33
2.4. Kawasan Perbatasan
Kawasan perbatasan Indonesia terdiri dari perbatasan darat yang berbatasan langsung dengan Malaysia, Papua Nugini PNG, dan Timor Leste
serta perbatasan laut yang berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan
Papua Nugini PNG. Kawasan perbatasan darat Indoensia berada di tiga pulau yaitu Pulau
Kalimantan, Pulau Papua, dan Pulau Timor, serta tersebar di empat provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa tenggara Tomur.
Setiap kawasn perbatasan memiliki kondisi yang berbeda satu sama lain. Kawasan perbatasan di Kalimantan berbatasan dengan Negara Malaysia yang
masyarakatnya lebih sejahtera. Kawasan perbatasan di Papua, masyarakatnya relatif setara dengan masyarakat PNG, sementara dengan Timor Leste kawasan
perbatasan Indoensia masih relatif baik dari segi infrastruktur maupun tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Kawasan perbatasan darat di Kalimantan memiliki kawasan perbatasan dengan Malaysia di delapan kabupaten yang berada di wilayah Provinsi
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Wilayah Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan wilayah Serawak sepanjang 847,3 KM yang melintasi 98 desa
dalam 14 kecamatan di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan Bengkayang. Dari kelima kabupaten tersebut hanya ada
terdapt dua pintu perbatasan border gate resmi, yaitu di Kabupaten Sanggau dan Bengkayang. Kabupaten Sanggau memiliki fasilitas Custom, Imigration,
Quarantine, and Security CIQS dengan kondisi yang relatif baik, sedangkan fasilitas CIQS di tempat lainnya maish sederhana serta belum didukung oleh
aksesbilitas yang baik karena kondisi jalan yang buruk. Potensi siumberdaya alam di kawasan perbatasan Kalimantan Barat
cukup besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan produksi konversi, hutan lindung, dan danau alam yang dapat dikembangkan menjadi
daerah wisata alam ekowisata serta sumberdaya laut yang ada di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat. Beberpa sumberdaya alam tersebut berstatus
taman nasional dan hutan lindung yang perlu dijaga kelestariannya seperti Cagar Alam Gunung Nyiut, Taman Nasional Betung Kerihun, dan Suaka Margastawa
Danau Sentarum. \
34
Seiring dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di kawasan perbatasan, maka berbagai kegiatan ilegal telah terjadi seperti
pencurian kayu atau penebangan kayu liar illegal logging yang dilakukan oleh oknum-oknum di negara tetangga bekerjasama dengan masyarakat Indonesia.
Kegiatan penebangan kayu secara liar oleh masyarakt Indonesia ini dipicu oleh kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar
perbatasan, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di kawasan tersebut.
Isu dan permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan baik perbatasan darat maupun laut, dapat dikelompokkan menjadi enam aspek, yaitu kebijakan
pembangunan, ekonomi sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan, pengelolaan sumberdaya alam, kelembagaan dan kewenangan, serta kerjasama
antar negara. Pada aspek kebijakan pembangunan, ada dua hal pokok yang menjadi
permasalahan yaitu kebijakan pembangunan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan-kawasan tertinggal dan terisolir dan belum adanya kebijakan
dan strategi nasional pengembangan kawasan perbatasan. Selama beberapa puluh tahun masalah perbatasan masih belum mendapat perhatian yang cukup
dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-
wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan di daerah -daerah terpencil, terisolir dan tertinggal
seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan. Pada GBHN 1999-2004 secara tegas telah mengamanatkan arah kebijakan pembangunan daerah
perbatasan yaitu meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di Kawasan Timur Indonesai KTI, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal
lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Sasarannya adalah terwujudnya peningkatan kehidupan soial-ekonomi dan
kesejahteraan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, ketertiban serta keamanan wilayah perbatasan. Namun demikian, sejauh ini belum tersusun
suatu kebijakan nasional yang memuat arah, pendekatan, dan strategi pengembangan kawasan perbatasan yang bersifat menyeluruh dan
mengintegrasikan fungsi dan peran seluruh stakeholders wilayah perbatasan, baik di pusat maupun daerah secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini
35
mengakibatkan penanganan pembangunan wilayah perbatasan terkesan terabaikan dan masih bersifat parsial.
Paradigma pengelolan wilayah perbatasan di masa lampau sebagai ”halaman belakang” wilayah NKRI membawa implikasi terhadap wilayah ini
sebagai daerah yang terisolir dan tertinggal dari sisi ekonomi dan sosial. Munculnya paradigma ini, disebabkan oleh sistem poltik yang sentralsitik dan
sangat menekankan stabillitas keamanan. Disamping itu, secara historis hubungan Indonesia dengan beberapa negara tetangga pernah dilanda konflik,
serta seringkali terjadinya pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri. Konsekuensinya, persepsi penanganan wilayah perbatasan lebih
didominasi pandangan untuk mengamankan perbatasan dari potensi ancaman dari luar external threat dan cenderung memposisikan kawasan perbatasan
sebagai sabuk pengaman security belt. Hal ini mengakibatkan pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan ke sejahteraan melalui optimalisasi
potensi sumberdaya alam, terutama yang dilakukan investor swasta tidak berjalan.
Menurut UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS bahwa arah kebijakan pembangunan kawasan perbatasan meliputi; a Meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat; b Meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan; dan c Meningkatkan ketertiban dan keamanan
daerah yang berbatasan dengan negara lain. Wilayah perbatasan memiliki potensi sumberdaya hutan yang belum
dimanfaatkan dan di kelola secara optimal. Pengelolaan sumberdaya hutan diwilayah perbatasan perlu memperhatikan upaya pelestarian fungsi hutan
sebagai sistem penyangga kehidupan bagi kesejahteraan masyarakat. BPKH wilayah III, 2004. Jika dicermati, di wilayah perbatasan terjadi aktivitas
ekonomi yang relatif tinggi khususnya yang berkaitan dengan sumberdaya hutankayu. Akibatnya, muncul banyak permasalahan di kawasan ini seperti
kesenjangan ekonomi, terjadinya praktek-praktek illegal loging, ketertinggalan pembangunan dan keterisolasian wilayah Suratman, 2004.
Salah satu kebijakan pembangunan ekonomi yang akan dilaksanakan pemerintah daerah provinsi Kalimantan Barat adalah melalui pengembangan
wilayah perbatasan. Kebijakan ini penting karena 5 dari 10 kabupatenkota yang ada di Kalimantan Barat memiliki wilayah administrasi kawasan perbatasan.
Dasar kebijakan pengembangan kawasan perbatasan tertuang dalam perda
36
nomor 1 tahun 1995 tentang RTRWP Kalimantan Barat yang menetapkan wilayah perbatasan sebagai kawasan tertentustrategis yang diprioritaskan
pengembangannya. Selanjutnya, implementasi perda ini tertuang pada Properda Kalimantan Barat 2000 – 2005 yang dikhususkan untuk pembangunan wilayah
perbatasan BAPPEDA Provinsi Kalimantan Barat, 2001. Pembangunan daerah perbatasan bertujuan untuk merangsang kegiatan
produksi masyarakat, meningkatkan pembangunan dan pelayanan masyarakat, serta mendorong dan meningkatkan mutu lingkungan Bappeda Provinsi
Kalimantan Barat, 2003. Disamping itu, kerjasama bidang sosial ekonomi antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia Sosek Malindo yang ditandatangani
pada sejak tanggal 13 Desember 1984 bertujuan untuk: a Meningkatkan pembangunan jalan yang menghubungkan dua negara
b Terselenggaranya pertukaran informasi, c Kesepakatan prosedur dan syarat lintas batas bagi kendaraan umum
maupun perdagangan d Kerjasama di bidang kehutanan antara Departemen Kehutanan dengan
Jabatan kehutanan Serawak pada daerah Bentuang Karimun dan Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu dengan Danau Entimau Serawak.
Visi dari kerjasama ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kedua daerah melalui kerjasama Sosek Malindo menuju tahun 2020.
Sedangkan Misi kerjasama ini adalah: a Menciptakan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang kondusif bagi
kesejahteraan masyarakat masing -masing daerah. b Meningkatkan kerjasama ekonomi yang berkeadilan dan saling
menguntungkan kedua belah pihak serta tetap berorientasi pada kelestarian lingkungan.
c Meningkatkan kerjasama sosial dan budaya dalam upaya meningkatkan kualitas dan pemberdayaan sumberdaya manusia di kedua daerah.
Beberapa strategi yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan dari kerjasama tersebut adalah:
a Debirokratisasi sistem dan prosedur dalam hal pengurusan. b Pemberian kepastian hukum, perlindungan dan penegakan hukum.
c Harmonisasi perundangan kedua negara yang berkaitan dengan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya di kedua daerah.
37
d Penggalian potensi ekonomi dan investasi atas dasar kerjasama yang saling menguntungkan serta adil.
e Peningkatan kualitas dan pemberdayaan sumberdaya manusia melalui kerjasama bidang pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan, dan teknologi,
serta budaya. f Peningkatan kualitas lingkungan melalui kerjasama program-program
perbaikan kerusakan dan pengendalian atas dampak negatif pembangunan. Menurut Guo 1996 Kalimantan Barat adalah salah satu dari empat
provinsi di Indonesia yang secara langsung mempunyai perbatasan darat dengan negara tetangga yaitu serawak Malaysia Timur. Di wilayah perbatasan wilayah
Kalimantan barat potensi sumberdaya hutan relatif besar dan belum dikelola secara optimal. Selain memang adanya keterbatasan baik fisik maupun sosial
ekonomi dikawasan ini, juga dikarenakan kurangnya perhatian dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap pengelolaan sumberdaya di wilayah
perbatasan. Akibatnya, kawasan perbatasan yang kaya akan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan belum bisa memberikan kontribusi yang besar
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun peningkatan pendapatan asli daerah PAD. Hal ini disebabkan lemahnya kosentrasi
pembangunan ke kawasan perbatasan khususnya pembangunan sektor kehutanan yang kurang mendapat prioritas didalam perencanaan pembangunan.
Di sisi lain, kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan terkesan masih bersifat sektoral dan belum mencakup aspek Ekologi, ekonomi,
sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan.
2.5. Rapid Apraissal Indeks Sustainable For Forest