46
3.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Studi pustaka tentang kondisi sumberdaya hutan di wilayah perbatasan
Kalimantan Barat yang berhubungan dengan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Data yang di peroleh
digolongkan sebagai data sekunder. 2. Stakeholders meeting dilaksanakan untuk mengetahui kelemahanhambatan
yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan. 3. Melakukan Focus Group Discussion dari masing-masing kelompok
pemangku kepentingan stakeholder untuk mengidentifikasi faktor strategis dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan.
4. Survei lapangan untuk mengumpulkan data primer dengan teknik wawancara dan penyebaran kuesioner kepada responden
5. Pengumpulan data dengan kuesioner akan dilakukan untuk mendapatkan informasi langsung dari semua pihak. Responden dalam penelitian ini terdiri
dari aparat pemerintahan termasuk di dalamnya TNIPOLRI, para pelaku usaha di sektor kehutanan, kelompok masyarakat seperti LSM, Perguruan
Tinggi, dan masyarakat adat. Keterwakilan dari setiap unsur merupakan masukan yang akan diolah menjadi sumber informasi.
. 3.4. Metode Analisis Data
Tahapan proses analisis data adalah sebaga i berikut:
3.4.1. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Analisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan dilakukan dengan pendekatan “Rap -INSUSFORMA” melalui beberapa tahapan, yaitu: 1 tahap
penentuan atribut pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan untuk masing-masing dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan
kelembagaan, 2 tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang berbasis
metode “multidimensional scaling” MDS, dan 3 tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan
Provinsi Kalimantan Barat. Untuk setiap atribut pada masing -masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisi keberlanjutan dari dimensi yang
dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapangan dan analisis data sekunder. Rentang skor berkisar
antara 0 – 3, tergantung pada keadaan masing-masing atribut, yang diartikan
47
mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.
Sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi paling menguntungkan. Tabel 4 menyajikan atribut-atribut dan skor yang akan digunakan untuk
menilai keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat. Atribut-atribut tersebut diperoleh dari studi pustaka CIFOR dan
LEI menyangkut sustainable forest management SFM, dan para peneliti terdahulu serta berdasarkan pengamatan lapangan sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan Tabel 4. Atribut-atribut dan skor keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya hutan
Dimensi dan Atribut Skor
Baik Buruk Keterangan
Dimensi Ekologi
Ketersediaan zonasi untuk berbagai
pengelolaan hutan 0; 1; 2
2 0 tidak tersedia; 1 tersedia
tapi belum dipatuhi secara baik; 2 tersedia dan dipatuhi
Upaya perlindungan terhadap tempat-
tempat yang rentan ekologis
0; 1; 2 2
0 tidak dilakukan; 1 dilakukan tapi belum
secara masksimal; 2 dilakukan secara
maksimal.
Tingkat kekayaankeragaman
biota 0; 1; 2
2 0 sangat minim; 1 cukup
beragam;2 sangat beragam. Upaya perlindungan
terhadap biota langka 0; 1,2,3
3 0 tidak dilakukan;
1 dilakukan sebatas yang didukung dana
internasional;2dilakukan sebatas biota yang memiliki
nilai ekonomi;3 dilakukan terhadap semua biota langka
Frekuensi kejadian kebakaran hutan
0; 1; 2 2
0 tidak pernah; 1 terjadi pada saat musim kemarau
panjang; 2 setiap tahun sekali pada musim kemarau.
Waktu suksesi hutan 0; 1; 2
2 0 lambat; 1 sedang;
2 cepat Program reboisasi
hutan 0; 1; 2; 3
3 0 tidak ada; 1 ada sedikit;
2 sedang; 3 banyak Kegiatan ladang
berpindah 0; 1; 2: 3
3 0 tidak ada; 1 ada sedikit;
2 sedang; 3 banyak Diameter tebangan
0; 1; 2 2
0 kecil;1 sedang; 2 besar Frekuensi kejadian
banjir 0; 1; 2
2 0 tidak pernah terjadi; 1
jarang terjadi; 2 sering
Dimensi Ekonomi
Tingkat pengembalian dana reboisasi
0; 1; 2 2
0 rendah; 1 sedang; 2 tinggi
Kontribusi sektor kehutanan terhadap
PDRB Kalimantan Barat 0; 1; 2
2 0 rendah; 1 sedang;
2 tinggi
48
Jenis produk hutan yang dipasarkan
0; 1; 2; 3 3
0 bahan mentah; 1 bahan setengah jadi; 2 bahan jadi;
3 produk dengan nilai ekonomi tinggi.
