Ismail Marzuki dan Eulis Zuraida

Radio Pemberontak. 29 Kata Rebel atau pemberontak ditujukan kepada seniman, anggota, dan pengurus VORO, termasuk Ismail Marzuki. Istilah tersebut mengartikan bahwa Ismail dan teman-temannya adalah pejuang kemerdekaan Indonesia yang bernyali besar. Mereka berani berposisi sebagai orang yang anti penjajahan dengan menerima segala kosekuensi dan resiko yang ada, lembaga penyiaran mereka bisa saja ditutup, hingga terjadi pembunuhan dan sebagainya. Tetapi itu tidak membuat Ismail bersama teman-temannya mundur dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

C. Ismail Marzuki dan Eulis Zuraida

Pertemuan Ismail Marzuki dengan Eulis Zuraida bermula ketika Ismail pindah ke Bandung untuk membentuk dan memimpin Orkes Studio Ketimuran NIROM. Eulis merupakan seorang perempuan berdarah Sunda-Arab kelahiran kota Bandung 17 April 1917. Nama lengkapnya adalah Eulis Andjung Zuraida 30 . Putri dari reserse Empi ini juga seorang penyanyi keroncong dan penembang lagu Sunda. Ketika berusia 14 tahun, ia sudah berani tampil menyanyi di muka umum. Bahkan ia pernah meraih juara ketiga pada sebuah perayaan jaarbeurs Bandung dan meraih juara ketiga. Tidak hanya itu, Eulis juga masuk dalam tiga besar ketika mengikuti perayaan dalam lomba menyanyi keroncong di Pasar Gambir Jakarta. Salah satu pemusik yang mengiringinya menyanyi waktu itu ialah Ismail Marzuki. Pada saat itu, Eulis termasuk penyanyi orkes keroncong Hwa An di Bandung. 31 29 H. Ahmad Naroth, Juni 1982, op.cit., hal. 175. 30 Nama Zuraida ini ditambahkan oleh Ismail Marzuki setelah menikah dengannya. 31 H. Ahmad Naroth, op.cit., hal. 181. Tentang diri Ismail Marzuki, Eulis Zuraida mengatakan bahwa sebagai komponis muda, nama Ismail sudah terkenal. Lagu-lagunya yang kerap dimainkan lewat orkes radio Jakarta, sudah sering didengar oleh Eulis. Eulis pertama kali mengenal Ismail berawal ketika lagunya yang berjudul O Sarinah menjadi hits di radio NIROM. ―Dibanding teman-teman seniman prianya saat itu, Bung Ismail sangat alim. Ia tak suka keluyuran. Dia tidak Cuma pintar main musik, tapi juga pintar mengaji Al Quran ‖, kata Eulis Zuraida. 32 Pada mulanya, Eulis tidak terlalu tertarik dengan kehadiran Ismail. Setelah bergabung dengan orkes yang di dalamnya ada Ismail saja, Eulis selalu bertanya kepada teman-temannya, apakah Ismail ada atau tidak. Sampai-sampai Eulis mengatakan bahwa ia tidak mau menyanyi apabila ada Ismail di dalamnya. Namun setelah dibujuk teman-temannya, Eulis akhirnya mau menyanyi. Setiap kali bertemu, baik dalam latihan musik maupun tampil di NIROM dan dalam perayaan tertentu, mereka berdua sering berkelahi soal lagu yang akan dibawakan. Perbedaan pendapat pun kerap terjadi antara Ismail dan Eulis. Berbeda dengan Eulis, sikap Ismail terhadap Eulis justru kebalikannya. Ismail Marzuki sering mengajaknya bercanda dan tak jarang dia mendekati Eulis. Perasaan suka Ismail terhadap Eulis pun mulai tumbuh. Hingga pada saat mendekati Eulis, Ismail menyodorkan secarik kertas berisi syair lagu Panon Hideung. Lagu itu khusus dikarangnya untuk Eulis. 33 Panon Hideung berasal dari bahasa Sunda yang berarti ―Mata Hitam‖. Secara melodi, lagu ini sebenarnya berasal dari lagu rakyat populer ciptaan Rusia, yang oleh Ismail Marzuki 32 Heryus Saputro, ―Ismail Marzuki, Dari Pinggir Kali ke Persada Negeri‖, Femina, No. 23. Tahun XXIV, 13-19 Juni 1996, hal. 25. 33 Ibid. dialihkan liriknya ke bahasa Sunda. Syair tersebut ternyata adalah ungkapan perasaan cinta Ismail kepada Eulis. Sikap yang dilakukan Ismail ini perlahan- lahan mampu meruntuhkan hati Eulis. Eulis mulai tertarik dengan Ismail sewaktu mereka bersama rombongan Terang Bulan Party berkunjung ke Singapura sekitar tahun 1938. Rombongan ini merupakan gabungan dari Orkes Lief Java dan Band Hawaiian Sweet Java Islander, 34 dimana Ismail dan Eulis ikut serta dalam perjalanan tersebut. Di tengah perjalanan ke Singapura menggunakan kapal laut, Eulis tiba-tiba mabuk laut, ia tidak enak badan dan muntah-muntah. Ismail yang mengetahui keadaan itu, mengeluarkan sapu tangan dan menengadahkan tanggannya untuk menampung muntahan Eulis. Kemudian Ismail memijit kepala dan tengkuk Eulis, hingga ia merasa lebih enakan. Peristiwa di atas kapal laut itu nampaknya membuat Eulis terharu atas sikap yang dilakukan Ismail. Semenjak itu pula, Eulis benar-benar menerima kehadiran Ismail, dan jatuh cinta terhadap Ismail. Perasaan sama-sama cinta yang ada di antara hati Ismail dan Eulis, membuat mereka berdua kemudian menjalin hubungan berpacaran. Keduanya berpacaran cukup lama, sekitar tiga tahun. Namun, Jalinan asmara kedua insan ini tidak berjalan mulus. Orangtua Eulis tidak menyetujui hubungan mereka. Mereka khawatir Eulis yang hanya bisa menyanyi nantinya akan diremehkan oleh mertuanya karena akan menjadi istri yang tidak bisa mengurus rumah tangga. Sementara itu, masalah lain terjadi pada Ismail. Marzuki Saeran sudah menjodohkan Ismail dengan seorang gadis Betawi. Namun melihat perasaan cinta 34 H. Ahmad Naroth, op.cit., hal. 11. yang tulus dari hati Ismail terhadap Eulis, Marzuki Saeran tidak dapat berbuat apa-apa. Sikap Ismail yang selalu baik pada keluarga Eulis pun membuat hati kedua orangtua Eulis luluh. Mereka kemudian menyetujui hubungan Ismail dengan Eulis. Suatu hari saat Empi, ayah Eulis, sedang sakit, ia pun memanggil Eulis dan menyuruh memanggil Ismail. Empi lalu menikahkan sepasang kekasih ini. Ismail datang sendirian tanpa disertai keluarganya. Ismail pulang ke Batavia dengan membawa surat ―model D‖ dari kantor penghulu, yang menerangkan bahwa dirinya telah menikah dengan Eulis. Marzuki Saeran hanya bisa terkejut dan bersyukur melihat anaknya telah menikah dengan Eulis. Ismail kemudian berjanji akan membawa istrinya ke rumah Marzuki Saeran di Jalan Gunung Sahari pada esok harinya pukul 10.00 pagi. Orang-orang sibuk mengatur dan mempersiapkan ―pangkeng‖ kamar untuk menyambut pengantin baru yang akan masuk. 35 Eulis pun kemudian diboyong Ismail ke Jakarta. Awal menikah pasangan ini memilih untuk tidak tinggal bersama orangtua. Alhasil mereka berpindah-pindah tempat tinggal. Awalnya mengontrak rumah di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Kemudian pindah ke Gang Basaan di kawasan Tanah Abang. Tidak lama disitu, mereka pindah lagi ke Kampung Bali di sekitar Tanah Abang. 36 Selanjutnya, mereka bisa membeli rumah yang semula dikontrak dan tinggal menetap di Kampung Bali, Jakarta. Kehidupan rumah tangga Ismail dan Eulis berjalan harmonis. Setelah Eulis menjadi istri Ismail Marzuki, Ismail tidak mengizinkan istrinya menyanyi di muka umum, maupun dalam studio radio. Ismail 35 Ibid., hal. 181. 36 Ninok Leksono, op.cit., hal. 49. menginginkan Eulis untuk mengurus rumah tangga dan menjadi ibu rumah tangga yang terampil. Meskipun larangan ini sering menjadi perselisihan, akhirnya Eulis tunduk pada peraturan suaminya. 37 Namun yang disayangkan dari perkawinannya itu, Eulis Zuraida tidak dikaruniai anak. Tidak mau berlama-lama larut dalam kesepian, akhirnya Ismail memutuskan untuk mengambil anak dari saudara Eulis. Anak angkatnya ini bernama Rahmi Aziah, yang sudah diminta Ismail dari sejak ibunya hamil. Ismail sebenarnya menginginkan anak laki-laki, tetapi ternyata anak ini lahir perempuan. Walaupun ini tidak sesuai dengan keinginan Ismail, dia tidak keberatan, dan mengambil Rahmi sebagai anak saat berusia dua bulan. Kehadiran Rahmi ini cukup membuat kehidupan rumah tangga Ismail dan Eulis bahagia. 38 Ismail membuktikan dirinya tidak hanya jago bermusik saja, tetapi dia juga pandai dalam urusan rumah tangga. Terbukti Ismail telah menjadi kepala keluarga yang baik bagi istri dan anaknya. Sebagai Istri, Eulis Zuraida memiliki peran yang besar bagi karier Ismail Marzuki. Hampir semua lagu-lagu ciptaan Ismail setelah berumah tangga yang pertama-tama menyanyikannya adalah istrinya. Bantuan istrinya ini sangat diperlukan ketika Ismail mempersiapkan lagu-lagu yang akan diciptakannya. Menurut Eulis Zuraida, lagu-lagu Ismail Marzuki tidak hanya lahir berkat kepandaian dan inspirasi, tetapi dengan hati jiwa, bahkan keselamatan dirinya ikut dikorbankan. Kebanyakan lagu-lagu Ismail yang bernafaskan asmara, Eulis Zuraida lah yang menjadi sumber inspirasinya. 37 H. Ahmad Naroth, op.cit., hal. 182. 38 Heryus Saputro, op.cit., hal. 28. Sesudah kemerdekaan Indonesia, Ismail Marzuki dan Eulis Zuraida dihadapkan dengan situasi yang sulit. Ketika Ismail sedang berkelana ke daerah- daerah untuk menghibur para pejuang dengan lagu-lagu perjuangannya, Jakarta diduduki balatentara Sekutu. Berbagai perlawanan yang terjadi menyebabkan keadaan kota Jakarta semakin memanas. Demi pertimbangan keselamatan, Eulis kemudian memutuskan mengungsi ke Bandung, dan tidak lama kemudian Ismail menyusulnya. Namun, beberapa hari setelah mereka sampai di Bandung, terjadilah peristiwa Bandung Lautan Api. Keadaan Bandung yang penuh dengan api peperangan pada tahun 1946 itu menyebabkan mereka mengungsi lagi ke Bandung Selatan Meskipun untuk sementara waktu mereka tidak tinggal bersama, perasaaan cinta mereka berdua tetap terjalin. Hingga pada tahun 1950, Ismail Marzuki dan Eulis Zuraida kembali tinggal bersama lagi di rumahnya di Kampung Bali, Jakarta. Bagi Ismail, Eulis merupakan sosok istri sekaligus ―ibu‖ yang menjadi pendorong ciptaan-ciptaan barunya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27

BAB III PERJUANGAN ISMAIL MARZUKI SEBELUM

KEMERDEKAAN INDONESIA A. Peran Ismail Marzuki Masa Pemerintahan Belanda 1930-1942 Memasuki abad ke-20, perkembangan politik, sosial, dan ekonomi bangsa Indonesia ditandai dengan situasi yang tidak menentu. Dalam masa ini, rezim Belanda memasuki tahapan yang paling menindas dan paling konservatif terhadap rakyat. Bangsa Indonesia mengalami kerugian yang besar akibat dari eksploitasi besar-besaran dan monopoli perdagangan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini menjadikan Indonesia mulai tahun 1930 mengalami masa krisis. Rakyat pun semakin menderita di bawah penjajahan pemerintahan kolonial. Bangsa Indonesia diperlakukan tidak adil atas penjajahan yang telah dilakukan Belanda. Akibatnya banyak sekali terjadi pemberontakan yang dilakukan bangsa Indonesia terhadap pemerintah kolonial, sehingga rakyatkaum pergerakan mulai mendirikan organisasi-organisasi modern yang bertujuan sebagai jembatan untuk menghadapi pemerintah kolonial. Organisasi-organisasi tersebut semakin menunjukkan eksistensinya menuju Indonesia merdeka bebas dari penjajahan, walaupun muncul perbedaan paham yang dianutnya. Perkembangan politik di Indonesia pada tahun 1930-an juga mempengaruhi perbedaan cara pandang kaum pergerakan dalam membaca situasi pemerintah kolonial. Mereka terbelah menjadi kooperatif moderat 39 dan 39 Organisasi kooperatif moderat adalah organisasi yang memiliki sikap lunak moderat, atau mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Contoh organisasi ini antara lain: Budi Utomo, Gerindo, Muhammadiyah, dll.