Hubungan antara gaya kelekatan dengan kenakalan remaja.

(1)

HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DENGAN KENAKALAN REMAJA

Dian Catur Puji Lestari

ABSTRAK

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya kelekatan dengan kenakalan remaja. Hipotesis pada penelitian ini ada 3 yaitu ada hubungan negatif antara gaya kelekatan aman (secure attachment) dengan kenakalan remaja, ada hubungan positif antara gaya kelekatan cemas (ambivalent attachment) dengan kenakalan remaja, ada hubungan positif antara gaya kelekatan menghindar (avoidant attachment)

dengan kenakalan remaja. Subjek penelitian adalah remaja di Yogyakarta dengan rentang usia 12-23 tahun. Jumlah subjek yaitu sebesar 127 remaja yang dipilih dengan metode Simple Random Sampling. Instrumen yang digunakan adalah skala gaya kelekatan dan skala kenakalan remaja berupa skala Likert. Koefisien reliabilitas pada skala gaya kelekatan aman sebesar 0,847, skala gaya kelekatan menghindar sebesar 0,832, dan skala gaya kelekatan cemas sebesar 0,853, serta koefisien reliabilitas skala kenakalan remaja sebesar 0,917. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pengujian korelasi product moment pearson melalui SPSS for windows 16.00

karena sebaran data dari variabel gaya kelekatan dan kenakalan remaja normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara gaya kelekatan aman dengan kenakalan remaja (r =-0.276, sig 0,001). Semakin tinggi gaya kelekatan aman, maka semakin rendah kenakalan remaja. Sedangkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara gaya kelekatan cemas (r =0,332, sig 0,000), dan menghindar (r =0,419, sig 0,000) dengan kenakalan remaja. Semakin tinggi gaya kelekatan cemas dan menghindar, maka semakin tinggi kenakalan remaja


(2)

THE CORRELATION BETWEEN ATTACHMENT STYLE WITH JUVENILE DELINQUENCY

Dian Catur Puji Lestari

ABSTRACT

The research aimed to determine the relationship between attachment style and juvenile deliquency. There was 3 hypotheses in this research, three hypotheses are negative correlation between secure attachment style with juvenile deliquency, positive correlation between ambivalent attachment style with juvenile deliquency, and positive correlation between avoidant attachment style with juvenile deliquency. The subject were 127 adolescents in Yogyakarta between 12 until 23 years old. The participants selected by simple random sampling. The instrument of this study were the scale of attachment style and the scale of juvenile deliquency by using Likert scale. Reliability coefficient on the form of secure attachment style scale were 0,847, avoidant attachment style scale were 0,832, and ambivalent attachment style scale were 0,85, and the reliability coeficient on the form of juvenile deliquency scale were 0,917. Data analysed byPerson Product Moment Correlational testing in SPSS for windiws 16,00 because the distribution of data from attachment style and juvenile deliquency were normal. The result showed that there was negative correlation and significance between secure attachment style with juvenile deliquency (r =0,276, sig 0,001). The higher secure attachment style,then the lower juvenile deliquency. On the other side, there is positive and significance between ambivalent attachment style (r =0,332, sig 0,000), and avoidant (r =0,419, sig 0,000) with juvenile deliquency. The higher ambivalent attachment style and avoidant, then higher juvenile deliquency.


(3)

HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DENGAN KENAKALAN REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Dian Catur Puji Lestari

109114057

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Bersukacitalah dalam pengharapan,

Bersabarlah dalam kesesakan,

Bertekunlah dalam doa.

(Roma 12:12)

Orang SUKSES juga pernah malas, bodoh & gagal.

Tapi mereka tetap terus bergerak dan mencoba.

Hidup itu seperti naik sepeda.

Agar tetap seimbang, kamu harus terus bergerak.

(Albert Einsten)

Setiap perjuangan pasti ada hasilnya.

Gagal memberikan pelajaran,

Sukses memberikan kebahagiaan.


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini Ku persembahanKan Kepada

Tuhan Yesus yang selalu memberikan

penyertaan dan berkah yang luar biasa

dalam setiap langkah hidupku

Bapak dan Mama tercinta

yang selalu memberikan doa dan kasih sayang

Kakak yang luar biasa

dalam memberikan pelajaran hidup

Keluarga besarku yang selalu

memberikan semangat dan doa

Sahabat-sahabatku yang selalu setia

dalam keadaan apapun


(8)

(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DENGAN KENAKALAN REMAJA

Dian Catur Puji Lestari

ABSTRAK

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya kelekatan dengan kenakalan remaja. Hipotesis pada penelitian ini ada 3 yaitu ada hubungan negatif antara gaya kelekatan aman (secure attachment) dengan kenakalan remaja, ada hubungan positif antara gaya kelekatan cemas (ambivalent attachment) dengan kenakalan remaja, ada hubungan positif antara gaya kelekatan menghindar (avoidant attachment)

dengan kenakalan remaja. Subjek penelitian adalah remaja di Yogyakarta dengan rentang usia 12-23 tahun. Jumlah subjek yaitu sebesar 127 remaja yang dipilih dengan metode Simple Random Sampling. Instrumen yang digunakan adalah skala gaya kelekatan dan skala kenakalan remaja berupa skala Likert. Koefisien reliabilitas pada skala gaya kelekatan aman sebesar 0,847, skala gaya kelekatan menghindar sebesar 0,832, dan skala gaya kelekatan cemas sebesar 0,853, serta koefisien reliabilitas skala kenakalan remaja sebesar 0,917. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pengujian korelasi product moment pearson melalui SPSS for windows 16.00

karena sebaran data dari variabel gaya kelekatan dan kenakalan remaja normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara gaya kelekatan aman dengan kenakalan remaja (r =-0.276, sig 0,001). Semakin tinggi gaya kelekatan aman, maka semakin rendah kenakalan remaja. Sedangkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara gaya kelekatan cemas (r =0,332, sig 0,000), dan menghindar (r =0,419, sig 0,000) dengan kenakalan remaja. Semakin tinggi gaya kelekatan cemas dan menghindar, maka semakin tinggi kenakalan remaja


(10)

viii

THE CORRELATION BETWEEN ATTACHMENT STYLE WITH JUVENILE DELINQUENCY

Dian Catur Puji Lestari

ABSTRACT

The research aimed to determine the relationship between attachment style and juvenile deliquency. There was 3 hypotheses in this research, three hypotheses are negative correlation between secure attachment style with juvenile deliquency, positive correlation between ambivalent attachment style with juvenile deliquency, and positive correlation between avoidant attachment style with juvenile deliquency. The subject were 127 adolescents in Yogyakarta between 12 until 23 years old. The participants selected by simple random sampling. The instrument of this study were the scale of attachment style and the scale of juvenile deliquency by using Likert scale. Reliability coefficient on the form of secure attachment style scale were 0,847, avoidant attachment style scale were 0,832, and ambivalent attachment style scale were 0,85, and the reliability coeficient on the form of juvenile deliquency scale were 0,917. Data analysed byPerson Product Moment Correlational testing in SPSS for windiws 16,00 because the distribution of data from attachment style and juvenile deliquency were normal. The result showed that there was negative correlation and significance between secure attachment style with juvenile deliquency (r =0,276, sig 0,001). The higher secure attachment style,then the lower juvenile deliquency. On the other side, there is positive and significance between ambivalent attachment style (r =0,332, sig 0,000), and avoidant (r =0,419, sig 0,000) with juvenile deliquency. The higher ambivalent attachment style and avoidant, then higher juvenile deliquency.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan penyertaan-Nya yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa banyak pihak yang membimbing, membantu dan memberikan dukungan kepada penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi.

Terimakasi atas bantuan dalam kelancaran proses pembuatan skripsi ini. 2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M, Si selaku Kepala Program Studi Psikologi dan

dosen pembimbing skripsi. Terimakasih atas kesediaan dalam mendampingi dan membimbing selama pengerjaan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan perhatiaannya.

3. Ibu Dra. Lucia Pratidarmanastiti M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menempuh studi dan dengan semangat memberikan nasehat kehidupannya.

4. Bapak dan ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang dengan sabar telah membagikan ilmu dan sharingnya.

5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi, Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji,

Mas Donny, Pak Gik, dan student staff yang telah membantu dan


(13)

xi

6. Bapak, mama, mas Jati, mba Dita, dan Nara yang selalu mendoakan,

memberikan dukungan, kasih sayang, nasehat, dan kegembiraan dalam menyelesaikan skripsi ini. Kalian Luar Biasa.

7. Keluarga besarku, oom Mei, Tante Elin, Bimo, Yuda, mba Yuni yang telah

memberikan dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Dismas Meggi Masaroo, pria yang selalu siap sedia saat dibutuhkan.

Terimakasih atas perhatian, nasehat, canda dan tawa, serta kesetiannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat yang kece, Painem, Kety, mak Helen, Agnes, Yopi “methel”,

terimakasih atas dukungan, keceriaan, pelajaran yang membangun dan selalu bersedia mendengarkan curhatan penulis.

10. Teman sekaligus guru, akeng (Engger) dan simbah (Fiona), terimakasih atas

bantuannya, dukungan, dan perhatian yang luar biasa.

11. Teman-teman seperjuangan Psikologi 2010, Sandi, Vica, Mbak Mel, Tista,

Bibin, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat asya sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuan, dukungan, dan kebersamaannya selama menempuh studi.

12. Keluarga besar Kedai Digital Kledokan (mas Abeth, mas Krina, mas Adit, mas Dika, Mba Winda, Elis, Eri) yang selalu memberikan kecerian dan menjadi pengingat untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

13. Teman-teman “bimbingan skripsi bu Ratri” yang selalu memberikan


(14)

xii

14. Semua subjek yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini, terimakasih atas waktu untuk mengerjakan kuesioner yang diberikan peneliti.

15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas bantua dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Mohon maaf apabila terdapat hal-hal yang kurang berkenan. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan masukan yang membangun demi perbaikan skripsi selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak. Terimakasih.