Pasar produk 0; 1; 2
2 0 lokal; 1 nasional;
2 internasional Tingkat ketergantungan
konsumen terhadap hasil hutan.
0; 1; 2 2
0 tinggi; 1 seda ng; 2 rendah
Harga komoditi hutan yang dipasarkan.
0; 1; 2 2
0 Rendah; 1 sedang; 2 tinggi
Kelayakan usaha industri kehutanan
0; 1; 2; 3 3
Mengacu pada analisis usaha: 0 rugi; 1 kembali modal 2
kuntungan marjinal; 3 untung besar
Tingkat pendapatan masyarakat di sekitar
hutan 0; 1; 2
2 0 rendah; 1 sedang;
2 tinggi Pemanfaatan
sumberdaya hutan non kayu
0; 1; 2 2
0 rendah; 1 sedang; 2 tinggi
Dimensi Sosial Budaya
Akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya
hutan 0; 1; 2; 3
3 0 tidak punya sama sekali ;
1 rendah; 2 sedang; 3 tinggi
Tingkat penyerapan tenaga kerja
0; 1; 2 2
0 rendah; 1 sedang; 2 tinggi
Pemahaman, kepedulaian, dan
tanggung jawab masayarakat terhadap
sumberdaya hutan 0; 1; 2
2 0 rendah; 1 sedang;
2 tinggi
Pola hubungan para stakeholder dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan
0; 1 1
0 tidak saling menguntungkan;
1 saling menguntungkan
Tingkat pendidikan masayarakat di sekitar
hutan 0; 1; 2
2 0 dibawah rata -rata
nasional; 1 sama dengan rata-rata nasional; 2 di atas
rata-rata nasional.
Jarak pemukiman dengan kawasan hutan
0; 1; 2 2
0 dekat ; 1 sedang; 2 jauh
Peran masyarakat adat dalam pengelolaan
hutan 0;1;2
2 0 rendah; 1 sed ang;
2 tinggi Pemberdayaan
masyarakat di sekitar hutan
0;1;2;3 3
0 tidak ada; 1 ada, tidak berjalan; 2 kurang optimal;
3 berjalan optimal
Dimensi Teknologi
Tingkat efisiensi industri pengolahan
hasil hutan 0; 1; 2
2 0 rendah; 1 sedan g;
2 tinggi Ketersedaiaan
teknologi pengolahan hasil hutan.
0; 1; 2 2
0 teknologi sederhana; 1 teknologi sedang;
2 teknologi tinggi
49
Ketersediaan teknologi informasi
0; 1; 2; 3 3
0 sangat minim ; 1 cukup tersedia; 2 tersedia
memadai; 3 tersedia dengan teknologi tinggi
Ketersediaan basis data data bases
sumberdaya hutan 0; 1
1 0 tidak tersedia; 1 tersedia
Ketersediaan teknologi mitigasi bencana
kebakaran hutan 0; 1
1 0 tidak tersedia; 1 tersedia
Dimensi Teknologi
Standarisasi mutu produk hasil hutan
0; 1; 2 2
0 belum diterapkan; 1 diterapkan hanya untuk
produk tertentu saja ; 2 diterapkan pada semua
produk
Penerapan sertifikasi produk hasil hutan
ekolabel 0; 1; 2;
2 0 belum diterapkan;
1 diterapkan hanya untuk produk tertentu saja;
2 diterapkan pada semua produk
Pengolahan limbah kayu bekas tebangan
0; 1; 2 2
0 rendah; 1 sedang; 2 tinggi
Hukum dan Kelembagaan
Perjanjian kerjasama dengan negara
tetangga Malaysia 0; 1;2
2 0 tidak ada; 1 ada tapi
belum secara secara khsusus membahas sumberdaya
hutan; 2 ada secara khusus.
Mekanisme kerjasama lintas sektor dan antar
daerah dalam pengelolaan
sumberdaya hutan 0; 1
1 0 tidak ada; 1 ada
Frekuensi konflik 0; 1; 2
2 0 tidak pernah ada ; 1
jarang terjadi ; 2 sering terjadi
Intensitas pelanggaran hukum penebangan
liar 0; 1; 2
2 0 tidak pernah ada ; 1
jarang terjadi ; 2 sering terjadi
Ketersedian peraturan perundang-undangan
tentang pengelolaan sumberdaya hutan
0; 1; 2;3 3
0 tidak ada ; 1 ada sedikit ; 2 cukup banyak; 3 banyak
Ketersediaan hukum adatagama
0; 1; 2 2
0 tidak ada ; 1 cukup tersedia ; 2 sangat lengkap
Keberadaan aparat penegak hukum di
lokasi 0; 1; 2
2 0 tidak ada ; 1 cukup
tersedia ; 2 sangat lengkap Konsistensi penegakan
hukum 0; 1; 2;3
3 0 tidak konsisten ; 1 cukup
konsisten ; 2 konsisten ; 3 sangat konsisten
Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah
0; 1; 2 2
0 tidak sinkron; 1 kurang sinkron; 2 sinkron.
50
Selanjutnya, nilai skor dari masing -masing atribut dianalisis secara multi dimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya
hutan yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik” “good” dan titik “buruk” “bad”. Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis
ordinasi. Proses ordinasi Rap-INSUSFORMA ini menggunakan perangkat lunak
modifikasi Rapfish Kavanagh, 2001. Proses Algoritma Rap-INSUSFORMA juga pada dasarnya mengikuti proses algoritma Rapfish seperti terlihat pada
lampiran 1. Dalam implemementasinya, Rapfish menggunakan teknik yang disebut
Multi Dimensional Scaling atau MDS. Objek atau titik yang diamati dipetakan ke dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan
sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain.
Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik titik yang berjauhan Fauzi dan Anna, 2005. Teknik ordinasi penentuan jarak di dalam
MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang yang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut :
2 2
2 1
2 1
2 1
2
... d
x x
y y
z z
= −
+ −
+ − +
1
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian
ij
d
dari titik
i
ke titik
j
dengan titik asal
ij
d
dituliskan dalam persamaan berikut:
ij ij
d a
bd e
= +
+
2
Umumnya terdapat tiga teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas yakni metode least square KRYST, metoda least squared
bergantian yang didasarkan pada akar dari Euclidian distance squared distance atau disebut metoda ALSCAL, dan metode yang didasarkan pada Maximum
Likelihood . Dari ketiga metode tersebut, Algoritma ALSCAL merupakan metode
51
yang paling sesuai untuk Rapfish dan mudah tersedia pada hampir setiap software statistika SPSS dan SAS. Alder et.al 2000. Metode ALSCAL
mengoptimisasi jarak kuadrat squared distance=
ijk
d
terhadap data kuadrat titik asal=
ijk
o
, yang dalam tiga dimensi
, , i j k
ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut :
2 2
2 4
1
1 ,
ijk ijk
m i
j k
ijk i
j
d o
S m
o
=
−
=
∑∑ ∑
∑∑
3
Jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis :
2 2
1 r
ijk ka
ia ja
a
d w
x x
=
= −
∑
4
Salah satu keunggulan MDS terhadap pendekatan lainnya seperti Multi Atribut Utility Techique MAUT atau cluster analisis adalah kemampuan
memetakan untuk jarak euclidian dalam ruang spasial. Selain itu, dimensi kordinat dalam MDS bersifat kontinyu sementara dalam cluster analisis bersifat
diskrit. Alder et al 2000 juga menyatakan kestabilan ordinasi bila menggunakan pendekatan MDS.
Perangkat lunak Rapfish merupakan pengembangan MDS yang terdapat di dalam perangkat lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebalikan posisi fliping,
dan beberapa analisis sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS ini, posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan
dalam dua dimensi sumbu horizontal dan vertikal. Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik
ekstrem “buruk” yang diberi nilai skor 0 dan titik ekstrem yang “baik” diberi nilai skor 100. Posisi status keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada di antara
dua titik ekstrem tersebut. Nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat pada
saat ini. Ilustrasi hasil ordinasi yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan sebesar 60 dapat dilihat pada Gambar 2
52
Gambar 2. Ilustrasi indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan sebesar 60 persen.
Analisis ordinasi ini dapat digunakan hanya untuk satu faktor saja dengan memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis
akan mencerminkan status keberlanjutan dimensi yang dimaksud. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan, maka analisis perbandingan keberlanjutan antar
dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang- layang kite diagram seperti disajikan pada Gambar 3.
Error
Skala indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan mempunyai rentang 0 - 100. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari
50, maka sistem tersebut di kategorikan sustainable, dan sebaliknya jika nilainya kurang dari 50, maka sistem tersebut digolongkan belum sustainable.
Dalam penelitian ini disusun empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar 0 - 100 sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
100
60
Gambar 3 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap d imensi pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan
Barat 20
40 60
80 100
Ekologi
Ekonomi
Sosial budaya Teknologi
Hukum dan Kelembagaan
53
Tabel 5. Kategori status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-INSUSFORMA.
Nilai Indeks Kategori
0 – 25,99 Buruk
26,00– 49,99 Kurang
50 – 74,99 Cukup
75 – 100,00 Baik
Analisis sensitivitas dilakukan dengan tu juan untuk mengidentifikasi atribut yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap INSUSFORMA di
lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root mean square ” RMS ordinasi, khususnya pada sumbu–x atau skala
sustainabilitas. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu, maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam
pembentukan nilai INSUSFORMA pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya hutan di lokasi penelitian. Untuk mengevaluasi pengaruh galat error acak pada proses pendugaan
nilai ordinasi pengelolaan sumberdaya hutan digunakan analisis “Monte Carlo”. Menurut Kavanagh 2001, analisis “Montecarlo” juga berguna untuk
mempelajari hal-hal berikut ini. 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh
pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut;
2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda;
3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang iterasi; 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang missing data;
5. Tingginya nilai ”stress” hasil analisis Rap-INSUSFORMA nilai “stress”dapat diterima jika 25.
Secara lengkap, tahapan analisis Rap- INSUSFORMA menggunakan metode MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish disajikan pada Gambar 4.
54
Analisis data dengan menggunakan Rap-Insusforma menyangkut aspek keberlanjutan dari Ekologi, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Hukum dan
Kelembagaan. Secara umum metode analisis Rap-Insusforma akan dimulai dengan mereview atribut-atribute dan mendefinisikan sumberdaya hutan yang
akan dianalisis diwilayah perbatasan kalimantan Barat melalui study literatur serta pengamatan di lapangan. Tahap selanjutnya adalah pemberian skor yang
didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Rap-Insusforma. Setelah didapatkan hasil scoring maka setiap atribute dianalisis dengan
menggunakan Multidimensional Scaling MDS guna menentukan posisi relatif dari sumberdaya hutan terhadap ordinasi good dan bad. Dalam MDS, obyek atau
titik yang diamati dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin terhadap titik asal.
Dengan kata lain, dua titik atau obyek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lainnya. Sebaliknya obyek atau titik yang tidak
sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Pada setiap pengukuran, jarak titik pendugaan dengan titik asal menjadi
penting. Goodness of fit dalam MDS, dimaksudkan untuk mengukur seberapa tepat How well konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya.
Goodness of fit dicerminkan dari besaran nilai S-stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas. Nilai stress yang rendah menunjukan good fit,
sementara nilai S yang tinggi menunjukan hal sebaliknya. Dalam Rap-
Kondisi pengelolaan sumberdaya hutan saat ini
Mulai
Penentuan Atribut sebagai Kriteria Penilaian
MDS ordinasi setiap atribut Penilaian skor setiap atribut
Analisis Monte Carlo Analisis Sensitivitas
Analisis Keberlanjutan
Gambar 4. Tahapan analisis Rap- INSUSFORMA menggunakan MDS dengan aplikasi Modifikasi Rapfish.
