Dimensi hukum dan kelembagaan

102 Secara umum sampai saat ini ketersediaan teknologi dalam mengelola sumberdaya hutan di wilayah perbatasan masih rendah dan belum memadai jika dibandingkan dengan luas wilayah.

e. Dimensi hukum dan kelembagaan

Intensitas terjadinya pelanggaran hukum di wilayah perbatasan masih tinggi. Luasnya wilayah serta minimnya prasarana dan sarana serta jumlah personil aparat keamanan yang tidak memadai telah menyebabkan belum optimalnya aktivitas aparat keamanan dan kepolisian. Untuk infrastruktur sosial dan keamanan, sudah seharusnya sedikit-demi sedikit diperbaiki untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Kerjasama pembangunan dengan Malaysia perlu dilakukan dalam rangka untuk mengefisienkan infrastruktur yang ada, terutama di kabupaten yang saat ini sudah dilewati jalan tembus ke Negara Bagian Serawak dan Sabah. Infrastruktur spesifik yang perlu dibangun di kawasan ini adalah infrastruktur komunikasi dan informasi. Dengan peluncuran program “internet desa” oleh negara tetangga maka pembangunan infrastruktur komunikasi perlu mendapat perhatian yang serius. Umumnya penduduk di kawasan perbatasan teridiri atas berbagai etnis. Heterogenitas etnis disertai kesenjangan ekonomi dan sosial akhir-akhir ini sering menimbulkan kecemburuan sosial yang jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai konflik. Permasalahan-permasalahan yang terjadi selama ini tidak teratasi karena masyarakat perbatasan masih banyak yang tidak mengetahui bagaimana menyalurkan keluhan mereka kepada pemerintah. Masyarakat, terutama suku yang tinggal di daerah perbatasan lebih suka menghindar ke pedalaman manakala wilayah mereka terdegradasi. Kesenjangan akibat selisih kurs valuta, sarana dan prasarana darat, laut dan udara, sarana komunikasi dan informasi dengan Malaysia, juga mengurangi tingkat rasa nasionalisme dan kesadaran politik masyarakat di wilayah perbatasan, sehingga orientasi mereka dalam aspek ekonomi dan perdagangan lebih condong ke Pemerintah Negara Malaysia daripada ke Pemerintah Republik Indonesia. Kecenderungan masyarakat di wilayah perbatasan yang lebih berorientasi ke Serawak baik dalam mencari pekerjaan maupun perdagangan mengakiba tkan nilai tambah justru diperoleh oleh negara tetangga. Di sisi lain, informasi perkembangan pembangunan melalui alat elektronik yang mereka terima sebagian besar melalui saluran TV Malaysia karena saluran TVRI belum cukup 103 mampu menjangkau daerah -daerah di wilayah perbatasan. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme dan rentannya kecemburuan sosial masyarakat. Permasalahan di bidang politik umumnya berhubungan dengan rendahnya tingkat pemahaman terhadap aturan dan perundang -undangan yang berlaku. Partai politik belum dapat berperan secara optimal dalam pendidikan politik masyarakat perbatasan, lembaga legislatif juga belum secara optimal menyuarakan aspirasi rakyat perbatasan, adanya keinginan putra daerah menempati jabatan politik, belum siapnya masyarakat menghadapi otonomi daerah merupakan permasalahan bidang politik yang harus disikapi dengan arif dan memerlukan solusi. Umumnya berbagai kalangan berpendapat bahwa sebenarnya SDM lokal cukup memadai, namun belum secara maksimal diberdayakan. Di samping itu mereka setuju penempatan putra daerah pada jabatan politis asal memenuhi persyaratan dan memiliki kemampuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Patok-patok perbatasan banyak yang hilang dan berpindah tempat sehingga dapat menyulitkan dalam menentukan garis perbatasan. Jumlah Pos perbatasan yang tidak memadai dan sangat tidak sebanding dengan panjangnya garis perbatasan menyebabkan sulitnya pengawasan pelintas batas ilegal di kawasan perbatasan. Di samping itu masih lemahnya koordinasi antar instansi di kawasan perbatasan TNI, POLRI, Bea Cukai, Kehutanan, dan Immigrasi menjadikan lambannya pembangunan di wilayah perbatan. Di sisi lain, rendahnya tingkat kesadaran hukum, disiplin, kerampilan masyarakat, kurangnya fasilitas pendukung bagi aparat dan tingginya tindak kriminalitas merupakan permasalahan tersendiri yang memerlukan perhatian. 104 5.1.2. Nilai Indeks status keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Wilayah Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat. Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat dilakukan dengan metode multidimensional scaling MDS yang disebut dengan metode Rap-INSUSFORMA. Analisis Rap- INSUSFORMA akan menghasilkan status dan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat. Hasil analisis Rap-INSUSFORMA yang bersifat multidimensi, yaitu gabungan semua atribut dari lima dimensi yang dianalisis ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 36,85 pada skala sustainabilitas 0 – 100 Gambar 10. Nilai indeks keberlanjutan sebesar 36,85 yang diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 44 atribut tersebut termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan Kurang: 25 Nilai indeks 50. Untuk mengetahui dimensi pembangunan apa yang memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-INSUSFORMA pada setiap dimensi. RAPFISH Ordination 36.85 GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability Other Distingishing Features Real Fisheries References Anchors Gambar 10 Analisis Rap-INSUSFORMA yang menunjukkan nilai keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalbar. Berdasarkan Gambar 11 nilai indeks kebe rlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar 36,11 pada skala sustainabilitas 0 – 100. Jika dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan yang bersifat multidimensi maka nilai indeks 105 dimensi ekologi berada di bawah nilai indeks multidimensi dan terma suk ke dalam kategori kurang berkelanjutan Kurang : 25 Nilai indeks 50. RAPFISH Ordination 36.11 GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability Other Distingishing Features Real Fisheries References Anchors Gambar 11. Analisis Rap -INSUSFORMA yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. 5.02 4.65 7.41 8.47 5.49 5.72 0.10 5.06 4.88 4.41 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ketersediaan Zonasi Untuk Berbagai Pengelolaan Hutan Upaya Perlindungan thdp tempat2 yg rentan ekologis Tingkat keanekaragaman biota Upaya perlindungan thd biota langka Frekwensi kebakaran hutan Waktu Suksesi hutan Program reboisasi hutan Kegiatan Ladang berpindah Frekuensi terjadinya banjir Diameter Tebangan Atribut Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 Gambar 12. Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. 106 Analisis leverage dilakukan bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Berdasarkan Gambar 12, semua atribut dimensi ekologi memiliki tingkat sensitivitas yang relatif sama dalam perannya terhadap nilai indeks kebelanjutan. Namun dari ketujuh atribut pada dimensi ini, atribut upaya perlindungan terhadap biota langka 8,47, atribut tingkat keaneka ragaman biota 7,41, atribut kegiatan ladang berpindah 5,08, atribut waktu suksesi hutan 5,72, atribut frekwensi kejadian kebakaran hutan 5,49, dan atribut ketersediaan zonasi untuk berbagai pengelolaan sumberdaya hutan 5,02, merupakan atribut yang sangat penting dan berpengaruh terhadap nilai indeks yang dihasilkan. Kebakaran hutan yang selalu berulang setiap tahun selama dua dekade terakhir ini menimbulkan kerugian yang tidak sedikit mengingat sumberdaya hutan memiliki keterkaitan yang erat dengan kinerja perekonomian, kualitas ekologi, dan ketergantungan sosial. Sumberdaya hutan merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir 1994-2004, kontribusi sektor kehutanan terhadap produk dome stik bruto PDB mencapai rata -rata sebesar 1,53 , dengan laju pertumbuhan pada periode yang sama rata -rata sebesar 0,73 . Kontribusi tersebut dicapai melalui kegiatan eksploitasi hutan yang mengabaikan prinsip hutan lestari. Industri pengolahan kayu di Indonesia saat ini membutuhkan sekitar 80 juta M3 kayu tiap tahun untuk memasok industri penggergajian, kayu lapis, pulp dan kertas. Jumlah kebutuhan tersebut jauh lebih besar dari yang dapat diproduksi secara legal dari hutan alam dan HTI. Akibatnya, lebih dari setengah pasokan kayu di Indonesia sekarang diperoleh dari pembalakan illegal FWIGFW, 2001. Eksploitasi sumberdaya hutan yang tak terkendali ini akan mengganggu keseimbangan alam, salah satunya berupa peningkatan potensi kerawanan terhadap kebakaran hutan. Salah satu persoalan yang selalu menyertai kegiatan eksploitasi sumberdaya hutan adalah terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran hutan di Indonesia ternyata merupakan sutau kejadian yang terus berulang dalam kurun waktu 20 tahun terkahir ini. Sejak kebakaran besar yang terjadi pada tahun 198283 di Kalimantan Timur yang menghabiskan 3,5 juta ha hutan KMNLH dan UNDP, 1998, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya semakin luas. Kebakaran besar di Indonesia tercatat terjadi pada tahun 1987, 107 1991, 1994, dan 19971998 Dennis, 1999. Kebakaran hutan terburuk terjadi pada tahun 1997 meliputi 25 provinsi dengan 75 juta orang terkena dampaknya Bappenas, 1999. Berulangnya kejadian kebakaran hutan menjadi ancaman bagi pembangunan yang berkelanjutan karena dampaknya terhadap kegiatan ekonomi, ekologi dan sosial secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Kebakaran hutan menimbulkan kerugian ekonomi berupa hilangnya hasil hutan kayu dan non kayu, hilangnya keanekaragaman hayati dan lain-lain. Secara tidak langsung, asap akibat kebakaran hutan akan berdampak pada kesehatan, kehilangan hari kerja dan sekolah, kehilangan fungsi ekologi, serta kerugian sektor pariwisata dan perhubungan. Secara ekologis, kebakaran pada hutan hujan tropis akan mengurangi fungsi hutan dalam menjaga kesuburan tanah, mengatur tata air dan iklim serta menjadi berkurangnya habitat fauna. Terjadinya kebakaran hutan mengakibatkan proses ekologi hutan berupa suksesi alam, produksi bahan organik dan proses dekomposisi, siklus unsur hara, siklus hodrologi dan pembentukan tanah akan terganggu. Dari dimensi sosial lebih difokuskan pada kerugian di tingkat makro, misalnya kerugian di sektor transportasi, pariwisata, dan industri kehutanan. Semua sektor tersebut dinilai lebih banyak pengaruhnya terhadap politik dan ekonomi dibandingkan keadaan petani miskin di sekitar hutan dan pedesaan, padahal ada 30 juta penduduk yang secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan. Secara keseluruhan, sekitar 100 juta orang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan. Selain itu, sekitar sepertiga dari penduduk pedesaan di Indonesia bergantung pada ketersediaan kayu bakar, tanaman obat, makanan, dan pupuk organik dari sampah hutan, dan sekaligus sebagai sumber penghasilan. Dari sisi penegakan hukum, ganti rugi yang diterapkan pada para pelaku pembakaran hutan relatif rendah dan tidak didasarkan pada perhitungan dampak dari kebakaran hutan secara keseluruhan sosial, ekonomi, dan ekologi. Sebagai contoh, pada kasus pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau pada tahun 1999, PT Adei Plantation hanya dikenakan denda 100 juta rupiah untuk 2.970 hektar areal hutan yang terbakar. Analisis dampak kebakaran hutan yang dilakukan selama ini lebih dititikberatkan pada sektor produksi, padahal, kebakaran hutan juga memiliki keterkaitan dengan pelaku produksi rumah tangga, perusahaan, dan 108 pemerintah dan faktor produksi tenaga kerja dan modal sehingga kerugian sungguhnya dari kebakaran hutan menjadi jauh lebih besar dan kompleks. Sudut pandang yang parsial tersebut dapat menimbulkan kerancuan kebijakan karena keterbatasan pemahaman mengenai dampak kebakaran hutan terhadap ekosistem dan perekonomian. Hal tersebut juga dapat mengakibatkan terjadinya ketidakpastian tanggapan secara sosial, ekonomi, dan kelembagaan terhadap kebakaran hutan yang terjadi. Berbagai usulan kebijakan yang diajukan untuk menyelesaikan masalah kebakaran hutan hendaknya difokuskan pada dampak sesungguhnya yang akan ditimbulkan oleh kebakaran hutan. Kondisi di ata s memunculkan beberapa pertanyaan yang mendasar seputar kebakaran hutan, yaitu seberapa jauh kebakaran hutan berdampak terhadap penurunan output tenaga kerja dan modal, seberapa besar dampak kebakaran hutan terhadap perubahan distribusi pendapatan rumah tanga, perusahaan dan pemerintah, dan melalui jalur-jalur utama mana dampak kebakaran hutan tersebut terjadi. Nilai kerugian ekonomi total yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan mencapai Rp. 269 juta per hektar areal hutan terbakar. Kerugian ini diakibatkan oleh penurunan output produksi sebesar Rp. 128,61 juta, serta hilangnya pendapatan faktor produksi factorial income dan pendapatan institusi masing- masing sebesar Rp. 62,94 juta dan Rp. 77, 44 juta untuk setiap hektar hutan yang terbakar. Dengan rata-rata luas kebakaran hutan sebesar 71.040 hektar tiap tahunnya, total kerugian sosial ekonomi akibat kebakaran hutan setiap tahunnya mencapai Rp. 19,11 triliun Bappenas dan Usaid, 2000 Secara sosial, rumahtangga merupakan institusi yang paling terkena dampak dari terjadinya kebakaran hutan. Kerugian yang dirasakan rumahtangga, yaitu berupa penurunan pendapatan sebesar Rp. 45,48 juta per hektar areal hutan yang terbakar jaun lebih besar dari penurunan pendapatan yang dialami perusahaan dan pemerintah yang masing-masing hanya sebesar Rp. 20,42 juta dan Rp. 11,54 juta untuk setiap hektar areal hutan yang terbakar. Dari analisis jalur struktural disimpulkan bahwa jalur dampak kebakaran hutan termasuk dampak kerusakan hutan lainnya memiliki keterkaitan yang erat dengan faktor tenaga kerja di daerah pedesaan, modal berupa tanah dan modal pertanian lainnya, buruh tani, dan pengusaha kecil di sektor pertanian. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara kegiatan di sektor kehutanan dengan sektor-sektor yang berbasiskan pertanian di pedesaan. 109 Implementasi sistem pengendalian kebakaran hutan di Indonesia selama ini lebih mengacu kepada pola yang cenderung bersifat reaktif, bukan antisipatif terhadap terjadinya bencana. Kebijakan pengendalian kebakaran hutan masih belum menyentuh akar permasalahannya. Hal ini disebabkan oleh strategi penanggulangan kebakaran hutan yang masih berfokus pada manajemen pemadaman dan tidak pada manajemen pencegahan. Selain itu, perangkat dan penegakan hukum di bidang lingkung an masih lemah untuk dapat menindak para pelaku penyebab kebakaran hutan. Untuk itu, perencanaan anggaran pencegahan yang efektif dan pemberian sanksi ganti rugi yang nilainya ditentukan sesuai besaran dampak nilai kerugian yang ditimbulkan akan sangat membantu dalam mengurangi potensi dan resiko kebakaran hutan. Penyediaan anggaran pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan perlu direncanakan dan dihitung dengan dasar yang jelas. Angka kerugian sosial ekonomi sesuai dengan hasil penelitian Kusmayadi 2004, yaitu sebesar Rp. 269 juta per hektar areal hutan yang terbakar dapat dijadikan dasar perhitungan untuk pengalokasian anggaran dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Jika alokasi anggaran pemerintah dalam rangka pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan diasumsikan sebesar satu persen berdasarkan pada kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB ± 1 dan potensi kerugian yang dapat ditimbulkan pada tahun berikutnya, maka pemerintah harus mengalokasikan dana sebesar 191,1 milyar rupiah setiap tahun. Dengan asumsi yang sama bahwa komponen biaya yang disediakan untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan sebesar satu persen dari total kerugian yang ditimbulkan, perusahaan yang mendapat konsesi hutan perlu menyisihkan dana inte rnal perusahaan untuk pengendalian kebakaran hutan sebesar Rp. 2,69 juta untuk tiap hektar konsesi yang dimiliki. Nilai ini dapat pula digunakan sebagai dasar perhitungan dana jaminan kebakaran hutan yang dipungut pemerintah dari setiap hektar konsesi yang diberikan kepada perusahaan. Apabila terjadi kebakaran hutan, dana yang dikelola oleh pemerintah ini dapat digunakan untuk kegiatan pemadaman kebakaran hutan maupun kegiatan penanaman kembali areal hutan pasca kebakaran. Nilai kerugian ekonomi kebakaran hutan sebesar Rp. 269 juta tiap hektar akibat kejadian kebakaran hutan diharapkan dapat menjadi acuan dalam penentuan besarnya ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku pembakaran 110 hutan. Selain itu, belum ada keputusan bersama antara Menteri Kehutanan dan menteri-menteri lain yang terkait dengan lingkungan hidup, yang isinya mengtur standar minimal besaran ganti rugi akibat kebakaran hutan. Gambar 13 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 53,17. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi lebih besar daripada nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi dan termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan. Hal ini mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan lebih berkelanjutan memberikan manfaat dari aspek ekonomi dari pada aspek ekologi. Namun manfaat ekonomi yang diperoleh saat ini masih bersifat jangka pendek karena sumberdaya hutan yang dieksploitasi belum diolah dengan menggunakan berbagai teknolgi, sehingga nilai tambah yang besar belum diperoleh untuk pertumbuhan ekonomi wilayah Kalimantan Barat. Nilai tambah yang lebih besar diperoleh Negara tetangga Malaysia. Perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut perlu dilakukan, agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat. RAPFISH Ordination 53.17 GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability Other Distingishing Features Real Fisheries References Anchors Gambar 13. Analisis Rap -INSUSFORMA yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi. Berdasarkan hasil analisis leverage Gambar 14 terdapat empat atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi 111 ekonomi, yaitu: 1 ketergantungan konsumen terhadap sumberdaya hutan terutama kayu 9,63; 2 besarnya pasar produk 8,93; 3 tingkat pendapatan masyarakat 6,23; 4 harga komoditi hasil hutan 9,58. Gambar 14. Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. Gambar 15 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial- budaya sebesar 40,44. Nilai indeks tersebut berada di bawah indeks keberlanjutan dimensi ekologi maupun ekonomi dan termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Untuk meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi n ilai indeks tersebut. Leverage of Attributes 2.38 5.15 3.02 8.93 9.63 9.58 1.49 6.23 3.89 2 4 6 8 10 12 Tingkat pengembalian dana reboisasi Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kalimanatan Bara Jenis produk hutan yang dipasarkan Pasar produk Tingkat ketergantungan konsumen terhadap hasil hutan. Harga komoditi hasil hutan yang dipasarkan. Kelayakan usaha industri kehutanan Tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan Pemanfaatan sumberdaya hutan bukan kayu Attribute Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 112 RAPFISH Ordination 40.44 GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability Other Distingishing Features Real Fisheries References Anchors Gambar 15. Analisis Rap -INSUSFORMA yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya. Berdasarkan hasil analisis leverage , terdapat tiga atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya. Leverage of Attributes 1.57 4.79 8.68 11.21 11.83 9.53 3.12 0.57 2 4 6 8 10 12 14 Akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan Pemahaman, kepedulaian, dan tanggung jawab masayarakat terhadap sumberdaya hutan Tingkat pendidikan masayarakat di sekitar hutan Peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan Attribute Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 Gambar 16. Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. 113 Atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya adalah sebagai berikut: 1 pola hubungan stakeholders9,53; 2 tingkat pendidikan masyarakat 11,83; dan 3 jarak lokasi pemukiman penduduk dengan kawasan hutan 11,21. Gambar 17. menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi sebesar 23,17. Nilai indeks tersebut termasuk ke dalam kategori buruk. Nilai ini sekaligus mengindikasikan masih rendahnya aplikasi teknologi pada pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan, padahal aplikasi teknologi dalam pengelolaan sumberdaya hutan sangat diperlukan baik teknologi pengolahan maupun berbagai teknologi yang diperlukan dalam rangka pengendalian dan penegamanan sumberdaya hutan. Agar nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dapat ditingkatkan perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut. RAPFISH Ordination 23.17 GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability Other Distingishing Features Real Fisheries References Anchors Gambar 17. Analisis Rap -INSUSFORMA yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Berdasarkan Gambar 18. terdapat lima atribut yang perlu dikelola dengan baik karena memberikan pengaruh yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi, yaitu: 1 ketersediaan teknologi pengolahan hasil hutan 6,47; 2 standarisasi mutu produk 6,25; 3 tingkat efisiensi industri pengolahan hasil hutan 5,00; 4 basis data sumberdaya hutan 4,61, dan 5 teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan 4,00. 