29 Imbasnya, mereka mengalami kelainan jiwa yang disebabkan oleh kamp syndrome,
yaitu para wanita dikurung dalam kamp, tidak ada hubungan dengan dunia luar, dan juga tidak ada informasi yang masuk. Meraka harus berkata
”kiotske ‟siap‟ dan setelah itu naore membungkuk, mereka dipukul, ditempeleng dan dikurung Jepang
sebagai hukumannya Suyono, 2005: 282. Pada umumnya, pengambilan paksa di kamp-kamp interniran dimulai dengan
meminta daftar yang dibawa oleh seorang heitan atau prajurit pribumi yang bekerja untuk Jepang. Dalam kelompok wanita-wanita tersebut, akan ditunjuk salah satu dari
mereka sebagai pemimpin. Fungsinya untuk memudahkan berkoordinasi dengan para tentara Jepang yang membutuhkan wanita penghibur. Nama-nama yang sudah
terdaftar itulah yang menjadi sukarelawan pelacuran. Mereka dipilih dan dipaksa agar memberi kesan seolah-olah mereka pelacur sungguhan. Tidak sampai di situ, ada
wanita yang dibawa ke biara. Di sana, mereka tinggal selama beberapa bulan dan kemudian dipanggil untuk bekerja dan pada akhirnya menjadi pekerja seks bagi
tentara Jepang. Suyono, 2005: 284. Pemilihan gadis-gadis oleh prajurit Jepang berusia 15 atau 16 tahun. Sebenarnya,
untuk kategori usia pelacur sangat bervariatif. Ada juga wanita yang baru beranak satu atau ibu-ibu muda yang masih kelihatan segar dan enerjik. Wanita-wanita yang
dipilih atau sudah ditunjuk oleh tentara Jepang akan dipekerjakan sebagai pelayan di restoran-restoran. Keinginan untuk hidup yang lebih baik membuat mereka percaya
akan janji-janji tentara Jepang, tetapi hasilnya mereka dipekerjakan sebagai wanita PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30 penghibur. Bila ada yang tidak menuruti kemauan serdadu Jepang, mereka akan
diperkosa secara paksa Suyono, 2005: 285. Kehidupan mereka sangat menyakitkan. Berpindah-pindah dari satu kamp ke
kamp lain itulah yang dilakukan Jepang terhadap para wanita dan gadis-gadis
tersebut. Ada yang berasal dari kamp Surabaya di pindahkan ke kamp Gedangan, Semarang. Ada yang dari kamp Gedangan pindah ke kamp Halmahera.
Pada tahun 1944, rumah pelacuran dengan wanita-wanita Eropa ditutup atas perintah pusat komando balatentara Jepang. Semua wanita dan gadis-gadis
dikumpulkan kemudian dipindahkan ke kamp ”kota Paris”. Pada tanggal 30 mei
1944, para wanita dan gadis-gadis dipulangkan. Mereka pergi dan menetap di pinggiran kota Paris Suyono, 2005: 288.
Paparan tentang kekerasan pada masa penjajahan Jepang tersebut, akan dipakai sebagai landasan analisis tentang bentuk-bentuk kekerasan dalam novel Perempuan
Kembang Jepun pada bab III.
31
BAB III BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM NOVEL
PEREMPUAN KEMBANG JEPUN
Pada bab sebelumnya telah dianalisis masalah pendudukan Jepang di Indonesia yang terjadi di kota Surabaya, sebuah peristiwa yang mengungkapkan
perjuangan rakyat Surabaya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Dari tinjauan sosiologi sastra, novel Perempuan Kembang Jepun mengisahkan pendudukan Jepang
di Indonesia dan permasalahannya dipandang sebagai refleksi dan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Maka dari itu permasalahan-permasalahan sosisal yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat ditampilkan melalui keluarga Sujono, wanita penghibur dan rakyat Surabaya yang mengalami kekerasan-kekerasan pada masa
penjajahan Jepang. Pada bab ini, penulis memfokuskan penelitian pada bentuk-bentuk kekerasan
yang dialami para tokoh dalam novel Perempuan Kembang Jepun. Kekerasan ini terjadi dalam kehidupan keluarga Sujono dan Sulis maupun Sujono dan Matsumi.
Hidup serba kekurangan, penderitaan berkepanjangan, cinta dan kebahagiaan yang kurang sempurna sebagai unsur pemicu timbulnya tindak kekerasan. Tokoh-tokoh
yang mengalami tindak kekerasan adalah Sujono, Matsumi, Sulis, Lestari, dan Joko. Selain itu, ada kelompok-kelompok yang mengalami tindak kekerasan dari Jepang.
Mereka adalah orang-orang Belanda, perempuan- perempuan Cina dan Korea serta bangsa Indonesia sendiri. Bentuk-bentuk kekerasan berupa pukulan, caci maki,
32 pemerkosaan, penganiayaan, penghinaan, pemaksaan itulah bentuk kekerasan yang
dapat ditemui dalam novel Perempuan Kembang Jepun. Dari hal di atas, penulis akan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan
bentuk-bentuk kekerasan yang ada dalam novel Perempuan Kembang Jepun dalam dua bentuk tindak kekerasan. Tindak kekerasan intensional adalah tindak kekerasan
yang disengaja dan tindak kekerasan bukan intensional adalah tindak kekerasan yang kemungkinannya tidak disengaja. Bentuk-bentuk kekerasan yang ada dalam novel
Perempuan Kembang Jepun akan dirurut sebagai berikut.
3.1 Tindak Kekerasan Intensional
Tindak kekerasan intesional merupakan tindakan yang disengaja untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan
melalui cara-cara fisik, psikologi, deprivasi, ataupun gabungannya dalam beragam bentuk. Dari pengertian di atas, maka tindak kekerasan dapat digolongkan dalam
beberapa bentuk tindak kekerasan, yaitu tindak kekerasan fisik, tindak kekerasan seksual atau reproduksi, tindak kekerasan psikologi dan tindak kekerasan deprivasi.
Tindak kekerasan intensional pada novel Perempuan Kembang Jepun dapat dipaparkan sebagai berikut
3.1.1 Tindak kekerasan fisik
Tindak kekerasan fisik bentuknya berupa pemukulan, pengeroyokan, penggunaan senjata untuk menyakiti, melukai, penyiksaan, penghancuran fisik,
pembunuhan dan penggunaan obat untuk menyakiti. Tindak kekerasan fisik PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33 berhubungan langsung fisik ini dapat dilihat melalui penderitaan tokoh Sulis. Ini
tampak dalam kutipan berikut:
1“Mas Sujono tetap berusaha menyeretku. Aku bertahan berada di dalam
kamar petaknya.
Tolong… Aku melonglong panjang, membelah senyap yang mati”.Lan fang, 2006 :61
Dari kutipan 1, terlihat jelas jika Sulis mengalami bentuk kekerasan fisik dari Sujono. Ia dipaksa untuk keluar dari rumah Sujono. Disini secara kekerasan fisik
Sulis mendapat perlakuan kasar, ia diusir paksa dengan cara diseret agar keluar dari rumah oleh Sujono.
Kutipan berikut adalah kekerasan dialami tokoh Sujono, ia ditampar ketika ia berusaha meyakinkan ayah Sutini jika ia tidak menghamili Sulis. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut. 2“Mendadak ku dengar bunyi bergelegar. Sunyi seakan terkapar. Laki-laki
itu menampar Sujono. Matan ya merah menyalang” Lan Fang, 2006:63
Dalam kutipan 2, terlihat Sujono mengalami tindak kekerasan yang
dilakukan oleh ayah Sutini. Kekerasan itu adalah kekerasan fisik di mana Sujono mendapat tamparan dari ayah Sutini. Di sini, Sujono berusaha membela dirinya
karena ia tahu Sulis belum tentu hamil akibat perbuatannya sebab saat itu Sulis juga berhubungan dengan laki-laki lain.
Tindak kekerasan yang sama masih dialami Sujono. Suara bergelegar itu terdengar nyaring untuk kedua kalinya.
Ayah Sutini kembali menempeleng mas Sujono” Lan Fang, 2006:63.