55
Insusforma, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 S
0,25 Langkah selanjutnya menganalisis nilai stres dengan menggunakan
ALSCAL Alogaritme. Dari hasil ordinasi dengan MDS dan nilai stress melalui alogaritme ALSCAL dilakukan “rotasi” untuk menentukan posisi sumberdaya
hutan pada ordinasi bad dan good. Langkah selanjutnya adalah menganalisis menggunakan Monte carlo untuk menentukan aspek ketidakpastian dan analisis
Leverage untuk menentukan aspek anomali dari atribute yang dianalisis. 3.4.2. Pemodelan Siste m
Pemodelan sistem dilakukan melalui pendekatan sistem. Pada dasarnya pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Dengan demikian manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian pada berbagai
ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan
suatu sistem Marimin, 2004. Definisi dari kata sistem itu sendiri adalah kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Menurut Eriyatno 1998, karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antarbagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan
suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem system approach. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai
dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan – kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.
Tahapan dalam pendekatan sistem meliputi : 1 Analisis kebutuhan antar pelaku, 2 Formulasi permasalahan, 3 Identifikasi sistem, 4 permodelan sistem,
5 Verifikasi dan Validasi model serta 5 Implementasi model. Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem. Dalam tahap ini dicari secara
selektif apa saja yang dibutuhkan dari masing-masing pelaku yang terlibat dalam sistem. Formulasi permasalahan merupakan tahapan untuk merumuskan
permasalahan yang dihadapi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dari masing-masing pelaku tersebut. Identifikasi sistem merupakan
suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi
kebutuhan tersebut. Pemodelan sistem adalah tahapan menemukan hubungan antara masukan dan luaran sistem yang akan diverifikasi dan divalidasi pada tahap
selanjutnya. Pada tahap akhir dilakukan rencana implementasi model. Tahapan pendekatan sistem dapat dilihat pada Gambar 5.
56
Tahapan dalam membangun model sistem pengelolaan sumberdaya
hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
a. Analisis kebutuhan Berdasarkan survey di lapangan, dapat diidentifikasi bahwa stakeholders
yang terlibat dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat adalah pemerintah yang mewakili
kepentingan publik melalui dinas kehutanan Provinsi dan dinas kehutanan di 5 kabupaten yang termasuk dalam wilayah perbatasan, pengusaha industri
pengolahan hasil hutan, lembaga swadaya masyarakat LSM yang peduli Tdk Tdk
Ya Ya
T d k T d k Ya
Ya
Tdk Ya
Gambar 2. Tahapan Pendekatan Sistem
Mulai
Absah ? Identifikasi Sistem
- diagram lingkar sebab akibat
- diagram input - output
Pemodelan Sistem
Verifikasi dan validasi model
Absah?
A b s a h ? A b s a h ?
Absah?
Analisis Kebutuhan
Formulasi permasalahan
selesai
A A
mulai
Analisis Kebutuhan
absah
Formulasi Permasalahan
absah
Identifikasi Sistem
absah absah
absah
Pemodelan sistem
Verifikasi dan validasi
selesai
Tdk Tdk Ya
Ya
T d k T d k Ya
Ya
Tdk Ya
Gambar 2. Tahapan Pendekatan Sistem
Mulai
Absah ? Identifikasi Sistem
- diagram lingkar sebab akibat
- diagram input - output
Pemodelan Sistem
Verifikasi dan validasi model
Absah?
A b s a h ? A b s a h ?
Absah?
Analisis Kebutuhan
Formulasi permasalahan
selesai
A A
mulai
Analisis Kebutuhan
absah
Formulasi Permasalahan
absah
Identifikasi Sistem
absah absah
absah
Pemodelan sistem
Verifikasi dan validasi
selesai
Tdk Tdk Ya
Ya
T d k T d k Ya
Ya
Tdk Ya
Gambar 2. Tahapan Pendekatan Sistem
Mulai
Absah ? Identifikasi Sistem
- diagram lingkar sebab akibat
- diagram input - output
Pemodelan Sistem
Verifikasi dan validasi model
Absah?
A b s a h ? A b s a h ?
Absah?
Analisis Kebutuhan
Formulasi permasalahan
selesai
A A
mulai
Analisis Kebutuhan
absah
Formulasi Permasalahan
absah
Identifikasi Sistem
absah absah
absah
Pemodelan sistem
Verifikasi dan validasi
selesai
Tdk Tdk Ya
Ya
T d k T d k Ya
Ya
Tdk Ya
Gambar 2. Tahapan Pendekatan Sistem
Mulai
Absah ? Identifikasi Sistem
- diagram lingkar sebab akibat
- diagram input - output
Pemodelan Sistem
Verifikasi dan validasi model
Absah?
A b s a h ? A b s a h ?
Absah?
Analisis Kebutuhan
Formulasi permasalahan
selesai
A A
mulai
Analisis Kebutuhan
absah
Formulasi Permasalahan
absah
Identifikasi Sistem
absah absah
absah
Pemodelan sistem
Verifikasi dan validasi
selesai
Gambar 5. Tahap pendekatan Sistem Eriyatno
57
dengan pelestarian sumberdaya hutan, masyarakat di sekitar hutan yang menggantungkan sumber penghasilannya pada sumberdaya hutan, Perguruan
Tinggi, Badan Persiapan Pengelolaan Kawasan Perbatasan BP2KP dan petugas di wilayah perbatasan dengan Malaysia. Analisa kebutuhan stakeholders
dalam sistem pengelolaan pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan dapat dilihat pada pada Tabel 6.
Tabel 6 . Analisa kebutuhan stakeholders dalam sistem pengelolaan sumberdaya
hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat
No. Pelaku Sistem
Kebutuhan Pelaku Sistem 1.
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten serta
dinas intsansi teknis •
Peningkatan pendapatan masyara kat •
Terjaganya kelestarian lingkungan •
Peningkatan devisa negara dan pendapatan asli daerah PAD
• Penyerapan tenaga kerja
• Peningkatan dinamika ekonomi daerah
• Terbinanya hubungan yang harmonis dengan
negara tetangga. 2.
Industri pengolahan hasil hutan
• Terjamin pasokan bahan baku industri
• Harga produk yang layak
• Keberlanjutan usaha
3. Lembaga Swadaya
Masyarakat LSM •
Terjaganya kelestarian sumberdaya hutan •
Terjaminnya hak-hak masyarakat di sekitar hutan •
Penyediaan lapangan kerja. 4
Masyarakat di sekitar kawasan hutan
• Tersedianya SDH sebagai sumber pendapatan dan
mata pencaharian masyarakat. •
Pengembangan budaya 5
Perguruan tinggi •
Sebagai bahan kajian akademis 6.
Institusi BP2KP •
Mempersiapkan pengelolaan kawasan perbatasan secara komprehensif dan holistik.
7. Petugas di wilayah
perbatasan •
Konsistensi penegakan peraturan yang berlaku di bidang kehutanan.
b. Formulasi masalah Seringkali terjadi konflik kepentingan dari kebutuhan para stakeholder.
Sebagai contoh, pemerintah yang mewakili kepentingan publik mempunyai kepentingan untuk melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan perlu harus
membuat kebijakan yang efektif dan merealisasikannya, sedangkan pengusaha industri pengolahan hasil hutan membutuhkan pasokan bahan baku untuk
58
kebutuhan industri sesuai dengan kapasitas mesin yang terpasang sementara daya dukung hutan sudah tidak mencukupi, ditambah lagi masyarakat di sekitar
hutan memerlukan lapangan pekerjaan dan memperoleh penghasilan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan dan sebagainya. Konflik kepentingan
pada para stakeholder dan keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut menimbulkan masalah dalam sistem.
Berdasarkan uraian tersebut permasalahan dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan adalah sebagai berikut:
• Keterbatasan bahan baku terutama kayu untuk memenuhi kebutuhan industri
pengolahan sesuai dengan kapasitas mesin yang terpasang. •
Keterbatasan sarana dan prasarana, kualitas sumberdaya manusia, dan modal dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan.
• Belum adanya hubungan saling membutuhkan dan mekanisme kerjasama
antara pihak industri pengolahan hasil hutan dengan masyarakat di sekitar hutan.
• Lemahnya tanggung jawab dan kepedulian para stakeholder untuk menjaga
kelestarian lingkungan. •
Peraturan perunda ng-undangan bidang kehutanan dan lingkungan hidup yang tidak operasional dan penegakan hukum yang tidak konsisten.
c. Identifikasi sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan
dari kebutuhan -kebutuhan dengan pernyatan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan tersebut.
Identifikasi sistem dilakukan dengan menghubungkan antara pernyataan- pernyataan maslah dengan kebutuhan-kebutuhan aktor yang terlibat dalam
sistem. Identifikasi sistem bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya hasil identifikasi sistem digambarkan
dalam sebuah diagram input output. Diagram input output model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan digambarkan dalam diagram pada Gambar 6.
59
Output dikehendaki merupakan pemecahan dari pemenuhan kebutuhan spesifik yang diperoleh pada tahap analisis kebutuhan. Output tak dikehendaki
adalah hasil samping yang dapat timbul bersamaan dengan output yang dikehendaki.
d. Pembuatan model Model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan dibangun
berdasarkan hasil identifikasi sistem yang akan diintegrasikan dengan hasil INSUSFORMA.
• Peningkatan
devisa negara dan PAD
• Kelestarian
sumberdaya hutan •
Penyerapan tenaga kerja
• Peningkatan
dinamika ekonomi daerah
• Terbinanya
hubungan yang harmonis dengan
negara tetangga
• Bencana alam
banjir, kekeringan,
kebakaran hutan •
Penurunan kualitas
lingkungan •
Terjadi konflik
OUTPUT TIDAK DIINGINKAN
MODEL PENGELOLAAN
SUMBERDAYA HUTAN
berkelanjutan
UMPAN BALIK
INPUT LINGKUNGAN
• Kondisi lahan
• Daya dukung
lingkungan. •
Tingkat keanekaragama
-an hayati •
Kondisi iklim dan cuaca
INPUT TIDAK TERKONTROL
• Teknologi
• Saranan dan
prasarana, SDM, dan Modal.
• Kerjasama lintas
sektor. •
SML Perusahaan •
Kuantitas dan kualitas produk
• Kapasitas
produksi industri •
Kegiatan reboisasi
INPUT TERKONTROL
OUTPUT DIINGINKAN
• UU No. 231997
•
Peraturan perundang- undangn di bidang
kehutanan
Gambar 6. Diagram Input-Output pengelolaan sumberdaya hutan
60
e. Simulasi Model Simulasi model digunakan untuk melihat pola kecenderungan perilaku
model berdasarkan hasil simulasi model akan dianalisis dan ditelusuri faktor- faktor yang menyebabkan terjadinya pola dan kecenderungan tersebut. Tahap
berikutnya perlu dijelaskan bagaimana mekanisme kejadian tersebut berdasarkan analisis struktur model. Hasil simulasi model dijadikan dasar untuk
merumuskan kebijakan yang diperlukan dalam perbaikan kinerja sistem. f. Verifikasi dan Validasi Model
Suatu model dikatakan valid jika struktur dasarnya dapat menggambarkan perilaku yang polanya dapat menggambarkan perilaku sistem
nyata, atau dapat mewakili dengan cukup akurat, data yang dikumpulkan sehubungan dengan sistem nyata atau asumsi yang dibuat berdasarkan
referensi sesuai cara sistem nyata bekerja. Membuktikan validasi sebenarnya suatu hal yang sulit untuk d ilakukan.
Walaupun validasi suatu sistem dibatasi oleh mental model dari penyusun model, namun demikian untuk memenuhi kaidah keilmuan pada model sistem
tetap perlu dilakukan uji validasi. Hal ini juga dilakukan untuk menanggapi kritik para ekonom di tahun 1960 -an, yang menyatakan bahwa metode berpikir
sistem sebagai model of doom karena saat itu belum dilengkapi dengan teknik- teknik validasi..
3.4.3. Analisis Propektif