Yogyakarta, September 2015

Penulis, Dian Catur Puji Lestari


(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11


(16)

xiv

BAB II: LANDASAN TEORI ... 13

A. Kelekatan (Attachment) ... 13

1. Pengertian Kelekatan ... 13

2. Aspek yang Mempengaruhi Kualitas Kelekatan ... 16

3. Gaya Kelekatan ... 16

4. Manfaat Kelekatan ...……… ....21

B. Kenakalan remaja ... 22

1. Pengertian Kenakalan Remaja ... 22

2. Ciri-ciri Kenakalan Remaja ... 24

3. Macam-macam Kenakalan Remaja ... 25

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja ... 28

C. Remaja ... 30

1. Pengertian Remaja ... 30

2. Perkembangan Remaja ... 31

D. Dinamika Hubungan Antara Gaya Kelekatan dengan Kenakalan Remaja ... 33

E. Hipotesis ... 37

F. Skema Penelitian ... 38

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Variabel Penelitian ... 39

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 40


(17)

xv

2. Kenakalan Remaja ... 42

D. Subjek Penelitian ... 43

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 44

1. Skala Kelekatan ... 44

2. Skala Kenakalan Remaja.. ... 47

F. Validitas dan Reliabilitas ... 50

1. Uji Validitas ... 50

2. Pelaksanaan Uji Coba dan Seleksi Aitem ... 51

3. Uji Reliabilitas ... 57

G. Metode Analisis Data ... 59

1. Uji Normalitas ... 59

2. Uji Linearitas ... 59

3. Uji Hipotesis ... 59

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60

A. Pelaksanaan Penelitian ... 60

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 60

C. Deskripsi Data Penelitian ... 61

1. Deskripsi Statistik ... 61

2. Kategorisasi ... 63

D. Analisis Data Penelitian ... 66

1. Uji Normalitas ... 66

2. Uji Linearitas ... 67


(18)

xvi

E. Pembahasan ... 72

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Pemberian Skor Skala Kelekatan ... 45

Tabel 3.2. Blueprint dan Distribusi Item Skala Gaya Kelekatan (Sebelum Uji Coba) ... 46

Tabel 3.3. Pemberian Skor Skala Kenakalan Remaja ... 48

Tabel 3.4. Blueprint dan Distribusi Item Kenakalan Remaja (Sebelum Uji Coba) ... 49

Tabel 3.5. Blueprint Skala Gaya Kelekatan Setelah Uji Coba yang Pertama . 53 Tabel 3.6. Blueprint Skala Gaya Kelekatan Setelah Uji Coba yang Kedua.... 54

Tabel 3.7. Blueprint Skala Gaya Kelekatan Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang Untuk Pengambilan Data ... 55

Tabel 3.8. Blueprint Skala Kenakalan Remaja Setelah Uji Coba ... 56

Tabel 3.9. Blueprint Skala Kenakalan Remaja Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang Untuk Pengambilan Data ... 57

Tabel 4.1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 61

Tabel 4.2. Deskripsi Statistik Data Variabel Gaya Kelekatan dan Kenakalan Remaja... 52

Tabel 4.3 Tabel Jumlah Subjek Pada Masing-masing Gaya Kelekatan ... 64

Tabel 4.4 Tabel Kategorisasi Kenakalan Remaja ... 64


(20)

xviii

Tabel 4.6 Uji Linearitas ... 67

Tabel 4.7 Uji Hipotesis ... 68

Tabel 4.8 Tabel Uji Beda Gaya Kelekatan ... 70


(21)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Penelitian ... 38 Gambar 2. Diagram rata- rata kenakalan remaja pada tiap gaya kelekatan ... 65


(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Tryout Pertama ... 89 Lampiran 2. Skala Tryout Kedua Skala Gaya Kelekatan ... 109 Lampiran 3. Reliabilitas Skala Gaya Kelekatan ... 120 Lampiran 4. Relibilitas Skala Kenakalan Remaja... 129 Lampiran 5. Skala Penelitian ... 135 Lampiran 6. Hasil Uji Normalitas ... 152 Lampiran 7. Hasil Uji Linearitas ... 154 Lampiran 8. Hasil Uji Hipotesis ... 157


(23)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) “adolescence is a time of storm and stress”,artinya remaja adalah masa yang penuh dengan “badai dan tekanan akan jiwa”. Dengan kata lain, remaja adalah masa di mana terjadi perubahan besar secara fisik, intelektual dan emosional yang dapat menyebabkan kebimbangan, serta dapat menimbulkan konflik dengan lingkungannya. Pada tahap perkembangan masa remaja, remaja mulai bereksplorasi untuk melakukan sesuatu, akan tetapi tidak jarang remaja akan melakukan kesalahan. Kesalahan yang terjadi dapat menimbulkan rasa kesal terhadap lingkungannya, perasaan kesal tersebut akan diwujudkan dalam bentuk kenakalan remaja.

Romero dan Romero (dalam Yunita, 2009) mengatakan bahwa berbagai perubahan yang terjadi pada masa remaja akan menantang remaja dalam bertingkah laku. Remaja cenderung berperilaku melebihi batas yang diterima secara sosial. Hal ini menyebabkan kecenderungan terjadinya kenakalan remaja. Pada masa remaja juga terjadi beberapa perubahan psikis yang cukup dramatis, antara lain perubahan dari masa anak-anak ke masa remaja, penyesuaian terhadap lingkungan sosial, interaksi dengan teman sebaya, rasa sosial dan tanggung jawab, serta perkembangan identitas diri.


(24)

Dewasa ini, semakin marak terjadi perilaku menyimpang yang dilakukan pada para remaja. Perilaku menyimpang yang dilakukan adalah kenakalan remaja seperti membolos sekolah, tawuran, hingga melakukan hubungan seks di luar nikah. Berbagai kasus kenakalan anak dan remaja saat ini sangat menggelisahkan masyarakat dan keluarga-keluarga di Indonesia. Menurut Nyadi Kasmorejo Ketua III LPA DIY menerangkan data kasus kekerasan yang ditangani LPA DIY diawal tahun 2012 antara lain sebagai berikut : kekerasan pengasuhan 13 kasus, kekerasan pencurian 11 kasus, kekerasan seks 10 kasus, kekerasan fisik 8 kasus, kekerasan psikis 3 kasus dan narkoba 1 kasus (Suara Merdeka).

Pada tahun 2010 juga terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar. Semakin meningkat pada tahun 2011 terjadi 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Sedangkan pada Januari-Juni 2012, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar (liputan6.com). Bukan hanya itu, dikota-kota besar seperti Jakarta juga banyak terjadi kenakalan remaja. Seperti yang dipaparkan pada situs berita tentang maraknya kenakalan remaja didapatkan dari komnas perlindungan anak yang mencatat sejak Januari hingga Juni 2013, terjadi 369 kasus kenakalan remaja yang dibawa ke ranah hukum (MNC news). Berdasarkan kasus tersebut, modus yang paling banyak dilakukan para remaja adalah pencurian ada 135 kasus, penyalahgunaan senjata tajam 68 kasus, memakai narkoba 58 kasus, perkosaan 42 kasus, kekerasan 37 kasus serta pembunuhan 25 kasus.


(25)

Remaja dikatakan melakukan kenakalan apabila remaja tersebut membuat keributan di masyarakat atau melakukan tindakan kriminal sehingga harus berurusan dengan polisi dan melanggar peraturan yang berlaku di masyarakat (Kartono, 2013). Suatu kasus diberitakan pada 16 April 2014, terjadi tawuran pada saat pengumuman UN belum keluar akibatnya ada 5 pelajar SMK digelandang ke Polsek Jatinegara (http://news.detik.com). Kasus serupa dilaporkan oleh kompas.com pada Minggu 17 November 2013 yang melaporkan terjadi kenakalan remaja di kalangan SMA/SMK. Terjadi tawuran antar siswa SMAN 70 dengan SMAN 6 Jakarta yang mengakibatkan tewasnya siswa SMAN 6 yang justru tidak mengerti apa-apa tentang tawuran tersebut.

Berdasarkan beberapa kasus di atas terlihat bahwa makin banyak terjadi kasus kenakalan remaja. Hal ini merupakan suatu masalah yang dihadapi masyarakat karena remaja adalah harapan orang tua, bahkan dalam lingkup yang lebih luas remaja adalah harapan negara juga. Oleh karena itu, orang tua perlu mempersiapkan remaja dengan lebih baik dengan mempersiapkan mental, melatih emosi dan menegakkan disipilin di usia dini agar kelak mampu mengemban tugas dan tanggung jawab dengan baik (Surbakti, 2009). Masalah kenakalan remaja sebaiknya mendapatkan perhatian yang serius agar dapat mengarahkan remaja ke arah yang lebih positif dan terfokus pada terciptanya suatu sistem dalam menanggulangi kenakalan di kalangan remaja(Wartam, 2013).


(26)

Beberapa penyebab yang membuat remaja menjadi nakal adalah dikarenaka kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntutan pendidikan dari orang tua. Orang tua terkadang sibuk mengurusi pemasalahan serta konflik batinnya sendiri. Selain itu, kebutuhan fisik maupun psikis anak-anak remaja yang tidak terpenuhi juga dapat menyebabkan perilaku kenakalan remaja. Hal ini dikarenakan adanya keinginan dan harapan yang tidak dapat tersalurkan dengan memuaskan. Oleh sebab itu, remaja menjadi bingung, sedih, malu, bahkan timbul perasaan dendam dan benci sehingga remaja menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari konpensasi akan kerisauan batinnya sendiri di luar lingkungan keluarga dengan melakukan banyak perbuatan kriminal (Kartono, 2014).

Secara umum remaja dianggap ada dalam satu periode transisi yang dapat menyebabkan terjadinya tingkah laku anti sosial yang disertai dengan banyak pergolakan hati pada masa remaja dan adolescens. Oleh karena itu, segala gejala kejahatan yang muncul merupakan unsur kedewasaan seksual, pencarian identitas dan dikarenakan kurang atau tidak adanya disiplin diri (Kartono, 2014). Kenakalan remaja biasanya terjadi pada masa transisi yang dialami remaja karena merupakan proses dalam tahap perkembangan remaja dalam mencari identitas diri.

Menurut Santrock (2002) kenakalan remaja mengacu kepada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial seperti bertindak berlebihan di sekolah, pelanggaran seperti


(27)

melarikan diri dari rumah hingga tindakan-tindakan kriminal seperti mencuri. Kenakalan remaja dapat ditinjau dari tiga faktor penyebab, yaitu faktor keluarga, faktor sekolah, dan lingkungan sosial atau masyarakat yang secara potensial dapat membentuk perilaku kenakalan remaja (Wilis, 1981).

Selain itu, iklim keluarga yang negatif dan penuh dengan perselisihan perkawinan dan konflik yang lebih umum dalam keluarga, akan menyebabkan atmosfir rumah yang membuat suasana antaranggota keluarga tidak nyaman dapat menyebabkan anak merasa stress, tidak aman dan merasa tidak nyaman. Anak dalam lingkungan seperti itu berada dalam resiko yang tinggi dalam perkembangan perilaku yang bermasalah seperti, agresif, berperilaku kasar, dan depresi (Izzaty, 2008). Hubungan yang buruk dalam keluarga membuat remaja memiliki penilaian yang rendah terhadap dirinya dan akhirnya akan dibawa dalam bersosialisasi, sehingga muncul perasaan tidak berharga, molak diri, tidak bertanggung jawab, sangat agresif, atau mudah menyerah (Hurlock, 1993).

Penelitian yang dilakukan Asfriyati (2003) menjelaskan juga bahwa kenakalan remaja sangat dipengaruhi oleh keluarga walaupun faktor lingkungan juga sangat berpengaruh. Faktor keluarga sangatlah penting karena merupakan lingkungan pertama atau lingkungan primer. Faktor keluarga yang berpengaruh terhadap terjadinya kenakalan remaja adalah anak dari keluarga yang broken home, pola pengasuhan otoriter, pendidikan yang salah dan anak yang ditolak.


(28)

Menurut Sarwono (dalam Indri, 2007) mengatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan primer pada setiap individu. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, peran orang tua dalam membentuk perkembangan remaja menuju kedewasaan sangat besar. Ausubel (1958) dalam Santrock, 2003 mengatakan bahwa kepercayaan orang tua dan rasa sayang membuat remaja yakin bahwa dirinya mampu menghadapi dunia luar sendiri.

Keluarga juga menjadi tempat yang paling penting bagi remaja untuk pembentukkan sosial dan emosional remaja khususnya dalam kondisi remaja yang sedang memasuki masa perubahan atau transisi (Singgih, 2004). Selain itu, keluarga juga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang memiliki tanggung jawab pertama kali untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal jika kebutuhan dasarnya terpenuhi, misalnya kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan psikologis berupa dukungan, perhatian dan kasih sayang. Namun terkadang keluarga dapat menjadi sumber ancaman bagi anak dikarenakan pola asuh dalam mendidik dan membesarkan anaknya dan perlakuan salah yang sering diterima anak dari keluarga, terutama orangtua (Eka, 2005).

Orang tua merupakan tempat belajar anak untuk yang pertama kali. Semua perilaku orang tua terhadap anak akan terinternalisasi hingga


(29)

remaja bahkan usia lanjut. Macam-macam sikap orang tua dalam mengasuh anak dapat dilihat dari cara orang tua merespon dan memenuhi kebutuhan anak, sehingga akan membentuk suatu ikatan emosional antara anak dan orang tua sebagai figur pengasuh. Ikatan emosional yang kuat antara anak dan pengasuhnya disebut dengan kelekatan (Santrock, 2002).

Bowbly sangat yakin bahwa kelekatan yang terbentuk selama masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang penting bagi kepribadian pada masa dewasa karena merupakan tahapan yang krusial bagi perkembangan kepribadian yang selajutnya (dalam Feist & Feist, 2006). Kelekatan juga membuat remaja tidak melepaskan diri dari ikatan dengan keluarga walaupun remaja harus belajar untuk mengembangkan hubungan diluar keluarganya (Audy, 2013).

Disisi lain, masa remaja dikenal dengan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa tersebut remaja akan mengalami perubahan fisik, psikis, maupun sosial. Kelekatan yang sudah terbentuk sejak bayi dapat menjadi bekal bagi remaja untuk menghadapi perubahan-perubahan yang dialaminya (Bowbly. 1973). Selain itu, pengalaman awal kelekatan dengan pengasuh utama, dipercaya akan membentuk prototype atau internal working models yang akan berpengaruh pada perilaku dan harapan dalam hubungan orang dewasa (Avin, 2004).

Menurut Bowlby (1973) terdapat tiga gaya kelekatan, yaitu gaya kelekatan aman (secure attachment style), gaya kelekatan menghindar


(30)

(avoidant attachment style), dan gaya kelekatan ambivalent (ambivalent attachment style).

Remaja yang mendapatkan gaya kelekatan akan menjadi lebih percaya diri, dapat mudah beradaptasi, dan memiliki koordinasi fisik yang lebih baik (Sroufe et al dalam Papalia, 2008). Sedangkan mereka dengan kelekatan yang tidak terorganisir akan cenderung memiliki masalah perilaku dan ketergantungan (Papalia, 2008). Kelekatan pada orang tua dalam masa remaja dapat memfasilitasi kecakapan dan kesejahteraan sosial, seperti harga diri, penyesuaian emosi dan kesehatan fisik (Santrock, 2003).

Selain itu, kelekatan yang sehat dengan orang tua dapat mencegah perasaan cemas dan depresi pada remaja dalam kaitannya dengan masa transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa. Hal ini menyebabkan remaja akan mampu mengeksplorasi lingkungan dan dapat membuat keputusan yang positif walaupun berjauhan dengan figur lekat, sehingga remaja tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan sosial yang negatif dan berperilaku “nakal”. Kelekatan emosional yang sehat dengan orang tua akan membantu remaja untuk memiliki hubungan bermakna dan perasaan berharga pada masa remaja (Singgih, 2004).

Selain itu, remaja dengan gaya kelekatan menghindar memiliki karakteristik seperti, bersikap skeptis, mudah curiga, mudah berubah pendirian, dan sulit terbuka pada orang lain (Hazan & Shaver, 1978). Individu dengan gaya kelekatan menghindar merasa tidak mendapatkan


(31)

kasih sayang, tidak direspon, bahkan merasa ditolak oleh figur lekatnya sehingga individu tersebut tidak memiliki kepercayaan diri (Yessy, 2003). Pengabaian dan penolakan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sebelum masa remaja akan mempengaruhi keadaan emosional pada masa remaja sehingga remaja cenderung melakukan kenakalan remaja (Kartono, 2014).

Sedangkan, individu dengan gaya kelekatan cemas cenderung tidak percaya diri, merasa tidak berharga, kurang asertif, sehingga mereka cenderung kurang berani dalam menjalin relasi dengan orang lain (Hazan & Shaver, 1978). Hal tersebut terbentuk ketika individu merasa tidak yakin bahwa figur lekatnya akan selalu ada dan membantu dirinya ketika dibutuhkan. Akibatnya remaja menjadi merasa cemas ketika akan berekplorasi dengan lingkungan dan cenderung bergantung (Yessy, 2003).

Oleh sebab itu, orang dengan gaya kelekatan menghindar dan cemas, akan mengembangkan skema diri yang negatif, sehinga mereka hanya akan memproses informasi informasi dalam rangka melindungi harga diri, sehingga informasi yang diproses sebatas yang relevan dengan perlindungan harga diri sendangkan informasi yang mengancam harga diri cenderung diseleksi (Helmi, 1999).

Kelekatan menjadi penting untuk diteliti karena menurut Bowlby (1969) gaya kelekatan seseorang akan berlangsung hingga dewasa bahkan sepanjang hidupnya. Ketika masih bayi, pengasuh menjadi sumber rasa aman untuk membentuk anak mengeksplorasi lingkungan. Begitu juga


(32)

ketika anak menjadi remaja, sumber rasa aman dari pengasuh tetap menjadi dasar untuk remaja dalam menghadapi dunia luar seperti misalnya dalam menghadapi tekanan dari sebayanya, mencapai kemandirian, mengembangkan identitas diri dan merencanakan masa depan mereka. Rasa aman yang didapatkan dari kelekatan akan memberikan dukungan dan timbal balik untuk remaja berupa kebutuhan-kebutuhan remaja. Selain itu, kelekatan yang aman membantu penyelesaian masalah yang baik ketika konflik terjadi pada remaja dan orang tua (Bukatko, 2008).

Penelitian tentang kenakalan remaja dan gaya kelekatan sudah banyak diteliti. Misalnya beberapa penelitian tentang kenakalan remaja dikaitkan dengan pola asuh. Dengan hasil dari penelitian tersebut yang menyatakan bahwa pola asuh yang paling lemah memberikan pengaruh terhadap kenakalan remaja adalah pola asuh otoriter (Astuti & Murtiyanti dalam Saras, 2013). Selain itu, penelitian lain dikaitkan dengan keberfungsian sosial keluarga. Dimana muncul hasil penelitian seperti semakin meningkatnya keberfungsian sosial sebuah keluarga maka akan semakin rendah tingkat kenakalan anak-anaknya atau kualitas kenakalannya semakin rendah (dalam Saliman, 2011). Dikarenakan sudah ada beberapa penelitian tentang gaya kelekatan dan kenakalan remaja, peneliti memiliki kekhasan dalam penelitian ini yang berbeda dengan penelitian yang sudah ada. Hal tersebut dapat dilihat dari skala yang dibuat oleh peneliti. Pada skala gaya kelekatan, peneliti menggunakan skala yang berbeda dengan skala yang sudah ada. Skala dibuat dengan cara


(33)

mengumpulkan teori gaya kelekatan yang mendeskripsikan perilaku yang dimiliki remaja pada masing-masing gaya kelekatan sehingga mendapatkan hasil perilaku remaja dengan masing-masing gaya kelekatan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan antara gaya kelekatan dengan kenakalan remaja”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara gaya kelekatan dengan kenakalan remaja.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mengembangkan penelitian di bidang psikologi perkembangan, terutama dalam memberikan informasi mengenai pentingnya attachment (kelekatan) dan pengetahuan tentang kenakalan remaja


(34)

2. Manfaat Praktis

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi:

a. Bagi orang tua

Memberikan pengetahuan kepada orang tua dalam mendampingi atau membantu anak remaja dalam menghadapi perkembangan dimasa remaja yang penuh dengan tantangan. Selain itu, memberi gambaran pada orang tua bagaimana hubungan antara gaya kelekatan yang diberikan significant other akan membentuk karakteristik remaja dimasa remaja.

b. Bagi remaja

Membantu remaja menyadari gaya kelekatan yang mereka miliki, sehingga dapat membentuk karakteristik yang positif dan mampu mengurangi kenakalan remaja.


