Sejarah Kekerasan Seksual Tentara Jepang di Asia, Sebelum Masuk ke Indonesia.

25 pelacuran. Tetapi, sebelum Jepang masuk ke Indonesia, yakni pada zaman Belanda, wanita penghibur sudah dikenal dengan istilah karayukisan sebuah istilah Jepang untuk mengatakan selir atau pelacur Jepang di Jawa. Pada waktu itu, perbandingan antara pria dan wanita sangat jauh. Pada tahun 1900 perbandingan antar wanita dan pria adalah 47:100, dan pada tahun 1930 menjadi 88 :100. Di Sumatera, perbandingannya 61 wanita Eropa terhadap prianya Suyono, 2005: 277. Ketika itu, perkawinan antarbangsa pribumi dengan orang Eropa masih belum dapat diterima, sehingga memelihara selir atau wanita simpanan merupakan hal yang lumrah. Pada abad 19, ondernemer karet atau tembakau hanya menggunakan tenaga orang Eropa yang masih bujang. Karena itu merupakan hal yang wajar bila terjadi dilema kerena kekurangan wanita. Memelihara gundik masih dapat diterima, meskipun bagi yang memelihara telah dianggap merusak moralnya. Tempat pelacuran illegal dianggap sebagai kebijakan yang dapat diterima meskipun secara medis belum tentu aman. Dalam situasi ini, peran karayukisan menjadi amat perlu Suyono, 2005: 278. Di Jepang, perbedaan pengertian antara selir dan pelacur adalah sama. Kerena selir dapat saja terjadi atau dapat dialami oleh seorang wanita yang disebabkan oleh kemiskinan. Hal ini banyak terjadi dengan banyak karayukisan selain sebagai orang wanita Jepang, juga mempunyai status tersendiri. Bagi para wanita Jepang yang datang ke Indonesia dan ingin menjadi karayukisan, memiliki nilai jual yang tinggi dan sangat diistimewakan. Faktor yang membuat mereka sangat istimewa adalah mereka memiliki kelebihan dalam melayani seorang pria. Mereka dibekali pendidikan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26 mulai dari cara menuangkan teh atau sake, bernyanyi, memandikan pria sampai sampai pada melayani tamu di ranjang Suyono, 2005: 279. Wanita Jepang yang datang ke Indonesia dan ingin menjadi karayukisan mempunyai pasaran yang lebih tinggi dan banyak permintaan. Mereka memiliki kelebihan dalam melayani pria dibandingkan dengan yang lainnya. Wanita-wanita ini berasal dari golongan orang-orang miskin. Mereka dijual oleh orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga atau dipanggil oleh pemeritah Jepang dengan alasan tugas negara. Namun, wanita Jepang teteplah menjadi istimewa karena mereka datang dari luar negeri. Di Surabaya sampai ada jalan yang dinamakan Kembang Jepun weg yang berarti jalan dari kembang-kembang Jepang. Hampir 1000 pelacur Jepang yang tersebar di seluruh pulau Jawa. Izin tinggal bagi mereka juga bervariasi antara 15 bulan dan 11 tahun. Pelacur-pelacur Jepang rata-rata berumur 16 sampai 24 tahun. Sehingga banyak tempat-tempat pelacuran dikelola oleh orang Jepang Suyono, 2005: 279. Karayukisan yang terdapat di Indonesia sebelum perang termasuk bisnis perdagangan yang illegal. Mereka didatangkan dari derah-daerah miskin di Jepang, yang sebelumnya tahun 1920-an negara Jepang masih miskin. Para karayukisan ini didatangkan secara illegal dari Singapura sebagai tempat penyalur karayukisan. Tetapi, setelah ada larangan dari pemerintah Hindia-Belanda sebagian besar dari mereka dipulangkan ke Jepang. Namun, ada sebagian kecil masih bekerja secara illegal di pulau Jawa. Bagi Jepang, karayukisan merupakan suatu hal yang memalukan di tengah upaya mereka untuk dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27 barat. Maka, sebagai tindak lanjutnya untuk mengatur dan mengontrol kehidupan para karayukisan, pemerintah Jepang membuka konsulat Jepang di Batavia Suyono, 2005: 280. Dalam pemerintahan Jepang, posisi angkatan perang Jepang di luar hubungan diplomatik antar negara, mereka tetap melakukan kebijaksanaan tersendiri. Pada tahun 1937 dan 1938 sistim pelacuran diterapkan secara paksa pada negara-negara yang berada di dalam kekuasaan Jepang dan berada ditangan pucuk pimpinan tentara Jepang. Dalam ketentaraan Jepang, hal itu sudah menjadi sebuah institusi atau lembaga. Pemakaian wanita sebagai suatu sarana di dalam ketentaraan juga mulai meningkat. Hal ini mempunyai pengaruh terhadap keberadaan Jepang di Indonesia dan dapat menimbulkan sikap oposisi dari masyarakat Indonesia disebabkan karena pengambilan beras secara paksa oleh tentara Jepang, sehinga rakyat kelaparan, pengambilan secara paksa orang-orang untuk menjadi romusha, dan terutama pengambilan wanita untuk dijadikan pelacur bagi tentara Jepang Suyono, 2005: 280. Pengambilan wanita-wanita Indonesia oleh Jepang dilakukan dengan berbagai tipu daya. Banyak wanita Indonesia dididik sebagai perawat dan dikirim ke Jepang. Ternyata, gadis-gadis itu dipakai tentara Jepang untuk dijadikan Jugun Ianfu, yaitu wanita penghibur. Banyak di antara mereka bunuh diri setelah perang berakhir, karena malu untuk kembali ke keluarganya. Sama halnya dengan yang terjadi di negara-negara Asia lainya, jarang dari mereka yang dapat diterima kembali oleh keluarganya. Meskipun pelacuran Jepang sudah dikenal, di Indonesia pekerjaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28 seperti itu merupakan sebuah status bagi orang Jepang. Kedatangan bala tentara Jepang ke Indonesia telah menempatkan karayukisan itu ke dalam lembaga ketentaraan Jepang. Berbeda dengan para pelacur Korea, status mereka ditiadakan atau dihapus oleh pucuk pimpinan tentara. Dalam pelacuran di kalangan tentara Jepang, posisi wanita Jepang yang ada di sana sangat menentukan. Sekalipun posisi wanita Jepang secara sosial, ekonomi dan fisiknya berada di bawah pria, bagi serdadu Jepang hubungan seksual di rumah pelacuran diperbolehkan Suyono, 2005: 281.

2.4 Pemaksaan Menjadi Pelacur dan Kamp Tawanan Wanita Eropa

Pelacuran yang diterapkan pemeritahan Jepang dalam hal ini militer tidak hanya memperlakukan wanita Asia tetapi juga perempuan Eropa dan wanita indo atau campuran Indonesia Eropa. Wanita-wanita ini merupakan tahanan perang yang dibawa ke kamp-kamp interniran. Di sana, mereka dipaksa untuk menjadi pelacur, diperkosa dan diperlakukan secara asusila oleh tamu-tamu yang berasal dari ketentaraan Jepang. Ada beberapa wanita dipilih dan dimasukan ke dalam organisasi kemiliteran Jepang, mereka melayani para prajurit Jepang secara bergantian, sehingga kemudian muncul penyakit kelamin. Namun, hubungan seks dalam ketentaraan Jepang merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Ada wanita Belanda yang mendaftarkan diri secara suka rela sebagai pelacur. Hal ini dilakukan agar Jepang tidak mengambil paksa gadis-gadis yang masih muda. Mereka harus siap menjaga dan merawat diri terhadap penyakit kelamin dan segala sesuatu yang berhubungan dengan seks. Akibatnya, banyak dari mereka mengalami tekanan psikologi dan fisik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29 Imbasnya, mereka mengalami kelainan jiwa yang disebabkan oleh kamp syndrome, yaitu para wanita dikurung dalam kamp, tidak ada hubungan dengan dunia luar, dan juga tidak ada informasi yang masuk. Meraka harus berkata ”kiotske ‟siap‟ dan setelah itu naore membungkuk, mereka dipukul, ditempeleng dan dikurung Jepang sebagai hukumannya Suyono, 2005: 282. Pada umumnya, pengambilan paksa di kamp-kamp interniran dimulai dengan meminta daftar yang dibawa oleh seorang heitan atau prajurit pribumi yang bekerja untuk Jepang. Dalam kelompok wanita-wanita tersebut, akan ditunjuk salah satu dari mereka sebagai pemimpin. Fungsinya untuk memudahkan berkoordinasi dengan para tentara Jepang yang membutuhkan wanita penghibur. Nama-nama yang sudah terdaftar itulah yang menjadi sukarelawan pelacuran. Mereka dipilih dan dipaksa agar memberi kesan seolah-olah mereka pelacur sungguhan. Tidak sampai di situ, ada wanita yang dibawa ke biara. Di sana, mereka tinggal selama beberapa bulan dan kemudian dipanggil untuk bekerja dan pada akhirnya menjadi pekerja seks bagi tentara Jepang. Suyono, 2005: 284. Pemilihan gadis-gadis oleh prajurit Jepang berusia 15 atau 16 tahun. Sebenarnya, untuk kategori usia pelacur sangat bervariatif. Ada juga wanita yang baru beranak satu atau ibu-ibu muda yang masih kelihatan segar dan enerjik. Wanita-wanita yang dipilih atau sudah ditunjuk oleh tentara Jepang akan dipekerjakan sebagai pelayan di restoran-restoran. Keinginan untuk hidup yang lebih baik membuat mereka percaya akan janji-janji tentara Jepang, tetapi hasilnya mereka dipekerjakan sebagai wanita PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI