Tindak kekerasan dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang ( analisis sosiologi sastra).

(1)

ABSTRAK

Demon, Melkior. 2009. Tindak Kekeresan dalam Novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini mengkaji tindak kekerasan dalam novel Perempuan Kembang Jepun yang sangat dipengaruhi oleh sejarah perjuangan masyarakat Surabaya. Tujuan penelitian ini mengkaji dan menganalisis sejarah perjuangan masyarakat Surabaya sampai memunculkan tindak kekerasan yang terjadi dalam novel Perempuan kembang Jepun sebagai sebuah realitas sosial yang terjadi di masyarakat.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra, untuk membicarakan sastra. Penelitian diawali dengan mendeskripsikan perjuangan masyarakat Surabaya pada tahun 1942–1945 untuk mengungkapkan kenyataan sosial masyarakat yang terjadi pada saat itu yang kemudian dipakai sebagai dasar untuk menganalisis tindak kekerasan yang terjadi di keluarga dan masyarakat dalam novel Perempuan Kembang Jepun.

Dalam novel Perempuan Kembang Jepun ditemukan bahwa kekejaman tentara Jepang saat menjalankan pemerintahannya di Indonesia tidak berperikemanusiaan. Mulai dari kerja paksa atau romusha, perampasan hak-hak rakyat sampai pada pengambilan wanita-wanita secara paksa dan mempekerjakan mereka di tempat-tempat hiburan sebagai budak seks tentara Jepang. Hal ini membuat rakyat marah dan melakukan perlawanan terhadap Jepang. Tentara nasional dibantu rakyat bersama-sama mengangkat senjata berperang melawan penjajah. Pemberontakan, pembunuhan terjadi di setiap sudut kota Surabaya. Sampai pada akhirnya Jepang kalah dan mengakui kemerdekaan Indonesia.

Perang antara Indonesia dan Jepang membawa dampak sosial yang cukup luas bagi masyarakat. Situasi yang serba tidak menentu seperti ini membawa dampak pada kehidupan keluarga Sujono. Faktor pemenuhan kebutuhan hidup menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam keluarga Sujono. Kekerasan fisik, seksual, psikologi dan deprivasi menjadi sebuah masalah yang tidak terpecahkan dalam keluarga Sujono. Maka munculnya ketidak harmonisan dalam keluarga Sujono. Selain itu, wanita-wanita penghibur dan rakyat Indonesia adalah kelompok-kelompok yang menjadi korban kekerasan dari tentara Jepang.

Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa aspek. Aspek histori tampak pada masyarakat Surabaya yang berjuang melawan penjajah Jepang tahun 1945. Pemerintah Jepang menggunakan kekuasaannya untuk menindas (melakukan kekerasan) rakyat dengan semena-mena. Perjuangan yang dilakukan rakyat Surabaya muncul atas dasar semangat nasionalisme, patriotisme dan rela berkorban. Dari aspek sosial, mengatasi persolan di masyarakat atau keluarga harus dengan kepala dingin dan dilandasi kasih sayang bukan dengan tindak kekerasan. Kekerasan bukanlah


(2)

ABSTRACT

Demon, Melkior. 2010. Violence in Perempuan Kembang Jepun Novel by Lan Fang. A Literature Socoilogi—Review. Yogyakarta : Indonesia Literature Study Program, Sanata Dharma University.

This observation analyzes the violence in Perempuan Kembang Jepun novel that was influenced by the struggle of Surabaya people in 1945.The purpose of this obsevation is analyzing the struggle of Surabaya people history which brought up the violence that was described in Perempuan Kembang Jepun as a social reality.

The approach that is used in this observation is literature sociology approach, based on the opinion the literature is a reflect of socia process. This approach moves in the external elements of literature in order to talk about literature it self.This observation stars with describing the struggle of surabaya people in 1942-1945 to reveal the social reality at the time which later would be used to analyze the violince in family and society of Perempuan Kembang Jepun.

Perempuan Kembang Jepun described that the violence in japan colonial domination is umbelievable.Romusa of forced labor,human rights exploitation,up to women kidnapping for prostitution reason of Japanese army.These situation exploded the reaction of Surabaya people to fight the Japanese army.Rebellion and slaying happened in many places in Surabaya in order to fight the Japanese army.These ended with the defeated of Japanese army and the acknowledgment of Indonesian independence.

The wer betwen Indonesia and Japan brought up plenty of social results.The unstable situation also influenced Sujono’s family.The economical factor became the main reason of violence’s that happened in Sujono’s family.Physical violence,sexual violence, psychology, and depression were unfinished problems in Sujono's family.Beside that,prostitutes and Indonesian people were the victims of Japanese’s violence.

The results of this observation give conclusions in some aspects.The historical aspect was seen in the struggle of Surabaya people againts Japan in 1945. Japanese colonial domination used their power to crush people.The stuggle of Surabaya people came out based on their nationalism, patriotism, and the spirit of sacrifice. In social aspect, exceending a problem calmly and lovely is better than harshness. Harshness is not awise solution in overcoming any problem in family or society.


(3)

TINDAK KEKERASAN

DALAM NOVEL PEREMPUAN KEMBANG JEPUN KARYA LAN FANG

(Analisis Sosiologi Sastra)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Oleh

Melkior Demon Solo NIM : 014114058

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Hidup seperti sebuah karya seni dimana kita bisa berimajinasi,

bisa merasakan, bisa memahami dan menikmati walaupun tidak

sesempurna yang kita harapkan karna itulah seninya hidup

(Melkior Demon Solo)

Skripsi ini kupersembahkan untuk

Yesus Kristus Sang Juru Selamatku, Bapa dan Mama yang mencintaiku, Melly, Piter, Pino, dan keponakan ku Cindy dan No Wio yang selalu mengasihiku, serta semua


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapak di Surga yang telah memberi kelimpahan dan tuntunan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul Tindak Kekerasan dalam Novel Perempuan Kembang Jepun sebuah Analisis Sosiologi Sastra, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini dapat terwujud berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. SE Peni Adji, S.S. M.Hum, dan Drs. B. Rahmanto. M.Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing sampai tersusunnya skripsi ini

2. Para dosen Jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar mendidik penulis;

3. Para karyawan dan karyawati sekretariat Sastra dan BAAK yang selalu mempermudah pengurusan administrasi;

4. Para karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu mempermudah peminjaman buku-buku;

5. Ayahanda dan Ibunda, yang telah memberi dukungan secara material dan spiritual kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai;


(10)

(11)

ABSTRAK

Demon, Melkior. 2009. Tindak Kekeresan dalam Novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini mengkaji tindak kekerasan dalam novel Perempuan Kembang Jepun yang sangat dipengaruhi oleh sejarah perjuangan masyarakat Surabaya. Tujuan penelitian ini mengkaji dan menganalisis sejarah perjuangan masyarakat Surabaya sampai memunculkan tindak kekerasan yang terjadi dalam novel Perempuan kembang Jepun sebagai sebuah realitas sosial yang terjadi di masyarakat.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra, untuk membicarakan sastra. Penelitian diawali dengan mendeskripsikan perjuangan masyarakat Surabaya pada tahun 1942–1945 untuk mengungkapkan kenyataan sosial masyarakat yang terjadi pada saat itu yang kemudian dipakai sebagai dasar untuk menganalisis tindak kekerasan yang terjadi di keluarga dan masyarakat dalam novel Perempuan Kembang Jepun.

Dalam novel Perempuan Kembang Jepun ditemukan bahwa kekejaman tentara Jepang saat menjalankan pemerintahannya di Indonesia tidak berperikemanusiaan. Mulai dari kerja paksa atau romusha, perampasan hak-hak rakyat sampai pada pengambilan wanita-wanita secara paksa dan mempekerjakan mereka di tempat-tempat hiburan sebagai budak seks tentara Jepang. Hal ini membuat rakyat marah dan melakukan perlawanan terhadap Jepang. Tentara nasional dibantu rakyat bersama-sama mengangkat senjata berperang melawan penjajah. Pemberontakan, pembunuhan terjadi di setiap sudut kota Surabaya. Sampai pada akhirnya Jepang kalah dan mengakui kemerdekaan Indonesia.

Perang antara Indonesia dan Jepang membawa dampak sosial yang cukup luas bagi masyarakat. Situasi yang serba tidak menentu seperti ini membawa dampak pada kehidupan keluarga Sujono. Faktor pemenuhan kebutuhan hidup menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam keluarga Sujono. Kekerasan fisik, seksual, psikologi dan deprivasi menjadi sebuah masalah yang tidak terpecahkan dalam keluarga Sujono. Maka munculnya ketidak harmonisan dalam keluarga Sujono. Selain itu, wanita-wanita penghibur dan rakyat Indonesia adalah kelompok-kelompok yang menjadi korban kekerasan dari tentara Jepang.

Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa aspek. Aspek histori tampak pada masyarakat Surabaya yang berjuang melawan penjajah Jepang tahun 1945. Pemerintah Jepang menggunakan kekuasaannya untuk menindas (melakukan kekerasan) rakyat dengan semena-mena. Perjuangan yang dilakukan rakyat Surabaya muncul atas dasar semangat nasionalisme, patriotisme dan rela berkorban. Dari aspek sosial, mengatasi persolan di masyarakat atau keluarga harus dengan kepala dingin dan dilandasi kasih sayang bukan dengan tindak kekerasan. Kekerasan bukanlah


(12)

ABSTRACT

Demon, Melkior. 2010. Violence in Perempuan Kembang Jepun Novel by Lan Fang. A Literature Socoilogi—Review. Yogyakarta : Indonesia Literature Study Program, Sanata Dharma University.

This observation analyzes the violence in Perempuan Kembang Jepun novel that was influenced by the struggle of Surabaya people in 1945.The purpose of this obsevation is analyzing the struggle of Surabaya people history which brought up the violence that was described in Perempuan Kembang Jepun as a social reality.

The approach that is used in this observation is literature sociology approach, based on the opinion the literature is a reflect of socia process. This approach moves in the external elements of literature in order to talk about literature it self.This observation stars with describing the struggle of surabaya people in 1942-1945 to reveal the social reality at the time which later would be used to analyze the violince in family and society of Perempuan Kembang Jepun.

Perempuan Kembang Jepun described that the violence in japan colonial domination is umbelievable.Romusa of forced labor,human rights exploitation,up to women kidnapping for prostitution reason of Japanese army.These situation exploded the reaction of Surabaya people to fight the Japanese army.Rebellion and slaying happened in many places in Surabaya in order to fight the Japanese army.These ended with the defeated of Japanese army and the acknowledgment of Indonesian independence.

The wer betwen Indonesia and Japan brought up plenty of social results.The unstable situation also influenced Sujono’s family.The economical factor became the main reason of violence’s that happened in Sujono’s family.Physical violence,sexual violence, psychology, and depression were unfinished problems in Sujono's family.Beside that,prostitutes and Indonesian people were the victims of Japanese’s violence.

The results of this observation give conclusions in some aspects.The historical aspect was seen in the struggle of Surabaya people againts Japan in 1945. Japanese colonial domination used their power to crush people.The stuggle of Surabaya people came out based on their nationalism, patriotism, and the spirit of sacrifice. In social aspect, exceending a problem calmly and lovely is better than harshness. Harshness is not awise solution in overcoming any problem in family or society.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. iv

HALAMAN PERNYATAAN PERTSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………... v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8


(14)

1.6.1 Sosiologi Sastra ... 10

1.6.2 Tindak Kekerasan ... 11

1.7 Metode Penelitian... 14

1.7.1 Pendekatan ... 14

1.7.2 Metode Penelitian……… 14

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data………..…… 15

1.7.4 Sumber Data………. 15

1.8 Sistematika Penyajian………. 17

BAB II KEKERASAN PADA ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG ... 17

2.1 Kekerasan Seksual pada Zaman Penjajahan Jepang... 18

2.2 Sejarah Kekerasan Seksual Tentara Jepang di Asia, Sebelum Masuk ke Indonesia………. 19

2.3 Karayukisan sebelum Tahun 1930, dan Pelacuran Tentara Jepang……….. 24

2.4 Pemaksaan Menjadi Pelacur dan Kamp Tawanan Wanita Eropa……… .. 28

BAB III BENTUK- BENTUK KEKERASAN DALAM NOVEL PEREMPUAN KEMBANG JEPUN……….. 31

3.1 Tindak Kekerasan Intensional……… 32

3.1.1 Tindak Kekerasan Fisik………... … . 32


(15)

3.1.3 Tindak Kekersan Psikologi………. .. 44

3.1.4 Tindak Kekerasan Deprivasi………... 51

3.2 Tindak Kekerasan Bukan Intensional………... 55

BAB IV PENUTUP ... 57

4.1 Kesimpulan ... 57

4.2 Saran……….. 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(16)

BAB I

TINDAK KEKERASAN

DALAM NOVEL PEREMPUAN KEMBANG JEPUN KARYA LAN FANG

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif pengarang. Dalam proses ini, dibutuhkan suatu kreativitas dalam diri pengarang. Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil observasi pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Jakob Sumardjo (1979:65) yang mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Lebih jauh lagi, Sumardjo menjelaskan jika penciptaan sebuah karya sastra dipengaruhi oleh latar belakang pengarang, lingkungan serta kepribadian pengarang itu sendiri Jakob Sumarjo(1975:66). Dengan kata lain, karya sastra mempunyai kaitan yang erat dengan pengalaman jiwa pengarangnya, sebab sebuah karya sastra merupakan suatu seleksi dari kehidupan dan juga merupakan suatu refleksi terhadap kehidupan itu sendiri yang direncanakan dengan tujuan tertentu.

Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh situasi sosial tertentu (Damono, 1978 : 1). Karya sastra sebagai suatu produk budaya, mempunyai peranan dalam mengungkapkan suatu budaya. Dalam


(17)

pengungkapannya sastra mengambil nilai-nilai yang diakui keberadaannya dalam masyarakat. Dengan kata lain, karya sastra sangat dekat hubungannya dengan masyarakat.

Selain kehidupan masyarakat atau aspek sosial, sumber penciptaan karya sastra juga dapat bersumber dari realitas sejarah. Kuntowijoyo (1987 : 127) menambahkan bahwa realitas dalam karya sastra itu dijadikan sebagai objek. Oleh karena itu, realitas yang berupa peristiwa sejarah itu dicoba dan diterjemahkan dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Sehingga, karya sastra dapat dijadikan sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah, karya sastra dapat juga merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

Novel Perempuan Kembang Jepun karya Lang Fang termasuk salah satu novel menganbil latar sejarahdi dalamnya. Peristiwa sejarah yang terjadi, yaitu pada tahun 1942 sampai 1945 di kota Surabaya pada masa peralihan penjajahan di Indonesia ketika berakhirnya masa penjajahan Belanda di Indonesia dan awal zaman penjajahan Jepang di Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, merupakan masa untuk memperjuangkan kemerdekaan dan pembebasan dari penindasan kaum penjajahan. Peristiwa sejarah inilah yang menjadi latar waktu dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang.


(18)

Kobayashi,seorang Jenderal Jepang. Sebelumnya, Matsumi sudah sering melayani Shosho Koboyashi di Jepang. Ia menjadi salah satu geisha yang paling cantik di daerah Gion dan paling disukai Shosho Koboyashi. Matsumi adalah anak seorang nelayan miskin yang tinggal di pinggiran kota. Ketika berumur sepuluh tahun, ia mengikuti tuan Takeshi ke Kyoto. Di sana, Matsumi dijual di Okiya, rumah penitipan calon geisha. Di Gion,Matsumi mendapat pelajaran menjadi seorang geisha. Di tempat itu jugalah Matsumi menjadi geisha yang sangat terkenal. Karena kecantikan dan kepiawaianya bemain alat musik serta pandai melayani tamu akhirnya Matsumi dibayar oleh Shosho Koboyashi untuk menemaninya selama ia bertugas di Indonesia.

Setelah beberapa hari menempuh perjalanan yang melelahkan dari Jakarta ke Surabaya, akhirnya Matsumi tiba di Surabaya. Matsumi dijemput oleh anak buah Shosho Kaboyashi Di pelabuhan Perak. Kaboyashi juga memerintahkan Matsumi harus berganti nama menjadi Tjoa Kim Hwa yang dalam bahasa Cina artinya ular bunga emas. Matsumi harus menggantikan identitasnya sebagai orang Cina agar lebih mudah diterima di tempat yang menampungnya, karabu. Sebenarnya, alasan lain yang lebih masuk akal lagi adalah agar tidak ada yang tahu jika Matsumi merupakan orang Jepang yang tinggal dan bekerja di daerah pelacuran. Ini disebabkan karena geisha hanya ada di Jepang, sedangkan jika ada perempuan Jepang yang menjadi penghibur di luar Jepang dianggap merendahkan martabat bangsanya. Sesampai di Surabaya, Matsumi menjadi wanita penghibur di kelab hiburan milik Hanada-San yang melayani Shosho Kobayashi dan tamu-tamu penting lainnya di kawasan


(19)

Kembang Jepun. Di sinilah ia bertemu dengan seorang pria pribumi, Sujono. Nasib Matsumi berubah semenjak ia berkenalan dengan Sujono, buruh pemalas yang memiliki sifat nasionalis tinggi. Sujono memiliki keinginan menjadi seorang tentara dan berjuang membela tanah airnya. Akan tetapi, itu cuma khayalannya, sementara kehidupan istri dan anaknya, Joko ditelantarkan begitu saja karena Sujono ingin menjadi seorang pejuang. Sujono tidak mencintai Sulis, mereka berkeluarga karena terpaksa. Menurut Sujono, anak yang dikandung Sulis bukan anak kandungnya kerena saat itu Sulis juga berhubungan dengan mas Wandi, seorang penarik becak di kawasan pelabuhan Perak. Dengan alasan itu, Sujono bisa berbuat sesuka hatinya, mabuk-mabukan, berjudi, pulang pagi dan pada akhirnya Sulislah yang menjadi korban. Tendangan pukulan dan makian menjadi teman hidup Sulis setiap kali Sujono pulang mabuk. Kerap kali Sulis harus melayani nafsu seks Sujono yang liar.

Cinta Sujono pada Matsumi begitu besar,khayalan dan harapannya begitu tinggi. Jika dilihat, Sujono hanyalah buruh sedangkan Matsumi adalah seorang wanita cantik pintar kaya serta memiliki banyak pengaruh di kalangan orang Jepang dan orang-orang di Karabu, nama tempat penampungan wanita penghibur. Hubungan cinta seperti itu tidak mungkin terjadi, akan tetapi kenyataanya nasib baik berpihak pada Sujono. Tekad yang bulat dari Matsumi untuk menikah dengan Sujono membuat dirinya terpaksa berhenti bekerja sebagai geisha. Sujono dan Matsumi akhirnya dikaruniai seorang putri, Kaguya (Lestari). Tabiat buruk yang selama ini Sujono sembunyikan muncul lagi, malas, mabuk-mabukan judi dan ketidakpedulianya


(20)

terhadap keluarga. Sujono tidak pernah menyadari jika dirinya adalah tulang punggung keluarga. Sekarang, Sujono memperlakukan Matsumi bukan sebagai sosok seorang istri, tetapi tidak lebih sebagai seorang wanita penghibur. Sujono yang gila seks lebih menikmati keindahan tubuh Matsumi dibanding bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Walaupun Sujono memang benar-benar mencintai Matsumi, Matsumi telah sadar jika dia hanyalah objek pemuas nafsu seks Sujono dan bagian pelarian dari kehidupan rumah tangga Sujono yang kerap diwarnai pertengkaran.

Pekerjaan Sujono sebagai seorang kuli tentu saja tak bisa memenuhi kebutuhan kedua istrinya. Dengan terpaksa, Matsumi menggunakan uang tabungannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Matsumi juga memberi uang kepada Sujono untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama Sulis. Di sinilah permasalahannya mulai muncul antara Sujono dan Matsumi maupun Sujono dan Sulis. Kedua wanita ini merasakan perlakuan yang sama. Kehidupan rumah tangga mereka semakin tidak menentu. Amarah dan makian kerap kali menjadi santapan Matsumi dan Sulis walaupun keduanya tidak pernah hidup serumah. Keduanya hanyalah budak nafsu bagi Sujono. Anak–anak mereka pun menjadi korban dari perbuatan orang tua mereka sendiri. Sujono memang tidak pernah merasa bertangung jawab atas tindak kekerasannya. Sampai akhirnya pada tahun 1945 setelah Jepang kalah karena dua kota di Jepang Hirosima dan Nagasaki di bom Sekutu, Matsumi meninggalkan Sujono dan Kaguya di Surabaya. Matsumi kembali ke negara asalnya


(21)

dan menikah dengan Takeda seorang pelukis yang cukup bepengaruh di Kyoto. Sujono dan Kaguya (Lestari) hidup dan tinggal di rumah Matsumi di Surabaya, sedangkan Sulis dan Joko tetap tinggal di rumah satu petak.

Melalui karya sastra ini, pengarang memberikan refleksi kepada pembaca tentang kekerasan apa saja yang terjadi pada masa itu. Dalam novel Perempuan Kembang Jepun, dikisahkan tentang kekerasan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga yang tinggal di kota Surabaya di daerah pemukiman kumuh seputar jalan Kembang Jepun dan Pelabuhan Perak. Keluarga yang dibangun Sujono adalah keluaga yang kurang harmonis, hidup dalam kukungan penderitaan dan kekerasan rumah tangga. Sujono memperlakukan istrinya dengan sangat kejam, ia tidak begitu menghargai sulis sebagai seorang istri. Hal ini mendeskripsikan kekerasan tetap dialami oleh Sulis setelah mendapat penghinaan dari suaminya, ia ditinju karena dianggap kurang ajar dan telah berani melotot melihat suaminya. Pada akhirnya, Sulis mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Begitu pula Matsumi, ia mendapat perlakuan yang kasar dari Sujono. Di mata Sujono, derajat Matsumi lebih rendah dari seorang jugun ianfu, pelacur, lonte murahan yang biasa dipakai oleh orang-orang Jepang. Caci-maki dan kekerasaan seksual sering dialami Matsumi. Selain itu, tokoh Lestari juga mengalami kekerasan yang dilakukan oleh ibu kandungnya, Matsumi dan Sulis wanita yang sering disebutnya sebagai ibu.

Berdasarkan uraian tersebut, terlihat sangat jelas bahwa karya Lan Fang dalam novel Perempuan Kembang Jepun mengungkapkan tindak kekerasan. Topik


(22)

kekerasan inilah yang menjadi objek penelitian penulis. Sebagai langkah awal, penulis mendeskripsikan peristiwa sejarah di kota Surabaya pada tahun 1942-1945 sebagai realitas sejarah yang menginspirasikan seorang pengarang menulis novel sejarah. Analisis realitas sejarah inilah yang menjadi aspek sosiologis dan membentuk jarak realitas sejarah dengan karya sastra. Realitas sejarah inilah yang membentuk jarak hubungan dan keterikatan karya sastra dan masyarakatnya. Selajutnya, penulis menganalisis dan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan bentuk-bentuk tindak kekerasan yang ada dalam novel ini.

1.2. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang tersebut, peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimanakah peristiwa sejarah yang terjadi di kota Surabaya pada tahun 1941- 1945?

1.2.2 Bagaimanakah bentuk-bentuk kekerasan dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut

1.3.1. Mendeskripsikan peristiwa sejarah yang terjadi di kota Surabaya pada tahun 1941- 1945.

1.3.2. Menganalisis dan mendeskripsikan bentuk-bentuk kekerasan dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang.


(23)

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Penelitian ini bermanfaat bagi peningkatan apresiasi Sastra Indonesia bagi masyarakat, yakni menambah kritik sastra, khususnya dalam bidang sosiolagi sastra.

1.4.2 Penelitian ini bermanfaat untuk menambah perbendaharan kajian-kajian tentang sastra secara khusus dalam permasalahan sastra dan sebagai bahan kajian terhadap masalah sosial yang berbentuk kekerasan dalam karya sastra.

1.4.3 Penelitian ini ditujukan kepada pembaca sastra untuk melihat kembali peristiwa sejarah dalam novel-novel yang berlatarkan sejarah yang ada di Indonesia.

1.4.4 Penelitian ini sebagai bahan pembelajaran dalam menyelesaikan persoalan keluarga tanpa menggunakan tindak kekerasan sebagai jalan keluarnya.

1.5Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang meneliti tentang novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang secara lebih mendalam. Hanya ada resensi yang ditulis oleh pertama, Damhuri Muhammad (2007) resensinya berjudul ular bunga emas dari Kyoto mengatakan bahwa novel ini bercerita tentang cinta yang tak akan pernah lengkang oleh waktu. Novel ini menurut Damhuri menyuguhkan sajian "cinta yang tak biasa". Cinta yang bersemi di keremangan kelab-kelab malam


(24)

kawasan Kembang Jepun, Surabaya, tahun 1940-an, sebagai latar pengisahannya (Kompas, 07 Jan2007, Damhurimuhammad. blogspot.com).

Resensi novel yang kedua, adalah Audifax (2007) dengan judul resensinya Sosok Antara Ada dan Tiada. Menurut Audifax, novel yang termasuk kategori bacaan dewasa ini bertutur mengenai "kebenaran" dan "kesalahan", sekaligus mengajak pembaca untuk melampaui keduanya. Menurut Audifax lagi, novel ini berisikan tentang refleksi mengenai "diri" tokoh dalam setiap bab. "Diri" yang dimaksud sebagai penanda identitas seperti: Orang Cina, orang pribumi, orang Jepang, geisha, jugun ianfu, kuli pengangkut kain, tukang becak, penjual jamu, dan lain-lain.

Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang melakukan penelitian novel Kembang Jepun dengan kekerasan sebagai objek kajian penelitian. Inilah yang membuat penulis meneliti tindak kekerasan dalam novel Kembang Jepun karya Lan Fang.

1.6 Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sosiologi sastra, dan teori kekerasan menurut Poerwandari. Teori sosiologi sastra digunakan untuk melihat hubungan atau keterikatan antara sastra dan masyarakat. Dalam pemahaman konsep kekerasan, penulis menggunakan teori kekerasan menurut E. Kristi Poerwandari.

1.6.1 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra dapat dipakai karena beberapa alasan, baik yang berkaitan dengan objek penelitian ini maupun yang berkaitan dengan hubungan antara


(25)

masyarakat dan sastra. Pendekatan sosiologi sastra perlu dipakai karena penelitian ini akan membahas tentang bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh para tokoh dalam novel Perempuan Kembang Jepun. Dalam asumsi penulis, tindak kekerasan juga mencerminkan permasalahan sosiologis.

Pendekatan sosiologi menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Ratna, 2004: 59). Dasar filosofis pendekatan sosiologi adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksud disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Pendekatan sosiologi juga memiliki implikasi metodologis, berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan dalam masyarakat.

Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan tersebut disebut sosiologi sastra (Damono, 1978: 2). Menurut Damono ada dua cara kecenderungan utama dalam sosiologi sastra, pertama pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra, untuk membicarakan sastra, sastra hanya berharga dalam hubungan dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Jelas dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap sebagai yang utama. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan


(26)

mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami gejala sosial budaya yang ada (Damono, 1978: 2).

Dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan yang pertama untuk menganalisis novel Perempuan Kembang Jepun sebagai tinjauan sosiologi sastra. Hal ini disebabkan karena dalam menelaah novel Perempuan Kembang Jepun penulis menganalisis unsur-unsur di luar karya sastra yaitu unsur sejarah dan sosial. kedua unsur ini merupakan sebuah realitas sosial yang terjadi yang kemudian dipakai pengarang sebagai pendukung terciptanya sebuah karya sastra.

1.6.2 Tindak Kekerasan

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976: 425), kekerasan adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

Poerwandari (2004: 13-14) mendefenisikan kekerasan sebagai semua bentuk tindakan baik intensional (sengaja) maupun bukan intensional (tidak sengaja) yang menyebabkan manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, dan bukan cuma dalam artian fisik, tetapi juga psikologis. Kekerasan yang dimaksud dapat dilakukan oleh individu, kelompok, negara, dapat juga dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban maupun orang yang tidak dikenal oleh korban.

Poerwandari (2004: 13) membagi kekerasan menjadi dua, yaitu (a), tindak kekerasan intensional dan (b) tindak kekerasan yang bukan intensional.


(27)

Tindak kekerasan intensional adalah tindakan yang disengaja untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan melalui cara-cara fisik, psikologi, deprivasi, ataupun gabungannya dalam beragam bentuk. Berdasarkan penjelasan di atas, Poerwandari membagi tindak kekerasan intensional menjadi empat, yaitu

(1), kekerasan fisik bentuknya berupa pemukulan, pengeroyokan, penggunaan senjata untuk menyakiti, melukai, penyiksaan, penghancuran fisik, pembunuhan dan penggunaan obat untuk menyakiti.

(2), kekerasan seksual reproduksi bentuknya berupa serangan atau upaya fisik untuk melukai pada alat seksual reproduksi atau serangan psikologis (kegiatan merendahkan atau menghina) yang diarahkan pada penghayatan seksual subjek. Misalnya: manipulasi seksual pada anak, pemaksaan hubungan seksual/perkosaan, pemaksaan bentuk-bentuk hubungan seksual, sadisme dalam relasi seksual, mutilasi alat seksual, pemaksaan aborsi, penghamilan paksa, dan bentuk-bentuk lain.

(3), kekerasan psikologis berupa penyerangan harga diri, penghancuran motivasi, perendahan, kegiatan mempermalukan, upaya membuat takut, teror dalam banyak manifestasinya. Misalnya: makian kata-kata kasar, ancaman, penguntitan, penghinaan dan banyak bentuk kekerasan fisik/seksual yang berdampak psikologis, misalnya: penelanjangan dan pemerkosaan.

(4), kekerasan deprivasi dapat berupa penelantaran (misalnya anak), penjauhan dari pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, buang air, udara, bersosialisasi,


(28)

bekerja) dalam berbagai bentuknya, misalnya: pengurungan, pembiaran tanpa makanan dan minuman, pembiaran orang sakit serius.

(b) Tindak Kekerasan Bukan Intensional

Tindakan kekerasan bukan intensional adalah tindak kekerasan yang mungkin tidak disengaja, tetapi didasari oleh ketidaktahuan (ignorancy), kekurang pedulian, atau alasan-alasan lain yang menyebabkan subjek secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dan perendahan manusia lain. Misalnya, pembiaran terjadinya pemerkosaan yang diketahui oleh pemimpin, yang dilakukan oleh anak buahnya. Dalam hal ini, atasan tidak melakukan pemerkosaan, tetapi sikapnya yang membiarkan dapat diartikan ia menyetujui karena ia tidak mencegah atau memberi sanksi kepada bawahannya (penekanan pada sisi implikasi/akibat) (Poerwandari 2004: 15)

Kekerasan merupakan hal yang sangat kompleks, menyangkut keterikatan aspek-aspek internal dan eksternal, subjektif (penghayatan akan diri dan yang lain), intersubjektif (bagaimana manusia yang satu dan yang lain saling memandang dan berkesadaran), serta objektif (misal: tuntutan perut, atau pengangguran besar-besaran yang akan disusul dengan meningkatnya kriminalitas). Kekerasan juga menyangkut aspek yang sangat sosial-politis, struktur makro masyarakat, bagaimana lembaga-lembaga resmi maupun tidak resmi terbangun, ada tidaknya aturan hukum dan budaya penegakannya, komitmen politis, dan moral petinggi negara, bahkan teknologi informasi dan perkembangan globalisasi (Poerwandari, 2004: 18).


(29)

1.7 Metode Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan tentang pendekatan, teknik penelitian, data dan sumber data penelitian.

1.7.1 Pendekatan

Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra yang menelaah secara objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra menganalisis manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Ratna, 2004:45). Dari hal ini, dapat diperoleh gambaran tentang cara manusia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang menempatkan anggota masyarakat di tempat masing-masing

(Damono, 1979:7). 1.7.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode adalah cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu metode yang dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek yang bersangkutan (Yudiono, 1986: 14).

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini juga meliputi metode analisis, metode klasifikasi dan metode deskripsi. Metode analisis digunakan untuk menganalisis unsur sejarah dan unsur kekerasan dalam novel perempuan kembang


(30)

unsur kekerasan. Metode deskripsi digunakan oleh peneliti untuk memaparkan dan melaporkan hasil penelitian ini

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik merupakan penjabaran dari metode dalam sebuah penelitian yang disesuaikan dengan alat sifat. Teknik ini merupakan cara kerja yang operasional dalam penelitian karya sastra (Sudaryanto, 1993:26).

Teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi pustaka. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak dan teknik catat. Teknik simak yaitu dengan membaca karya sastra tersebut kemudian dianalisis. Sedangkan, teknik catat yaitu teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yang terdapat dalam sebuah karya sastra tersebut kemudian ditulis ke dalam kartu data.

1.7.4. Sumber Data

Sumber data adalah tempat data itu diambil atau diperoleh. Kerena penelitian ini merupakan penelitian sastra maka sumber datanya pun berupa karya sastra yaitu novel dengan identitas sebagai berikut:

Judul : Perempuan Kembang Jepun Pengarang : Lang Fang

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : Oktober 2006

Tebal Buku : 288 halaman Ukuran : 13,5 x 20 cm Cetakan : I


(31)

Judul : Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia Pengarang : Roeslan Abdulgani

Penerbit : Yayasan Idayu Tahun terbit : 1974

Tebal buku : 8 mm Ukuran : 14 x 18 cm Cetakan : I

Judul : Seks Dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial Penerbit : PT Gramedia Jakarta

Pengarang : Capt. R.P Suyono Tahun terbit : 2005

Tebal buku : 21cm

Ukuran : 15 x 21,5 cm Cetakan : IX

1.8 Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman tehadap proses dan hasil penelitian ini dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab II


(32)

berisi analisis bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.


(33)

BAB II

KEKERASAN PADA ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG

Bab ini merupakan paparan mengenai kondisi sosial masyarakat yang melatari cerita pada novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang. Metode yang akan digunakan adalah metode analisis dan deskripsi. Penulis akan menganalisis unsur sejarah dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang sebagai realitas sosial yang diangkat Lan Fang dalam Perempuan Kembang Jepun. Dalam menganalisis unsu-unsur sejarah tersebut, penulis mengawali dengan kekerasan seksual pada zaman penjajahan Jepang. Kemudian, analisis dilanjutkan sejarah kekerasan seksual tentara Jepang di asia sebelum masuk ke Indonesia. Selanjutnya Karayukisan sebelum Tahun 1930 dan Pelacuran Tentara Jepang. Pada bagian akhir, akan dibahas tentang pemaksaan menjadi pelacur dan kamp tawanan wanita Eropa. Hal ini dikarenakan dalam novel Perempuan Kembang Jepun sebagian besar ceritanya mengambil latar pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dan perang kemerdekaan Indonesia dari tahun 1942 sampai tahun 1945. Kekerasan seksual pada perempuan merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan dari prajurit Jepang dalam menjalankan tugas mereka sebagai negara penjajah

2.1 Kekerasan Seksual pada Zaman Penjajahan Jepang

Dalam pemerintahan Jepang, seksualitas juga diatur secara terpusat, sehingga mereka membutuhkan para wanita sebagai bentuk pelampiasan pasca berperang.


(34)

penghibur. Para pemimpin Jepang pada waktu memasuki pulau Jawa memerlukan wanita yang bersedia ”dipakai” untuk hiburan. Kata “bersedia” adalah sebuah kata yang dapat diartikan secara luas. Prostitusi terjadi secara terbuka (legal). Hal ini dibenarkan dalam ketentaraan Jepang. Kebiasaan itu merupakan awal dari pemaksaan wanita menjadi objek hiburan tentara Jepang di Indonesia ( Suyono, 2005: 262).

Pada awalnya, mereka melakukan kepada penduduk Cina di Semarang, kemudian mengambil wanita-wanita Indo, dan akhirnya menyusul gadis-gadis Indonesia atau wanita pribumi. Akibat pelacuran yang dipaksakan, banyak terjadi pembunuhan terhadap bayi atau in-fanticide, bahkan timbul reaksi bunuh diri dari wanita-wanita yang dipaksa melayani nafsu seks para serdadu Jepang ( Suyono, 2005: 262).

Pada periode pemerintahan Jepang di Indonesia, segala kebijakan ketentaraan Jepang secara langsung diatur oleh pemeritahan pusat yakni dari Tokyo. Kebijakan untuk mengatasi kebutuhan seksual para serdadu Jepang telah lebih dahulu dilakukan di daerah yang dikuasai sebelumnya, seperti Formosa, Korea, dan Manchukuo. Karena telah diatur oleh pusat, pelacuran ini telah berimbas kepada kehidupan orang Indonesia, orang indo, dan Cina di Indonesia. Hal yang menjebak banyak wanita menjadi perempuan penghibur adalah janji-janji Jepang untuk memperbaiki nasib diri dan keluarga mereka. Banyak dari mereka diajak belajar ke Jepang, ke Saigon bekerja sebagai palang merah, atau sebagai pegawai pemerintahan. Namun, pada akhirnya mereka dipekerjakan sebagai wanita-wanita penghibur, atau dengan kata lain menjadi pelacur untuk keperluan tentara Jepang. Akibatnya, wanita-wanita ini pasca masa perang sukar diterima kembali oleh keluarganya. Sehingga, pada akhirnya mereka


(35)

kembali menjadi pelacur di tanah air, meskipun dengan tujuan berbeda yaitu menyambung hidup. ( Suyono, 2005: 263).

2.2 Sejarah Kekerasan Seksual Tentara Jepang di Asia, Sebelum Masuk ke Indonesia.

Pulau Formosa merupakan bekas jajahan bangsa Portugis. Setelah itu, Jepang berkuasa atas pulau Formosa dan namanya diganti menjadi Taiwan. Di pulau Formosa ini, Jepang menerapkan sistim pemerintahan yang sentralistis. Pada awalnya, Formosa masuk dalam wewenangnya Kementrian Daerah Seberang kemudian beralih ke kementrian dalam negeri Jepang. Gubernur Jepang di Formosa mempunyai kekuasaan penuh setelah terbentuknya rezim militer dan hampir mendekati cara pemerintahan imperial kerajaan di pusat. Setelah Formosa menjadi bagian dari daerah pendudukan Jepang, produksi makanan dapat ditingkatkan menjadi 50 persen dan akhirnya dapat berdiri sendiri. Jepang dengan cara pemeritahan yang sentralistis, terus berusaha melakukan integritas dan memasukan rasa menjadi orang Jepang kepada penduduknya. Loyalitas dan kepatuhan terhadap kerajaan imperial Jepang diharuskan secara mutlak. Banyak penduduk Cina di sana yang kemudian dipakai menjadi mata-mata, dan kaum wanitanya dipaksa menjadi wanita penghibur. Sebenarnya, kebijakan yang dilakukan pemerintah Jepang kepada Indonesia merupakan fotocopy dari apa yang dilakukan pemerintahan Jepang tehadap Formosa atau yang sekarang dikenal dengan nama Taiwan ( Suyono, 2005: 264).


(36)

1905, ketika Port Arthur telah diambil alih oleh Jepang dari Rusia. Setalah itu, terjadi imigran besar-besaran orang Jepang. Korea menjadi sumber bahan baku dan juga merupakan pasaran bagi produk-produk Jepang. Dengan demikian, Korea menjadi salah satu tiang penyangga bagi kerajaan Jepang. Para elit Korea diajak kerja sama dengan Jepang. Para kepala desa diberi hak dan kewajiban sebagaimana pernah dilakukan di Indonesia. Senjata utama Jepang untuk memaksakan kehendak dan tujuannya adalah kenpeitai, sejenis polisi militer Jepang yang mempunyai wewenang yang begitu luas ( Suyono, 2005: 265).

Kerajaan Jepang berusaha untuk membuat Korea seperti Jepang. Hal yang dilakukan Jepang mulai dari pendidikan dasar yakni menghilangkan pelajaran sejarah Korea dari sekolah-sekolah. Tidak hanya nama geografis kota, dusun dan tempat-tempat di Korea yang dirubah tetapi nama dari orang-orang korea sendiri pun diubah menjadi nama Jepang. Penyerahan Jepang secara mutlak terjadi setelah bom-bom atom dijatuhkan oleh Amerika atas Jepang pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Peristiwa itu mempunyai hikmah penting yang menyelamatkan bangsa Indonesia menjadi tidak mengalami nasib yang dialami Korea. Pada awalnya, memang terciptan kemajuan ekonomi di Korea, di mana semua penduduk menikmatinya. Fenomena itu sebenarnya diharapkan Jepang atas Indonesia yaitu ketika menggantikan kedudukan Belanda sebagai penjajah. Tapi, pada waktu itu terjadi depresi, rakyat Korea menderita kelaparan dan mulai melakukan penjualan anak-anak gadisnya untuk dijadikan pelacur. Upaya seperti itu bisa memenuhi kebutuhan hidup secara drastis


(37)

dan menyeluruh di Korea. Tetapi, negara Korea tetap miskin, karena bahan-bahan mineral dan batu bara sudah disedot sebelumya oleh Jepang ( Suyono, 2005: 266).

Akhirnya, untuk mendapat kehidupan lebih layak lagi ratusan ribu orang Korea bersama keluarganya ke Manchukuo untuk menyambung hidup. 20.000 wanita yang di antaranya merupakan pelacur-pelacur. Baru terbukti pada tahun 1992 bahwa dari 20.000 pelacur itu ternyata kebanyakan adalah anak-anak yang baru berumur 12 tahun. Perempuan-perempuan ini diambil atau diculik Jepang langsung dari sekolah-sekolah mereka. Sejak tahun 1941, mereka harus melayani 700.000 serdadu Jepang sebagai budak seks di tempat-tempat pelacuran. Para wanita itu, sebelum tahun 1938 telah berangkat ke Tiongkok sebagai karayukisan untuk bekerja atau mencari nafkah di sana. Karayukisan bukanlah budak seks dalam pengertian Jepang, melainkan comfort woman atau wanita penghibur yang dipekerjakan di tempat-tempat rekreasi para prajurit ( Suyono, 2005: 267).

Tempat-tempat pelacuran khusus, yang dipergunakan untuk kepentingan serdadu Jepang dinamakan “rumah hiburan,” dan dapat ditemukan di Singapura, Formosa, Manchuria dan Pilipina. Setelah tahun 1942, hal ini juga terjadi di Indonesia. Sejak tahun 1938, Korea merupakan pemasok utama gadis-gadis dan wanita-wanita pekerja seks. Sehingga wanita-wanita yang bekerja di tempat pelacuran itu kebanyakan wanita Korea ( Suyono, 2005: 267).

Kekuasaan Jepang di Manchukuo bertambah setelah terjadi peperangan antara Cina dan Jepang dan juga peperangan antara Rusia dan Jepang pada tahun


(38)

1904-terjadi pemerkosaan yang dilakukan prajurit Jepang di daerah Manchuria selatan. Oleh karena itu, bekas tangsi atau bangunan-bangunan Rusia oleh tentara Jepang diubah menjadi pusat-pusat pengendalian para pelacur untuk kepentingan tentaranya. Pemerkosaan tehadap penduduk Cina di Nanking, telah menyebabkan seluruh penduduk di sana akhirnya anti Jepang dan kemudian melakukan perlawanan. Pemerkosaan dan pembunuhan secara keji oleh prajurit Jepang tidak dapat dihindarkan lagi oleh orang-orang Cina. ( Suyono, 2005: 268).

Rumah hiburan yang pertama di Nanking dibuka pada tahun 1938, memakai istilah comfort yang artinya adalah hiburan bagi orang yang menderita. Rumah di mana para wanita hiburan itu tinggal sangat menggelikan sebab pasti akan terbayangkan gadis-gadis geisha yang gembira sambil memetik shamisen atau gitar dan memandikan pria di ofuro serta memberikan mereka massage shiatsu. Keadaan yang sebenarnya adalah kebalikannya, rumah pelacuran itu benar-benar kotor dan hina di luar dugaan orang yang beradab. Para wanita penghibur oleh tentara Jepang disebut sebagai “tempat kencing umum.” Banyak dari penghuni yang bunuh diri setelah mengetahui tujuan dibangunnya rumah-rumah tersebut. Ada yang meninggal karena dibunuh dan ada juga yang meninggal karena sakit. Bagi mereka yang masih hidup, harus siap menerima hinaan selama hidup dan menanggung malu. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya memilih hidup sendiri dan ada juga menjadi mandul ( Suyono, 2005: 2679).

Wanita Cina yang menjadi korban pemerkosaan atau dipaksa menjadi wanita penghibur oleh Jepang diperkirakan antara 20.000 sampai dengan 80.000 ribu wanita.


(39)

Di Nanking, mudah sekali perempuan menjadi korban perkosaan. Serdadu Jepang memperkosa wanita-wanita Cina dari berbagai tingkatan sosial, baik wanita tani, guru wanita, para pekerja kasar, gadis-gadis karyawan kantor, isteri-isteri para pegawai, maupun para dosen atau professor universitas. Bahkan, permerkosaan terjadi terhadap para biarawati Buddha. Di Nanking, serdadu jepang selalu mencari wanita, dan ketika merampok rumah masyarakat dan tidak segan-segan menyeret para prianya untuk dieksekusi. Bila ada wanita yang tinggal di rumah, diperkosa di depan keluarganya. Ada yang berusaha melarikan diri ke zona sentral yaitu orang-orang Amerika dan Eropa, mereka ditangkap dalam perjalananya kemudian diperkosa secara beramai-ramai. Ada pula tentara Jepang memasang jebakan dengan menyebarkan berita tentang adanya pasar murah dan para wanitanya dapat menukar itik dan ayamnya dengan beras. Tetapi ketika mereka datang, mereka sudah diincar para serdadu Jepang untuk diperkosa. Kejadian-kejadian pemerkosaan sebagian besar terjadi pada siang hari dan di depan banyak orang. Tempat-tempat suci pun menjadi target tentara jepang. Mereka bisa saja memperkosa wanitanya di biara, gereja dan sekolah-sekolah Kristen. Bagi tentara Jepang, umurpun tidak jadi masalah yang penting hasrat seksualnya terpenuhi. Apabila ada perlawanan dari wanita-wanita tersebut, tentara Jepang tidak segan-segan untuk membunuh atau menyiksa wanitanya beserta seluruh keluarganya ( Suyono, 2005: 269).

2.3 Karayukisan sebelum Tahun 1930 dan Pelacuran Tentara Jepang


(40)

pelacuran. Tetapi, sebelum Jepang masuk ke Indonesia, yakni pada zaman Belanda, wanita penghibur sudah dikenal dengan istilah karayukisan sebuah istilah Jepang untuk mengatakan selir atau pelacur Jepang di Jawa. Pada waktu itu, perbandingan antara pria dan wanita sangat jauh. Pada tahun 1900 perbandingan antar wanita dan pria adalah 47:100, dan pada tahun 1930 menjadi 88 :100. Di Sumatera, perbandingannya 61 wanita Eropa terhadap prianya ( Suyono, 2005: 277).

Ketika itu, perkawinan antarbangsa pribumi dengan orang Eropa masih belum dapat diterima, sehingga memelihara selir atau wanita simpanan merupakan hal yang lumrah. Pada abad 19, ondernemer karet atau tembakau hanya menggunakan tenaga orang Eropa yang masih bujang. Karena itu merupakan hal yang wajar bila terjadi dilema kerena kekurangan wanita. Memelihara gundik masih dapat diterima, meskipun bagi yang memelihara telah dianggap merusak moralnya. Tempat pelacuran illegal dianggap sebagai kebijakan yang dapat diterima meskipun secara medis belum tentu aman. Dalam situasi ini, peran karayukisan menjadi amat perlu ( Suyono, 2005: 278).

Di Jepang, perbedaan pengertian antara selir dan pelacur adalah sama. Kerena selir dapat saja terjadi atau dapat dialami oleh seorang wanita yang disebabkan oleh kemiskinan. Hal ini banyak terjadi dengan banyak karayukisan selain sebagai orang wanita Jepang, juga mempunyai status tersendiri. Bagi para wanita Jepang yang datang ke Indonesia dan ingin menjadi karayukisan, memiliki nilai jual yang tinggi dan sangat diistimewakan. Faktor yang membuat mereka sangat istimewa adalah mereka memiliki kelebihan dalam melayani seorang pria. Mereka dibekali pendidikan


(41)

mulai dari cara menuangkan teh atau sake, bernyanyi, memandikan pria sampai sampai pada melayani tamu di ranjang ( Suyono, 2005: 279).

Wanita Jepang yang datang ke Indonesia dan ingin menjadi karayukisan mempunyai pasaran yang lebih tinggi dan banyak permintaan. Mereka memiliki kelebihan dalam melayani pria dibandingkan dengan yang lainnya. Wanita-wanita ini berasal dari golongan orang-orang miskin. Mereka dijual oleh orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga atau dipanggil oleh pemeritah Jepang dengan alasan tugas negara. Namun, wanita Jepang teteplah menjadi istimewa karena mereka datang dari luar negeri. Di Surabaya sampai ada jalan yang dinamakan Kembang Jepun weg yang berarti jalan dari kembang-kembang Jepang. Hampir 1000 pelacur Jepang yang tersebar di seluruh pulau Jawa. Izin tinggal bagi mereka juga bervariasi antara 15 bulan dan 11 tahun. Pelacur-pelacur Jepang rata-rata berumur 16 sampai 24

tahun. Sehingga banyak tempat-tempat pelacuran dikelola oleh orang Jepang ( Suyono, 2005: 279).

Karayukisan yang terdapat di Indonesia sebelum perang termasuk bisnis perdagangan yang illegal. Mereka didatangkan dari derah-daerah miskin di Jepang, yang sebelumnya tahun 1920-an negara Jepang masih miskin. Para karayukisan ini didatangkan secara illegal dari Singapura sebagai tempat penyalur karayukisan. Tetapi, setelah ada larangan dari pemerintah Hindia-Belanda sebagian besar dari mereka dipulangkan ke Jepang. Namun, ada sebagian kecil masih bekerja secara illegal di pulau Jawa. Bagi Jepang, karayukisan merupakan suatu hal yang


(42)

barat. Maka, sebagai tindak lanjutnya untuk mengatur dan mengontrol kehidupan para karayukisan, pemerintah Jepang membuka konsulat Jepang di Batavia ( Suyono, 2005: 280).

Dalam pemerintahan Jepang, posisi angkatan perang Jepang di luar hubungan diplomatik antar negara, mereka tetap melakukan kebijaksanaan tersendiri. Pada tahun 1937 dan 1938 sistim pelacuran diterapkan secara paksa pada negara-negara yang berada di dalam kekuasaan Jepang dan berada ditangan pucuk pimpinan tentara Jepang. Dalam ketentaraan Jepang, hal itu sudah menjadi sebuah institusi atau lembaga. Pemakaian wanita sebagai suatu sarana di dalam ketentaraan juga mulai meningkat. Hal ini mempunyai pengaruh terhadap keberadaan Jepang di Indonesia dan dapat menimbulkan sikap oposisi dari masyarakat Indonesia disebabkan karena pengambilan beras secara paksa oleh tentara Jepang, sehinga rakyat kelaparan, pengambilan secara paksa orang-orang untuk menjadi romusha, dan terutama pengambilan wanita untuk dijadikan pelacur bagi tentara Jepang ( Suyono, 2005: 280).

Pengambilan wanita-wanita Indonesia oleh Jepang dilakukan dengan berbagai tipu daya. Banyak wanita Indonesia dididik sebagai perawat dan dikirim ke Jepang. Ternyata, gadis-gadis itu dipakai tentara Jepang untuk dijadikan Jugun Ianfu, yaitu wanita penghibur. Banyak di antara mereka bunuh diri setelah perang berakhir, karena malu untuk kembali ke keluarganya. Sama halnya dengan yang terjadi di negara-negara Asia lainya, jarang dari mereka yang dapat diterima kembali oleh keluarganya. Meskipun pelacuran Jepang sudah dikenal, di Indonesia pekerjaan


(43)

seperti itu merupakan sebuah status bagi orang Jepang. Kedatangan bala tentara Jepang ke Indonesia telah menempatkan karayukisan itu ke dalam lembaga ketentaraan Jepang. Berbeda dengan para pelacur Korea, status mereka ditiadakan atau dihapus oleh pucuk pimpinan tentara. Dalam pelacuran di kalangan tentara Jepang, posisi wanita Jepang yang ada di sana sangat menentukan. Sekalipun posisi wanita Jepang secara sosial, ekonomi dan fisiknya berada di bawah pria, bagi serdadu Jepang hubungan seksual di rumah pelacuran diperbolehkan ( Suyono, 2005: 281).

2.4 Pemaksaan Menjadi Pelacur dan Kamp Tawanan Wanita Eropa

Pelacuran yang diterapkan pemeritahan Jepang dalam hal ini militer tidak hanya memperlakukan wanita Asia tetapi juga perempuan Eropa dan wanita indo atau campuran Indonesia Eropa. Wanita-wanita ini merupakan tahanan perang yang dibawa ke kamp-kamp interniran. Di sana, mereka dipaksa untuk menjadi pelacur, diperkosa dan diperlakukan secara asusila oleh tamu-tamu yang berasal dari ketentaraan Jepang. Ada beberapa wanita dipilih dan dimasukan ke dalam organisasi kemiliteran Jepang, mereka melayani para prajurit Jepang secara bergantian, sehingga kemudian muncul penyakit kelamin. Namun, hubungan seks dalam ketentaraan Jepang merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Ada wanita Belanda yang mendaftarkan diri secara suka rela sebagai pelacur. Hal ini dilakukan agar Jepang tidak mengambil paksa gadis-gadis yang masih muda. Mereka harus siap menjaga dan merawat diri terhadap penyakit kelamin dan segala sesuatu yang berhubungan


(44)

Imbasnya, mereka mengalami kelainan jiwa yang disebabkan oleh kamp syndrome, yaitu para wanita dikurung dalam kamp, tidak ada hubungan dengan dunia luar, dan juga tidak ada informasi yang masuk. Meraka harus berkata ”kiotske! ‟siap‟ dan setelah itu naore (membungkuk), mereka dipukul, ditempeleng dan dikurung Jepang sebagai hukumannya ( Suyono, 2005: 282).

Pada umumnya, pengambilan paksa di kamp-kamp interniran dimulai dengan meminta daftar yang dibawa oleh seorang heitan atau prajurit pribumi yang bekerja untuk Jepang. Dalam kelompok wanita-wanita tersebut, akan ditunjuk salah satu dari mereka sebagai pemimpin. Fungsinya untuk memudahkan berkoordinasi dengan para tentara Jepang yang membutuhkan wanita penghibur. Nama-nama yang sudah terdaftar itulah yang menjadi sukarelawan pelacuran. Mereka dipilih dan dipaksa agar memberi kesan seolah-olah mereka pelacur sungguhan. Tidak sampai di situ, ada wanita yang dibawa ke biara. Di sana, mereka tinggal selama beberapa bulan dan kemudian dipanggil untuk bekerja dan pada akhirnya menjadi pekerja seks bagi tentara Jepang. ( Suyono, 2005: 284).

Pemilihan gadis-gadis oleh prajurit Jepang berusia 15 atau 16 tahun. Sebenarnya, untuk kategori usia pelacur sangat bervariatif. Ada juga wanita yang baru beranak satu atau ibu-ibu muda yang masih kelihatan segar dan enerjik. Wanita-wanita yang dipilih atau sudah ditunjuk oleh tentara Jepang akan dipekerjakan sebagai pelayan di restoran-restoran. Keinginan untuk hidup yang lebih baik membuat mereka percaya akan janji-janji tentara Jepang, tetapi hasilnya mereka dipekerjakan sebagai wanita


(45)

penghibur. Bila ada yang tidak menuruti kemauan serdadu Jepang, mereka akan diperkosa secara paksa ( Suyono, 2005: 285).

Kehidupan mereka sangat menyakitkan. Berpindah-pindah dari satu kamp ke kamp lain itulah yang dilakukan Jepang terhadap para wanita dan gadis-gadis tersebut. Ada yang berasal dari kamp Surabaya di pindahkan ke kamp Gedangan, Semarang. Ada yang dari kamp Gedangan pindah ke kamp Halmahera.

Pada tahun 1944, rumah pelacuran dengan wanita-wanita Eropa ditutup atas perintah pusat komando balatentara Jepang. Semua wanita dan gadis-gadis dikumpulkan kemudian dipindahkan ke kamp ”kota Paris”. Pada tanggal 30 mei 1944, para wanita dan gadis-gadis dipulangkan. Mereka pergi dan menetap di pinggiran kota Paris ( Suyono, 2005: 288).

Paparan tentang kekerasan pada masa penjajahan Jepang tersebut, akan dipakai sebagai landasan analisis tentang bentuk-bentuk kekerasan dalam novel Perempuan Kembang Jepun pada bab III.


(46)

BAB III

BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM NOVEL

PEREMPUAN KEMBANG JEPUN

Pada bab sebelumnya telah dianalisis masalah pendudukan Jepang di Indonesia yang terjadi di kota Surabaya, sebuah peristiwa yang mengungkapkan perjuangan rakyat Surabaya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Dari tinjauan sosiologi sastra, novel Perempuan Kembang Jepun mengisahkan pendudukan Jepang di Indonesia dan permasalahannya dipandang sebagai refleksi dan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Maka dari itu permasalahan-permasalahan sosisal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat ditampilkan melalui keluarga Sujono, wanita penghibur dan rakyat Surabaya yang mengalami kekerasan-kekerasan pada masa penjajahan Jepang.

Pada bab ini, penulis memfokuskan penelitian pada bentuk-bentuk kekerasan yang dialami para tokoh dalam novel Perempuan Kembang Jepun. Kekerasan ini terjadi dalam kehidupan keluarga Sujono dan Sulis maupun Sujono dan Matsumi. Hidup serba kekurangan, penderitaan berkepanjangan, cinta dan kebahagiaan yang kurang sempurna sebagai unsur pemicu timbulnya tindak kekerasan. Tokoh-tokoh yang mengalami tindak kekerasan adalah Sujono, Matsumi, Sulis, Lestari, dan Joko. Selain itu, ada kelompok-kelompok yang mengalami tindak kekerasan dari Jepang. Mereka adalah orang-orang Belanda, perempuan- perempuan Cina dan Korea serta bangsa Indonesia sendiri. Bentuk-bentuk kekerasan berupa pukulan, caci maki,


(47)

pemerkosaan, penganiayaan, penghinaan, pemaksaan itulah bentuk kekerasan yang dapat ditemui dalam novel Perempuan Kembang Jepun.

Dari hal di atas, penulis akan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan bentuk-bentuk kekerasan yang ada dalam novel Perempuan Kembang Jepun dalam dua bentuk tindak kekerasan. Tindak kekerasan intensional adalah tindak kekerasan yang disengaja dan tindak kekerasan bukan intensional adalah tindak kekerasan yang kemungkinannya tidak disengaja. Bentuk-bentuk kekerasan yang ada dalam novel Perempuan Kembang Jepun akan dirurut sebagai berikut.

3.1 Tindak Kekerasan Intensional

Tindak kekerasan intesional merupakan tindakan yang disengaja untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan melalui cara-cara fisik, psikologi, deprivasi, ataupun gabungannya dalam beragam bentuk. Dari pengertian di atas, maka tindak kekerasan dapat digolongkan dalam beberapa bentuk tindak kekerasan, yaitu tindak kekerasan fisik, tindak kekerasan seksual atau reproduksi, tindak kekerasan psikologi dan tindak kekerasan deprivasi. Tindak kekerasan intensional pada novel Perempuan Kembang Jepun dapat dipaparkan sebagai berikut

3.1.1 Tindak kekerasan fisik

Tindak kekerasan fisik bentuknya berupa pemukulan, pengeroyokan, penggunaan senjata untuk menyakiti, melukai, penyiksaan, penghancuran fisik, pembunuhan dan penggunaan obat untuk menyakiti. Tindak kekerasan fisik


(48)

berhubungan langsung fisik ini dapat dilihat melalui penderitaan tokoh Sulis. Ini tampak dalam kutipan berikut:

(1)“Mas Sujono tetap berusaha menyeretku. Aku bertahan berada di dalam kamar petaknya.

Tolong…! Aku melonglong panjang, membelah senyap yang mati”.(Lan fang, 2006 :61)

Dari kutipan (1), terlihat jelas jika Sulis mengalami bentuk kekerasan fisik dari Sujono. Ia dipaksa untuk keluar dari rumah Sujono. Disini secara kekerasan fisik Sulis mendapat perlakuan kasar, ia diusir paksa dengan cara diseret agar keluar dari rumah oleh Sujono.

Kutipan berikut adalah kekerasan dialami tokoh Sujono, ia ditampar ketika ia berusaha meyakinkan ayah Sutini jika ia tidak menghamili Sulis. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(2)“Mendadak ku dengar bunyi bergelegar. Sunyi seakan terkapar. Laki-laki itu menampar Sujono. Matanya merah menyalang” ( Lan Fang, 2006:63) Dalam kutipan (2), terlihat Sujono mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh ayah Sutini. Kekerasan itu adalah kekerasan fisik di mana Sujono mendapat tamparan dari ayah Sutini. Di sini, Sujono berusaha membela dirinya karena ia tahu Sulis belum tentu hamil akibat perbuatannya sebab saat itu Sulis juga berhubungan dengan laki-laki lain.

Tindak kekerasan yang sama masih dialami Sujono. Suara bergelegar itu terdengar nyaring untuk kedua kalinya. Ayah Sutini kembali menempeleng mas Sujono” ( Lan Fang, 2006:63).


(49)

Sujono kembali mengalami tindak kekerasan, ia kembali mendapat tamparan. Sujono hendak menjelaskan kepada ayah Sutini bahwa ia benar-benar mencintai Sutini bukan Sulis. Ia juga berusaha untuk menjelaskan kembali jika Sulis hamil bukanlah karena perbuatannya. Sujono mengetahui jika Sulis juga berhubungan dengan Mas Wandi. Dari kutipan di atas, sudah terlihat sangat jelas bahwa Sujono mengalami tindak kekerasan fisik, yaitu mendapat tamparan.

Kekerasan kembali terjadi pada tokoh Sulis ini terlihat dalam kutipan berikut

(3)“Dan, seketika itu juga, tangannya melayang meninju mataku! “Kamu jangan melotot padaku!” sentaknya. Aku sempoyongan, terhuyung, dan terlempar, sambil menutup wajahku karena mataku yang sakit dan air mata yang berlinang. Aku terjerembap di lantai. Telentang dengan punggung terasa nyeri karena terhempas begitu keras” (Lan Fang, 2006: 78).

Dalam kutipan (3), terlihat kekerasan tetap dialami oleh Sulis. Setelah mendapat penghinaan dari suaminya, ia ditinju karena dianggap kurang ajar dan telah berani melotot melihat suaminya. Kutipan (3) ini masih tergolong kekerasan fisik. Hal ini dikarenakan Sulis masih mendapat perlakuan kasar dari suaminya.

Kekerasan terus dialami oleh Sulis.

(4)“Besoknya, tampaklah gambar biru di sekeliling mataku dan seluruh tulang berulangku seakan remuk sehingga tidak bias bangun dari tikar. Mataku sembap dan bengkak karena bekas pukulan juga karena menangis semalaman” (Lan Fang, 2006: 81)

Kutipan (4) mengungkapkan hal yang sama dengan kutipan sebelumnya. Kekerasan masih terjadi pada diri Sulis. Kekerasan fisik terlihat pada penyiksaan


(50)

tulang Sulis pun serasa remuk menjadi gambaran kekerasan yang dialaminya Hal yang sama juga terjadi pada kutipan berikut:

(5)“Setiap kali aku menanyakan mengenai Matsumi atau uang belanja, pecahlah perang di antara kami yang selalu berakhir dengan buku-buku tangannya membekas biru di pipiku” (Lan Fang, 2006: 83).

Kutipan (5) memiliki kapasitas yang sama dengan kutipan (4). Kekerasan yang terjadi di sini adalah kekerasan fisik. Terlihat dengan jelas bagaimana Sulis menjadi korban pemukulan Sujono. Hal ini digambarkan melalui kata-kata kiasan ”pecahlah perang di antara kami yang selalu berakhir dengan buku-buku tangannya membekas biru di pipiku”.

Tindak kekerasan fisik juga dialami Matsumi ketika ia memutuskan menikah dengan Sujono dan tidak mau lagi bekerja pada kelab hiburan milik Hanada-san. Ini telihat pada kutipan berikut.

(6)“Kubiarkan Hanada-san melampiaskan marah sepuas hatinya. Ia bukan saja menempelengi dan menjambakku, tapi juga menendang dan menginjak kepalaku” (Lan Fang, 2006: 143).

Dalam kutipan (6), terlihat bagaimana marahnya Hanada-san pada Matsumi saat tahu ia akan keluar dari kelab hiburannya dan memilih tinggal bersama Sujono, laki-laki yang hanya bekerja kuli. Hanada-san merasa pekerjaan Sujono tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka kelak. Kekerasan ini jelas termasuk kekerasan fisik karena keseluruhan tindak kekerasan pada kutipan ini berorientasi pada fisik. Kekerasan fisik juga dialamai Lestari putri dari Sujono. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut


(51)

(7)“Aku sudah tahu apa yang akan terjadi besok harinya bila ayah bekerja. Aku akan menerima pukulan dan cakaran dari perempuan itu” (Lan Fang, 2006: 247).

Kutipan (7), menyiratkan hal yang sama pada kutipan sebelumnya. Kekerasan fisik terlihat pada pukulan dan cakaran yang diterima Lestari setelah ayahnya berangkat kerja. Lestari kembali mengalami kekerasan pada kutipan berikut.

(8)“Ibu pulang. Mata perempuan itu terbelalak melihat keadaanku. Kau apakan anakku?! Serunya setengah menjerit. Belum selesai kebinggunganku, dengan kalap tangan perempuan itu menjambak rambutku lalu membenturkan kepalaku berkali-kali ke tembok. Ia menengadahkan kepalaku, menyentakku, lalu dengan satu gerakan secepat kilat, jemari berkuku panjang itu mencakar pipiku. Berulang-ulang, perempuan itu membenamkan kukunya yang runcing di pipiku sampai berdarah! ” (Lan Fang, 2006: 252).

Dalam kutipan (8), terlihat kekerasan tetap dialami oleh Lestari setelah terjadi kasus pemerkosaan. Kekerasan yang Lestari alami pada kutipan ini adalah kekerasan fisik berupa penyiksaan dari ibunya. Bentuk penyiksaan itu berupa penjambakan rambut, pembenturan kepala ke tembok, dan pencakaran pipi hingga berdarah. Kekerasan kembali dialami Lestari dalam kutipan (9).

(9) “Tak cukup hanya itu. Ia mengambil sebuah garpu bengkok yang berkarat. Sebelah tangannya menjambak rambutku dan memaksa wajahku tengadah ke arahnya. Sebelah tangannya asyik menggeruskan garpu bengkok itu ke seluruh wajahku. Jangan…jangan, bu! Ampun, bu…! Aku melolong kesakitan” (Lan Fang, 2006: 252).

Kutipan (9) terlihat bagaimana puncak penyiksaan yang dilakukan oleh Sulis kepada Lestari. Tersirat dengan jelas bagaimana proses ”penggerusan garpu


(52)

dan minta ampun tapi, tidak dipedulikan sama sekali oleh Sulis. Dalam proses ini, kekerasan yang terjadi juga merupakan kekerasan fisik. Dari kutipan (9), terlihat bahwa setiap gerak Sulis selalu berorientasi pada penyiksaan, penggunaan senjata untuk menyakiti dan melukai Lestari.

(10) “Belum cukup ibu mengambil suamiku, sekarang kau merusak anakku! Tangan perempuan yang kupanggil ibu itu mencengkeram kuat rambutku sehingga segumpal rambutku terserabut” (Lan Fang, 2006: 252).

Dalam kutipan (10), terlihat bahwa Lestari kembali menjadi korban kekerasan

yang dilakukan oleh „ibunya‟. Kekerasan yang terjadi pada kutipan (10),

dikategorikan ke dalam kekerasan fisik karena berorientasi pada penyiksaan fisik yang berupa penjabakkan rambut hingga segumpal rambut Lestrari terserabut.

Kekerasan juga terjadi pada tokoh Joko, anak Sujono dan Sulis. Ini terlihat dalam kutipan berikut.

(11) Ayah menghajar Joko sampai mulut, pipi, dan pelipis pemuda itu berdarah. Ayah juga menghajar Joko sampai babak belur seperti ibu menyiksaku. Ayah menempelengnya, menendangnya, menginjak wajah, dada, dan perutnya, sampai ia terkapar dengan pelipis dan bibir pecah. Matanya membengkak biru. Wajahnya pun bersimbah darah” (Lan Fang, 2006: 253).

Dalam kutipan (11), setelah pulang kerja dan melihat keadaan anak gadisnya, Sujono sudah dapat memperkirakan musibah apa yang baru saja terjadi. Ia melampiaskan amarahnya kepada Joko, anak lelakinya. Kekerasan yang terjadi di sini adalah kekerasan fisik berupa pemukulan dan penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono terhadap anaknya, Joko. Sujono melakukan kekerasan fisik karena dilatarbelakangi


(53)

oleh sikap anak laki-lakinya yang telah melakukan kekerasan seksual terhadap anak gadisnya.

Kekerasan kembali dialami tokoh Sulis pada kutipan dibawah ini.

(12) ”Ayah melepaskan aku dari seretan ibu. Ia mendorong ibu sampai terjerembab. Wajahnya yang bengis mencium lantai. Lalu ayah menyeretnya ke arah pintu seakan-akan hendak membuang bangkai tikus. Ibu menggeliat-geliat mempertahankan diri agar tidak terlempar keluar” (Lan Fang, 2006: 255).

Dalam kutipan (12), terlihat Sujono begitu menyayangi anak gadisnya, ia tidak tega melihat perlakuan kasar Sulis terhadap Lestari sehingga Sujono juga membalas perlakuan sama kepada Sulis dengan menyeretnya dan hendak membuangnya. Adanya kiasan dengan menggunakan perumpamaan “seakan-akan membuang bangkai tikus” memberi gambaran bagaimana penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono kepada Sulis begitu sadis. Sujono sudah tidak memperdulikan Sulis yang menggeliat-geliat mempertahankan dirinya agar tidak terlempar ke luar. Dalam hal ini, kekerasan yang terjadi masih sama kategorinya dengan kekerasan yang ada pada kutipan (11), yaitu kekerasan fisik. Kekerasan kembali dialami Sulis pada kutipan berikut:

(13) “Tubuh ibu diinjak-injak dan ditendang, ibu bersikukuh memegangi daun pintu sambil meringkuk. Akhirnya, ayah menjambak dan menarik rambut ibu untuk menariknya ke luar. Rambutnya tercabut dari kulit kepala. Ibu melolong panjang.” (Lan Fang, 2006: 255).

Kutipan (13) mendeskripsikan bagaimana puncak penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono kepada Sulis. Terlihat dengan jelas bagaimana proses penyiksaan terjadi


(54)

ke tubuh Sulis perlahan dan terus berlanjut, hingga rambut Sulis tercabut dari kulit kepalanya. Sulis tidak melawan penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono tersebut. Ia seakan-akan mengerti bahwa penyiksaan ini merupakan pelampiasan terhadap apa yang telah ia lakukan kepada Lestari. Dari kutipan (13), terlihat setiap gerak Sujono berorientasi pada penyiksaan fisik terhadap Sulis.

3.1.2 Tindak Kekerasan Seksual atau Reproduksi

Tindak kekerasan seksual atau reproduksi bentuknya berupa serangan atau upaya fisik untuk melukai pada alat seksual reproduksi atau serangan psikologis (kegiatan merendahkan atau menghina) yang diarahkan pada penghayatan seksual subjek. Tindak kekerasan seksual atau reproduksi ini dialami Sulis, Matsumi, Lestari atau Kaguya, tentara Belanda dan para wanita penghibur. Hal ini dilihat pada kutipan-kutipan berikut.

(14) “Belum tuntas rasa sakitku, belum sempurna kesadaranku, mas Sujono bagaikan banjir badang, bagaikan harimau kelaparan, datang menerpa, menggulung, menindihku! Ia mengangkat kedua pahaku tinggi-tinggi, melipatnya sampai keatas dada, mendorong kepalaku sampai membentur dinding kamar. Aku merintih kesakitan. Air mataku membanjir, tapi ia tidak peduli. Ia menyetubuhiku lagi dengan kasar dan lama. Ia memperkosaku!!!!” (Lan Fang, 2006: 78)

Dalam kutipan (14), terlihat bahwa kekerasan kembali dialami oleh Sulis. Belum tuntas rasa sakit yang ia alami saat ditinju dan belum sempurna kesadarannya, ia diperkosa. Adanya kiasan dengan menggunakan perumpamaan “bagaikan banjir badang, bagaikan harimau kelaparan, datang menerpa, menggulung, menindihku” memberi gambaran betapa tiba-tiba dan kasarnya perlakuan dari Sujono. Dalam hal


(55)

ini terjadi dua kekerasan yaitu, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan fisiknya berupa penyiksaan yang dialami oleh Sulis dan kekerasan seksualnya berupa cara Sujono menyetubuhi istrinya dengan kasar dan paksa sehingga mengesankan Sujono telah memperkosa istrinya sendiri. Hal ini terlihat pada kutipan “Ia memeperkosaku”. Contoh kekerasan lain dapat dilihat pada kutipan berikut:

(15) “Tiba-tiba, tangan mas Sujono bergerak cepat dan mencekal pergelengan tanganku, lalu menyentakku duduk kembali di sisinya. Hanya dengan sekali sentak, ia menarik tubuhku sehingga terjatuh di sisinya. Dan mendadak saja, ia sudah berada di atas tubuhku. Ia menindihku sehingga aku tidak bisa bergerak” (Lan Fang, 2006: 53).

Dalam kutipan (15), terlihat bahwa terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan oleh Sujono terhadap Sulis dengan cara pemaksaan hubungan seksual. Kekerasan seksual kembali terjadi pada suatu kelompok atau golongan. Mereka adalah prajurit Belanda yang menjadi tahanan Jepang, para wanita-wanita penghibur baik dari Cina, Korea serta Indonesia yang tinggal di asrama-asrama pelacuran. Ini tampak pada kutipan berikut.

(16) “Tentara Belanda yang ditawan bukan saja mendapatkan pukulan, tendangan, tempelengan bahkan penyiksaan sampai mereka mengeluarkan raungan seperti orang sekarat. Jari-jari mereka dijepit, punggung dan dada disetrika, bahkan penis diestrum dengan listrik” (Lan Fang, 2006: 112).

Kutipan (16) menjelaskan kekerasan yang dipaparkan melalui latar yang terjadi saat itu. Kekerasan ini termasuk kategori kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Terlihat dengan jelas bagaimana tentara Jepang terhadap tentara Belanda


(56)

mereka dipukul, ditendang, dan ditempeleng. Sedangkan, kekerasan seksualnya terlihat pada upaya untuk melukai alat reproduksi dengan cara disentrum.

Kekerasan kembali dilakukan oleh tentara Jepang.

(17) ‟Mereka menggagahi perempuan-perempuan di sana dengan penuh nafsu. Seorang perempuan harus digilir sepuluh sampai lima belas tentara Jepang karena jumlah tentara Jepang sangat banyak” (Lan Fang, 2006: 113).

Kekerasan pada pemaparan latar (17), terjadi kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap perempuan-perempuan pribumi. Kekerasan yang ada merupakan kekerasan seksual karena menceritakan perbuatan tentara-tentara Jepang yang melakukan pemaksaan hubungan seks kepada perempuan pribumi. Tragisnya lagi, satu orang perempuan harus digilir sepuluh hingga lima belas orang tentara Jepang. Selain itu, mereka pun tidak dibayar. Alih-alih membayar, para perempuan itu diberi tempelengan dan siksaan yang di luar batas kemanusiaan.

Kekerasan kembali terjadi pada salah seorang wanita penghibur.

(18) “Ia ditempeleng sampai mulutnya berdarah. Mulut berdarahnya dipaksa menganga. Dan masuklah kemaluan laki- laki itu sampai menohok keujung tenggorokannya. Ia ingin muntah tetapi tidak bisa kerena tersumpal kemaluan yang membatu. Sampai lahar itu muncrat di dalam mulutnya” (Lan Fang, 2006: 114).

Kutipan diatas mendeskripsikan terjadinya kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik yang terjadi adalah wanita itu ditempeleng sampai mulutnya berdarah sedangkan kekerasan seksualnya adalah mulut wanita itu dipaksa menganga dan kemaluan laki-laki itu dimasukan ke mulutnya sampai menohok


(1)

semata-mata demi kepentingan Jepang. Harkat dan martabat bangsa Indonesia telah diinjak-injak oleh jepang. Hal yang dirasakan bangsa Indonesia hanyalah penderitaan yang berkepanjangan. Penderitaan-penderitaan yang dialami masyarakat inilah yang memunculkan jiwa patriotisme dan nasionalisme. Banyak tuntutan rakyat dan para pemuda kepada Jepang, yakni Jepang harus mengakui kemerdekaan Indonesia bukan menyerahkan kepada sekutu karena sekutu akan mengembalikan Indonesia kepada kekuasaan Belanda. Pada akhirnya, meletuslah pemberontakan-pemberontakan di setiap sudut kota Surabaya. Rakyat dan pemuda-pemuda melucuti senjata-senjata tentara Jepang dan menyerang markas-markas militer Jepang di dalam maupun di luar kota Surabaya. Akhirnya, Jepang menyerah. Jepang menyerahkan senjata dan mengembalikan kantor serta gedung yang dipakai Jepang. Segala hasil rampasan berupa senjata ini dipakai untuk mempertahankan kota Surabaya dari ancaman pihak sekutu. Dari aksi-aksi yang dilakukan rakyat Surabaya, yang paling terkenal adalah insiden di depan hotel Oranye. Ratusan pemuda dan rakyat menyerbu orang-orang Belanda. Bendera Belanda merah–putih–biru diturunkan dan digantikan dengan bendera RI.

Selain itu, yang mengalami penderitaan akibat kekejaman tentara Jepang adalah para wanita. Banyak wanita yang menjadi perempuan penghibur. Mereka terjebak dengan janji- janji Jepang untuk memperbaiki nasib diri dan keluarga mereka. Wanita –wanita itu diajak belajar ke Jepang, ke Saigon bekerja sebagai palang merah, atau sebagai pegawai pemerintahan. Namun, pada akhirnya mereka dipekerjakan sebagai


(2)

wanita-wanita penghibur, atau dengan kata lain menjadi pelacur untuk keperluan tentara Jepang.

Di Indonesia pengambilan wanita-wanita Indonesia oleh Jepang dilakukan dengan berbagai tipu daya. Awalnya, mereka dididik sebagai perawat dan dikirim ke Jepang dipekerjakan sebagai pegawai tetapi ternyata gadis-gadis itu dipakai tentara Jepang untuk dijadikan karayukisan yaitu wanita penghibur atau lebih dikenal dengan istilah Jugun Ianfu. Akibatnya banyak di antara mereka bunuh diri setelah perang berakhir,

karena malu untuk kembali ke keluarganya. Bukan hanya wanita Asia, tetapi juga perempuan Eropa dan wanita indo atau campuran Indonesia Eropa yang dipekerjakan sebagai karayukisan. Wanita-wanita ini merupakan tahanan perang yang dibawa ke kamp-kamp interniran. Di sana, mereka dipaksa untuk menjadi pelacur, diperkosa oleh para pemimpin Jepang. Akibatnya, para Jugun Ianfu mendapat penyakit kelamin dan mengalami tekanan psikologi serta fisik. Bagi setiap wanita penghibur mereka harus berkata ”kiotske! ‟siap‟ dan setelah itu naore (membungkuk) dalam situasi apapun jika tidak mereka akan ditempeleng atau ditendang. Sebagai wanita penghibur mereka harus memuaskan nafsu seks tentara Jepang.

Di sisi lain, novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang jika ditinjau dari aspek sosiologi sastra mengandung pesan-pesan sosial. Pesan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan setiap orang dalam membina hubungan yang harmonis dengan anggota keluarga dan sesamanya, contohnya dalam menghadapi persoalan rumah tangga seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan dan akal sehat bukan dengan tindak kekerasan.


(3)

Perang antara Indonesia dan Jepang membawa dampak sosial yang cukup luas bagi masyarakat. Kondisi inilah yang digambarkan dalam Kembang Jepun sebagai salah satu sumber tindak kekerasan. Situasi yang serba tidak menentu seperti ini membawa dampak pada kehidupan keluarga Sujono. Faktor keterpurukan ekonomi pada situasi perang kemerdekaan membuat hubungan Sujono dan anggota keluarganya semakin tidak harmonis. Di satu sisi, Sujono dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidup Sulis dan Joko sementara di lain pihak, Sujono juga harus menjaga hubungannya dengan Matsumi dan Kaguya-Lestari. Sujono terpaksa menikah dengan Sulis dengan berbagai tuntutan Sulis yang harus dipenuhi oleh Sujono dan ia juga harus menjaga hubungannya dengan Matsumi seorang wanita Jepang yang ia cintai. Dari sinilah awal munculnya kekerasan dalam rumah tangga Sujono. Kekerasan fisik, seksual, psikologi dan deprivasi adalah kekerasan yang selalu mewarnai rumah tangga sujono.

Dalam novel Perempuan kembang Jepun, tindak kekerasan sering dialami oleh para tokohnya. Sulis sebagai seorang isteri mendapat pukulan dan tendangan, ia diperlakuan kasar oleh suaminya. Ia sering disakiti. Kekerasan fisik ini sering dialami oleh sulis. Kekerasan seksual juga sering dialami Sulis dan Matsumi. Kedua wanita ini mendapat perlakuan kasar dari Sujono berupa tamparan, pukulan dan akhirnya berujung pada hubungan seks. Hubungan seks yang dilakukan Sujono tidak seperti hubungan suami isteri tetapi seperti hewan. Selain itu, yang mengalami kekerasan seksual adalah wanita-wanita penghibur (jugun ianfu)mereka dipaksa dan diperkosa secara beramai-ramai oleh tentara-tentara Jepang. Kekerasan psikologi ini


(4)

dialami Sulis, Matsumi, kedua tokoh mendapat makian, hinaan dan diperlakukan tidak adil dalam keluarga baik secara batiniah dan lahiriah. Bagi Lestari, ia sering mendapat tekanan psikologi dari Sulis (ibu angkatnya) berupa makian dan hinaan karena ia anak seorang pelacur Jepang dan dianggap sebagi biang keributan orang tuanya. Selanjutnya kekerasan deprivasi, kekerasan ini dialami Lestari setelah ia tinggal bersama ibu angkatnya, dibiarkan terlentar tanpa mendapat kasih sayang dari ibunya dan kekerasan bukan intensional dialami Lestari, ia tidak dipedulikan oleh ibunya, yang lebih menyakitkan lagi Lestari dituduh merayu kakak laki-lakinya, pada hal Lestari jelas-jelas diperkosa di hadapan ibunya.

Jadi, tindak kekerasan yang dominan terjadi dalam Kembang Jepun adalah kekerasan fisik yang ditimbulkan karena perang dan kehidupan keluarga Sujono yang jauh dari kenyamanan keluarga. Tindak kekerasan psikologis, seksual, deprivisasi juga dialami oleh para tokoh di Kembang Jepun. Namun, semua tindak kekerasan berakhir bersamaan dengan berakhirnya perang Indonesia dan Jepang.

4.2 Saran

Novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang ini masih memiliki banyak permasalahan untuk digunakan sebagai bahan penelitian. Novel ini dapat diteliti dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Masalah- masalah yang dapat diteliti kembali dalam Novel Perempuan Kembang Jepun adalah dampak psikologi yang ditimbulkan akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh individu, oknum, maupun negara yang merupakan imbas dari sebuah perang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, Roeslan. 1974. SeratusHari yang Menggemparkan Indonesia.Jakarta :YayasanIdayu

Audifax.2007. SosokAntara Ada danTiada. (www.Google.com) download 10 Februari 2009

Damono, Sapardi Djoko.1979. SosiologiSastraSebuahPengantarRingkas. Jakarta: PusatPembuinaandanPengembanganBahasa.

DepartemenPendidikandanKebudayaan.

________,1978. SosiologiSastra. Jakarta: PusatPembinaan Dan

PengembanganBahasaDepartemenPendidikan Dan Kebudayaan Kuntowijoyo.1987.Budaya danMasyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana

Muhammad, Damhuri.2007. PerempuanKembangJepun. (www.Google.com) download 10 Februari 2009

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. TeoriPengkajianFiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Poerwandari, E. Kristi.2004.Mengungkap Selubungkekerasan: TelaahFilsafatManusia. Bandung: KepustakaanEjaInsari

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. KamusUmumBahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka Ratna, NyomanKutha. 2004. Teori, Metode, danTeknikPenelitianSastra. Yogyakarta:

Pustaka Jaya.

Sudjiman, Panuti. 1988. MemahamiCeritaRekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. ________, 1991.MemahamiCeritaRekaan. Jakarta: Pustaka Jaya

Sumardjo, Yacob.1979.MasyarakatdanSastra Indonesia. Yogyakarta: CV. NurCahaya

Suyono, R. P. 2005. SeksdanKekerasanpadaZamanKolonial. Jakarta: PT GramediaWidiasarana


(6)

Tjahjono, LibertusTangsoe. 1988. Sastra Indonesia: PengantarTeoridanArpesiasi. Ende: Nusa Indah.