Metode Analisis Data TINJAUAN PUSTAKA

48 Tabel 5. Jumlah responden berdasarkan pekerjaan Kecamatan Pekerjaan Responden Total Buruh Petani Nelayan Pengusaha Pegawai Muara Gembong 26 22 38 2 12 100 Penjaringan 40 34 8 10 8 100 Teluk Naga 68 14 12 2 4 100 Metode wawancara digunakan untuk memperoleh data yang belum tercatat dalam literatur serta untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Metode wawancara yang akan dilakukan terdiri atas wawancara bebas dan tidak terstruktur serta wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner. Wawancara ini akan dilakukan terhadap masyarakat, tokoh masyarakat, pengurus lembaga, aparat pemerintahan desa, pejabat pemerintah daerah dan instansi terkait, serta para pakar di bidang hutan mangrove. Metode ini dilakukan guna mengetahui persepsi dan harapan masyarakat dengan adanya upaya penyelamatan hutan mangrove. Studi literatur dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan informasi pendukung yang sangat diperlukan dalam penelitian ini, yang terkait dengan pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam menyelamatkan hutan mangrove. Data dan informasi meliputi: kondisi dan karakteristik sumberdaya alam, kondisi dan karakteristik lokasi. Kondisi sosial ekonomi dan lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan hutan mangrove. Sumber data dan informasi ini berupa jurnal, laporan-laporan, karya ilmiah, proseding dan berbagai sumber pustaka lainnya. Pengamatan merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan melalui pencatatan, pengukuran dan pengamatan terhadap kejadian atau faktor- faktor yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian. Pengamatan dan analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui kondisi dan jumlah hutan mangrove, dan pengamatan untuk kualitas air dilakukan baik secara insitu maupun eksitu.

3.5 Metode Analisis Data

Pada dasarnya penelitian ini bersifat eksploratif atau kajian evaluatif, untuk itu berdasarkan data yang telah diperoleh dianalisis dengan metode sebagai berikut: 49 1. Analisis spasial vegetasi mangrove Untuk analisis secara keseluruhan di ketiga lokasi penelitian digunakan sistem informasi geografis SIG. Hal ini untuk memudahkan melihat perubahan tutupan lahan khususnya tutupan lahan vegetasi mangrove. Citra yang digunakan sebagai dasar analisis adalah citra satelit Landsat 7 ETM. SIG adalah suatu sistem analisis berbasis komputer yang mampu melakukan hubungan relasi antara data spasial keruangan dan data atribut data base. Sistem Informasi Geografi memerlukan konfigurasi software dan hardware dengan performa yang tinggi. Hardware yang dibutuhkan antara lain komputer dengan basis Windows, Digitizer dan Ploter, sedangkan Software yang dibutuhkan antara lain PC ArcInfo dan ArcView. Dalam proses penyusunan SIG, diperlukan beberapa tahapan proses hingga dihasilkan SIG. Adapun tahapan tersebut adalah inventarisasi kawasan mangrove, penyusunan basis data dan penyusunan basis model. Delineasi kawasan mangrove menggunakan citra penginderaan jauh skala tinjau 1: 250.000 Landsat. Tahap berikutnya adalah melakukan uji lapang ground truth terhadap hasil interpretasi. Hasil delineasi bentuk lahan setelah uji lapang, kemudian diplot pada peta Rupabumi Indonesia skala 1: 25.000, agar posisi koordinatnya mengacu pada sistem koordinat sebenarnya real world coordinate. Basis data merupakan prasyarat utama memanfaatkan SIG untuk berbagai aplikasi, termasuk untuk penyusunan SIG kawasan mangrove. Pengertian basis data database adalah himpunan rekaman data record yang bersifat spesifik, dimana pengaksesannya dikontrol oleh DBMS database management systems. Apabila basis data telah didefinisikan, struktur record data yang berkaitan dengan panjang item item width, nama item field dan jenis data integer, numerik, karakter dijabarkan kedalam DBMS. Kemudian apabila key in data ke dalam basis data dilaksanakan, DBMS bertanggung jawab terhadap berbagai analisis untuk sorting data, penyajian, dan hubungan antar record data. Dalam menyusun basis data, himpunan data perlu dikelompokkan berdasarkan temanya. Agar dapat dihimpun secara terstruktur dan sistematis, maka karakteristik data perlu diklasifikasikan. Dalam klasifikasi data, karakteristik data yang disajikan dalam atribut dalam bentuk kode. Penyusunan dan penyajian kodifikasi karakteristik data ke dalam atribut perlu dikomunikasikan dengan 50 pengguna agar penempatan kumpulan record datanya sesuai pada atribut yang diinginkanya. Basis data dasar yang diperlukan meliputi: garis pantai, jaringan jalan, jaringan sungai hidrologi, nama-nama wilayah geografi toponim, dan wilayah administrasi pemerintahan. Basis data tematik meliputi: kawasan mangrove, dan penutup lahan. Basis model model base merupakan model aplikasi SIG untuk mendukung pengambilan keputusan dari perencanaan spasial. Penyusunan basis model menggunakan fungsi-fungsi SIG, terutama mengenai transformasi dan integrasi data untuk menghasilkan informasi sintetik. Burrough 1983 menjelaskan bahwa SIG mempunyai fungsi untuk memanipulasi dan mengintegrasikan berbagai data tematik dengan teknik overlay. Metode overlay memudahkan analisis dalam memberikan kriteria berbagai indikator dari data tematik yang dihimpun dalam basis model Birkin et al., 1996. Keseluruhan hasil analisis SIG akan disajikan dalam ArcView. ArcView dapat menampilkan hubungan antara data spasial dan data atribut secara bersamaan, sehingga memudahkan dalam analisis perencanaan ataupun analisis kebijakan. Untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi, dilakukan kalkulasi kerapatan vegetasi dengan metode normalized difference vegetation index NDVI. Persamaan NDVI adalah: 3 4 3 4 Band Band Band Band NDVI + − = Band 4 merujuk pada band dengan kisaran panjang gelombang infra merah dekat near infra red, Band 3 merujuk pada band dengan kisaran panjang gelombang merah. Jika citra yang dihasilkan kurang bagus tingkat kekontrasannya akibat cuaca, maka klasifikasi citra yang digunakan adalah dengan metode interpretrasi. Berdasarkan penghitungan NDVI tersebut diperoleh citra NDVI yang merefleksikan tutupan vegetasi di permukaan bumi. Untuk memperoleh informasi spasial tentang kelas penutupan vegetasi, selanjutnya dilakukan proses density slicing dengan mengikuti batas kelas yang digunakan dalam penilaian vegetasi tutupan lahan. Batas kelas dalam proses density slicing diperoleh dengan 51 mengalikan nilai NDVI dengan batas kelas yang digunakan untuk penilaian pada kondisi tutupan lahannya. Kerapatan vegetasi di suatu lokasi dapat dideteksi dengan tampilan degradasi warna putih pada citra NDVI. Semakin gelap warna hijau yang ditampilkan citra pada suatu lokasi menunjukkan bahwa intensitas vegetasi di lokasi tersebut semakin tinggi dan sebaliknya bila obyek diperlihatkan dengan degradasi warna hijau yang lebih terang. Untuk mendapatkan gambaran tentang obyek yang ada pada citra dengan keadaan di lapangan, dilakukan pengambilan sampel ke lokasi penelitian. Lokasi yang diambil sebagai sampel adalah lokasi yang memberikan kenampakan yang berbeda pada citra. Untuk menentukan koordinat di lokasi digunakan GPS. 2. Analisis kualitas air Pertumbuhan vegetasi mangrove sangat tergantung pada dinamika lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhannya. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove yang pada intinya mencakup genangan pasang surut, dan salinitas perairan serta faktor-faktor yang mempengaruhi kedua unsur ini seperti air tawar, iklim dan kaitannya dengan berbagai proses-proses geomorfologi dan geofisik. Pengambilan sampel dilakukan pada setiap titik pengamatan yang telah ditentukan. Parameter dan alat pengukuran disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Metode pengukuran kualitas air Parameter Peubah Satuan Alat Pengukuran Fisika Suhu ° C Termometer Salinitas ‰ Refraktometer Kimia pH - pH Meter Daya hantar listrik µ mhoscm Konduktometer Oksigen terlarut mgliter DO Meter BOD mgliter Reaksi Nessler COD, CO 2 bebas mgliter Titrasi Amonia mgliter Spektrofometer Hg, Cd, Pb mgliter AAS 52 3. Analisis kebutuhan stakeholder Pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif merupakan strategi dalam paradigma pembangunan yang bertumpu pada masyarakat dan stakeholder. Strategi ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya material dan non-material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan. Participatory rural appraisal PRA dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kondisi sosial dan ekonomi pada kawasan hutan mangrove Teluk Jakarta. PRA dilakukan dengan melibatkan semua masyarakat pada tiga lokasi terpilih. Kegiatan PRA dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan penjaringan aspirasi. Informasi yang diperoleh berkaitan dengan, keterlibatan, kepentingan, pengetahuan, dan kebutuhan terhadap hutan mangrove. 4. Analisis kebijakan Dalam penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta dilakukan dengan analisis multikriteria yang dilakukan dengan partisipatif. Alat analisis yang digunakan adalah AHP. Penggunaan AHP dimasudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi terbaik dengan cara: 1 mengamati secara sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik; 2 membandingkan secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif; 3 memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan; dan 4 membuat strategi pengelolaan hutan mangrove secara optimal, dengan cara menentukan prioritas kegiatan. Penetapan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi masyarakat, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur intangible ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Tahap terpenting dari AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu tingkat hirarki Saaty, 1993. 53 Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga diperlukan paket komputer khusus mengenai AHP. Pengolahan data berbasis komputer menggunakan perangkat lunak Expert Choice 2000. Expert Choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi pengambilan keputusan yakni AHP. Langkah-langkah dalam analisis data dengan AHP adalah: 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan fokus, dilanjutkan dengan tujuan, kriteria dan alternatif kebijakan pada tingkatan level paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 – 9 berdasarkan skala Saaty seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Skala perbandingan berpasangan Skala Definisi 1 Kedua elemen sama pentingnya equally importance terhadap tujuan 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen lainnya moderately importance 5 Elemen satu lebih penting dari pada elemen lainnya strongly importance 7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting dari pada elemen lainnya very strongly importance 9 Satu elemen mutlak penting dari pada elemen lainnya extremely importance 2, 4, 6 dan 8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan intermediate value Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i Sumber: Saaty 1993 4. Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh stakeholder yang berkompeten berdasarkan hasil identifikasi stakeholder. 5. Menghitung akar ciri, vektor ciri, dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Indeks konsistensi CI menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang 54 konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan. Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil. 5. Penyusunan strategi dan arahan program Arahan strategi dan program pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta disesuaikan dengan kondisi wilayah dan kebutuhan stakeholder di masa mendatang agar dihasilkan rumusan yang memberikan jaminan keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove. Kegiatan ini dilakukan melalui focus group discussion FGD di Jakarta dengan melibatkan semua stakeholder. FGD dilakukan untuk menemukan alternatif penyelesaian secara partisipatif. Diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik. Tujuan FGD adalah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengelolaan hutan mangrove. Stakeholder yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta dikategorikan berdasarkan tingkat nasional, regional, dan lokal yaitu: 1. Nasional: Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, LPP Mangrove, pakar dan peneliti dari IPB dan LIPI. 2. Regional: Bappeda, BPLHD, DPRD, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan, Dinas Pariwisata Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Jakarta Utara. 3. Lokal: Camat, Koperasi nelayan, pengusaha hotel dan restoran, pengusaha perikanan tambak, pedagang sektor informal, nelayan, wisatawan, lembaga lokal, dan organisasi sosial.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta

1. Muara Angke Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta. Pada mulanya kelompok hutan ini seluas 1.114 ha, namun karena kegiatan pembangunan luasnya menurun menjadi 327,7 ha. Pembangunan kawasan Kapuk-Angke digagas oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985 bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan ”eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi kota lainnya. Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk seluas ±1.114 ha berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta berdasarkan Piagam Kerjasama antara Pemda DKI dengan Departemen Pertanian cq Direkorat Jendral Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni 1977, dan didalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah. Tujuan kerjasama dimaksud adalah untuk mengelola, memanfaatkan dan membina kawasan hutan seluas ±1.114 ha yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara, Muara Kamal dan Muara Angke. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161KptsUm61977 tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur, Angke Kapuk dan sekitarnya sebagai berikut: a sebagai hutan lindung, 5 km sepanjang pantai selebar 100 meter; b sebagai cagar alam Muara Angke; c sebagai kebun pembibitan; dan d sebagai ”lapangan dengan tujuan istimewa”. Kawasan delta Sungai Angke pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam dengan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda GB No 24 tanggal 18 Juni 1939 seluas 15,40 ha. Berkaitan dengan adanya kegiatan pembangunan permukiman di kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan kawasan hutan yang tetap dikuasai pemerintah yakni 322.6 ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097Kpts-II1998 tanggal 29 Februari 1988 yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas