Pemilu yang Dipercepat 1999 Era Reformasi

94 berperan kuat dalam menelurkan perdebatan kaya pemikiran dan lebih terbuka sebelum keempat perubahan UUD 1945 disahkan Denny Indrayana, 2007: 172.

2. Mewujudkan Kebebasn Pers

Pemerintah Soeharto menerapkan sistem sensor yang ketat untuk membatasi kebebasan pers. Menteri Penerangan kala itu mengeluarkan Peraturan Menteri No. 1 Tahun 1984 tentang Izin Penerbitan. Peraturan ini memberi kewenangan kepada Menteri Penerangan untuk mencabut SIUPP, atau lisensi penerbitan milik perusahaan media mana pun yang tidak mendukung kebijakan pemerintah. Pada bulan Juni 1998, pemerintah Habibie mencabut peraturan ini dan menyederhanakan prosedur pemberian surat izin bagi dunia penerbitan Kebijakan ini melahirkan ratusan penerbitan baru dan era baru dalam kebebasan pers Denny Indrayana, 2007: 172.

3. Pembebasan Tapol

Di bawah rezim Soeharto, setiap pemimpin oposisi harus siap bila sewaktu-waktu dicokok dan dijebloskan ke dalam penjara, menjadi tahanan politik. Menjelang tumbangnya rezim Soeharto, terdapat lebih dari 200 orang tapol, mulai dari pemimpin mahasiswa, aktivis muslim, orang Timor Timur, dan kader komunis berusia lanjut, yang beberapa di antaranya bahkan sudah mendekam di penjara selama lebih dari 25 tahun. Setelah ambruknya rezim Soeharto, tekanan-tekanan internasional maupun domestik untuk membebaskan semua tahanan ini pun menguat. Menaggapi tekanan demikian, Habibie memerintahkan 179 orang tapol, yang terdiri dari oang-orang Indonesia dan Timor-Timur, dibebaskan. Muladi, menteri Kehakiman pada kabinet Habibie, mengakui bahwa kebijakan ini merupakan satu upaya pemerintah untuk mendongkrak citranya di bidang penegakkan hak-hak asasi manusia. Apapun tujuannya, pembebasan tapol ini adalah salah satu proses yang menghilangkan praktik otoritarianisme yang umum terjadi selama rezim Soeharto berkuasa. Lagi pula, tindakan demikian memperkuat iklim politik yang lebih terbuka yang dibutuhkan untuk membahas isu-isu penting seperti reformasi konstitusi Denny Indrayana, 2007: 173.

4. Pemilu yang Dipercepat 1999

Legitimasi Habibie dipersoalkan bukan hanya oleh kekuatan-kekuatan oposisi, melainkan juga oleh rakyat. Liddle mengatakan: 95 ”Habibie memulai sebagai seorang Presiden yang luar biasa lemah, tidak disukai secara pribadi dan diremehkan secara politik, oleh hampir setiap kelompok penting dalam masyarakat Indonesia, termasuk elemen-elemen penting di lingkungan Golkar, partainya sendiri”. Liddle, 2000:10. Seandainya saja Habibie punya legitimasi yang lebih kuat, sangat mungkin masa jabatannya tidak akan tamat sebelum 2003. Sebab, menurut Pasal 8 UUD 1945, seharusnya Habibie meneruskan masa jabatannya sebagai Presiden hingga berakhirnya masa jabatan Soeharto 1998-2003. Jadi, mestinya, Pemilu baru akan digelar satu tahun sebelum masa jabatan itu berakhir, atau tepatnya pada tahun 2002. Tetapi karena kepresidenannya miskin legitimasi, Habibie pun merasa wajib menggelar Pemilu lebih dini, yaitu pada tahun 1999. Dewi Fortuna Anwar menjelaskan bahwa: ”...kendati secara konstitusional masa jabatan Habibie berlangsung hingga 2003, jelas bahwa mandat politik pemerintahannya yang lemah itu membuat opsi semacam ini menjadi mustahil....Untuk membentuk suatu pemerintah yang memiliki legitimasi konstitusional dan politik yang kuat, sebuah pemilu baru harus dilakukan sesegera mungkin” Dewi Fortuna Anwar, 1999: 34-35. Dengan melaksanakan pemilihan umum selekas mungkin setelah lengsernya Soeharto, Indonesia memulai transisinya dari kekuasaan otoriter sebagaimana mestinya. Menurut Liddle, Pemilu pasca Soeharto ini merupakan sebuah titik balik atau momentum yang menentukan dalam transisi Indonesia. Baginya, Pemilu yang demokratis menjadi indikasi bahwa “ambang pintu peralihan dari otoritarianisme ke demokrasi sudah dilalui” oleh Indonesia Liddle, 2000: 373. Dalam Pemilu 1999, dari empat puluh delapan partai kontestan Pemilu, hanya 21 yang berhasil meraih kursi di DPR. Tabel berikut menunjukkan hasil ini dan distribusi kursi di DPR secara keseluruhan. Tabel 4 Hasil-Hasil Pemilu 1999 dan Komposisi DPR No Partai Total Jumlah Suara Jumlah Kursi Total Jumlah Kursi 1 PDIP 33,73 153 30,6 2 Golkar 22,46 120 24 3 PPP 10,72 58 11,6 4 PKB 12,66 51 10,2 96 5 TNI-Polri 38 7,6 6 PAN 7,12 34 6,8 7 PBB 1,94 13 2.6 8 15 Partai lainnya 11,4 33 5,2 Total 100 500 100 Sumber: Wiliam Liddle, 2000: 373. Tabel tersebut menunjukkan bahwa situasi, konfigurasi politik masih didominasi oleh ketiga partai yang eksis di bawah rezim otoriter Soeharto, dengan PDIP, Golkar, dan PPP sebagai tiga partai terbesar di DPR. Di sisi yang lain, dari 500 anggota DPR, sebanyak 116 orang atau 23 dari jumlah total itu adalah anggota lama. Sedangkan 77 sisanya adalah anggota baru. Sebagian besar anggota-anggota baru itu adalah wirausahawan, birokrat, dan guru. Ini menunjukkan terjadinya perubahan radikal dalam latar belakang profesi para anggota Dewan, dimana jumlah birokrat dan pensiunan perwira-perwira militer merosot tajam, digantikan oleh mereka yang berlatarkan wirausaha National Democratic Institute, The 1999 Presidential Elections and Post- Elections Stament Number 4, Post Election Developments in Indonesia, the Formation of the DPR and the MPR, Jakarta, 26 Agustus 1999, h.8. 97

BAB VII DINAMIKA POLITIK PENDIDIKAN TIGA REZIM

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dinamika politik pendidikan di Indonesia secara garis besar dapat digambarkan dalam tabel berikut ini: Tabel 5 Dinamika Politik Pendidikan Sejak Orde Lama hingga Era Reformasi