7
BAB II LATAR BELAKANG KEHIDUPAN ISMAIL MARZUKI
A. Masa Kecil Ismail Marzuki
Ismail Marzuki dilahirkan di kampung Kwitang, Jakarta pada tanggal 11 Mei 1914 dari pasangan Marzuki Saeran dan istrinya--yang dalam berbagai
literatur tidak disebutkan namanya. Marzuki Saeran berasal dari golongan menengah atau orang mampu yang berprofesi sebagai wiraswasta. Ismail Marzuki
bukanlah anak pertama dari pernikahan Marzuki Saeran dan istrinya. Sebelumnya Marzuki Saeran mempunyai dua anak laki-laki, yakni Yusuf dan Yakub. Namun
Yusuf meninggal ketika berusia tiga tahun, dan Yakub juga meninggal saat berusia satu tahun. Tiga bulan setelah Ismail Marzuki dilahirkan, ibunya yang
juga istri Marzuki Saeran meninggal, menyusul kakak-kakak kandung Ismail Marzuki yang sebelumnya telah meninggal.
4
Hal inilah yang menyebabkan Marzuki Saeran merasa sedih atas kejadian yang dialami keluarganya.
Marzuki Saeran tidak ingin larut dalam kesedihan yang mendalam. Lalu ia menikahi seorang janda yang mempunyai anak satu. Anak perempuan tiri
Marzuki Saeran ini bernama Anie Hamidah, yang berusia 12 tahun lebih tua dari Ismail. Menurut kepercayaan orang tempo dulu, untuk melindungi anak yang
diharap-harapkan, orang tua menindik anak-anaknya agar dapat berumur panjang. Oleh karena itu, Marzuki Saeran yang sudah kehilangan dua anak laki-laki
4
Ninok Leksono, Seabad Ismail Marzuki: Senandung melintas Jaman Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2014 hal. 26.
sebelumnya menindik Ismail dengan harapan agar si kecil Ismail dapat berumur panjang.
5
Di lingkungan keluarga, kerabat, dan teman-temannya Ismail Marzuki kerap dipanggil Mail atau Maing, dan kemudian jadi Bang atau Pak MailMaing.
Ismail tumbuh berkembang dan bergaul dengan anak-anak sebayanya yang sebagian besar berasal dari kalangan rakyat biasa. Tempat bermain kesukanya
adalah Kali Ciliwung, ia dapat bebas mandi, berenang, menyelam, dan terjun setiap hari di sungai yang lebar, airnya agak jernih, dan cukup dalam itu.
6
Uniknya, ketika beranjak dewasa Ismail Marzuki tidak suka dengan mereka yang mandi atau berenang di sungai itu, karena takut jika ada yang terbawa arus.
7
Marzuki Saeran memiliki cita-cita anak lelakinya ini kelak bisa bekerja sebagai ambtenaar pegawai negeri zaman pemerintahan Belanda. Oleh karena
itu ia berniat untuk menyekolahkan Ismail. Pada awalnya Ismail keberatan, namun perlahan-lahan dia mulai sadar bahwa sekolah adalah satu-satunya tempat agar
dapat memperoleh berbagai macam ilmu pengetahuan. Kemudian ia memasukkan Ismail ke Christelijk HIS Hollandsh Inlandsche School
8
Idenburg, salah satu sekolah dasar unggulan di Menteng. Supaya Ismail mendapatkan ilmu agama
Islam serta dapat memahami kitab suci Al Quran dengan baik, sore harinya dia pergi belajar mengaji ke Madrasah Unwanul Fallah di Jalan Kramat Kwitang II
5
Ibid.
6
Dieter Mack, op.cit., hal. 8.
7
Endah Soekarsono, ―Bang Maing yang Karyanya Tahan Arus Jaman‖, Femina, No. 46, Tahun XV., 26 November 1987, hal. 72.
8
HIS pertama kali didirikan di Indonesia pada tahun 1914. Sekolah ini ada pada jenjang Pendidikan Rendah Lager Onderwijs atau sekarang setingkat dengan pendidikan dasar. HIS
termasuk Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda Westersch Lager Onderwijs. Sekolah ini diperuntukan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli. Pada umumnya
disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Lama sekolahnya adalah tujuh tahun.
berjarak sekitar empat puluh meter dari rumah Marzuki Saeran, yang didirikan oleh seorang ulama bernama Habib Ali Al Habsi.
Dalam kesibukannya sebagai seorang pelajar, Ismail juga menjadi anggota KBI Kepanduan Bangsa Indonesia di Kwartir Surya Wirwan, Gang Kenari. Hal
ini menjadikan lingkup pergaulannya pun bertambah luas, tidak hanya berteman dengan anak-anak Kwitang saja, namun dia juga bergaul dengan anak-anak yang
berbeda suku bangsa seperti Tionghoa, Belanda, dan lain lain. Selain itu, Ismail juga ikut bergabung dengan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Organisasi ini
didirikan oleh beberapa tokoh masyarakat Betawi yang lebih mengutamakan di bidang kebudayaan, khususnya bahasa dan musik.
Sejak kecil, Ismail memiliki kesenanganhobi di bidang musik. Dia menyukai lagu-lagu, dan tahan berjam-
jam di depan ―Gramofon‖
9
. Dengan suara merdunya dia sering menyanyikan lagu berbahasa Belanda, di antaranya kun je
nog zingen, zing, dan mee. Budaya Barat khususnya Belanda cukup memberikan pengaruh besar bagi kehidupan Ismail. Karena kepandaiannya dalam berbahasa
Belanda, Ismail yang sering disebut ―Ismail atau Maing‖ pun berubah panggilan menjadi ―Benjamin atau Ben‖ ketika orang Barat menyapanya.
10
Setelah tamat sekolah dasar dari HIS Hollandsh Inlandsche School, dia kemudian melanjutkan ke MULO Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
11
di jalan
9
Gramofon, menurut KBBI edisi ke-3 adalah mesin untuk mereproduksi suara dan musik yang direkam pada piringan hitam
10
Ninok Leksono, op.cit., hal. 27.
11
MULO pertama kali didirikan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1914. MULO setara sekolah lanjutan tingkat pertama atau sekarang SMP, yang diperuntukan bagi mereka yang telah
menyelesaikan dari sekolah Dasar. Sekolah dengan pengantar bahasa Belanda ini diperuntukkan bagi orang pribumi golongan atas, orang Tionghoa, dan orang Eropa. Jenjang studi di MULO
terdiri atas tiga tingkatan dalam tiga tahun bagi lulusan ELS Europeesche Lagere School, dan bagi lulusan selain ELS ditambah dengan kelas persiapan selama satu tahun total empat tahun.
Menjangan, Batavia. Di MULO Ismail semakin bertumbuh dan memiliki pikiran yang terbuka, baik dalam pendidikan formal maupun informal. Bersama beberapa
teman satu sekolahannya, Ismail membentuk sebuah kelompok musik. Pada saat itu Ismail memegang alat musik banjo
12
. Mereka seringkali mengisi berbagai acara kesenian di sekolah, meskipun lagu-lagu yang sering dimainkan bukan lagu
berbahasa Indonesia. Kepandaiannya dalam berbahasa Inggris, Spanyol, apalagi Belanda mendorongnya untuk mencoba mengarang beberapa lagu pada periode
itu. Bakat musik yang ada dalam diri Ismail sejak kecil ini tidak terlepas dari
didikan seorang ayah yang sangat diseganinya ini. Marzuki Saeran yang dikenal sebagai orang yang taat beribadah ikut aktif dalam kelompok musik rebana di
kampung Kwitang Lebak. Selain senang dengan musik yang syairnya kental bernuansa religius, ia juga senang dengan keroncong, cokek, dan gambus.
Marzuki Saeran memiliki cara pandang maju dalam mendidik Ismail. Hal ini dibuktikan dari bagaimana Ismail bersikap di lingkungannya. Sikap Ismail yang
murni, mendalam, dan penuh kesadaran tercipta dari didikan Marzuki Saeran. Guna memacu semangat belajar, Marzuki Saeran kerap menghadiahkan
benda-benda tertentu salah satunya alat musik apabila Ismail naik kelas. Sebenarnya sang ayah, Marzuki Saeran yang merupakan pemain rebana di
kampungnya tidak setuju jika anaknya disebut sebagai ―buaya keroncong‖
pemain musik. Golongan pribumi waktu itu sering malu menyandang sebutan seniman karena sering diolok-olok. Di sisi lain menurut anggapan orang Betawi
12
Dieter Mack, op.cit., hal. 9.
saat itu ―buaya keroncong‖ bertentangan dengan agama.
13
Kendati demikian, Ismail tetap lengket dengan musik, bahkan bakatnya dalam bidang musik pun
tambah terasah. Kecintaannya terhadap musik tidak mengganggu Ismail dalam
memperoleh pendidikan formal di sekolah. Terbukti nilai beberapa mata pelajaran yang diperoleh Ismail di sekolah tetap tinggi walaupun sebagian besar waktunya
dicurahkan di bidang musik. Dan sampai pada akhirnya Ismail dapat menamatkan sekolah lanjutan pertamanya ini. Setelah tamat sekolah dari MULO, Ismail
dihadapkan pada sebuah pilihan untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat atas AMS Algemeene Middelbare School
14
, atau menekuni dunia musik yang menurut dia sama-sama penting dan menyenangkan. Kedua pilihan ini merupakan
hal teramat sulit yang satu diantaranya harus dipilih oleh Ismail untuk masa depannya. Dengan segala pertimbangan yang cukup matang dan melihat
kosekuensinya, akhirnya Ismail memutuskan untuk berhenti dari sekolah. Walaupun keputusan yang diambil ini tidak sesuai dengan keinginan
ayahnya, Ismail tetap memohon bantuan Marzuki Saeran untuk mencarikan pekerjaan. Bermodalkan ijazah MULO dan kepandaiannya dalan berbahasa barat
khususnya bahasa Inggris dan bahasa Belanda Ismail diterima bekerja sebagai penjaga toko di toko TIO. Tetapi belum lama berkerja di toko tersebut dia
mengundurkan diri. Akhirnya dia berusaha mencari pekerjaan sendiri. Tidak lama mencari pekerjaan baru, Ismail kemudian melamar dan langsung diterima di
13
Endah Soekarsono, op.cit., hal. 71.
14
AMS pertama kali didirikan oleh kolonial Belanda pada tahun 1915. AMS setara dengan sekolah lanjutan tingkat atas atau sekarang SMA. Sekolah ini diperuntukan bagi mereka yang telah
menyelesaikan dari MULO. Lama sekolahnya 3 tahun.
perusahaan ―Scony Service Station‖ yang berlokasi di Java Weg sekarang Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat. Dia bekerja sebagai kasir dengan gaji bersih
30 gulden setiap bulan, upah di atas rata-rata bagi seorang yang minim pengalaman kerja. Namun di perusahaan ini Ismail tidak betah bekerja
dikarenakan seringkali terjadi selisih paham baik antarpekerja maupun dengan pihak manajemen.
15
Akhirnya untuk Ismail mengundurkan diri lagi dari pekerjaannya ini.
Untuk ketiga kalinya, Ismail melamar pekerjaan dan diterima di perusahaan dagang ―KK Knies‖ yang berlokasi di Noordwijk Straat sekarang
Jalan Ir Juanda, Jakarta Pusat. Perusaahan ini bergerak di bidang musik, yang tidak lain merupakan hobi yang paling Ismail senangi. Dia bekerja sebagai
verkoper penjual berbagai alat musik, perekam, dan piringan hitam merek Columbia.
16
Berbeda dengan pekerjaan sebelumnya yang dilakukan di dalam kantor, perkejaan ini dia lakukan dengan cara dinas luar, atau dijaman sekarang disebut
sales and marketing. Penghasilan yang diterima Ismail Marzuki tergantung jumlah barang yang berhasil dia jual, semakin banyak alat musik yang terjual
maka semakin banyak juga hasil yang dia terima. Di pekerjaan ini Ismail tidak saja cocok, tapi juga sukses. Dengan
penampilannya yang necis, berpakaian rapi dan bersih, dia mampu meyakinkan calon pembelinya. Dia banyak mendapat komisi dari penjualan piano, radio, dan
piringan hitam. Sehari-hari Ismail berkeliling mencari calon pembeli dan
15
Dieter Mack, op.cit., hal 11-12.
16
H. Ahmad Naroth, “Bang Ma’ing pun Menggubah Cerita Horror”, Intisari, No. 229, Agustus
1982, hal. 192.
mengunjungi para pelangan dengan mengendarai sepeda motor kesayangannya merek BSA buatan Inggris.
17
Tidak hanya sebatas berjualan saja, dengan pembeli Ismail seringkali membahas musik hingga berjam-jam, sehingga hubungan yang
terjalin bukan hanya sebatas penjual dan pembeli, tetapi menjadi sesama penikmat dan pelaku musik. Dari merekalah, dan juga dari membaca berbagai buku, Ismail
mempelajari not-not balok, partitur, tangga nada, teori musik, dan ilmu melodi. Dari sinilah dibuktikan bahwa pekerjaan sebagai verkoper ini berperan besar bagi
karier Ismail Marzuki selanjutnya sebagai seorang komponis
B. Kontribusi Ismail Marzuki di Lief Java, NIROM, dan VORO