Kekerasan Seksual pada Zaman Penjajahan Jepang

23 terjadi pemerkosaan yang dilakukan prajurit Jepang di daerah Manchuria selatan. Oleh karena itu, bekas tangsi atau bangunan-bangunan Rusia oleh tentara Jepang diubah menjadi pusat-pusat pengendalian para pelacur untuk kepentingan tentaranya. Pemerkosaan tehadap penduduk Cina di Nanking, telah menyebabkan seluruh penduduk di sana akhirnya anti Jepang dan kemudian melakukan perlawanan. Pemerkosaan dan pembunuhan secara keji oleh prajurit Jepang tidak dapat dihindarkan lagi oleh orang-orang Cina. Suyono, 2005: 268. Rumah hiburan yang pertama di Nanking dibuka pada tahun 1938, memakai istilah comfort yang artinya adalah hiburan bagi orang yang menderita. Rumah di mana para wanita hiburan itu tinggal sangat menggelikan sebab pasti akan terbayangkan gadis-gadis geisha yang gembira sambil memetik shamisen atau gitar dan memandikan pria di ofuro serta memberikan mereka massage shiatsu. Keadaan yang sebenarnya adalah kebalikannya, rumah pelacuran itu benar-benar kotor dan hina di luar dugaan orang yang beradab. Para wanita penghibur oleh tentara Jepang di sebut sebagai “tempat kencing umum.” Banyak dari penghuni yang bunuh diri setelah mengetahui tujuan dibangunnya rumah-rumah tersebut. Ada yang meninggal karena dibunuh dan ada juga yang meninggal karena sakit. Bagi mereka yang masih hidup, harus siap menerima hinaan selama hidup dan menanggung malu. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya memilih hidup sendiri dan ada juga menjadi mandul Suyono, 2005: 2679. Wanita Cina yang menjadi korban pemerkosaan atau dipaksa menjadi wanita penghibur oleh Jepang diperkirakan antara 20.000 sampai dengan 80.000 ribu wanita. 24 Di Nanking, mudah sekali perempuan menjadi korban perkosaan. Serdadu Jepang memperkosa wanita-wanita Cina dari berbagai tingkatan sosial, baik wanita tani, guru wanita, para pekerja kasar, gadis-gadis karyawan kantor, isteri-isteri para pegawai, maupun para dosen atau professor universitas. Bahkan, permerkosaan terjadi terhadap para biarawati Buddha. Di Nanking, serdadu jepang selalu mencari wanita, dan ketika merampok rumah masyarakat dan tidak segan-segan menyeret para prianya untuk dieksekusi. Bila ada wanita yang tinggal di rumah, diperkosa di depan keluarganya. Ada yang berusaha melarikan diri ke zona sentral yaitu orang-orang Amerika dan Eropa, mereka ditangkap dalam perjalananya kemudian diperkosa secara beramai- ramai. Ada pula tentara Jepang memasang jebakan dengan menyebarkan berita tentang adanya pasar murah dan para wanitanya dapat menukar itik dan ayamnya dengan beras. Tetapi ketika mereka datang, mereka sudah diincar para serdadu Jepang untuk diperkosa. Kejadian-kejadian pemerkosaan sebagian besar terjadi pada siang hari dan di depan banyak orang. Tempat-tempat suci pun menjadi target tentara jepang. Mereka bisa saja memperkosa wanitanya di biara, gereja dan sekolah-sekolah Kristen. Bagi tentara Jepang, umurpun tidak jadi masalah yang penting hasrat seksualnya terpenuhi. Apabila ada perlawanan dari wanita-wanita tersebut, tentara Jepang tidak segan-segan untuk membunuh atau menyiksa wanitanya beserta seluruh keluarganya Suyono, 2005: 269.

2.3 Karayukisan sebelum Tahun 1930 dan Pelacuran Tentara Jepang

Setelah tahun 1938, pelacuran di kalangan tentara Jepang diatur oleh negara. Di Indonesia yang juga diduduki oleh penjajah Jepang telah terjadi pemaksaan 25 pelacuran. Tetapi, sebelum Jepang masuk ke Indonesia, yakni pada zaman Belanda, wanita penghibur sudah dikenal dengan istilah karayukisan sebuah istilah Jepang untuk mengatakan selir atau pelacur Jepang di Jawa. Pada waktu itu, perbandingan antara pria dan wanita sangat jauh. Pada tahun 1900 perbandingan antar wanita dan pria adalah 47:100, dan pada tahun 1930 menjadi 88 :100. Di Sumatera, perbandingannya 61 wanita Eropa terhadap prianya Suyono, 2005: 277. Ketika itu, perkawinan antarbangsa pribumi dengan orang Eropa masih belum dapat diterima, sehingga memelihara selir atau wanita simpanan merupakan hal yang lumrah. Pada abad 19, ondernemer karet atau tembakau hanya menggunakan tenaga orang Eropa yang masih bujang. Karena itu merupakan hal yang wajar bila terjadi dilema kerena kekurangan wanita. Memelihara gundik masih dapat diterima, meskipun bagi yang memelihara telah dianggap merusak moralnya. Tempat pelacuran illegal dianggap sebagai kebijakan yang dapat diterima meskipun secara medis belum tentu aman. Dalam situasi ini, peran karayukisan menjadi amat perlu Suyono, 2005: 278. Di Jepang, perbedaan pengertian antara selir dan pelacur adalah sama. Kerena selir dapat saja terjadi atau dapat dialami oleh seorang wanita yang disebabkan oleh kemiskinan. Hal ini banyak terjadi dengan banyak karayukisan selain sebagai orang wanita Jepang, juga mempunyai status tersendiri. Bagi para wanita Jepang yang datang ke Indonesia dan ingin menjadi karayukisan, memiliki nilai jual yang tinggi dan sangat diistimewakan. Faktor yang membuat mereka sangat istimewa adalah mereka memiliki kelebihan dalam melayani seorang pria. Mereka dibekali pendidikan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI