Tindak Kekerasan Landasan Teori

16 Judul : Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia Pengarang : Roeslan Abdulgani Penerbit : Yayasan Idayu Tahun terbit : 1974 Tebal buku : 8 mm Ukuran : 14 x 18 cm Cetakan : I Judul : Seks Dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial Penerbit : PT Gramedia Jakarta Pengarang : Capt. R.P Suyono Tahun terbit : 2005 Tebal buku : 21cm Ukuran : 15 x 21,5 cm Cetakan : IX

1.8 Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman tehadap proses dan hasil penelitian ini dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab II berisi analisis tentang peristiwa sejarah pada tahun 1942-1945 di Surabaya. Bab III 17 berisi analisis bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18

BAB II KEKERASAN PADA ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG

Bab ini merupakan paparan mengenai kondisi sosial masyarakat yang melatari cerita pada novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang. Metode yang akan digunakan adalah metode analisis dan deskripsi. Penulis akan menganalisis unsur sejarah dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang sebagai realitas sosial yang diangkat Lan Fang dalam Perempuan Kembang Jepun. Dalam menganalisis unsu-unsur sejarah tersebut, penulis mengawali dengan kekerasan seksual pada zaman penjajahan Jepang. Kemudian, analisis dilanjutkan sejarah kekerasan seksual tentara Jepang di asia sebelum masuk ke Indonesia. Selanjutnya Karayukisan sebelum Tahun 1930 dan Pelacuran Tentara Jepang. Pada bagian akhir, akan dibahas tentang pemaksaan menjadi pelacur dan kamp tawanan wanita Eropa. Hal ini dikarenakan dalam novel Perempuan Kembang Jepun sebagian besar ceritanya mengambil latar pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dan perang kemerdekaan Indonesia dari tahun 1942 sampai tahun 1945. Kekerasan seksual pada perempuan merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan dari prajurit Jepang dalam menjalankan tugas mereka sebagai negara penjajah

2.1 Kekerasan Seksual pada Zaman Penjajahan Jepang

Dalam pemerintahan Jepang, seksualitas juga diatur secara terpusat, sehingga mereka membutuhkan para wanita sebagai bentuk pelampiasan pasca berperang. Apabila mereka sudah berada di barak-barak, hal yang dibutuhkan adalah wanita PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19 penghibur. Para pemimpin Jepang pada waktu memasuki pulau Jawa memerlukan wanita yang bersedia ”dipakai” untuk hiburan. Kata “bersedia” adalah sebuah kata yang dapat diartikan secara luas. Prostitusi terjadi secara terbuka legal. Hal ini dibenarkan dalam ketentaraan Jepang. Kebiasaan itu merupakan awal dari pemaksaan wanita menjadi objek hiburan tentara Jepang di Indonesia Suyono, 2005: 262. Pada awalnya, mereka melakukan kepada penduduk Cina di Semarang, kemudian mengambil wanita-wanita Indo, dan akhirnya menyusul gadis-gadis Indonesia atau wanita pribumi. Akibat pelacuran yang dipaksakan, banyak terjadi pembunuhan terhadap bayi atau in-fanticide, bahkan timbul reaksi bunuh diri dari wanita-wanita yang dipaksa melayani nafsu seks para serdadu Jepang Suyono, 2005: 262. Pada periode pemerintahan Jepang di Indonesia, segala kebijakan ketentaraan Jepang secara langsung diatur oleh pemeritahan pusat yakni dari Tokyo. Kebijakan untuk mengatasi kebutuhan seksual para serdadu Jepang telah lebih dahulu dilakukan di daerah yang dikuasai sebelumnya, seperti Formosa, Korea, dan Manchukuo. Karena telah diatur oleh pusat, pelacuran ini telah berimbas kepada kehidupan orang Indonesia, orang indo, dan Cina di Indonesia. Hal yang menjebak banyak wanita menjadi perempuan penghibur adalah janji-janji Jepang untuk memperbaiki nasib diri dan keluarga mereka. Banyak dari mereka diajak belajar ke Jepang, ke Saigon bekerja sebagai palang merah, atau sebagai pegawai pemerintahan. Namun, pada akhirnya mereka dipekerjakan sebagai wanita-wanita penghibur, atau dengan kata lain menjadi pelacur untuk keperluan tentara Jepang. Akibatnya, wanita-wanita ini pasca masa perang sukar diterima kembali oleh keluarganya. Sehingga, pada akhirnya mereka