49 30
”Karena kamu adalah geisha yang disukai Shosho Kobayashi di Jepang, beliau menginginkan kamu bersamanya di Surabaya.karena itu kamu
harus menyamar menjadi perempuan Cina. Lan Fang, 2006: 93
Dalam kutipan 30, Matsumi mengalami kekerasan psikologis. Ia dipaksa menyamar sebagai wanita Cina. Hal ini sangat bertentangan dengan dirinya. Matsumi
dihadapkan pada dua pilihan, bangga menjadi menjadi orang Jepang atau orang Cina yang dipandang rendah oleh bangsa Jepang. Selain itu, Cina juga merupakan negara
jajahan Jepang sehingga kekerasan psikologisnya adalah Matsumi merasa harga dirinya direndahkan oleh atasannya.
Kekerasan kembali terjadi pada tokoh Lestari. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut. 31
“Masa kanak-kanakku tidak pernah ada tawa dan manja. Aku selalu meringkuk di pojok kamar sempit atau di jamban dengan tangis dan rasa
takut” Lan Fang, 2006: 245.
Dalam kutipan 31, terlihat kekerasan tetap dialami oleh Lestari. Kekerasan yang terjadi pada kutipan ini adalah kekerasan psikologis. Hal ini dikarenakan
perlakuan Sulis selama ini menciptakan traumatik berupa rasa takut yang berlebihan terhadap Sulis, ibu tirinya. Kekerasan psiologis ini terus dialami Lestari.
32 “Kamu anak lonte Jepang Kamu sama ganjennya dengan ibumu
matamu liar, jalang, jelalatan, kegatelan bila melihat laki-laki Begitu sumpah serapah yang selalu dilontarkan ibu” Lan Fang, 2006: 248.
Dalam kutipan 32, terlihat jelas bahwa kekerasan sering dialami oleh Lestari. Kekerasan yang terjadi pada kutipan ini adalah kekerasan psikologi berupa
sumpah-serapah dan umpatan-umpatan yang sering dilontarkan Sulis kepada Lestari. Ini juga kembali terjadi dalam kutipan berikut.
50 33
“Ibu yang kumiliki selalu mengiriskan sembilu ke batinku. Ia menorehkan luka di atas hatiku. Ia merajam harga diriku sehingga aku
merasa begitu rendah dan hina” Lan Fang, 2006: 248.
Dalam kutipan 33, kekerasan masih dialami oleh tokoh Lestari. Kekerasan yang terjadi pada kutipan ini dikategorikan pada kekerasan psikologi. Hal ini
dikarenakan Lestari mengalami trauma yang begitu membekas sewaktu tinggal serumah dengan orang yang selama ini ia panggil ibu, karena orang itu hanya
menorehkan luka dalam hatinya sehingga ia merasa dirinya begitu hina dan rendah. Lestari mengalami banyak kekerasan fisik yang berdampak pada psikologinya.
Selanjutnya tindak kekerasan yang masih dialami Lestari tampak pada kutipan 32. 34
“Aku tidak pernah berani melaporkannya kepada ayah, Karena hanya akan memicu pertengkaran ayah dan ibu yang akhirnya berbuntut
tamparan, cakaran, makian, dan sumpah serapah dari ibu yang aku terima” Lan Fang, 2006: 250.
Kutipan 34 menyiratkan kekerasan masih dialami oleh Lestari. Kekerasan
yang terjadi di sini berupa kekerasan psikologi dan kekerasan fisik. Kekerasan psikologis berupa ketakutan Lestari menceritakan penyiksaan yang ia alami selama
ini kepada ayahnya. Kekerasan fisiknya berupa kebiasaan pemukulan dan penyiksaan yang Lestari terima dari ibunya.
35 “Ia meludahiku Sekali. Dua kali. Tiga kali. Berkali-kali Hei, lonte kecil,
sekarang kau benar-benar cantik Putih Aku menangis dan meringkuk dengan rasa takut” Lan Fang, 2006: 253.
Kutipan 35 menggambarkan kekerasan masih dialami oleh tokoh Lestari.
Kekerasan yang terjadi pada kutipan ini adalah kekerasan psikologis yang berupa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51 penghancuran motivasi hidup, perendahan dan upaya membuat rasa takut dengan
makian „lonte kecil‟.
3.1.4 Tindak Kekerasan Deprivasi
Bentuk kekerasan deprivasi dapat berupa penelantaran misalnya anak, penjauhan dari pemenuhan kebutuhan dasar makan, minum, buang air, udara,
bersosialisasi, bekerja dalam berbagai bentuknya misalnya: pengurungan, pembiaran tanpa makanan dan minuman, pembiaran orang sakit serius.
Tindak Kekerasan Deprivasi dapat kita temukan dalam peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh novel mulai dari bayi-bayi, tokoh Maya, Sulis, dan Lestari.
Kekerasan terjadi ketika Lan Fang mulai mendeskripsikan nasib bayi yang berada di rumah Lestari.
37 “Rumah itu sekaligus menjadi tempat penampungan bayi-bayi terlantar yang tidak mempunyai orangtua. Mulanya hanya satu-dua bayi yang
dirawat di situ tapi, lama-kelamaan ada saja bayi yang dititipkan. Entah itu diantar seseorang atau ditinggalkan begitu saja, bahkan ada
beberapa di antaranya adalah bayi-bayi cacad yang tidak mau diakui oleh orang tuanya” Lan Fang, 2006: 13.
Dalam kutipan di atas terlihat terjadi kasus penelantaran bayi-bayi oleh orang tua mereka sendiri. Alasannya karena tidak bisa menerima kondisi fisik anaknya yang
cacad. Menurut teori kekerasan Poerwandari, kekerasan yang terjadi pada kutipan di atas dapat dikategorikan sebagai kekerasan yang mengarah pada kekerasan deprivasi
karena bayi-bayi tersebut menjadi korban penelantaran oleh kedua orangtuanya. Bentuk-bentuk kekerasan deprivasi lainnya dapat dilihat pada kutipan berikut:
52 38
“Ia memiliki seorang anak angkat perempuan bernama Maya yang dulunya juga anak jalanan yang ditinggalkan begitu saja di panti asuhan
o leh seorang pengemis” Lan Fang, 2006: 15.
Dalam kutipan 38, terlihat Maya, anak angkat Lestari juga mendapatkan perlakuan sama dari orangtuanya. Maya ditinggalkan begitu saja oleh orangtuanya di
panti asuhan. Proses penelantaran pada kutipan 38 ini masih tergolong kekerasan deprivasi. Hal ini dikarenakan Maya juga menjadi korban penelantaran oleh
orangtuanya. Contoh lainnya dapat dilihat dalam kutipan berikut. 39
”Perkawinanku dengan Mas Sujono benar-benar terasa seperti duri dalam daging. Ia pemalas, pemabuk, sama sekali tidak ada niat untuk
bertanggung jawab dengan alasan anak yang kukandung belum tentu anaknya” Lan Fang, 2006: 68
Dalam kutipan 39, dideskripsikan Sulis merasa hidupnya sangat tersiksa dengan perkawinannya. Sulis benar-benar tidak diperhatikan oleh Sujono..Kekerasan
deprivasi yang dialami Sulis adalah Sujono sengaja membiarkan Sulis dan anak yang dikandungnya hidup tanpa ada tanggung jawab sebagai seorang calon suami dan
seorang bapak bagi anak mereka. Kekerasan deprivasi lainnya terlihat pada kutipan 40.
40 ”Aku tiada kuat menggendong bakul jamu di punggungku sementara
perutku kian membesar. Kakiku juga membengkak. Tapi Mas Sujono sama sekali tidak kulihat perubahan yang berarti pada Mas Sujono. Ia
tidak peduli pada keadaanku. ” Lan Fang, 2006: 69.
Pada kutipan 40, Sujono tidah pernah mau bertanggung jawab atas kehidupan keluaganya. Sujono tidak pernah berusaha untuk mencari pekerjaan. Ia
membiarkan Sulis yang sedang hamil berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53 dirinya dan kandungannya. Ia mencari makan dengan berjualan jamu. Sehingga yang
mengalami tindak kekerasan deprivasi adalah Sulis. Ini disebabkan oleh Sujono yang menelantarkan kehidupan keluarganya.
Kekerasan deprivasi berikut ini adalah dialami tokoh Matsumi ketika ia di Surabaya dan hendak kembali ke Jepang akibat perang. Hal ini tedapat dalam kutipan
berikut 41
“Keadaan waktu itu benar-benar sulit bagiku. Benar-benar tidak ada pilihan lain kecuali meninggalkan Indonesia. Hal ini juga dapat
dijadikan alasan untuk meninggalkan Sujono sejauh mungkin tapi, bagaimana dengan Kaguya Lestari aku tidak bisa membawanya ke
Jepang sebab ia tidak memiliki dokumen resmi” Lan Fang, 2006: 160.
Kutipan 41 menunjukkan perasaan lega Matsumi ketika akan meninggalkan Sujono untuk kembali ke Jepang, di sisi lain ia juga merasa sedih karena tidak bisa
membawa buah hatinya. Kekerasan yang terjadi di sini adalah kekerasan deprivasi. Hal ini terlihat dengan kembalinya Matsumi ke Jepang. Ia menelantarkan Sujono dan
Kaguya di Indonesia dalam situasi yang tidak menentu pasca perang. Kekerasan deprivasi kembali terjadi pada kutipan berikut:
42 “Sulis memang tidak pernah mau mengurus Lestari. Sulis tega
membiarkan bocah cilik itu menangis seharian karena menahan lapar. Ia bahkan mengenyangkan perutnya dahulu, baru membiarkan Lestari
mengais kerak-kerak nasi. Ia membiarkan bocah ini menyuap kerak nasi sendiri. Kemudian, dengan kasar ia menarik piring seng Lestari dan
memukul mulut Lestari denga
n piring itu” Lan Fang, 2006: 225. Dalam kutipan 42, menyiratkan kekerasan masih terjadi di sekitar tokoh.
Kekerasan deprivasi terlihat pada penelantaran yang dilakukan oleh Sulis terhadap Lestari. Ia tidak diurus sama sekali dan penjauhan dari pemenuhan kebutuhan dasar
54 berupa makanan, Lestari dibiarkan menangis seharian menahan lapar dan hanya
makan kerak nasi. Pada kutipan ini juga terdapat kekerasan fisik. Ini terlihat pada penyiksaan yang dilakukan oleh Sulis. Ia menarik piring seng Lestari saat Lestari
sedang makan kerak nasi dan memukul mulut Lestari dengan piring itu. Kekerasan ini ditambah dengan pengakuan Lestari 43.
43 “Sejak kecil, aku tidak pernah bermain karena dibebani seluruh
pekerjaan rumah tangga. Jika aku tidak menyapu lantai atau merebus air, aku tidak mendapat nasi. Ibu malah memberiku cubitan, pukulan,
jambakan dan pantat piring seng yang dipukulkannya kemulutku, itulah makananku sehari-
hari” Lan Fang, 2006: 245.
Dalam kutipan 43, masih terlihat kekerasan dialami tokoh Lestari pada masa kecilnya sungguh tidak pernah berwarna. Hidupnya selalu diisi oleh perlakuan kasar
dari seorang yang ia panggil ibu. Pada kutipan ini juga terjadi kekerasan deprivasi berupa pengurungan, pembiaran tanpa makan, pemaksaan kepada anak kecil untuk
melakukan segala pekerjaan rumah hingga ia kehilangan kebahagian di masa kecilnya. Pada kutipan ini juga terdapat kekerasan fisik berupa penyiksaan dan
pemukulan yang Lestari terima setiap hari dari ibunya. Dan pada kutipan ini juga terdapat kekerasan deprivasi berupa penjauhan kebutuhan dasar seperti disebutkan
pada kutipan 43 bahwa Sulis membiarkan lestari menangis seharian menahan lapar dan membiarkan ia mengais-ngais kerak nasi.
44 “Bukan sumpah serapah, rasa lapar, pantat piring seng di mulutku,
pukulan atau cubitan yang kuterima selama bertahun-tahun, tapi juga penghinaan Ia tidak pernah memanggil namaku ia selalu menyebutku
„lonte kecil‟” Lan Fang, 2006: 244. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55 Dalam kutipan 44, terjadi kasus makian dengan kata-kata kasar, pemukulan,
penyiksaan dan penjauhan pemenuhan kebutuhan dasar yang dialami Lestari. Makian kata-kata kasar ini tergolong pada kekerasan psikologi. Hal ini dikarenakan Lestari
mendapat sumpah serapah dari ibunya dengan sebutan lonte kecil. Selain kekerasan psikologi, pada kutipan ini juga terjadi kekerasan fisik berupa pemukulan pantat
piring seng ke mulut Lestari, penyiksaan berupa pukulan dan cubitan yang ia peroleh selama bertahun-tahun dari ibunya.
3.2 Kekerasan Bukan Intensional
Kekerasan bukan intensional adalah tindak kekerasan yang mungkin tidak disengaja, tetapi didasari oleh ketidaktahuan ignorancy, kekurangpedulian, atau
alasan-alasan lain yang menyebabkan subjek secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dan perendahan manusia
lain. Kekerasan bukan intensional tampak pada kutipan berikut. “Sementara perempuan yang kupanggil „ibu‟ itu sungguh-sungguh tidak
peduli pada keadaanku. Seakan-akan tidak terjadi pada keadaanku. Seakan-akan tidak ada sesuatu tang terjadi padaku. Ia malah sibuk
mengurusi anak laki-lakinya yang barusan menindih dan yang menyakitiku. Aku bahkan mendengar dia mengajari anak laki-laki itu
mengarang sebuah cerita” Lan Fang, 2006: 253. Dalam kutipan 41, terlihat bagaimana seorang ibu memperlakukan anaknya.
Ibu ini seakan-akan tidak memiliki hati dan naluri keibuan. Setelah terjadi kekerasan seksual yang berupa pemerkosaan,
„ibu‟ ini bersama anak laki-lakinya malah sibuk mengarang cerita palsu. Selain kekerasan seksual, pada kutipan ini juga terdapat
56 kekerasaan bukan intensional yang dilakukan oleh si ibu. Hal ini dapat terjadi karena
sang ibu melakukan pembiaran pemerkosaan yang diketahuinya dan dilihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia malah berpura-pura tidak tahu dengan mengajari anak laki-
lakinya sebuah cerita palsu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI