6
Karakteristik wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh arus air merupakan faktor yang sulit untuk dikendalikan. Pencemaran air oleh limbah rumah tangga
dan industri yang dilakukan di sekitar Muara Angke akan menyebabkan kerusakan lingkungan di seluruh wilayah pesisir Teluk Jakarta. Demikian pula
dengan kegiatan industri di Teluk Naga akan berdampak terhadap kualitas perairan di seluruh wilayah Teluk Jakarta.
Karakterisitik tersebut berbeda dengan dimensi sosial budaya masyarakat. Kawasan pesisir Muara Gembong dan Teluk Naga dihuni oleh
sebagian besar nelayan, sedangkan masyarakat Muara Angke sangat bervariasi. Dengan demikian, penyebab kerusakan hutan mangrove di ketiga lokasi ini
berbeda-beda. Hutan mangrove di Muara Gembong dirambah untuk keperluan tambak dan kebutuhan kayu untuk rumah tangga, di Teluk Naga untuk keperluan
tambak dan industri, sedangkan di Muara Angke untuk keperluan lahan permukiman dan perniagaan.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah: 1 kondisi hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini, 2
kebutuhan stakeholder dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove, 3 kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaan hutan mangrove Teluk
Jakarta secara berkelanjutan.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kondisi fisik dan kualitas ekosistem hutan mangrove Teluk
Jakarta saat ini; 2. Mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove
di Teluk Jakarta di masa mendatang; 3. Menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove di Teluk
Jakarta secara berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah: 1. Memperoleh data dan informasi tentang kondisi hutan mangrove dan kualitas
eksosistem mangrove di Teluk Jakarta sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan pemanfaatan hutan mangrove di masa mendatang;
7
2. Sebagai bahan masukan bagi penentu kebijakan dalam proses pelibatan masyarakat dalam mengembangkan partisipasi masyarakat untuk
pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan; 3. Memberikan sumbangan untuk memperkaya ilmu kajian lingkungan
khususnya pengembangan strategi dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan.
1.5 Kerangka Pikir
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah,
pencegah intrusi air laut. Hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan
fungsi sosial sebagai lahan interaksi bagi masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil
kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi sesaat. Konflik kepentingan antara sektor seperti
Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pekerjaan Umum maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan degradasi kuantitas kerapatan dan luas maupun kualitas komposisi dan
proporsi mangrove semakin dipercepat. Ancaman kerusakan bagi mangrove sebagian besar berasal dari aktivitas
manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara
langsung melalui: alih fungsi, reklamasi, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi dan secara tidak langsung melalui fenomena alam seperti penyakit, hama, dan
meningkatnya muka air laut. Salah satu indikator hancurnya mangrove akibat alih fungsi mangrove
untuk tambak, industri dan permukiman tanpa mengindahkan kaidah konservasi lingkungan Wartaputra, 1990; Kusmana, 2002. Perubahan hutan mangrove
menjadi tambak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama jika terjadi pembukaan berlebihan yang menyebabkan oksidasi pirit dan intrusi serta
8
abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan sangat sulit direhabilitasi Naamin, 2002; Soedharma et al., 1990.
Dalam kasus mangrove di Teluk Jakarta sebagai suatu ekosistem yang meliputi tiga wilayah administrasi provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan
Provinsi Banten, berpotensi menimbulkan konflik pengelolaan dan pemanfaatan antar wilayah akibat perbedaan cara pandang. Kondisi ini diperburuk dengan
adanya konversi mangrove untuk tujuan ekonomi, sehingga mendorong kerusakan mangrove semakin parah.
Faktor lain yang mendorong rusaknya hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah rendahnya capacity building yang meliputi sumberdaya manusia, institusi
dan mekanisme aturan. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya koordinasi di tingkat perencana, pengambil kebijakan dan pelaksana lapang, sehingga
menyebabkan terjadinya ketimpangan antara apa yang diinginkan demand side dan apa yang dimiliki dari hutan mangrove supply side Alikodra, 2002.
Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang berlebihan untuk perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya,
serta adanya pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Perbedaan persepsi dari cara pandang antara peran mangrove terhadap
lingkungan dan alih fungsi menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan, seperti kasus Teluk Jakarta. Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat
dibandingkan sektor lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit dikendalikan.
Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya
terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk
menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Persepsi masyarakat terhadap mangrove juga merupakan salah satu yang mendorong kerusakan ekosistem mangrove. Salah satu bentuknya adalah
pengembangan tambak ekstensif yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Supriharyono 2000 menyatakan kerusakan hutan mangrove terutama
disebabkan oleh banyaknya konversi hutan mangrove yang dijadikan tambak. Sedangkan Budhisantoso 1998 menyebutkan bahwa permasalahan utama
yang dihadapi dalam pengelolaan pengembangan kawasan pesisir, adalah
9
menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan pesisir
tidak terbatas pada pembinaan kelestarian alam, melainkan juga upaya pemberdayaan penduduk secara perseorangan maupun kolektif. Peningkatan
kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan karena perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus terjadi. Dalam
pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat lokal dilibatkan dalam proses pembangunan.
Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia antara lain
adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial
ekonomi masyarakat, sistem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan kelembagaan Machfuddin dan Nasendi, 1997. Kebijakan mengenai konversi
lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir. Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan,
mengakibatkan kualitas dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami ancaman dari berbagai pemangku kepentingan.
Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini
memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan
ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan demikian, kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan hutan mangrove perlu
dipertimbangkan sehingga terjadi sinergi dalam pemanfaatan secara lestari. Perbedaan kepentingan antara stakeholder terhadap pemanfaatan hutan
mangrove, seperti antara kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan, transmigrasi, perhubungan, pariwisata dan perindustrian, menimbulkan tekanan
yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Selain itu terjadinya degradasi hutan mangrove juga disebabkan pencurian dan penebangan yang
tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum
sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Agar permasalahan pengelolaan mangrove dapat direpresentasikan,
maka perlu pemahaman mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan
10
pengelolaan mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan
peraturan perundangan yang ada, sehingga konsep perencanaan dan pemanfaatan mangrove dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Teluk
Jakarta, maka diperlukan pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang ada saat ini di tiga wilayah, evaluasi kebijakan pemanfaatan mangrove di Teluk
Jakarta, dan analisis kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di masa mendatang.
Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara
berkelanjutan di Teluk Jakarta. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung upaya ini perlu dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan
hasil keputusan ini merupakan rekomendasi untuk kebijakan pembangunan wilayah pesisir terpadu. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
11
1.6 Novelty