114 Leverage of Attributes 5.00 6.74 3.61 4.61 4.00 6.25 3.58 2.55 1 2 3 4 5 6 7 8 Tingkat efisiensi industri pengolahan hasil hutan Ketersediaan teknologi pengolahan hasil hutan Ketersediaan teknologi informasi Ketersediaan basis data data base sumberdaya hutan Ketersediaan teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan Standarisasi mutu produk hasil hutan Penerapan sertifikasi produk hasil hutan ekolabel Pengolahan limbah kayu bekas tebangan Attribute Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 Gambar 18. Peran masing -masing atribut aspek teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. Gambar 19. menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan hanya sebesar 26,09 Nilai indeks tersebut termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan.. RAPFISH Ordination 26.09 GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability Other Distingishing Features Real Fisheries References Anchors Gambar 19. Analisis Rap -INSUSFORMA yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan 115 Berdasarkan Gambar 20 terdapat empat atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu: 1 ketersediaan hukum adatagama 6,10; 2 sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah dalam bidang kehutanan 3,66; 3 Intensitas pelanggaran hukum illegal logging 3,85, dan 4 frekuensi konflik 3,84. Leverage of Attributes 3.18 3.55 3.84 3.85 3.39 6.10 3.33 1.61 3.66 1 2 3 4 5 6 7 Perjanjian kerjasama dengan negara tetangga Malaysia Mekanisme kerjasama lintas sektor dan antar daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan Frekuensi konflik Intensitas pelanggaran hokum penebangan liar Ketersedian peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya hutan Ketersediaan hukum adatagama Keberadaan aparat penegak hukum di lokasi Konsistensi penegakan hukum Singkronisasi kebijakan pusat dan daerah Attribute Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 Gambar 20. Peran masing -masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. Analisis pada setiap dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan seperti disajikan pada Gambar 12,14, 16, 18, dan 20 memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi yang dianalisis ternyata dimensi teknologi memiliki indeks keberlanjutan yang rendah, kemudian disusul oleh dimensi hukum dan kelembagaan, sosial budaya, ekologi, dan yang paling tinggi adalah dimensi ekonomi. Berdasarkan indeks keberlanjutan setiap dimensi hasil analisis Rap-INSUSFORMA dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun dimensi yang termasuk kategori “baik” dan bahkan satu dimensi yang termasuk kategori “buruk”, yaitu dimensi teknologi. 116 Gambar 21 memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti semua nilai indeks dari setiap dimensi harus memiliki nilai yang sama besar akan tetapi dalam berbagai kondisi daerahnegara tentu memiliki prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian. Pada prinsipnya nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi tersebut berada pada kategori “baik” atau paling tidak “cukup” status keberlanjutannya. 36.11 53.17 40.44 23.17 26.09 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 EKOLOGI EKONOMI SOSIAL TEKNOLOGI HUKUM DAN KELEMBAGAAN Gambar 21. Diagram layang kite diagram nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Beberapa parameter statistik yang diperoleh dari analisis Rap-INSUSFORMA dengan menggunakan metode MDS berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi. Tabel 27 menyajikan nilai “stress” dan R 2 koefisien determinasi untuk setiap dimensi maupun multidimensi. Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat mendekati kondisi sebenarnya. 117 Tabel 27. Hasil analisis Rap-INSUSFORMA untuk beberapa parameter statistik. Nilai Statistik Multi Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial- Budaya Teknolo gi Hukum dan Kelembaga an Stress 0.12 0.13 0.13 0.13 0.14 0.14 R 2 0.96 0.95 0.95 0.95 0.95 0.95 Jumlah iterasi 2 2 2 2 2 2 Sumber : Hasil analisis, 2006. Berdasarkan Tabel 27, setiap dimensi maupun multidimensi memiliki nilai “stress” yang jauh lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan bahwa nilai “stress” pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai jika diperoleh nilai 25 Fisheries. Com, 1999. Semakin kecil nilai “stress” yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi R 2 , kualitas hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar mendekati 1. Dengan demikian dari kedua parameter nilai “stress” dan R 2 menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di Kalimantan Barat relatif baik dalam menerangkan kelima dimensi pembangunan yang dianalisis. Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks multidimensi maupun masing-masing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model ma tematis EPA 1997. Mekanisme untuk mendapatkan solusi tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Analisis Montecarlo dalam analisis Rap -INSUSFORMA digunakan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masing- masing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau ada data yang hilang missing data , dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Hasil akhir analisis Rap - INSUSFORMA berupa indeks keberlanjutan mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi. 118 Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total maupun masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat pada selang kepercayaan 95 didapatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan antara hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: 1 kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil; 2 variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; 3 proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil; 4 kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari. Tabel 28. Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai INSUSFORMA dan masing- masing dimensi pada selang kepercayaan 95. Status Indeks Hasil MDS Hasil Monte Carlo Perbedaan Multidimensi 36,85 36,44 0,41 Ekologi 36,11 36,44 0,33 Ekonomi 53,17 52,76 0,51 Sosial-Budaya 40,44 41,39 0,95 Teknologi 23,17 24,06 0,89 Hukum dan Kelembagaan 26,09 27.18 1,09 Sumber: Hasil Analisis, 2005. Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada Tabel 28 menunjukkan bahwa analisis Rap -INSUSFORMA dengan menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan sistem yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa metode analisis Rap-INSUSFORMA Rapid appraisal-Indeks Sustainability Forest Management yang dilakukan dalam kajian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara cepat rapid appraisal keberlanjutan dari sistem pengelolaan sumberdaya hutan di suatu wilayahdaerah. Pada Gambar 22,23, 24, 25, 26, dan 27 dapat dilihat nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat berdasarkan hasil analsis Montecarlo. 119 RAPFISH Ordination Median with Error Bars showing 95Confidence of Median 36.44 100.00 0.00 49.88 49.71 97.11 90.03 79.20 65.15 35.10 21.57 10.61 3.30 2.85 9.45 20.04 34.08 64.73 77.93 88.47 95.99 -60 -40 -20 20 40 60 2 0 40 6 0 8 0 100 120 Fisheries Sustainability Gambar 22. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan multidimensi sebesar 36,44. RAPFISH Ordination Median with Error Bars showing 95Confidence of Median 36.44 100.00 0.00 49.88 49.71 97.11 90.03 79.20 65.15 35.10 21.57 10.61 3.30 2.85 9.45 20.04 34.08 64.73 77.93 88.47 95.99 -60 -40 -20 20 40 60 2 0 40 6 0 8 0 100 120 Fisheries Sustainability Gambar 23 Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi sebesar 36,44. Rap-insusforma Rap-insusforma 120 RAPFISH Ordination Median with Error Bars showing 95Confidence of Median 52.76 100.00 0.00 55.54 40.01 95.14 85.49 71.53 39.70 24.49 11.74 3.17 0.83 3.39 11.43 24.66 55.85 71.33 85.17 94.25 -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability Other Distingishing Features Gambar 24 Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 52,76 RAPFISH Ordination Median with Error Bars showing 95Confidence of Median 41.39 100.00 0.00 51.32 51.66 97.53 89.12 72.04 51.51 31.62 15.48 3.98 14.33 30.95 51.45 69.51 84.65 92.14 -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability Other Distingishing Features Gambar 25. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya sebesar 41,39 Rap-insusforma Rap-insusforma 121 RAPFISH Ordination Median with Error Bars showing 95Confidence of Median 24.76 100.00 0.00 51.05 49.78 96.89 87.20 70.98 51.05 31.71 15.78 3.62 13.35 30.28 49.72 68.45 83.90 92.49 -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability Other Distingishing Features Gambar 26. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi sebesar 24,76. RAPFISH Ordination Median with Error Bars showing 95Confidence of Median 27.18 100.00 0.00 55.31 40.25 95.17 85.24 71.40 39.08 24.20 12.00 3.84 0.83 3.70 11.79 24.61 56.24 71.44 84.59 94.10 -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability Other Distingishing Features Gambar 27 Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 27,18 Rap-insusforma Rap-insusforma 122

5.2. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di Wilayah Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat.