93 ”Indonesia pasca Orde Baru berupaya mencari sebuah bentuk sistem kepolitikan
nasional yang demokratis. Upaya tersebut dilakukan dengan menghilangkan dan menggantikan berbagai aturan yang tidak demokratis, menyelenggarakan
pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil, serta berbagai momentum demokrasi politik lainnya”.
Pemerintah Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, telah menunjukkan tekad yang
kuat untuk melakukan reformasi nasional di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Samsuri 2010: 5 Presiden Habibie melakukan langkah sebagai
berikut: “Pada 7 Desember 1998 Presiden Habibie membentuk sebuah Tim Nasional
Reformasi Menuju Masyarakat Madani melalui Keputusan Presiden RI No. 198 Tahun 1998. Tim ini dipimpin oleh Adi Sasono sebagai Ketua Dewan Penasehat
dan Sofian Effendi sebagai Ketua Tim Pelaksana. Tim reformasi meliputi tujuh kelompok bidang yaitu: Kelompok Reformasi Ekonomi Koordinator M. Dawam
Rahardjo; Kelompok Reformasi Tekno-Industri Koordinator Laode M. Kamaluddin; Kelompok Reformasi Politik Koordinator Susilo Bambang
Yudhoyono; Kelompok Reformasi Kelembagaan Koordinator Mustopadidjana AR; Kelompok Reformasi Sosial Budaya Koordinator Taufik Abdullah;
Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-undangan Koordinator Jimly Ashshidiqi, dan Kelompok Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Koordinator A. Malik Fadjar. Tim nasional Reformasi ini berhasil menyusun sebuah laporan tentang dasar pemikiran, kerangka strategi dan
kebijakan tentang transformasi masyarakat madani dari perspektif sosial-budaya, ekonomi, politik, hukum, kelembagaan, pendidikan dan pengembangan sumber
daya manusia, serta tekno-industri. Masing-masing perspektif tersebut oleh Tim Nasional Reformasi dipandang sebagai satu kesatuan sistemik yang harus
diwujudkan dalam proses transformasi bangsa menuju masyarakat madani” Guna mewujudkan tujuan reformasi tersebut, telah dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Sistem Multi Partai
Sekalipun menuai banyak kritik, UU Pemilu memberi landasan yang memadai bagi terselenggaranya Pemilu 1999. Salah satu langkah reformatif adalah
diberlakukannya sistem multi partai berdasarkan UU tentang partai politik, menggantikan sistem satu partai ala Orde Baru yang otoriter. Euforia politik periode pasca-Soeharto
antara lain melahirkan 141 partai politik, yang 48 diantaranya dianggap memenuhi syarat untuk ikut bertarung di ajang Pemilu 1999. Belakangan, sistem multi partai ini ikut
94 berperan kuat dalam menelurkan perdebatan kaya pemikiran dan lebih terbuka sebelum
keempat perubahan UUD 1945 disahkan Denny Indrayana, 2007: 172.
2. Mewujudkan Kebebasn Pers
Pemerintah Soeharto menerapkan sistem sensor yang ketat untuk membatasi kebebasan pers. Menteri Penerangan kala itu mengeluarkan Peraturan Menteri No. 1
Tahun 1984 tentang Izin Penerbitan. Peraturan ini memberi kewenangan kepada Menteri Penerangan untuk mencabut SIUPP, atau lisensi penerbitan milik perusahaan media mana
pun yang tidak mendukung kebijakan pemerintah. Pada bulan Juni 1998, pemerintah Habibie mencabut peraturan ini dan menyederhanakan prosedur pemberian surat izin bagi
dunia penerbitan Kebijakan ini melahirkan ratusan penerbitan baru dan era baru dalam kebebasan pers Denny Indrayana, 2007: 172.
3. Pembebasan Tapol
Di bawah rezim Soeharto, setiap pemimpin oposisi harus siap bila sewaktu-waktu dicokok dan dijebloskan ke dalam penjara, menjadi tahanan politik. Menjelang
tumbangnya rezim Soeharto, terdapat lebih dari 200 orang tapol, mulai dari pemimpin mahasiswa, aktivis muslim, orang Timor Timur, dan kader komunis berusia lanjut, yang
beberapa di antaranya bahkan sudah mendekam di penjara selama lebih dari 25 tahun. Setelah ambruknya rezim Soeharto, tekanan-tekanan internasional maupun domestik
untuk membebaskan semua tahanan ini pun menguat. Menaggapi tekanan demikian, Habibie memerintahkan 179 orang tapol, yang terdiri dari oang-orang Indonesia dan
Timor-Timur, dibebaskan. Muladi, menteri Kehakiman pada kabinet Habibie, mengakui bahwa kebijakan ini merupakan satu upaya pemerintah untuk mendongkrak citranya di
bidang penegakkan hak-hak asasi manusia. Apapun tujuannya, pembebasan tapol ini adalah salah satu proses yang menghilangkan praktik otoritarianisme yang umum terjadi
selama rezim Soeharto berkuasa. Lagi pula, tindakan demikian memperkuat iklim politik yang lebih terbuka yang dibutuhkan untuk membahas isu-isu penting seperti reformasi
konstitusi Denny Indrayana, 2007: 173.
4. Pemilu yang Dipercepat 1999