnya Soekarno memberikan berbagai definisi demokrasi terpimpin yang seluruhnya tidak kurang dari duabelas definisi, sebagai
berikut: “Salah satu formulasinya menyebutkan, demokrasi terpimpin adalah demokrasi
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Pada kesempatan lain, Soekarno mengemukakan, demokrasi terpimpin adalah
demokrasi kekeluargaan yang tanpa anarki, tanpa liberalisme, dan tanpa otokrasi diktator. Demokrasi kekeluargaan yang Soekarno maksudkan adalah, demokrasi
yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan serta kekuasaan sentral ditangani seorang ”sesepuh”, seorang tetua yang
tidak mendiktatori, tetapi memimpin mengayomi. Siapa yang beliau maksudkan dengan ”sesepuh” atau ”tetua” pada waktu itu, tidak lain adalah beliau sendiri
sebagai penyambung lidah rakyat, sebagai seorang ayah yang serba bijak dari keluarga besar bangsa Indonesia”. Syafii Maarif, 1988: 34.
Dalam pandangan Muchtar Lubis, betapapun dari sudut definisi gagasan demokrasi terpimpin tidak jelek, tetapi kehadirannya tidak serta merta mendapat
dukungan luas, bahkan banyak yang menolak. Masyumi dan Partai Katolik serta daerah- daerah bergolak menolaknya dengan tegas. Sedangkan PSI, NU, PSII, PKI, dan Parkindo
menolak secara berhati-hati, namun PKI memberikan dukungan kuat Moh Mahfud MD, 2010: 141. Dari sela-sela pro-kontra itu, Soekarno berhasil membentuk Kabinet Djuanda
setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh Maret 1957. Kabinet Djuanda yang dikenal sebagai Kabinet Karya kemudian merealisasikan keadaan darurat perang yang telah
diumumkan Sokarno sebelum pembentukan kabinet baru. Dikatakan Soekarno Dewan
82 Nasional, yang ekstra konstitusional, berkedudukan lebih tinggi daripada kabinet karena
keanggotaan dewan mencerminkan seluruh bangsa. Sedangkan kabinet hanya mencerminkan parlemen dan Soekarno menjadi ketua dewan yang lebih tinggi daripada
kabinet itu. Kritik serta penolakan terhadap demokrasi terpimpin didasarkan pada keraguan:
apakah dengan kekuasaan yang terpusat di tangannya itu, Soekarno bisa konsisten dengan teorinya? Syafii Maarif, mengutip pendapat Natsir, tokoh Masyumi, yang mengatakan
sebagai berikut: ”....bahwa segala-galanya akan ada di dalam demokrasi terpimpin itu, kecuali
demokasi, segala-galanya mungkin ada, kecuali kebebasan jiwa...Dalam istilah biasa yang semacam itu kita namakan diktator, suatu diktator sewenang-wenang”
Moh Mahfud MD, 2010: 141.
Menurut Soempono Djojowadono Moh Mahfud MD, 2010: 141, selain maksud- maksud yang tidak pernah diungkapkan, reaksi-reaksi penolakan terhadap demokrasi
terpimpin didasarkan pada alasan, bahwa pengertian terpimpin bertentangan dengan asas demokrasi. Syarat mutlak demokrasi adalah kebebasan, sedangkan istilah terpimpin
sudah menghilangkan kebebasan. Oleh sebab itu, demokrasi terpimpin disamakan dengan diktator, atau setidak-tidaknya pasti menuju ke kondisi diktator.
Sejarah membuktikan, apa yang dikhawatirkan para penentang Demokrasi Terpimpin benar, sebab dalam praktiknya, Soekarno melakukannya jauh dari apa yang
diteorikan. Seperti telah dikemukakan di atas, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, telah menjadi jalan lurus bagi sistem Demokrasi Terpimpin yang realitasnya tidak demokratis, malahan
telah menjelmakan Soekarno menjadi seorang diktator. Deliar Noer 1966: 12 misalnya, menulis bahwa:
“Demokrasi Terpimpin justru memperlihatkan ”hilangnya demokrasi dan yang tinggal hanya terpimpinnya. Soekarno benar-benar melaksanakan keinginannya,
lebih jauh setelah Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden. Konstituante dan DPR yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilu
dibubarkannya, kemudian membentuk Dewan Nasional yang pada gilirannya dibubarkan sendiri juga”.
Seruannya kepada para pemimpin Pergerakan Rakyat Republik Indonesia PRRI agar menyerah dengan jaminan bahwa mereka tidak akan diapa-apakan ternyata tidak
83 dipenuhi, sebab setelah menyerah ada beberapa dari mereka yang dijebloskan ke dalam
tahanan. Semua media massa menyebarluaskan pikirannya tanpa dapat dibandingkan dengan pikiran lain dan indoktrinasi pun dikeluarkan. Masalah forum Nasakom
Nasional, Agama, dan Komunis dilakukan di mana pun, dari pemerintah sampai organisasi semi pemerintah seperti Front Nasional sehingga PKI memperoleh pijakan,
termasuk di tempat yang tidak ada cabang dan ranting PKI. Dia putar haluan politik bebas aktif menjadi politik luar negeri berporos ke Peking Deliar Noer, 1966: 13.
Nasakom yang menjadi bagian utama era demokrasi terpimpin, dicetuskan oleh Soekarno sebagai pelengkap ideologi negara yang di dalamnya berisi doktrin tentang
kesatuan dari tiga unsur masyarakat Indonesia, yaitu kaum agama, nasionalis, dan komunis. Secara berulang-ulang Presiden Soekarno membentuk lambang-lambang baru
negara, rumusan-rumusan baru tentang masa kini serta tujuan yang akan dicapai di masa depan. Hal tersebut dengan cepat menguasai hampir seluruh media massa Moh Mahfud
MD, 2010: 142. Sejalan dengan itu, Alfian Moh Mahfud MD, 2010: 143 mengemukakan bahwa
tingkah laku Soekarno semasa demokrasi terpimpin jauh menyimpang, bahkan bertentangan dengan pemikiran politiknya sendiri. Di puncak kekuasaannya, presiden
memperlihatkan tingkah laku yang sewenang-wenang. Itu semua menyebabkan timbulnya penilaian bahwa tingkah laku politik Soekarno telah menyeleweng dari
Demokrasi Pancasila dan lebih dari itu mengandung ciri otoriter. Upaya Soekarno untuk memperluas wewenangnya secara melampaui batas-batas konstitusionalnya tidak
memperoleh halangan berat. ”Dengan demikiaan, Soekarno pribadi, Soekarno pada dirinya sendiri berkembang
menjadi suatu kekuatan politik yang setingkat dengan partai-partai dan merupakan faktor yang menentukan dalam kehidupan politik Indonesia sejak
akhir tahun lima puluhan” Nugroho Notosoesanto, 1975: 72.
Pada akhirnya gagasan Demokrasi Terpimpin Soekarno mendapat dukungan dari lembaga-lembaga negara yang telah diatur oleh kekuasaan Soekarno. Pada tahun 1965
MPRS mengeluarkan ketetapan No. VIIIMPRS1965, yang berisi pedoman pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Ketetapan ini memuat isi yang menentukan proses pengambilan
keputusan yang harus dilakukan dengan musyawarah mufakat, tetapi jika musyawarah mufakat tidak dapat dicapai, maka keputusannya diserahkan pada pimpinan. Mekanisme
84 yang demikian tentu saja akan memberikan peluang pada Soekarno untuk mnguasai
setiap pengambilan keputusan. Sebab sangat sulit jika setiap musyawarah harus selalu mufakat bulat. Akhirnya pimpinanlah yang akan menentukan segalanya.
Tak dapat dibantah memang, jika dibandingkan dengan masa sebelumnya, garis politik yang ditempuh Soekarno dapat memperlihatkan stabilitas, terutama setelah
dilakukannya penyederhanaan sistem kepartaian dan dibentuknya Front Nasional. Tetapi stabilitas yang hidup waktu itu adalah stabilitas semu, sebab seperti ternyata kemudian ia
tidak meletakkan dasar yang kuat dalam proses penggantian kepemimpinan. Stabilitas yang ada waktu itu hanya mengandalkan pada adanya tokoh politik yang dapat mengelola
Front Nasional yang seolah-olah mewakili sistem partai tunggal yang tak kentara. Melalui sistem satu partai tak kentara ini dibina suatu gaya yang berorientasi pada nilai
secara mutlak dengan konsekuensi bahwa interpretasi dari pemerintah harus selalu dianggap benar tanpa ada tawaran dan tidak mengenal alternatif lain Rusadi
Kartaprawira, 1977: 147.
B. Orde Baru