Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Salah satu faktor pembentuk konsep diri pada individu adalah lingkungan keluarga terutama orang tua. Jika orang tua tidak berada
disamping remaja maka remaja cenderung lebih agresif, menarik diri, kurang terampil secara sosial dan kognitif dibandingkan dengan teman-
teman sebayanya. Namun, ada juga beberapa remaja yang menunjukkan interaksi sosial yang rendah dan perilaku yang mengganggu Psikologi
Perkembangan, 2012.
Oleh karena
itu, remaja
membutuhkan pendampingan dari orang tua agar bisa mengembangkan konsep diri yang
positif. Bagi anak yang tinggal di panti asuhan, mereka tidak hidup dengan
orang tua melainkan pengasuh. Oleh karena itu, pengasuh merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan konsep diri karena pengasuh
yang menggantikan peran orang tua. Menurut Calhoun dan Acocella 1995 salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah orang tua
karena orang tua merupakan kontak sosial pertama dan paling kuat yang dialami oleh seseorang. Copersmith dalam Manik 2007 menyatakan
bahwa anak-anak yang tidak memiliki orang tua atau disia-siakan oleh orang tua akan memperoleh kesukaran dalam mendapatkan informasi
tentang dirinya sehingga hal ini akan menjadi penyebab utama anak memiliki konsep diri yang negatif.
David Lucile Packard Foundation 2014 menyatakan bahwa anak yang pernah berada di panti asuhan cenderung menjadi tunawisma,
melakukan tindakan kriminal, dan menjadi ibu di masa remaja. Selain itu,
Hurlock dalam Mahayati, 2014 menyatakan bahwa terdapat dampak negatif dari anak-anak yang tinggal di panti asuhan terhadap
perkembangan kepribadiannya. Hal tersebut dikarenakan anak-anak yang tinggal di panti asuhan tidak dapat menemukan lingkungan pengganti
keluarga yang benar-benar menggantikan fungsi keluarga. Oleh karena itu, anak-anak panti asuhan cenderung inferior, pasif, apatis, menarik diri,
mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Sehingga mereka akan sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain, di samping
itu mereka menunjukkan perilaku yang negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendiri, cenderung menunjukkan rasa
bermusuhan, dan cenderung egosentrisme. Kelekatan merupakan salah satu komponen dalam hubungan antara
orang tua dan anak. Berlandaskan teori Bowbly, Bartholomew dalam Baron dan Bryne 2005 menyatakan bahwa jenis gaya kelekatan terbagi
menjadi empat. Pertama, gaya kelekatan aman secure attachment style. Kedua, gaya kelekatan takut-menghindar fearfull-avoidant attachment
style. Ketiga, gaya kelekatan terpreokupasi preoccupied attachment style dan yang terakhir adalah gaya kelekatan menolak dismissing
attachment style. Kobak dan Hasan dalam Helmi 1999 menyatakan bahwa anak
yang memiliki kelekatan aman akan memiliki konsep diri yang positif. Hal tersebut ditandai dengan individu yang merasa bahwa dirinya berharga,
penuh dorongan, dan mengembangkan model mental sosial sebagai orang
yang bersahabat, dipercaya, responsif, dan penuh kasih sayang. Sedangkan seseorang yang memiliki kelekatan menghidar akan menghasilkan konsep
diri yang negatif. Seseorang dengan kelekatan menghindar memiliki karakteristik sebagai orang yang skeptis, curiga, dan memandang orang
sebagai orang yang kurang memiliki pendirian. Selain itu, ia memiliki model mental sosial sebagai orang yang merasa tidak percaya pada
kesediaan orang lain, tidak nyaman pada keintiman, dan ada rasa takut untuk ditinggal. Kemudian seseorang yang memiliki kelekatan cemas juga
memiliki konsep diri yang negatif. Hal tersebut ditandai dengan karakteristik sosial sebagai orang yang kurang pengertian, kurang percaya
diri, merasa kurang berharga, memandang orang lain mempunyai komitmen rendah dalam hubungan interpersonal, kurang asertif, merasa
tidak dicintai orang lain, dan kurang bersedia untuk menolong. Masa remaja berada diantara anak dan orang dewasa. Oleh karena
itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai” Ali dan Asrori, 2005. Oleh karena itu, remaja perlu
pendampingan yang tepat dari orang tuanya agar bisa menemukan solusi yang tepat dari sebuah masalah. Menurut Erikson ada delapan tahap
perkembangan sepanjang kehidupan, tiap tahapnya terdiri dari tugas perkembangan yang unik yang menghadapkan seseorang pada suatu krisis
yang harus dipecahkan. Krisis tersebut merupakan titik balik meningkatnya kelemahan dan kemampuan. Hopkins dalam Santrock
2007 menyatakan bahwa ketika seseorang berhasil menyelesaikan krisis yang dihadapinya maka akan semakin sehat perkembangan psikologisnya.
Tahap kelima merupakan tahap yang paling penting dalam perkembangan menurut Erikson. Tahap ini merupakan puncak dari semua
tahapan karena seseorang akan membuat pondasi untuk mengarungi bahtera hidupnya. Pada tahap ini remaja akan dihadapkan pada penemuan
diri, tentang siapa diri mereka yang sebenarnya, dan kemana mereka akan melangkah dalam hidup ini. Hal tersebut biasanya disebut dengan identitas
diri. Peran orang tua sangat penting karena orang tua yang akan
membantu mengarahkan peran-peran baru kepada remaja pada tahap ini. Orang tua akan mengarahkan remaja untuk mencapai konsep diri yang
positif. Oleh karena itu, dibutuhkan kelekatan antara orang tua dan anak pada tahap ini Calhoun dan Acocella, 1995. Maka dapat disimpulkan
bahwa gaya kelekatan antara anak dan orang tua memiliki peranan penting dalam pembentukan konsep diri pada diri seseorang. Remaja merupakan
masa-masa sulit dalam perkembangan individu karena pada masa ini remaja mulai mencari identitas diri. Remaja mulai mencari nilai-nilai
hidup dan hal tersebut didapatkan melalui orang tua hingga akhirnya ia dapat membentuk konsep diri yang positif. Sedangkan anak di panti
asuhan tidak hidup dengan orang tua, melainkan dengan seseorang yang menggantikan peran orang tua.
Bagi anak-anak yang tinggal di panti asuhan peran pengasuh menjadi sangat penting karena pengasuh menggantikan peran orang tua
yang akan membantu mengarahkan peran-peran baru kepada remaja. Hal tersebut dimaksudkan agar anak-anak di panti asuhan memiliki konsep diri
yang positif. Maka dari itu, anak-anak di panti asuhan juga membutuhkan kelekatan dengan pengasuhnya.
Penelitian sebelumnya mengenai gaya kelekatan dan konsep diri yang dilakukan oleh Helmi 1999. Hipotesis pada penelitian tersebut
adalah gaya kelekatan aman merupakan prediktor terbaik dibandingkan dengan gaya kelekatan cemas dan menghindar terhadap kriterium konsep
diri. Kriteria subjek yang digunakan oleh peneliti adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Negeri dan Swasta. Kemudian hasil dari
penelitian tersebut adalah adanya korelasi positif dan signifikan antara gaya kelekatan aman dan konsep diri. Selain itu, adanya korelasi negatif
dan signifikan antara gaya kelekatan cemas dan konsep diri. Demikian halnya korelasi negatif dan signifikan antara gaya kelekatan menghindar
dan konsep diri. Adapula Simon 2006 yang melakukan penelitian mengenai perbedaan konsep diri siswa SLTP Immanuel Batu yang tinggal
di rumah dan panti asuhan. Pengambilan data penelitian tersebut menggunakan skala psikologi dan hasil penelitian tersebut adalah tidak ada
perbedaan yang signifikan antara konsep diri siswa SLTP Immanuel Batu yang tinggal di panti asuhan dan di rumah.
Penelitian yang akan dilakukan ini juga mengenai gaya kelekatan dan konsep diri. Namun, perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah subjek penelitian. Kriteria subjek penelitian ini adalah remaja yang masih memiliki orang tua namun tinggal di panti asuhan.
Adanya figur lekat yang tidak tunggal, yaitu orang tua dan pengasuh panti maka peneliti ingin melihat bagaimana kelekatan yang terjadi antara
remaja yang tinggal di panti asuhan dengan pengasuhnya serta danya perbedaan hasil-hasil penelitian tentang konsep diri dengan kelekatan
maka hal tersebut yang mendorong peneliti untuk melakukan studi tentang hubungan antara gaya kelekatan dengan konsep diri pada remaja di panti
asuhan.