Tindak kekerasan fisik Tindak Kekerasan Intensional

37 dan minta ampun tapi, tidak dipedulikan sama sekali oleh Sulis. Dalam proses ini, kekerasan yang terjadi juga merupakan kekerasan fisik. Dari kutipan 9, terlihat bahwa setiap gerak Sulis selalu berorientasi pada penyiksaan, penggunaan senjata untuk menyakiti dan melukai Lestari. 10 “Belum cukup ibu mengambil suamiku, sekarang kau merusak anakku Tangan perempuan yang kupanggil ibu itu mencengkeram kuat rambutku sehingga segumpal rambutku terserabut” Lan Fang, 2006: 252. Dalam kutipan 10, terlihat bahwa Lestari kembali menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh „ibunya‟. Kekerasan yang terjadi pada kutipan 10, dikategorikan ke dalam kekerasan fisik karena berorientasi pada penyiksaan fisik yang berupa penjabakkan rambut hingga segumpal rambut Lestrari terserabut. Kekerasan juga terjadi pada tokoh Joko, anak Sujono dan Sulis. Ini terlihat dalam kutipan berikut. 11 “Ayah menghajar Joko sampai mulut, pipi, dan pelipis pemuda itu berdarah. Ayah juga menghajar Joko sampai babak belur seperti ibu menyiksaku. Ayah menempelengnya, menendangnya, menginjak wajah, dada, dan perutnya, sampai ia terkapar dengan pelipis dan bibir pecah. Matanya membengkak biru. Wajahnya pun bersimbah darah” Lan Fang, 2006: 253. Dalam kutipan 11, setelah pulang kerja dan melihat keadaan anak gadisnya, Sujono sudah dapat memperkirakan musibah apa yang baru saja terjadi. Ia melampiaskan amarahnya kepada Joko, anak lelakinya. Kekerasan yang terjadi di sini adalah kekerasan fisik berupa pemukulan dan penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono terhadap anaknya, Joko. Sujono melakukan kekerasan fisik karena dilatarbelakangi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38 oleh sikap anak laki-lakinya yang telah melakukan kekerasan seksual terhadap anak gadisnya. Kekerasan kembali dialami tokoh Sulis pada kutipan dibawah ini. 12 ”Ayah melepaskan aku dari seretan ibu. Ia mendorong ibu sampai terjerembab. Wajahnya yang bengis mencium lantai. Lalu ayah menyeretnya ke arah pintu seakan-akan hendak membuang bangkai tikus. Ibu menggeliat-geliat mempertahankan diri agar tidak terlempar keluar” Lan Fang, 2006: 255. Dalam kutipan 12, terlihat Sujono begitu menyayangi anak gadisnya, ia tidak tega melihat perlakuan kasar Sulis terhadap Lestari sehingga Sujono juga membalas perlakuan sama kepada Sulis dengan menyeretnya dan hendak membuangnya. Adanya kiasan dengan men ggunakan perumpamaan “seakan-akan membuang bangkai tikus” memberi gambaran bagaimana penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono kepada Sulis begitu sadis. Sujono sudah tidak memperdulikan Sulis yang menggeliat-geliat mempertahankan dirinya agar tidak terlempar ke luar. Dalam hal ini, kekerasan yang terjadi masih sama kategorinya dengan kekerasan yang ada pada kutipan 11, yaitu kekerasan fisik. Kekerasan kembali dialami Sulis pada kutipan berikut: 13 “Tubuh ibu diinjak-injak dan ditendang, ibu bersikukuh memegangi daun pintu sambil meringkuk. Akhirnya, ayah menjambak dan menarik rambut ibu untuk menariknya ke luar. Rambutnya tercabut dari kulit kepala. Ibu melolong panjang.” Lan Fang, 2006: 255. Kutipan 13 mendeskripsikan bagaimana puncak penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono kepada Sulis. Terlihat dengan jelas bagaimana proses penyiksaan terjadi 39 ke tubuh Sulis perlahan dan terus berlanjut, hingga rambut Sulis tercabut dari kulit kepalanya. Sulis tidak melawan penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono tersebut. Ia seakan-akan mengerti bahwa penyiksaan ini merupakan pelampiasan terhadap apa yang telah ia lakukan kepada Lestari. Dari kutipan 13, terlihat setiap gerak Sujono berorientasi pada penyiksaan fisik terhadap Sulis.

3.1.2 Tindak Kekerasan Seksual atau Reproduksi

Tindak kekerasan seksual atau reproduksi bentuknya berupa serangan atau upaya fisik untuk melukai pada alat seksual reproduksi atau serangan psikologis kegiatan merendahkan atau menghina yang diarahkan pada penghayatan seksual subjek. Tindak kekerasan seksual atau reproduksi ini dialami Sulis, Matsumi, Lestari atau Kaguya, tentara Belanda dan para wanita penghibur. Hal ini dilihat pada kutipan-kutipan berikut. 14 “Belum tuntas rasa sakitku, belum sempurna kesadaranku, mas Sujono bagaikan banjir badang, bagaikan harimau kelaparan, datang menerpa, menggulung, menindihku Ia mengangkat kedua pahaku tinggi-tinggi, melipatnya sampai keatas dada, mendorong kepalaku sampai membentur dinding kamar. Aku merintih kesakitan. Air mataku membanjir, tapi ia tidak peduli. Ia menyetubuhiku lagi dengan kasar dan lama. Ia memperkosaku” Lan Fang, 2006: 78 Dalam kutipan 14, terlihat bahwa kekerasan kembali dialami oleh Sulis. Belum tuntas rasa sakit yang ia alami saat ditinju dan belum sempurna kesadarannya, ia diperkosa. Adanya kiasan dengan menggunakan perumpamaan “bagaikan banjir badang, bagaikan harimau kelaparan, datang menerpa, menggulung, menindihku” memberi gambaran betapa tiba-tiba dan kasarnya perlakuan dari Sujono. Dalam hal 40 ini terjadi dua kekerasan yaitu, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan fisiknya berupa penyiksaan yang dialami oleh Sulis dan kekerasan seksualnya berupa cara Sujono menyetubuhi istrinya dengan kasar dan paksa sehingga mengesankan Sujono telah memperkosa istrinya sendiri. Hal ini terlihat pada kutipan “Ia memeperkosaku”. Contoh kekerasan lain dapat dilihat pada kutipan berikut: 15 “Tiba-tiba, tangan mas Sujono bergerak cepat dan mencekal pergelengan tanganku, lalu menyentakku duduk kembali di sisinya. Hanya dengan sekali sentak, ia menarik tubuhku sehingga terjatuh di sisinya. Dan mendadak saja, ia sudah berada di atas tubuhku. Ia menindihku sehingga aku tidak bisa bergerak” Lan Fang, 2006: 53. Dalam kutipan 15, terlihat bahwa terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan oleh Sujono terhadap Sulis dengan cara pemaksaan hubungan seksual. Kekerasan seksual kembali terjadi pada suatu kelompok atau golongan. Mereka adalah prajurit Belanda yang menjadi tahanan Jepang, para wanita-wanita penghibur baik dari Cina, Korea serta Indonesia yang tinggal di asrama-asrama pelacuran. Ini tampak pada kutipan berikut. 16 “Tentara Belanda yang ditawan bukan saja mendapatkan pukulan, tendangan, tempelengan bahkan penyiksaan sampai mereka mengeluarkan raungan seperti orang sekarat. Jari-jari mereka dijepit, punggung dan dada disetrika, bahkan penis diestrum dengan listrik” Lan Fang, 2006: 112. Kutipan 16 menjelaskan kekerasan yang dipaparkan melalui latar yang terjadi saat itu. Kekerasan ini termasuk kategori kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Terlihat dengan jelas bagaimana tentara Jepang terhadap tentara Belanda PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41 mereka dipukul, ditendang, dan ditempeleng. Sedangkan, kekerasan seksualnya terlihat pada upaya untuk melukai alat reproduksi dengan cara disentrum. Kekerasan kembali dilakukan oleh tentara Jepang. 17 ‟Mereka menggagahi perempuan-perempuan di sana dengan penuh nafsu. Seorang perempuan harus digilir sepuluh sampai lima belas tentara Jepang karena jumlah tentara Jepang sangat banyak” Lan Fang, 2006: 113. Kekerasan pada pemaparan latar 17, terjadi kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap perempuan-perempuan pribumi. Kekerasan yang ada merupakan kekerasan seksual karena menceritakan perbuatan tentara-tentara Jepang yang melakukan pemaksaan hubungan seks kepada perempuan pribumi. Tragisnya lagi, satu orang perempuan harus digilir sepuluh hingga lima belas orang tentara Jepang. Selain itu, mereka pun tidak dibayar. Alih-alih membayar, para perempuan itu diberi tempelengan dan siksaan yang di luar batas kemanusiaan. Kekerasan kembali terjadi pada salah seorang wanita penghibur. 18 “Ia ditempeleng sampai mulutnya berdarah. Mulut berdarahnya dipaksa menganga. Dan masuklah kemaluan laki- laki itu sampai menohok keujung tenggorokannya. Ia ingin muntah tetapi tidak bisa kerena tersumpal kemaluan yang membatu. Sampai lahar itu muncrat di dalam mulutnya” Lan Fang, 2006: 114. Kutipan diatas mendeskripsikan terjadinya kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik yang terjadi adalah wanita itu ditempeleng sampai mulutnya berdarah sedangkan kekerasan seksualnya adalah mulut wanita itu dipaksa menganga dan kemaluan laki-laki itu dimasukan ke mulutnya sampai menohok PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42 ketenggorokannya. Bentuk kekerasan ini mengarah pada kekerasan seksual karena wanita itu dipaksa melakukan oral seks. Kekerasan kembali terjadi pada wanita penghibur berikut. 