86 ”Soeharto membangun sistem politik yang korporatis atau rezim militer
teknokratis. Kekerasan-kekerasan politik banyak dilakukan oleh pemerintahan Soeharto melalui pembatasan dan pengendalian dengan koersi penekanan
terhadap partai politik, ormas, dan berbagai LSM. Yang membedakan atoriterisme Soekarno dan otoriterisme Soeharto adalah cara membangun sistem tersebut. Era
Soekarno membangun otoriterisme dengan terang-terangan melanggar konstitusi sedangkan pada era Soeharto otoriterisme dibangun melalui formalisasi
pemuatan di dalam aturan-aturan secara halus atas masalah-masalah yang sebenarnya melanggar konstitusi, artinya, banyak pelanggaran konstitusi dan
hukum dilakukan, tetapi secara prosedural diberi bentuk hukum dijadikan peraturan perundang-undangan dulu sehingga ”seolah-olah” menjadi benar
secara hukum”. Moh. Mahfud MD, 2009: 136.
1. Konfigurasi Politik
Meskipun para pakar mencoba memberi identifikasi yang satu sama lain berbeda, tetapi ada persamaan di antara mereka bahwa Indonesia di bawah Orde Baru
menampilkan konfigurasi politik yang tidak demokratis. Abdurrahman Wahid dalam Moh Mahfud MD, 2010: 229 menggambarkan secara lebih lugas bahwa Indonesia di
era Orde Baru ”...ini kan otoriter, belum sampai ke taraf tirani”. Di samping karena logika pembangunan yang tentu berbeda, konfigurasi politik
pada Orde Baru dapat dibedakan dari Orde Lama dalam hal tumpuannya. Seperti dikatakan oleh Alfian:
”Kalau Soekarno terutama mengandalkan kekuasaannya pada pengaruh karismanya sebagai seorang pemimpin dan pada kepandaiannya memegang kunci
keseimbangan antara kekuatan-kekuatan politik yang saling bersaing dan bertentangan, maka Soeharto terutama mengandalkan kekuasaannya sebagai
kepala eksekutif pada organ-organ politik yang kuat, militer dan Golkar. Oleh karena itu, kalau kekuasaan politik Soekarno yang besar tampak tidak efektif
karena tidak adanya organ politik yang kuat sebagai landasan, maka kekuasaan politik Soeharto dengan adanya militer dan Golkar yang menjadi landasan dan
pendukung utamanya tampak sangat efektif Alfian, 1974: 53.
2. Partai dan DPR
Tekad Orde Baru menjamin stabilitas politik dalam rangka pembangunan ekonomi mempunyai implikasi tersendiri pada kehidupan partai-partai dan peran lembaga
perwakilan rakyat. Sejak awal pemerintah sudah mempunyai obsesi untuk menghentikan kericuhan-kericuhan politik. Untuk itu salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
mengatur sistem kepartaian sedemikian rupa, agar partai-partai yang ada tidak melakukan
87 pertikaian yang dapat mengganggu ketenangan pemerintah dalam melaksanakan
pembangunan.
Pada saat bersamaan dengan pengebirian terhadap partai-partai, pemerintah telah membina dan membangun Golkar menjadi kuat melalui berbagai fasilitas. Menurut Afan
Gaffar: ”Golkar tampil sebagai partai hegemonik, partai yang tidak tertandingi, yang
menjadi mesin politik pengontrol seluruh spektrum dalam proses politik di Indonesia, sedangkan partai-partai lain hanya menjadi partai kelas dua atau
licenced parties. Hasil Pemilu 1971 memberi kemenangan yang luar biasa bagi pemerintah karena Golkar meraup dukungan suara 62,8 dari kursi yang
diperebutkan. Dengan modal itu, pada masa-masa selanjutnya pemerintah bersama Golkar mengambil porsi yang dominan dalam semua spektrum proses
politik dan menjadikan Orde Baru sebagai negara kuat”. Afan Gaffar, 1992: 186.
Komposisi kekuatan di MPR mengalami hal yang sama: fraksi pemerintah tetap dominan. Sebab di samping seluruh anggota DPR adalah anggota MPR, masih ada dua
hal lagi yang mengokohkan dominasi itu: Pertama, keanggotaan MPR selain dari DPR diangkat pula oleh presiden. Kedua, utusan-utusan golongan setelah hasil perimbangan
lebih banyak ditentukan oleh presiden. Jadi, dalam komposisi ini terjadi ketidakselarasan komposisi keanggotaan MPR dengan struktur masyarakat.
Sebagai akibat dari lemahnya lembaga perwakilan tersebut, maka hampir semua produk legislasi yang disahkan sebagai perwakilan berasal dari usulan pemerintah. Pada
umumnya lembaga perwakilan hanya perbaikan semantik tidak prinsip atas rancangan- rancangan yang disampaikan oleh pemerintah. Menurut Alfian peranan presiden atau
pemerintah dalam mengambil inisiatif mengajukan RUU amatlah dominan: ”Selama Orde Baru ini. Bahkan selama ada DPR hasil Pemilu pada Orde Baru
tidak ada inisiatif usul RUU yang berasal dari kalangan DPR sehingga merisaukan berbagai kalangan dalam masyarakat Alfian, 1990: 48.
3. Pemerintah yang Dominan