l. Layanan komputer dan piranti lunak; kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan
komputer, pengolahan data, pengembangan database, dan sebagainya. m. Televisi dan radio; kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi,
produksi dan pengemasan acara televisi. n. Riset dan pengembangan; kegiatan kreatif yang terkait dengan usaha
inovatif yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi
produk baru. o. Kuliner; kegiatan kreatif ini termasuk baru, kedepan direncanakan
untuk dimasukkan ke dalam sektor industri kreatif dengan melakukan sebuah studi terhadap pemetaan produk makanan olahan.
F. Topeng Kayu sebagai Warisan Budaya Indonesia
1. Arti Istilah Topeng
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, topeng atau kedok adalah penutup muka yang terbuat dari kayu kertas dan sebagainya berupa
orang, binatang, dan sebagainya Poerwadarminta, 1976:1087. Pada umumnya raut muka pada topeng dibentuk karakteristik dilebih-lebihkan
untuk memperoleh citra yang berkesan Shaddly, 1984:2359. Menurut kata sifatnya, topeng merupakan sikap kepura-puraan untuk
menutupi maksud yang sebenarnya Prayitno, 1999:111. Sedangkan menurut Suryaatmadja 1980:27, secara estimologis kata topeng terbentuk
dari asal kata: ping, peng, dan pung yang artinya bergabung ketat kepada sesuatu.
2. Fungsi Topeng
Menurut Margianto dan Munardi 1980:17-25, berdasarkan sifatnya topeng dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni topeng yang bersifat
religiomagis dan topeng yang bersifat profan. Adapun fungsi topeng berdasarkan sifatnya, adalah sebagai berikut:
a. Topeng yang bersifat religiomagis Topeng jenis ini umumnya berfungsi sebagai topeng upacara atau
seremonial, kematian, dan hiasan magis. b. Topeng yang bersifat profan
Topeng jenis ini umumnya berfungsi sebagai alat perlengkapan drama tari pesta atau festival, hiasan dinding, dan sebagai benda
tontonan atau pajangan.
3. Perkembangan Topeng di Indonesia
a. Topeng pada zaman prasejarah Menurut Yudoseputro 1991:1, kehidupan manusia pada tingkat
awal prasejarah masih sangat sederhana tempat tinggalnya, mereka berpindah-pindah tergantung pada situasi dan kondisi alam setempat
yang dapat
memberikan kehidupan.
Pada umumnya
mereka mendapatakan makanan dari umbi-umbian dan daging binatang dengan
cara berburu di hutan untuk memenuhi kehidupan batin dan kepuasan jiwa. Dalam menghadapi berbagai hal yang berada di luar jangkauan
pikiran mereka, munculah pikiran tentang kekuatan-kekuatan gaib dan arwah yang disebut dengan animisme dan dinamisme. Hal ini tercermin
dari hasil-hasil karya yang dapat digolongkan ke dalam benda seni rupa, baik yang berlatar belakang gagasan magis maupun religius yang lebih
mempertimbangkan unsur praktis ketimbang estetis. Ditinjau dari nilai kegunaan sejak zaman prasejarah, topeng sudah
dipergunakan dalam upacara kepercayaan, lukisan dinding gua dalam tema perburuan dan peperangan. Dari zaman batu dapat menjelaskan
adanya kebiasaan pemakaian topeng sebagai media peragaan dalam berbagai upacara. Hal ini juga dibuktikan dengan adat dari topeng
dalam masyarakat yang meneruskan tradisi prasejarah. Topeng atau kedok semula tercipta berdasarkan gagasan-gagasan yang bersifat
religius dan digunakan sebagai media peragaan dalam upacara pemujaan.
Topeng diperagakan dalam tarian yang diiringi dengan bunyi- bunyian yang menimbulkan ketegangan suasana sesuai dengan tujuan
upacara. Semua kegiatan ini hadir terpadu sebagai sarana dalam berbagai ritual yang bersifat religius. Hal tersebut sesuai dengan
kepercayaan masyarakat waktu itu bahwa agar berhasil dalam melakukan suatu kegiatan harus didahului dengan rangkaian upacara
tertentu. Kebiasaan berburu untuk mendapatkan makanan dari hutan,
merupakan kegiatan rutin manusia prasejarah yang selalu didahului
dengan upacara. Topeng menjadi salah satu media peragaan dalam upacara menjelang perburuan. Para penari memakai topeng yang
menggambarkan binatang tertentu sambil bergerak mengelilingi patung perwujudan binatang yang akan diburu dengan tujuan dapat berhasil
dalam berburunya. Peperangan antara kelompok wilayah karena perebutan wilayah,
tempat tinggal, dan sebagainya, merupakan peristiwa yang sering terjadi pada masa prasejarah. Topeng merupakan perlengkapan yang
dipakai ketika berperang waktu itu, baik sebagai alat penutup muka maupun sebagai hiasan magis pada peralatan perang. Hal ini dibuktikan
dari adanya bentuk topeng pada perisai sebagai peralatan perang masyarakat
yang masih meneruskan
tradisi budaya
prasejarah. Kepercayaan mereka bahwa memakai topeng dengan penampilan yang
fanatik dan seram akan menimbulkan kekuatan bagi pemakainya, sehingga dianggap akan mudah mengalahkan dan menaklukkan
musuhnya. Topeng juga sebagai sarana dalam pengobatan, baik yang
disebabkan oleh pengaruh alam maupun karena kecelakaan. Dalam praktek proses penyembuhannya, para leluhur atau ketua adat dibantu
para penari topeng untuk memanggil roh leluhur atau dewa untuk masuk ke dalam topeng tersebut. Selain itu juga untuk memberikan
berkah dan kesembuhan pada yang sakit.
Dalam pemujaan memanggil roh nenek moyang dengan memakai topeng, para ketua adat dan dukun melakukan gerakan-gerakan tertentu
seperti menari. Berdasarkan gerakan-gerakan ketua adat dan dukun inilah diperkirakan kemudian jadi berkembang gerakan tarian topeng,
dengan demikian budaya topeng terbukti berumur amat panjang. b. Topeng pada zaman Hindu
Menurut Yudoseputro 1991:6, sebagai ragam hias yang mengandung nilai magis, topeng pada zaman Hindu di Indonesia
tampak pada motif hias “Kala” atau “Kirtimukha”. Kala merupakan motif raut muka raksasa, biasanya berada di bagian atas dari lubang
pintu masuk atau pelengkungan relung pada dinding bangunan candi. Sebagai karya seni rupa Indonesia–Hindu yang mengandung nilai
perlambangan, topeng juga tampil sebagai media pemujaan roh leluhur yang disebut upacara Sharaddha dengan salah satu alat kelengkapannya
menggunakan topeng yang disebut topeng Sang Hyang Puspasharira. Upacara Sharaddha dilaksanakan 12 tahun sesudah meninggalnya Sri
Rajapathi. Dalam keperluan upacara tersebut, dibuatkan Sang Hyang Puspasharira berupa boneka yang terbuat dari bahan logam yang
bentuknya merupakan
perwujudan dari
wajah leluhur
yang diupacarakan. Upacara Sharaddha dilakukan di malam hari dengan
mengucapkan mantra untuk memanggil dewa atau arwah nenek moyang agar turun dan masuk ke dalam boneka Puspasharira.
Dengan adanya upacara Sharaddha yang menggunakan topeng sebagai salah satu alat untuk memanggil dewa atau roh leluhur,
menunjukan bahwa topeng telah dikenal sejak zaman Majapahit. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan topeng sebagai sarana drama
tari. Menurut kepercayaan zaman itu, orang memanggil roh nenek moyang sudah diiringi dengan bunyi-bunyian gamelan. Roh nenek
moyang sangat dihormati sebagai cikal bakal yang merupakan pelindung adat dan keselamatan anggota keluarga.
Sebagai media peragaan dalam drama tari, topeng pada saat itu merupakan perlambang hinduistik yang bersumber dari cerita wayang.
Unsur ekspresi topeng dalam drama tari tidak berdiri sendiri, dimana merupakan media rupa yang berfungsi sebagai alat penutup muka
penari yang penampilannya sangat ditentukan oleh perlengkapan lain dalam memerankan tokoh tertentu.
c. Topeng pada zaman Islam Menurut Rasjoyo 1994:91, seperti pada zaman Hindu, para raja
dan bangsawan pada zaman Islam melanjutkan dan mengembangkan berbagai bentuk seni yang sudah dikenal sebelumnya, dimana
disesuaikan dengan kepentingan Islam. Sesuai dengan fungsi seni sebagai media dakwah, penyebaran seni rupa Islam semakin giat
dilakukan ke daerah-daerah yang makin luas. Seni topeng yang telah dikenal sejak zaman prasejarah dan
berkembang di zaman Hindu, oleh para raja Islam dan Wali Sanga terus
dikembangkan dan disempurnakan. Dalam perkembangan sampai mencapai bentuk dan jenis seni topeng di zaman Islam di Indonesia,
sebenarnya sudah mulai berkembang di kalangan istana sejak abad ke-9 M, kemudian berkembang menjadi tontonan atau kesenian rakyat dan
menjadi popular sejak abad ke-11 M. Mulai pada abad ke-15 topeng memasuki lingkungan istana dan menjadi kesenian keraton yang
berkembang dan popular sekitar abad ke-19. Kesenian topeng oleh para raja Islam dan Wali Sanga diberi
sentuhan-sentuhan nilai baru, baik nilai kesenirupaan maupun nilai drama tarinya. Unsur-unsur kesenian topeng lama diolah dan
dikembangkan berdasarkan kebutuhan baru yang didukung oleh keyakinan terhadap hikmah kebenaran dari tasawuf dan mistikisme
Islam. Menurut Pigeaud Pringgokusumo, 1991:45, yang pertama kali
menciptakan topeng pada zaman Islam ialah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mengikuti bentuk Wayang Gedog, tetapi dari depan dan hanya
wajahnya yang dibuat. Topeng yang dibuatnya berjumlah sembilan, yakni: Panji Ksatrian, Candrakirana, Gunungsari, Andaga, Reton,
Klana, Danawa, Benco, dan Turas. Tari topeng tertua di zaman tersebut dimainkan oleh dua orang
laki-laki yang asalnya dalang dari Sela Grobogan, Purwodadi bertempat tinggal di desa Palat. Mereka diberi pelajaran oleh Sunan
Kalijaga, kemudian diberi nama Widiguna dan Widiyana. Setelah
mereka mempelajari berbagai jenis topeng, sudah mengetahui sejarah Kerajaan-Kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan, dan Singosari,
Kelana dari Bali, dan mengetahui cerita-cerita Wayang Gedog, maka dua orang itu dianggap telah memiliki pengetahuan yang paling tinggi
tentang tari topeng. Pembuatan topeng-topeng itu selesai pada tahun 1058 saka tahun Jawa atau tahun 1586 M.
Menurut Masunah dan Karwati 2003:12, bentuk topeng yang pertama kali diciptakan pada zaman tersebut belum diukir pada kayu
dan belum dilukis dengan berbagai macam warna, dimana pada bagian muka hanya ditandai dengan warna merah atau hitam saja. Berperannya
para Wali Sanga dalam perkembangan topeng telah memunculkan interpretasi yang berbeda pada tokoh-tokoh topeng yang ditawarkan.
Topeng tidak hanya menggambarkan tokoh-tokoh dan cerita Panji, tetapi juga sebagai gambaran perkembangan jiwa manusia yang baik
dan yang buruk. Memasuki abad ke-17, seni topeng di lingkungan istana atau
keraton mulai turun, akan tetapi di kalangan masyarakat banyak topeng sebagai bentuk pertunjukan masih terus bertahan sesuai dengan tradisi
daerah masing-masing. Sebagai contoh: di Madura, Malang, Bali, Yogyakarta, Lampung Selatan, Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan
Sumedang masih ditemukan adanya kesenian topeng.
d. Topeng pada zaman modern Kesenian topeng tidak hanya dimiliki budaya tradisional, dimana
hingga sekarang berbagai bentuk topeng bermunculan, yakni mulai dari karya seniman modern sampai karya anak-anak. Bahannya pun sangat
beraneka ragam, yakni mulai dari logam, kayu, kertas, dan bahkan barang bekas. Bahkan dalam kehidupan keseharian, baik dewasa
maupun anak-anak, kehadiran topeng dapat disaksikan. Kesimpulannya topeng dikenal sejak zaman prasejarah sampai sekarang, baik dalam
dunia seni panggung, ritual masyarakat, atau kehidupan sehari-hari.
G. Penelitian Terdahulu 1. Prasetyanto 2006