19 ”Mereka seperti koboi dalam pertandingan pacu kuda. Bergerak naik- turun, maju-mundur sambil mengayunkan pecut agar kudanya semakin kuat bergerak” Lan Fang, 2006: 114. Pada kutipan 19 tergambar yang dilakukan tentara Jepang adalah kekerasan seksual yang mengarah pada kekerasan fisik. Kekerasan seksual yang terjadi adalah mereka berhubungan seks seperti seorang koboi yang sedang menunggangi kuda. Kekerasan fisik yang terjadi adalah mereka mengayunkan pecut ke tubuh wanita tersebut. Tentara Jepang memperlakukan wanita-wanita penghibur seperti binatang. Bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan seksual yang dialami tokoh Matsumi. Ia tidak diperlakukan dengan baik oleh Sujono seperti seorang isteri tetapi tubuh Matsumi diperlakukan seperti daging sate. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut 19 “Ia bukan saja mengangkangkan kedua kakiku, tapi juga mengangkat bahkan melipatnya. Ia membalik- balik tubuhku seperti sate” Lan Fang, 2006: 148. Dalam kutipan 19, terlihat bagaimana menderitanya Matsumi, ia mendapat perlakuan keji dari suaminya sendiri. Kekerasan yang terjadi pada kutipan ini adalah kekerasan seksual. Matsumi diperlakukan secara tidak sewajarnya. Hal ini terlihat pada kutipan “Ia membalik-balik tubuhku seperti sate”. Kebuasan Sujono dalam memperlakukan Matsumi dapat diartikan sebagai penyimpangan. Hal ini yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43 membuat penulis berkesimpulan jika kekerasan yang terjadi adalah kekerasan seksual. Bentuk tidak kekerasan kembali dialami tokoh Sulis. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut. 20 “Kutinju matanya yang melotot Langsung ada memar biru tercetak di sana. Kupukul mulutnya yang mengoceh Segera darah segar meleleh dari sudut mulutnya yang pecah. Kuperkosa tubuhnya yang pendek dan berkuli t gelap” Lan Fang, 2006: 191. Dalam kutipan 20, terlihat terjadi kasus pemukulan, penyiksaan dan pemerkosaan terhadap Sulis. Kekerasan yang terjadi dapat dikategorikan sebagai kekerasan yang mengarah pada penyiksaan fisik. Sedangkan pada kasus pemerkosaan mengarah pada kekerasan seksual. Kekerasan juga terjadi pada kutipan berikut: 21 “Kami seperti sepasang pemain sumo yang sedang bergulat dan saling membanting. Semakin ia melawan dan memberontak, aku semakin kasar menyetu buhinya” Lan Fang, 2006: 191 Pada kutipan 21, terlihat kekerasan yang tetap dialami oleh Sulis walaupun ia sudah mencoba melawan dan memberontak. Adanya kiasan “Kami seperti pemain sumo yang sedang bergulat dan saling membanting” memberi gambaran bagaimana penyiksaan yang diterima oleh Sulis walaupun ia sudah mencoba melawan dan memberontak seolah-olah Sujono tidak memperdulikan hal tersebut. Dalam hal ini, kekerasan yang terjadi masih sama kategorinya dengan kekerasan yang ada pada kutipan 21, yaitu kekerasan fisik dan seksual. Kekerasan fisik mengarah pada 44 penyiksaan fisik yang dialami oleh Sulis dan kekerasan seksual mengarah pada cara Sujono menyetubuhi Sulis dengan kasar. Bentuk tindak kekerasan yang dialami tokoh Kaguya Lestari. Ia diperkosa oleh Joko, kakaknya hasil dari hubungan Sujono dan Sulis. Ini terlihat dalam kutipan berikut. 22 “Ia langsung menyentak kainku hingga jatuh ke lantai. Aku berdiri berdiri telanjang di depannya Ia mendorongku kasar sampai rebah di lantai. Aku meronta dan berontak, tapi ia tidak mempedulikannya. Joko memasukan sesuatu ke selangkanganku yang disusul rasa sakit, nyeri dan bercak darah” Lan Fang, 2006: 251. Dalam kutipan 22, terlihat bagaimana perlakuan Joko kepada Lestari. Kekerasan yang terdapat pada kutipan ini dikategorikan dalam kekerasan seksual. Hal ini terlihat pada upaya Joko memaksa Lestari untuk melakukan hubungan seksual pemerkosaan. Walaupun Lestari sudah meronta dan memberontak hal tersebut, seakan-akan tidak dipedulikan oleh Joko.

3.1.3 Tindak Kekerasan Psikologis .

Tindak kekerasan psikologis dapat berupa penyerangan harga diri, penghancuran motivasi, perendahan, kegiatan mempermalukan, upaya membuat takut, teror dalam banyak manifestasinya. Tindak kekerasan psikologis ini dialami tokoh Lestari Kaguya, Sulis dan rakyat Indonesia. Tindak kekerasan psikologis yang dialami oleh tokoh dan kelompok atau golongan ini dapat kita lihat pada kutipan-kutipan berikut