(35)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kelekatan (Attachment) 1. Pengertian Kelekatan

Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang tua yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Bowlby juga menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Pengertian ini pun sejalan dengan apa yang dikatakan Ainsworth mengenai kelekatan. Ainsworth mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu hubungan yang dekat yang bersifat kekal sepanjang waktu.

Bowlby (dalam Feeney & Noller, 1996) mendefinisikan bahwa kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang kuat antara bayi dan pengasuhnya. Kelekatan tersebut terbentuk dari pengalaman bayi dengan pengasuhnya yang diintergrasikan ke dalam kerangka model internal. Kerangka model internal tersebut akan membentuk keyakinan mengenai diri sendiri, orang lain dan dunia luar secara umum yang akan mempengaruhi setiap hubungan sepanjang hidupnya. Pada dasarnya,


(36)

anak membutuhkan kedekatan dalam hubungan dengan pengasuh secara terus menerus. Figur kelekatan dapat membantu anak untuk terlindungi dari hal-hal yang membahayakan baginya.

Menurut pendapat Bowlby (dalam Yessy, 2003), kelekatan adalah ikatan emosional sebagai bentuk perilaku yang ditujukan oleh individu dalam mencapai atau menjaga kedekatan dengan individu lain yang diindetifikasikan sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan lebih baik dalam menghadapi hidup. Secara biologis, menurut Erwin (1998) kelekatan merupakan mekanisme yang dibuat untuk melindungi dan mendorong perkembangan remaja secara adaptif dan mempertahankan eksistensinya.

Bowlby (dalam Yustinus,2006) berpendapat bahwa kelekatan yang dibentuk pada masa kanak-kanak sangat berpengaruh terhadap masa dewasa karena kelekatan pada masa kanak-kanak sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya. Bowlby (dalam Collin, 1996) juga mendefinisikan kelekatan sebagai ikatan afeksi yang akan terus berlanjut yang ditandai dengan kecenderungan untuk mencari dan mempertahankan kedekatan dengan figur khusus, teurutama ketika menghadapi stress.

Attachment merupakan kebutuhan manusia secara universal untuk membentuk ikatan afeksi yang dekat dengan orang lain. Bowlby mengemukakan bahwa kualitas hubungan masa kanak-kanak dengan pengasuhnya dihasilkan dari representasi internal atau kerangka model


(37)

diri dan orang lain. Kerangka model diri dan orang lain pada masa ini akan membentuk model relasi sosial di masa depan (Pramesti, 2013).

Pengertian tingkah laku lekat (attachment behavior) adalah beberapa bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat seseorang merasa takut, sakit dan terancam.

Selain itu, menurut Allen et al dalam Santrock (2002) kelekatan dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja, sebagaimana tercermin dalam ciri-ciri seperti harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Remaja yang memiliki relasi yang nyaman dengan orang tuanya memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik. Kelekatan yang berkualitas antara remaja dengan orang tua akan meningkatkan relasi teman sebaya yang kompeten dan relasi erat yang positif di luar keluarga (Felita, 2014).

Jadi berdasarkan uraian definisi diatas, kelekatan dapat diartikan sebagai ikatan emosional yang kuat dan menetap yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang tua sehingga dapat melindungi dan mendorong perkembangan remaja secara adaptif dan mempertahankan eksistensinya.


(38)

2. Aspek yang mempengaruhi kualitas kelekatan

Menurut Papalia dkk (2008) aspek-aspek yang mempengaruhi kualitas kelekatan antara anak remaja dengan orang tua adalah :

a. Sensitifitas figur pengasuh

Sensitifitas figur dapat berupa seberapa besar kepekaan figur pengasuh terhadap kebutuhan individu atau sejauh mana figur pengasuh dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhan individu. Dalam hal ini adalah orang tua dengan remaja.

b. Responsivitas figur

Responsivitas figur pengasuh adalah bagaimana cara figur pengasuh menanggapi kebutuhan individu.

3. Gaya Kelekatan

Menurut Bartholomew (dalam Baron dan Byrne, 2003) terdapat empat gaya kelekatan. Bartholomew dan Horowitz (1991) menekankan kelekatan terhadap sikap dasar, yaitu diri sendiri dan orang lain yang dapat bersifat positif dan negatif. Keempat daya kelekatan tersebut yaitu : a. Gaya Kelekatan Aman (Secure attachment style)

Individu dengan secure attachment mempunyai harga diri dan kepercayaan interpersonal yang tinggi, mempunyai pandangan yang positif tentang dirinya dan orang lain dan mampu membuat hubungan interpersonal berdasarkan rasa saling percaya.


(39)

Orang dengan gaya kelekatan secure akan merasa mudah untuk dekat secara emosional dengan orang lain dan merasa nyaman dengan hubungannya. Bisa bergantung pada orang lain namun juga merasa nyaman apabila orang lain bergantung padanya. Orang dengan gaya kelekatan ini juga tidak mudah cemas jika sendiri dan tidak merasa cemas apabila orang lain tidak menerimanya karena menyakini bahwa masih ada orang lain yang menerimanya (Bartholomew & Horowirz, 1991).

b. Gaya Kelekatan Takut-menghindar (Fearfull-avoidant attachment style)

Individu dengan pola ini mempunyai pandangan yang negatif tentang diri sendiri dan orang lain, mereka menghindari penolakan dengan cara menghindari hubungan dekat dengan orang lain.

Orang dengan gaya kelekatan ini merasa tidak nyaman untuk dekat secara emosional dengan orang lain. Terkadang memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain namun merasa sulit untuk mempercayai orang lain secara penuh dan sulit mempercayai bahwa orang lain bisa diandalkan. Merasa cemas akan disakiti oleh orang lain jika terlalu dekat dengan orang lain (Bartholomew & Horowitz, 1991).

c. Gaya Kelekatan Terpreokupasi (Pre-occupied attachment style)

Individu dengan pre-occupied attachment style mempunyai pandangan yang negatif tentang diri sendiri tetapi masih mengharap orang lain akan menerima dan mencintai dirinya, sehingga individu


(40)

dengan tipe ini berusaha membuat hubungan dengan orang lain tetapi mereka takut untuk ditolak.

Orang dengan gaya ini selalu mencari kentiman dengan orang lain namun selalu merasa cemas akan anggapan bahwa orang lain tidak menghargai dan mencintainya (Bartholomew & Horowitz, 1991). d. Gaya Kelekatan Menolak (Dismissing attachment style)

Individu dengan pola ini mempunyai karakter positif dalam memandang diri sendiri, merasa berharga dan mandiri, dan merasa patut untuk mendapat atau membuat hubungan dekat dengan orang lain, tetapi terkadang mereka menolak hubungan yang tulus karena mereka mengharapkan orang lain yang lebih buruk dari mereka, sehingga dismissing attachment style digolongkan dalam sisi negatif.

Orang dengan gaya kelekatan ini merasa tidak nyaman jika memiliki hubungan dekat dengan orang lain. Sangat penting bagi dirinya untuk dapat mandiri dan tidak bergantung padanya (Bartholomew & Horowitz, 1991).

Disisi lain, menurut Bowlby (dalam Yessy, 2003) terdapat tiga gaya kelekatan, yaitu secure attachment (aman), anxious resistant attachment (cemas ambivalen), dan anxious avoidant attachmnet (cemas menghindar).

a. Kelekatan yang aman (secure attachment)

Secure attachment adalah pola yang terbentuk dari interaksi orang tua dengan remaja, dimana remaja merasa percaya terhadap


(41)

orang tua sebagai figur yang selalu mendampingi, sensitif, dan responsif, penuh cinta serta kasih sayang saat mereka mencari perlindungan dan kenyamanan dan selalu membantu atau menolong dalam menghadapi situasi yang menakutkan dan mengancam. Remaja yang mempunyai pola ini percaya adanya responsivitas dan kesediaan orang tua bagi dirinya.

b. Kelekatan yang cemas ambivalen (anxious resistant attachment)

Anxious resistant attachment adalah pola yang terbentuk dari interaksi orang tua dengan remaja, remaja merasa tidak pasti jika orang tuanya selalu ada dan responsif atau cepat membantu serta datang kepadanya pada saat remaja membutuhkan mereka. Akibatnya, remaja mudah mengalami kecemasan untuk berpisah, cenderung bergantung, menuntut perhatian, dan cemas ketika berekplorasi dalam lingkungan. Pada pola ini, remaja mengalami ketidakpastian sebagai akibat dari orang tua yang tidak selalu membantu pada setiap kesempatan dan juga adanya keterpisahan. c. Kelekatan yang cemas menghindar (anxious avoidant attachment)

Pola anxious avoidant attachment adalah pola yang terbentuk dari orang tua dengan remaja, remaja tidak memiliki kepercayaan diri terhadap perilaku orang tua yang secara konstan menolaknya ketika remaja mendekat untuk mencari kenyamanan atau perlindungan.


(42)

Menurut Sroufe,dkk (dalam Atkinson, 1999) remaja yang

ambivalent dan avoidant attached cenderung mudah marah, ragu-ragu dalam bertindak, menarik diri dari pergaulan, bermusuhan, agresif dan kompetensi sosialnya sangat kurang. Remaja securely attached jarang menangis atau marah, cenderung menjadi pemimpin dalam pergaulan dan aktif berinisiatif.

Hazan dan Shaver (1987) mengemukakan orang dengan gaya kelekatan aman (securely attached) akan memperlihatkan ciri individu yang bersahabat dan memiliki rasa percaya diri. Individu dengan gaya kelekatan menghindar (avoidant attached) mempunyai ciri individu yang skeptis, mudah curiga, mudah berubah pendirian dan sukar terbuka. Mereka tidak nyaman dalam keintiman, tidak dapat mengekspresikan diri, kurang hangat, dan kurang terbuka. Sedangkan individu dengan gaya kelekatan cemas (ambivalent attached) menunjukkan individu yang kurang pengertian, tidak percaya diri, merasa tidak berharga, mudah berubah-ubah pendapat, tidak asertif, dan kurang berani menjalin hubungan.

Jadi, gaya kelekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah : a. Gaya kelekatan aman (securely attached)

Remaja dengan gaya kelekatan aman (securely attached) akan memperlihatkan ciri individu yang bersahabat, memiliki rasa percaya diri, jarang menangis atau marah, cenderung menjadi pemimpin dalam pergaulan dan aktif berinisiatif.


(43)

b. Gaya kelekatan menghindar (avoidant attached)

Remaja dengan gaya kelekatan menghindar (avoidant attached) mempunyai ciri individu yang skeptis, mudah curiga, mudah berubah pendirian, sukar terbuka, tidak dapat mengekspresikan diri dan kurang hangat.

c. Gaya kelekatan cemas (ambivalent attached)

Remaja dengan gaya kelekatan cemas (ambivalent attached) akan menunjukkan individu yang kurang pengertian, tidak percaya diri, merasa tidak berharga, mudah berubah-ubah pendapat, tidak asertif dan kurang berani menjalin hubungan,

4. Manfaat Kelekatan

Santrock (2003) menyebutkan beberapa manfaat kelekatan, yaitu :

a. Kelekatan pada masa remaja dapat memfasilitasi kecakapan dan

kesejahteraan sosial yang dicerminkan dalam beberapa ciri seperti, harga diri penyesuaian emosi, dan kesehatan fisik.

b. Membantu remaja menunjukkan kesejahteraan emosi yang lebih

baik

c. Membantu remaja untuk memiliki harga diri yang lebih tinggi d. Sebagai fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman

terhadap remaja agar dapat mengekplorasi dan menguasai lingkungan baru serta dunia sosial yang semakin luas dan dalam kondisi psikologis yang sehat.


(44)

e. Membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa.

f. Membantu keberhasilan remaja dalam hubungan intim dan harga

diri pada awal masa dewasa.

g. Membantu remaja untuk menghasilkan hubungan positif dan dekat diluar keluarga dengan teman sebaya.

B. Kenakalan Remaja

1. Pengertian Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial, seperti bertindak berlebihan di sekolah, melakukan pelanggaran, seperti melarikan diri dari rumah hingga tindakan-tindakan kriminal, seperti mencuri (Santrock,2002). Demi tujuan hukum, dibuat suatu perbedaam antara pelanggaran-pelanaggaran indeks (index offens) dan pelanggaran-pelanggaran status (status offens). Index offens adalah tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja maupun orang dewasa, seperti perampokan, penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Status offens adalah tindakan-tindakan yang tidak terlalu serius, seperti lari dari rumah, bolos dari sekolah, minum-minuman keras, dan ketidakmampuan pengendalian diri.


(45)

Simanjuntak (Singgih, 1990) berpendapat bahwa perbuatan dikategorikan sebagai perilaku kenakalan apabila perbuatan tersebut bertujuan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana dia hidup, atau suatu perbuatan yang bersifat anti sosial dan di dalam terkandung unsur-unsur normatif.

Kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 1986). Kenakalan remaja adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa.

Menurut Murdaningsih (dalam Kartono, 1991) kenakalan remaja adalah tingkah laku melawan norma yang diperbuat oleh anak yang belum dewasa, misalnya melakukan perusakan, kenakalan, kejahatan, pengacauan, dan lain-lainnya.

Secara umum remaja berada dalam satu periode transisi dengan tingkah laku anti sosial yang disertai dengan banyak pergolakan hati atau kekisruhan batin pada fase-fase remaja. Maka gejala kenakalan dan kejahatan yang muncul merupakan akibat dari proses perkembangan pribadi anak dan yang mengandung unsur dan usaha (Kartono, 1986): a. Kedewasaan seksual


(46)

c. Adanya ambisi materiil yang tidak terkendali d. Kurang atau tidak adanya disiplin diri

Berdasarkan uraian defiinisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku atau tindakan menyimpang yang melanggar norma sosial atau hukum dalam masyarakat, berperilaku jahat atau nakal yang tidak dapat diterima secara sosial, seperti membolos sekolah, melakukan hubungan seks, mengkonsumsi narkoba dan minuman keras, mencuri hingga melakukan tindakan kekerasan.

2. Ciri-ciri Kenakalan Remaja

Gunarsa (1979) mennyatakan bahwa agar dapat membedakan kenakalan remaja dapat dilihat dari beberapa ciri-ciri pokok kenakalan remaja, antara lain :

a. Dalam pengertian kenakalan, harus terlihat adanya perbuatan atau

tingkah laku yang bersifat pelanggaran hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-nilai moral.

b. Kenakalan mempunyai tujuan a-sosial dengan perbuatan atau

tingkah laku yang bertentangan dengan nilai atau norma sosial yang ada di lingkungan hidupnya.

c. Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh mereka yang berusia 13-17 tahun dan belum menikah.

d. Kenakalan remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja saja, atau


(47)

Menurut Murdinangsih (dalam Kartono, 1991) menyatakan bahwa sifat-sifat dari remaja yang nakal adalah :

a. Infantilisme (sifat seperti anak bayi)

b. Ketergantungan terhadap orang tua maupun teman-teman c. Tidak mampu menerima realitas

d. Frustrasi

e. Tidak dapat menguasai-mengusai dorongan nafsunya f. Mempunyai sikap bermusuhan terhadap dunia sekitarnya

g. Perkembangan emosi yang tidak matang (immature), terkadang

emosinya tidak stabil dan amat peka terhadap ketegangan emosional sehingga sering menjadi agressif, bermusuhan, curiga, cemburu, suka bertengkar, serta menimpakan ketidakmampuannya sendiri kepada kesalahan orang lain (melakukan proyeksi).

3. Macam-macam Kenakalan Remaja

Dalam tujuan hukum, dibuat perbedaan antara pelanggaran indeks (index offenses) dan pelanggaran status (status offenses). Index offenses

adalah tindakan kriminal, baik yang dilakukan oleh remaja maupun orang dewasa. Tindakan ini meliputi, perampokan, penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Status offenses seperti, lari dari rumah, bolos dari sekolah, minum minuman keras yang melanggar ketentuan usia, pelacuran, dan ketidakmampuan mengendalikan diri.


(48)

Tindakan itu dilakukan oleh anak-anak muda dibawah usia tertentu sehingga disebut sebagai pelanggaran remaja (Santrock,2002).

Jensen (Sarwono, 1989) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis, yaitu :

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain : perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.

b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan,

pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.

c. Kenakalan sosial yang membahayakan diri sendiri dan orang lain:

pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas.

d. Kenakalan yang melanggar aturan dan status, misalnya

mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, pergi dari rumah, dan membantah perintah orang tua.

Hurlock (1999) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan oleh remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu :

a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.

b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti

merampas, mencuri, dan mencopet.

c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi

orang tua dan guru, seperti membolos, mengendarai kendaraan tanpa ijin, dan kabur dari rumah.


(49)

d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa, dan menggunakan senjata tajam.

Beberapa wujud perilaku delinkuen (Kartono, 1986) :

a. Kebut-kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain.

b. Perilaku ugal-ugalan, brandalan, urakan. Tingkah laku ini

bersumber pada kelebihan energi dan dorongan yang tidak terkendali serta suka meneror lingkungan.

c. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga terkadang membawa korban jiwa.

d. Membolos sekolah lalu bergelandangan disepanjang jalan atau

bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan tindakan asusila.

e. Kriminalitas anak yang berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, menyerang, merampok, melakukan pembunuhan, tindakan kekerasan dan pelanggaran lainnya.

f. Perkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya.

g. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika

h. Tindak immoral seksual secara terang-teerangan tanpa rasa malu dengan cara yang kasar


(50)

j. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruahan sehingga mengakibatkan kriminalitas

k. Komersialisasi seks, pengguguran janin, dan pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin

l. Tindakan radikal dan ekstrim dengan cara kekerasan, penculikan dan pembunuhan

m. Perbuatan antisosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan n. Tindak kejahatan yang disebabkan oleh penyakit tidur (encephalitis

lethargical) dan ledakan meningitis serta post encephalitics. Selain itu juga bisa dikarenakan luka di kepala dengan kerusakan pada otak yang menyebabkan kerusakan mental sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol diri.

o. Penyimpangan tingkah laku yang disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi dari organ-organ yang inferior (Adler dalam Kartono, 1986).

4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja

Faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja menurut Santrock (2003) dijelaskan sebagai berikut :

a. Identitas diri

Erikson mengemukakan masa remaja ada pada tahap krisis identitas. Dalam pencarian identitas sebaiknya remaja harus lebih diperhatikan dan diawasi oleh orang tua agar mereka dapat


(51)

mengetahui perilaku remaja. Erikson meyakini bahwa kenakalan remaja terjadi karena remaja gagal dalam mengatasi identitas peran b. Pengaruh keluarga

Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orang tua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orang tua dapat memicu timbulnya kenakalan remaja.

Remaja yang nakal seringkali berasal dari keluarga-keluarga dengan orang tua yang jarang memantau anak-anak mereka, memberi sedikit dukungan, dan mendisiplinkan mereka secara tidak efektif (Papalia,2008). Orang tua dari anak dengan kenakalan kronis biasanya gagal menegakkan perilaku yang baik pada awal masa kanak-kanak dan bersikap keras atau tidak konsisten, atau kedua-duanya dalam hal menghukum perilaku yang tidak patut. Orang tua tipe ini biasanya tidak terlibat secara dekat dan positif dalam kehidupan anak mereka (G.R. Patterson, DeBaryshe, & Ramsey dalam Papalia,2008).

Remaja yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua selalu merasa tidak aman sehingga mereka merasa kehilangan tempat belindung dan tempat berpijak. Di kemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi kompensasi dalam bentuk dendam dan sikap bermusuhan dengan dunia luar


(52)

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Masa remaja secara umum dianggap mulai dengan pubertas, proses yang mengarah kepada kematangan seksual. Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal usia 20an. Masa remaja awal (sekitar usia 11 atau 12 sampai 14 tahun), pada masa ini adalah transisi keluar dari kanak-kanak dan menawarkan peluang untuk tumbuh bukan hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial (Papalia,2008).

Santrock (2003) mendefinisikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Hurlock (dalam Indri,2007) masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat mencapai usia matang secara hukum.

Menurut G Stanley Hall (dalam Santrock,2003) remaja adalah masa antara usia 12 sampai 23 tahun dan penuh dengan topan dan tekanan. Topan dan tekanan (storm and stress) adalah konsep Hall tentang remaja sebagai masa goncangan yang ditandai dengan adanya konflik dan perubahan suasana hati.

Singgih (1986) mengemukakan tujuh ciri-ciri remaja yaitu, remaja yang berada dalam kegoncangan, terjadi pertentangan dalam dirinya,


(53)

ingin mencoba apa yang dikehendakinya, ingin menjelajah ke alam sekitar yang lebih luas, menghayal dan berfantasi, dan mempunyai aktivitas yang berkelompok.

Masa remaja juga dikenal sebagai ambang masa dewasa. Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa seperti, merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan (Juntika.2013). Usia remaja adalah peralihan dari anak hingga menjelang dewasa, yang merupakan masa perkembangan terakhir bagi pembinaan kepribadian atau masa persiapan untuk memasuki usia dewasa yang problemnya tidak sedikit (Vembriarto, 1991).

2. Perkembangan Remaja

Selain itu, perkembangan remaja memasuki masa pencarian dan pembentukan identitas diri (Papalia et al.,1998). Dalam hal ini, kepribadian remaja belum mencapai kematangan (immaturity). Menurut parah ahli psikologi perkembangan, pribadi yang tidak matang ditandai oleh keragu-raguan (indecisiveness) dalam mengambil keputusan, kurang percaya diri atau harga diri rendah, kurang mampu mengontrol emosi dan


(54)

perilaku. Keadaan ini memungkinkan remaja untuk mudah dipengaruhi hal-hal yang positif maupun negatif (Singgih, 2004).

Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada remaja memasuki tahap operasional formal yang ditandai dengan kemampuan untuk berpikir abstrak, idealis, dan logis. Selain itu, cara berpikirnya dengan

hypothetico-deductive reasoning, yaitu membuat perencanaan,

memecahkan masalah secara sistematis, dan melakukan pengetesan terhadap solusi yang diambil (Singgih, 2004). Akan tetapi ada hal yang dapat mengganggu fungsi kognitif, yaitu adanya egosentrisme dalam berpikir atau pola pikirnya masih berorientasi pada diri sendiri. Elkind (dalam Papalia, 2001) menjelaskan salah satu bentuk egosentrisme ini sebagai imaginary audience, yaitu remaja akan merasa diperhatikan oleh orang lain dan menjadi pusat perhatian. Selain itu, adanya personal fable, yaitu merasa memiliki pribadi yang unik, berbeda dengan orang lain sehingga remaja memiliki keyakinan bahwa ia tidak akan mati walaupun ngebut di jalan atau mencoba narkoba bahkan tidak akan hamil jika melakukan hubungan seks.

Jadi berdasarkan uraian definisi diatas, remaja dapat diartikan sebagai individu berusia 12-23 tahun yang dalam perkembangannya sedang mengalami masa transisi dari anak-anak ke remaja sehingga mengalami berbagai macam perubahan, seperti biologis, kognitif, dan sosial-emosional.


(55)

D. Dinamika Hubungan Antara Gaya Kelekatan dengan Kenakalan Remaja

Masa remaja dikenal sebagai masa perkembangan transisi antara anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Menurut G Stanley Hall (dalam Santrock,2003) remaja adalah masa antara usia 12 sampai 23 tahun dan penuh dengan topan dan tekanan. Topan dan tekanan (storm and stress) adalah konsep Hall tentang remaja sebagai masa goncangan yang ditandai dengan adanya konflik dan perubahan suasana hati. Selain itu, masa remaja adalah masa yang rentan terhadap berbagai masalah, sehingga terkadang remaja gagal dalam menjalankan perkembangannya. Kegagalan remaja biasanya akan menghantarkan remaja melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang yang biasa disebut dengan kenakalan remaja (Kartono, 2005).

Kenakalan remaja adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa. Adapun jenis kenakalan remaja menurut Jensen (Sarwono, 2002), yaitu kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, kenakalan yang menimbulkan korban materi, kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di fisik orang lain, dan kenakalan yang melawan status.

Kenakalan remaja dapat terjadi dari beberapa faktor, seperti faktor keluarga, faktor sekolah, dan lingkungan sosial atau masyarakat yang secara potensial dapat membentuk perilaku kenakalan remaja (Wilis,


(56)

1981). Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Hal ini disebabkan lingkungan keluarga merupakan tempat remaja pertama kali menjalin interaksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya. Keluarga merupakan lingkungan primer setiap individu sebelum mengenal lingkungan yang lebih luas.

Selain itu, kenakalan remaja dapat terjadi karena anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua sehingga merasa tidak aman dan kehilangan tempat untuk berlindung (Kartono, 1986). Oleh karena itu, dibutuhkan kelekatan sebagai fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman terhadap remaja agar dapat mengekplorasi dan menguasai lingkungan baru serta dunia sosial yang semakin luas dan dalam kondisi psikologis yang sehat. Selain itu, kelekatan juga dapat membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa.

Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang tua yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Kelekatan yang dibentuk pada masa kanak-kanak sangat berpengaruh terhadap masa dewasa karena akan berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, kelekatan bersifat spesifik dan mengikat mereka dalam suatu hubungan yang dekat yang bersifat kekal sepanjang waktu. Selain itu, kelekatan merupakan


(57)

mekanisme yang dibuat untuk melindungi dan mendorong perkembangan remaja secara adaptif sehingga dapat mempertahankan eksistensinya.

Kelekatan akan terbentuk dari tingkah laku lekat dari pengasuh kepada anak. Tingkah laku lekat (attachment behavior) diartikan sebagai bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat seseorang merasa takut, sakit dan terancam.

Terdapat tiga pola kelekatan, yaitu secure attachment (aman), anxious resistant attachment (cemas ambivalen), dan anxious avoidant attachmnet

(cemas menghindar). Orang tua dengan gaya kelekatan aman (secure attachment) akan selalu mendampingi, sensitif, dan responsif, penuh cinta serta kasih sayang saat mereka mencari perlindungan dan kenyamanan dan selalu membantu atau menolong dalam menghadapi situasi yang menakutkan dan mengancam. Sehingga terbentuk remaja yang mudah untuk dekat secara emosional dengan orang lain dan merasa nyaman dengan hubungannya (Bartholomew & Horowirz, 1991). Remaja dengan gaya kelekatan aman memiliki ciri bersahabat dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi, jarang menangis atau marah, cenderung menjadi pemimpin dalam pergaulan dan aktif berinisiatif.

Dengan adanya kelekatan dapat membantu remaja menunjukkan kesejahteraan emosi yang lebih baik. Selain itu, juga sebagai fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman terhadap remaja agar dapat


(58)

mengekplorasi dan menguasai lingkungan baru serta dunia sosial yang semakin luas dan dalam kondisi psikologis yang sehat sehingga membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa.

Sedangkan remaja dengan gaya kelekatan cemas (ambivalent

attachment) memiliki ciri individu yang kurang pengertian, merasa tidak berharga, mudah berubah-ubah pendapat, tidak asertif, dan kurang berani menjalin hubungan. Hal tersebut dikarenakan sikap orang tua yang tidak pasti selalu ada dan responsif atau cepat membantu serta datang kepadanya pada saat remaja membutuhkan mereka. Sehingga membuat remaja mudah mengalami kecemasan untuk berpisah, cenderung bergantung, menuntut perhatian, dan cemas ketika akan berekplorasi dengan lingkungan.

Gaya kelekatan yang ketiga adalah gaya kelekatan menghindar (avoidant attachment). Orang tua dengan gaya kelekatan menghindar memiliki perilaku yang secara konstan menolak remaja ketika remaja mendekat untuk mencari kenyamanan atau perlindungan. Oleh karena itu, remaja dengan gaya kelekatan menghindar (avoidant attachment) mempunyai ciri individu yang skeptis, mudah curiga, mudah berubah pendirian dan sukar terbuka. Mereka tidak nyaman dalam keintiman, tidak dapat mengekspresikan diri, kurang hangat, dan kurang terbuka.

Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orang tua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif,


(59)

kurangnya kasih sayang orang tua dapat memicu timbulnya kenakalan remaja. Remaja yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua selalu merasa tidak aman sehingga mereka merasa kehilangan tempat belindung dan tempat berpijak. Di kemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi kompensasi dalam bentuk dendam dan sikap bermusuhan dengan dunia luar.

Berdasarkan dari pengertian tentang hubungan antara kelekatan dengan kenakalan remaja adalah bahwa kelekatan akan mempengaruhi remaja dalam melakukan kenakalan remaja. Dimana remaja yang memiliki kelekatan aman akan cenderung tidak melakukan kenakalan remaja.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan peneliti adalah :

1. Terdapat korelasi negatif antara gaya kelekatan aman (secure

attachment) dengan kenakalan remaja. Semakin tinggi gaya kelekatan aman yang dimiliki remaja maka semakin rendah kenakalan remaja. 2. Terdapat korelasi positif antara gaya kelekatan cemas (ambivalent

attachment) dengan kenakalan remaja. Semakin tinggi gaya kelekatan yang dimiliki remaja maka semakin tinggi kenakalan remaja.

3. Terdapat hubungan positif antara gaya kelekatan menghindar (avoidant attachment) dengan kenakalan remaja. Semakin tinggi gaya kelekatan yang dimiliki remaja maka semakin tinggi kenakalan remaja.


(60)

F. Skema Penelitian

Kelekatan aman (secure

attachment)

Remaja merasa tidak yakin bahwa figur lekatnya akan selalu ada dan membantu dirinya ketika dibutuhkan Remaja merasa

orang tua selalu mendampingi, sensitif, penuh cinta ,kasih sayang saat mencari perlindungan dan kenyamanan Kelekatan menghindar (avoidant attachment) Remaja merasa bingung, sedih, timbul perasaan dendam dan benci sehingga menjadi kacau dan liar Terjadi pengabaian

terhadap remaja

dan tercipta iklim keluarga yang negatif Remaja merasa tidak aman sehingga mereka merasa kehilangan tempat belindung dan tempat berpijak Kecenderungan kenakalan remaja rendah Kecenderungan kenakalan remaja tinggi Kelekatan Kelekatan yang sehat dapat mencegah perasaan cemas dan depresi Kelekatan cemas (ambivalent attachment) Remaja merasa tidak mendapatkan kasih sayang, tidak direspon, bahkan merasa ditolak oleh figur lekatnya

Kecenderungan kenakalan remaja

tinggi

Remaja merasa tidak nyaman dan menyebabkan

remaja merasa stress, depresi, cemas ketika akan berekplorasi dengan lingkungan Mampu mengeksplorasi lingkungan dan dapat membuat keputusan yang positif


(61)

39 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Metode korelasional bertujuan untuk menyatakan hubungan antara variabel yang tidak menunjukkan ketergantungan variabel satu dengan variabel lainnya seperti halnya dalam hubungan sebab akibat (Widi, 2010). Sedangkan pendekatan kuantitatif adalah pendekatan yang diambil menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya (Arikunto, 2006). Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara kelekatan dengan kenakalan remaja.

B. VARIABEL PENELITIAN

Variabel terbagi menjadi dua macam, yaitu variabel bebas (independen variable) dan variabel terikat (dependen variable). Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel yang diindentifikasi sebagai berikut : 1. Variabel bebas : Gaya Kelekatan (attachment)

a. Gaya kelekatan aman (secure attachment)

b. Gaya kelekatan cemas (ambivalent


(62)

c. Gaya kelekatan menghindar (avoidant attachment)

2. Variabel terikat : Kenakalan remaja

C. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kelekatan (Attachment)

Kelekatan adalah ikatan emosional yang kuat dan menetap yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang tua sehingga dapat melindungi dan mendorong perkembangan remaja secara adaptif dan mempertahankan eksistensinya. Variabel kelekatan dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan skala gaya kelekatan.

Kelekatan dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan skala kelekatan yang mencakup 3 jenis gaya kelekatan yaitu,

a. Gaya kelekatan aman (securely attached).

Remaja dengan gaya kelekatan aman memiliki karakteristik seperti, bersahabat, percaya diri, jarang menangis atau marah, cenderung menjadi pemimpin, dan aktif berinisiatif.

Tinggi rendahnya gaya kelekatan aman akan terlihat dari skor pada skala gaya kelekatan. Semakin tinggi skor skala gaya kelekatan aman yang diperoleh, maka menunjukkan semakin tinggi perilaku kelekatan aman yang dialami. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor skala gaya kelekatan aman yang diperoleh,


(63)

maka menunjukkan semakin rendah tingkat perilaku kelekatan aman yang dialami.

b. Gaya kelekatan menghindar (avoidant attached).

Remaja dengan gaya kelekatan menghindar memiliki karakteristik seperti skeptis, mudah curiga, mudah berubah pendirian, sukar terbuka, tidak dapat mengeksperikan diri, dan kurang hangat.

Tinggi rendahnya gaya kelekatan menghindar akan terlihat dari skor pada skala gaya kelekatan. Semakin tinggi skor skala gaya kelekatan menghindar yang diperoleh, maka menunjukkan semakin tinggi perilaku kelekatan menghindar yang dialami. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor skala gaya kelekatan menghindar yang diperoleh, maka menunjukkan semakin rendah tingkat perilaku kelekatan menhindar yang dialami.

c. Gaya kelekatan cemas (ambivalent attached).

Remaja dengan gaya kelekatan menghindar memiliki karakteristik seperti kurang pengertian, tidak percaya diri, merasa tidak berharga, mudah berubah-ubah pendapat, dan kurang berani menjalin hubungan.

Tinggi rendahnya gaya kelekatan cemas akan terlihat dari skor pada skala gaya kelekatan. Semakin tinggi skor skala gaya kelekatan cemas yang diperoleh, maka menunjukkan semakin tinggi perilaku kelekatan cemas yang dialami. Demikian pula


(64)

sebaliknya, semakin rendah skor skala gaya kelekatan cemas yang diperoleh, maka menunjukkan semakin rendah tingkat perilaku kelekatan cemas yang dialami.

2. Kenakalan remaja

Kenakalan remaja adalah perilaku atau tindakan menyimpang yang melanggar norma sosial atau hukum dalam masyarakat, berperilaku jahat atau nakal yang tidak dapat diterima secara sosial, seperti membolos sekolah, melakukan hubungan seks, mengkonsumsi narkoba dan minuman keras, mencuri hingga melakukan tindakan kekerasan.

Alat ukur yang digunakan didasarkan pada bentuk kenakalan remaja yang dikemukakan oleh Jensen (dalam Sarwono 2008), yaitu: a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti

perkelahian, perampokan, dan perkosaan.

b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti pencurian, perusakan, dan pemerasan.

c. Kenakalan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti

penyalahgunaan obat-obatan dan merokok, penyalahgunaan senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalanan.

d. Kenakalan yang melanggar aturan dan status, seperti melanggar aturan sekolah, membantah perintah orang tua, dan mengendarai kendaraan tanpa ijin


(65)

Perolehan skor kenakalan remaja akan terlihat dari skor pada skala kenakalan remaja. Semakin tinggi skor skala kenakalan remaja yang diperoleh, maka menunjukkan semakin tinggi perilaku kenakalan remaja. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor skala kenakalan remaja yang diperoleh, maka menunjukkan semakin rendah tingkat perilaku kenakalan remaja.

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah remaja pada rentang usia 12-23 tahun. Hal ini dikarenakan menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) masa remaja antara usia 12-23 tahun sedang dalam masa yang penuh dengan topan dan tekanan (storm and stress). Topan dan tekanan (storm and stress) adalah konsep Hall tentang remaja sebagai masa goncangan yang ditandai dengan adanya konflik dan perubahan suasana hati.

Selain itu, para peneliti juga mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa “storm and stress”. Kata “storm” sendiri sebenarnya merujuk pada kemarahan yang disertai dengan sifat yang meledak-ledak, yang merupakan emosi dominan pada masa remaja. Kata “stress” sendiri merujuk pada faktor-faktor emosi dan fisik yang mengganggu fungsi normalnya, termasuk kemarahan yang menyebabkan kemunduran fungsi fisik dan psikologis (Hurlock, 1973).


(66)

E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala kelekatan dan skala perilaku kenakalan remaja. Kedua skala tersebut disusun dengan menggunakan metode skala Likert. Metode ini merupakan metode pengukuran sikap yang meminta subjek untuk mengindikasikan tingkat kesetujuan atau ketidaksetujuan mereka terhadap masing-masing pernyataan (Noor, 2011). Adapun kedua skala tersebut antara lain:

1. Skala Kelekatan

Penyusunan skala kelekatan ini didasarkan pada tiga gaya perilaku kelekatan yaitu, remaja dengan gaya kelekatan aman (securely

attached), remaja dengan gaya kelekatan menghindar (avoidant

attached), dan gaya kelekatan cemas (ambivalent attached).

Dalam penelitian skala kelekatan yang meliputi remaja dengan

gaya kelekatan aman (securely attached), remaja dengan gaya

kelekatan menghindar (avoidant attached), dan remaja dengan gaya kelekatan cemas (ambivalent attached) yang masing-masing gaya kelekatan terdiri dari empat alternatif jawaban, yaitu “Sangat Setuju (SS)”, “Setuju (S)”, “Tidak Setuju (TS)”,dan “Sangat Tidak Setuju (STS)”. Nilai skor bergerak dari angka 1 sampai dengan angka 4, dengan tidak adanya respon netral. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kecenderungan subjek memilih jawaban tengah dan agar subjek lebih tegas dalam memilih jawaban (Hadi, 2004).


(67)

Pernyataan-pernyataan yang diberikan dalam skala kelekatan yang meliputi remaja dengan gaya kelekatan aman (securely attached), remaja dengan gaya kelekatan menghindar (avoidant attached), dan gaya kelekatan cemas (ambivalent attached) terdiri dari dua bentuk yaitu, pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable.

Pernyataan favorable adalah pernyataan yang isinya mendukung, memihak, atau menunjukkan aspek-aspek dari variabel yang diukur. Sedangkan pernyataan unfavorable adalah pernyataan yang isinya tidak mendukung atau tidak menggambarkan aspek-aspek dari variabel yang diukur (Azwar, 2012).

Berikut penentuan penilaian untuk pernyataan favorable dan unfavorable dalam skala kelekatan yang meliputi remaja dengan gaya kelekatan aman (securely attached), remaja dengan gaya kelekatan

menghindar (avoidant attached), dan gaya kelekatan cemas

(ambivalent attached):

Tabel 3.1. Pemberian Skor Skala Kelekatan

Alternatif Jawaban Pernyataan Favorable

Pernyataan Unfavorable

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3


(68)

Pada skala kelekatan, peneliti membuat 60 item yang terdiri dari 20 item remaja dengan gaya kelekatan aman (securely attached), 20 item remaja dengan gaya kelekatan menghindar (avoidant attached), dan 20 item remaja dengan gaya kelekatan cemas (ambivalent attached).

Tabel 3.2. Blue Print dan Distribusi Item Skala Kelekatan (Sebelum

Uji Coba)

Aspek Indikator

Gaya kelekatan aman (securely attached)

a. Bersahabat b. Percaya diri

c. Jarang menangis atau marah d. Cenderung menjadi pemimpin e. Aktif berinisiatif

Gaya kelekatan menghindar (avoidant attached)

a. Skeptis b. Mudah curiga

c. Mudah berubah pendirian d. Sukar terbuka

e. Tidak dapat mengekspreikan diri f. Kurang hangat

Gaya kelekatan cemas (ambivalent attached)

a. Kurang pengertian b. Tidak percaya diri c. Merasa tidak berharga

d. Mudah berubah-ubah pendapat e. Tidak asertif

f. Kurang berani menjalin hubungan

Aspek Item Jumlah Persentase

Gaya kelekatan aman (securely attached) Favorable

1, 3, 5, 7, 9, 12, 14, 16, 17, 20

10 16,6%

Unfavorable

2, 4, 6, 8, 10, 11, 13, 15, 18, 19


(69)

Gaya kelekatan menghindar (avoidant attached) Favorable

21, 23, 25, 28, 30, 31, 33, 35, 37, 39

10 16,6%

Unfavorable

22, 24, 26, 27, 29, 32, 34, 36, 38, 40

10 16,6%

Gaya kelekatan cemas (ambivalent attached) Favorable

41, 43, 44, 46, 48, 50, 54, 58, 59, 60

10 16,6%

Unfavorable

42, 45, 47, 49, 51, 52, 53, 55, 56, 57

10 16,6%

Jumlah 60 100%

2. Skala Kenakalan Remaja

Penyusunan skala kenakalan remaja ini didasarkan pada empat bentuk kenakalan remaja menurut Jensen (Santrock, 1989) yaitu, kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, kenakalan yang menimbulkan korban materi, kenakalan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, dan kenakalan yang melanggar aturan dan status.

Dalam penelitian skala kelekatan terdiri dari empat alternatif jawaban, yaitu “Sangat Setuju (SS)”, “Setuju (S)”, “Tidak Setuju (TS)”,dan “Sangat Tidak Setuju (STS)”. Nilai skor bergerak dari angka 1 sampai dengan angka 4, dengan tidak adanya respon netral. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kecenderungan subjek memilih


(70)

jawaban tengah dan agar subjek lebih tegas dalam memilih jawaban (Hadi, 2004).

Pernyataan-pernyataan yang diberikan dalam kedua skala kelekatan terdiri dari dua bentuk yaitu, pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable. Pernyataan favorable adalah pernyataan yang isinya mendukung, memihak, atau menunjukkan aspek-aspek dari variabel yang diukur. Sedangkan pernyataan unfavorable adalah prnyataan yang isinya tidak mendukung atau tidak menggambarkan aspek-aspek dari variabel yang diukur (Azwar, 2012). Berikut penentuan penilaian untuk pernyataan favorable dan unfavorable:

Tabel 3.3 Pemberian Skor Skala Kenakalan Remaja

Alternatif Jawaban Pernyataan Favorable

Pernyataan Unfavorable

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4

Pada skala kelekatan, peneliti membuat 56 item yang terdiri dari 14 item kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, 14 item kenakalan yang menimbulkan korban materi, 14 item kenakalan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, dan 14 item kenakalan yang melanggar aturan dan status.


(71)

Tabel 3.4. Blue Print dan Distribusi Item kenakalan Remaja

(Sebelum Uji Coba)

Aspek Indikator

Kenakalan yang

menimbulkan korban fisik pada orang lain

a. Perkelahian b. Perampokan c. Perkosaan

Kenakalan yang menimbulkan korban materi

a. Pencurian b. Perusakan c. Pemerasan

Kenakalan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain

a. Penyalahgunaan obat-obatan dan merokok

b. Penyalahgunaan senjata tajam c. Kebut-kebutan di jalanan

Kenakalan yang melanggar aturan dan status

a. Melanggar aturan sekolah b. Membantah perintah orang tua c. Mengendarai kendaraan tanpa ijin

Aspek Item Jumlah Persentase

Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain

Favorable

1, 24, 31, 32, 38, 39,

41

7 12,5

Unfavorable 2, 6, 8, 25,

34, 37, 50 7 12,5

Kenakalan yang menimbulkan korban materi

Favorable

4, 7, 12, 22, 35,49,

51

7 12,5

Unfavorable

9, 23, 36 33, 40, 42,

47


(72)

Kenakalan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain

Favorable

10, 13, 19, 30, 43, 53,

55

7 12,5

Unfavorable

3, 11, 21, 26, 44, 48,

52

7 12,5

Kenakalan yang melanggar aturan dan status

Favorable

5, 15, 17, 27 29, 45,

46

7 12,5

Unfavorable

14, 16, 18, 20, 28, 53,

54

7 12,5

Jumlah 56 100%

F. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Penelitian 1. Uji Validitas

Validitas mengukur sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat tes dapat diartikan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Jadi bisa dikatakan bahwa validitas adalah kecermatan pengukuran yang mampu mengungkapkan data dengan tepat dan memberikan gmabaran yang cermat (Azwar, 2004).


(73)

2. Pelaksanaan Uji Coba dan Seleksi Item

Sebelum melakukan pengukuran yang sesungguhnya, peneliti melakukan uji coba terlebih dahulu terhadap alat ukur yang sudah dibuat. Uji coba dilakukan untuk melihat reliabilitas dari alat ukur dan untuk melihat sejauh mana kemampuan item-item menjadi pembeda pemikiran dan tindakan subjek penelitian terhadap variabel yang ingin diteliti. Hal tersebut dimaksudkan untuk melihat bahwa item-item pada alat ukur dapat mengukur kecenderungan subjek terhadap variabel yang diteliti.

Uji coba kedua skala penelitian dilakukan pada tanggal 4 - 6 Mei 2015 dengan total sampel 60 orang. Uji coba dilakukan di LBPP LIA kepada remaja yang sesuai dengan kriteria peneliti. Penyebaran dilakukan dengan masuk kedalam kelas saat kelas kursus sudah selesai, meminta kesediaan subjek untuk mengisi kemudian memberikan instruksi singkat tentang cara pengisian dan penelitian yang sedang dilakukan.

Uji coba skala gaya kelekatan (attachment) dilakukan sebanyak dua kali. Uji coba skala gaya kelekatan (attachment) yang kedua kali dilaksanakan pada tanggal 11-12 Mei 2015 dengan cara yang sama yaitu dengan menyebarkan di LBPP LIA namun dilakukan di kelas yang berbeda dengan uji coba yang pertama.

Uji coba yang pertama menghasilkan skala yang kurang baik dengan koefisien reliabilitas ≥ 0,600 yang merupakan standar koefisien


(74)

reliabilitas alat ukur yang memenuhi syarat (Azwar, 2012). Uji coba yang kedua menghasilkan skala gaya kelekatan yang lebih baik dari skala gaya kelekatan yang pertama dengan koefisien reliabilitas ≥ 0,600.

Uji seleksi item dilihat melalui korelasi item total dengan pengukuran SPSS for windows 16.00. Tujuan dari seleksi item adalah untuk memilih item-item yang valid dan membuang item-item yang tidak valid. Pemilihan item yang baik menggunakan batasan ≥ 0,30 karena item yang mencapai koefisien minimal 0,30 daya bedanya dianggap memuaskan. Item yang memiliki daya beda kurang dari 0,30 dinyatakan gugur (Azwar, 2012). Apabila setelah dilakukan seleksi item ditemukan item-item yang lolos belum mencukupi jumlah yang diinginkan atau item tersebut kurang mewakili aspek-aspek yang diukur maka dapat dipertimbangkan dengan menurunkan batasan ≥ 0,25 (Azwar, 1999).

Seleksi item pada uji coba pertama skala gaya kelekatan menghasilkan 28 item yang baik dari 60 item. Item-item yang dinyatakan baik meliputi 8 item baik dari 20 item gaya kelekatan aman (securely attached), 8 item baik dari 20 item gaya kelekatan menghindar (avoidant attached), dan 12 item baik dari 20 item gaya kelekatan cemas (ambivalent attached).


(1)

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

aman menghindar cemas kenakalan

N 127 127 127 127

Normal Parametersa Mean 50.3150 33.1417 33.9843 70.9606 Std. Deviation 5.34923 5.17890 5.97214 13.47979 Most Extreme Differences Absolute .095 .092 .064 .086 Positive .095 .092 .063 .086 Negative -.083 -.082 -.064 -.044 Kolmogorov-Smirnov Z 1.073 1.038 .718 .964 Asymp. Sig. (2-tailed) .199 .231 .682 .311 a. Test distribution is Normal.


(2)

Lampiran 7


(3)

1.

Uji linearitas kenakalan remaja*gaya kelekatan aman (secure)

ANOVA Table Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. kenakalan *

aman

Between Groups

(Combined) 7362.733 24 306.781 2.015 .008 Linearity 1739.652 1 1739.652 11.424 .001 Deviation from

Linearity 5623.080 23 244.482 1.606 .057 Within Groups 15532.071 102 152.275

Total 22894.803 126

2.

Uji linearitas kenakalan remaja*gaya kelekatan menghindar (avoidant)

ANOVA Table Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. kenakalan *

menghindar

Between Groups

(Combined) 5549.972 24 231.249 1.360 .147 Linearity 2524.240 1 2524.240 14.844 .000 Deviation from

Linearity 3025.732 23 131.554 .774 .756 Within Groups 17344.832 102 170.047


(4)

3.

Uji lineritas kenakalan remaja* gaya kelekatan cemas (ambivalent)

ANOVA Table Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. kenakalan *

cemas

Between Groups

(Combined) 8347.944 27 309.183 2.104 .004 Linearity 4028.590 1 4028.590 27.417 .000 Deviation from

Linearity 4319.354 26 166.129 1.131 .324 Within Groups 14546.859 99 146.938


(5)

Lampiran 8


(6)

Correlations

aman menghindar cemas kenakalan aman Pearson Correlation 1 -.786** -.707** -.276**

Sig. (1-tailed) .000 .000 .001

N 127 127 127 127

menghindar Pearson Correlation -.786** 1 .764** .332** Sig. (1-tailed) .000 .000 .000

N 127 127 127 127

cemas Pearson Correlation -.707** .764** 1 .419** Sig. (1-tailed) .000 .000 .000

N 127 127 127 127

kenakalan Pearson Correlation -.276** .332** .419** 1 Sig. (1-tailed) .001 .000 .000

N 127 127 127 127