Ompu i |48
dikatakan sebagai sahala tua, sedangkan pustaha kedua diwariskan kepada Raja Isumbaon atau sering dikatakan sebagai sahala harajaon.
23
Kedua pustaha ini merupakan awal mula sistem pemerintahan dan adat dari masyarakat Batak Toba, dan menjadi dasar dari organisasi Huta kampung, Horja
dan Bius. Artinya, kedua pustaha tersebut mencakup aspek religi dan aspek sekuler dalam bentuk pemerintahan harajaon. Kedua aspek ini yang menjadi dasar dari
aspek Bius. Bahkan dikemudian hari pustaha laklak yang menjadi sumber religiositas membentuk kelompok parbaringin pendetaimam dan menjadi ciri
utama dalam sistem Bius Sianjurmulamula. Menurut Sitor Situmorang kedua aspek ini yang seharusnya dapat menciptakan kesatuan dan kemajuan, namun dikemudian
hari justru sering menimbulkan bibit-bibit perpecahan dalam bentuk dualisme.
24
2. Konsep dan Perkembangan Huta, Horja dan Bius
Masyarakat Batak meyakini bahwa huta atau kampung yang pertama kali terbentuk adalah Sianjurmulamula. Hal ini termaktub di dalam tonggo-tonggo atau
doa-doa sebagai berikut:
Sianjurmulamula, Sianjur mula toppa. Parsirangan ni aek, pardomuan ni hosa
Sianjurmulamula, Sianjur mula jadi Mula ni sombayang, mula ni sombauasi.
Parpansur golanggolang, partapian jabi-jabi Sianjurmulamula, Sianjur awal yang diciptakan
Dipisahkan oleh air, disatukan oleh daging Sianjurmulamula, Sianjur awal yang ada.
Permulaan dari sembayang, awal dari sujud.
23
Dalam perkembangannya sesuai turiturian dikisahkan bahwa Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon tidak pernah membuka pustaha tersebut hingga akhirnya keturunan merekalah yang
membuka pustaha tersebut, yakni Martua Rajadoli dan Tuan Sorimangaraja. Inilah sebabnya Martua Rajadoli sering dikatakan sebagai Martua Rajadoli mula ni Raksa ni Hadatuhon sian Pustaha
Laklak Martua Rajadoli awal dari pengetahuan adikodrati yang tertulis dalam pustaha laklak, sedangkan Tuan Sorimangaraja sering dikatakan sebagai Tuan Sorimangaraja Mula ni torsa ni
Harajaon sian Pustaha Tumbaga Tuan Sorimangaraja awal dari pengetahuan tentang pemerintahan yang tertulis dalam Pustaha Tumbaga lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Pemerintahan Harajaon dan
Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba Medan: Bina Media Perintis, 2014, hl. 141.
24
Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 24-26.
Ompu i |49
Parsaapan manogot, parangiron bodari Tempat mata air yang bergelang-gelang, tempat
mandi yang besar
Namun demikian, Sianjurmulamula bukan hanya menjadi huta pertama, melainkan tempat ini menjadi penting dikarenakan dari tempat inilah kemudian
masyarakat Batak menyebar ke seluruh penjuru seturut dengan bertambahnya jumlah masyarakat di huta tersebut. Bahkan perkembangan ini membuat status
Sianjurmulamula pun bukan lagi dipandang sebagai huta, tetapi juga sebagai Bius; yang meliputi daerah huta Limbong dan Sagala. Walaupun perkembangan
masyarakat Batak sudah keluar dari wilayah Sianjurmulamula, namun demikian status Sianjurmulamula masih menjadi salah satu model percontohan di setiap
pembangunan bius-bius lainnya, yakni dengan menekankan aspek religi Pustaha Laklak dan sekuler pustaha Tumbaga. Penyebaran masyarakat Batak banyak
terdapat di wilayah Samosir, Toba-Holbung, Humbang dan Silindung. Menarik kemudian menulusuri lebih dalam mengenai perkembangan huta, horja dan bius,
serta bagaimana konsep Sianjurmulamula diterjemahkan di dalam bius-bius yang ada dan dalam hubungannya dengan Huta dan Horja, karena dengan ketiga inilah
sistem hirarki pemerintahan Singamangaraja terlihat.
Huta
Menurut Vergouwen huta memiliki watak persekutuan yang lebih menonjol dari pada kelompuk suku perkumpulan semarga atau dapat juga sebagai horja.
25
Alasan Vergouwen ini ada benarnya dengan alasan Huta memiliki kekerabatan yang dekat dari pada kelompok suku, walaupun mayoritas penduduk huta
25
J.C. Vergouwen, Op. Cit, hl. 132.
Ompu i |50
merupakan satu kelompok suku tertentu atau semarga. Namun tidaklah otomatis bahwa isi dari huta tersebut adalah hanya satu marga tertentu saja, tetapi juga
terdapat marga paisolat atau parripe penumpang yang harus tunduk kepada marga utama.
Bagi masyarakat Batak membuka atau mendirikan huta yang baru sama halnya dengan mendirikan harajaon yang baru. Hal ini disebabkan pendiri huta
akan menjadi raja atau huta tersebut. Konteks yang ada dalam masyarakat Batak setiap huta yang berdekatan pastilah memiliki hubungan kekerabatan. Itulah
sebabnya huta yang pertama tidak dapat dilepaskan dari huta-huta yang mengikutinya. Dalam istilah Batak, kampung yang baru dibuka yang dihuni oleh
keluarga-keluarga yang merupakan warga dari satu bagian klan dinamakan lumban atau biasanya disebut lumban ni huta. Dan ketika sebagaian penghuni lumban
tersebut membuka kampung yang baru maka akan di sebut sosor atau biasanya sosor ni huta.
26
Selain dari ketidakidentikan huta dengan kelompok suku atau marga, hal lain yang memperjelas dari huta adalah adanya pembagian wilayah dengan batas-
batas yang jelas. Biasanya huta berdiri di sebidang tanah yang memiliki batas disekelilingnya dan di huni oleh kerabatnya pendiri huta. Biasanya batas tersebut
dikeliling oleh bambu atau parik, semacam tembok yang terbuat dari tanah atau susunan batu. Huta dan tanah memiliki satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
dikarenakan huta mengatur hak kepemilikan tanah. Kepemilikan ini mengatur hak tanah yang menyangkut kepada kepemilikan atas marga pendiri huta, pihak boru
26
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., hl. 149-150.
Ompu i |51
perempuan, marga penumpang, serta tanah garapan. Maka dari itu, posisi huta memiliki keotonomian atas hak tanah, sehingga ketika dikaitkan dengan sistem
pemerintahan pemerintahan tradisional Batak Toba, maka huta merupakan memiliki wewenang yang paling kecil secara teritorial.
27
Namun pengaturan tersebut bukan hanya pada masalah tanah saja, tetapi segala kehidupan yang
menyangkut atau berhubungan dengan huta hatopan tersebut merupakan wewenang dari huta tersebut, misalnya perkelahian, adanya pendatang, dll. Dalam
pemerintahan tradisional Batak Toba, huta telah memiliki aturan yang jelas. Bahkan di hutalah akan terlihat dengan jelas penggunaan adat dan hukum dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, di sini saya tidak akan membahas seluruh aturan dan larangan dalam kehidupan di huta, melainkan akan melihat struktur fungsional
dalam huta yang nantinya akan berkaitan dengan horja dan bius. Di dalam huta, hak memerintah merupakan hak bersama hatopan setiap
keturunan patrilineal langsung si pendiri huta tersebut. Walaupun menurut hukum hak tersebut dipegang oleh raja huta namun keturunan dari raja huta tersebut juga
mendapatkan manfaatnya dan mempunyai hak istimewa. Dari fenomena seperti ini Vergouwen membahasakan huta sebagai suatu
“sel dari suatu organisasi politik yang dibentuk oleh marga dan kelompok suku, tetapi sebuah sel dengan kehidupan
persekutuan ”.
28
Yang menarik dari pengertian ini, ketika Vergouwen mengumpamakan huta sebagai suatu sel maka hal ini menandakan bahwa sifat dari
huta selalu berkaitan dengan huta-huta lainnya yang menjadi pengembangan atau
27
Ibid., hl. 147.
28
J.C. Vergouwen, Op. Cit., hl. 141.
Ompu i |52
perluasan dari huta sebelumnya. Walaupun hubungan paralel ini diikat dengan hukum dan adat namun huta mememiliki dimensi politik yang justru cenderung
menjadi kekuatan sebagai persekutuan yang kecil. Dalam posisi inilah raja huta memiliki kekuatan ketika menjadi yang paling dituakan dan dihormati.
Raja huta atau yang sering dikenal sebagai Tunggane Ni Huta tetua kampung di Samosir dan ada juga yang menyebutnya Siboan Bunti pembawa
persembahan memiliki tugas mengelola huta, menegakkan hukum dan menyelenggarakan peradilan, adat, ketertiban dan disiplin. Jabatan atau gelar ini
biasanya merupakan gelar keturunan waris dari garis patrilineal. Bahkan, ketika berhubungan dengan kepentingan atau urusan di luar huta tersebut maka raja huta
menjadi perwakilan dari kepentingan huta tersebut. Masyarakat huta tersebut juga haruslah menerima kepemimpinan dan bimbingan dari raja huta. Segala aktivitas
masyarakat, seperti perkawinan, penjualan ternak dan urusan tanah haruslah melibatkan raja huta sebagai bentuk partisipasi penting atas peran raja huta. Dari
sinilah kemudian raja huta menjadi penentu atau pintu terakhir yang memainkan peranan penting bagi keberlangsungan hutanya. Idris Pasaribu dalam novelnya
berjudul Mangalua memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai posisi dan kedudukan penting raja huta, horja, bius ditengah-tengah masyarakat dalam
memberikan nasehat, mediasi; yang dengannya akan membawa solusi bagi kehidupan keluarga dan masyarakat.
29
Hal ini sesuai dengan umpasa berikut ini dapat menerangkan posisi raja:
Baris-baris ni gaja di rura pangaloan, Molo marsuru raja ingkon oloan
Gajah berbarisbaris di lembah Pangaloan Jika Raja memberikan perintah maka harus dilaksanakan.
29
Lih. Idris Pasaribu, Mangalua Jakarta: Obor 2015, hl. 145.
Ompu i |53
Molo so nioloan tubu hamagoan Ia nioloan dapot pangomoan
Jika tidak dilaksanakan akan lahir malapetaka Yang melaksanakannya akan mendapat keuntungan
Di dalam hukum dan adat masyarakat Batak ada beberapa motif yang mendasari akan adanya pengikat atau hubungan huta dengan huta lainnya atau
bahkan ke kelompok suku, yakni :
30
1. Motif kesilsilahan. Motif ini paling besar pengaruhnya dalam
masyarakat Batak. Walapun terkadang tidak melibatkan seluruh masyarakat di huta tersebut, namun paling tidak mempunyai hubungan
di beberapa anggota masyarakat huta tersebut. 2.
Motif keagamaan. Motif ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat huta menjadi masyarakat kurban dan persekutuan. Seperti
yang dicatat Vergouwen bahwa terkadang motif keagamaan ini kurang berpengaruh dalam kehidupan politik sebagai suatu persekutuan.
3. Motif kewilayahan. Motif ini kurang berpengaruh dalam mengikat
kelompok masyarakat. Namun beberapa hal sangat berpengaruh khususnya di wilayah emigrasi, yakni tempat kampung-kampung
bersatu di dalam wilayah campuran atau daerah yang memiliki marga yang berbeda namun masih memiliki pertalian.
Setelah menjabarkan pengertian huta dalam masyarakat Batak serta peran penting raja huta, maka dapat disimpulkan huta memiliki kedudukan dan fungsi
penting bagi kehidupan masyarakat Batak. Bahkan, huta menjadi pondasi kepada sistem yang lebih tinggi, yakni horja dan bius, termasuk nantinya menjadi pondasi
30
Ibid., hl. 144.
Ompu i |54
dalam keberlangsungan dinasti Singamangaraja. Dan raja huta bertanggung jawab kepada horja dan bius. Hal ini terlihat dari umpasa yang menggambarkan dinasti
tersebut.
Huta do mula ni Horja Horja do mula ni Bius
Huta membentuk horja Horja membentuk bius
Horja
Horja merupakan federasi tingkat pertama yang merupakan kumpulan dari beberapa huta. Biasanya horja merupakan kelompok satu marga atau sekelompok
marga yang sama marga-raja dari beberapa huta walaupun tidak menutup kemungkinan terdapat marga lain yang berbeda dikarenakan adanyak kelompok-
kelompok pendatang baru dan juga kelompok marga lain yang leluhurnya memiliki peranan dalam membuka tanah atau huta.
31
Namun demikian horja sendiri pada intinya merupakan persekutuan kelompok-kelompok yang masih terikat dengan
hubungan kekerabatan marga atau Dalihan Na Tolu: hula-hula, dongan sabutuha maupun boru. Paling tidak adanya keterikatan antarhuta menjadi horja dikarenakan
adanya ikatan genealogis, adat, religi dan teritorial.
32
Hal inilah yang mendasari keberlangsungan dari adanya horja. Misalnya saja horja Bangkara yang merupakan
kumpulan dari huta Raja dan huta Siunongunong Julu dan huta Sionggang. Horja dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai karya atau kerja. Awalnya
perkumpulan ini sebagai suatu seremonial atau pesta atas persekutuan masyarakat kurban yang bersifat religi, namun lambat laun horja menjadi urusan sekuler yang
mangurus keamanan jika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok dari
31
Sitor Situmorang, Op. Cit, hl. 38.
32
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., hl.162
Ompu i |55
huta yang bukan semarga, peperangan, hak kepemilikan dan pengurusan tanah, dll. Sebagai relasi dari masing-masing huta maka horja dimaksudkan sebagai bentuk
kerjasama baik sesama marga maupun dengan marga boru marga suami dari perempuan yang berasal dari kampung tersebut. Biasanya bentuk kerjasama
tersebut berupa pengelolaan tanah golat. Dengan terikat akan relasi antarhuta, maka kepemimpinan horja dinamakan
sebagai Dewan Raja atau Raja Horja atau juga sering dikatakan sebagai Raja Junjungan. Mekanisme pengangkatannya dengan melibatkan dan memberikan hak
suara kepada setiap huta untuk mengusulkan calon raja yang kemudian dipilih secara demokrasi oleh masing-masing huta. Namun biasanya yang menjadi raja
horja adalah marga sipungka pembuka huta atau kampung.
33
Istilah raja di sini bersifat kolektif yang terdiri dari raja-raja si pembuka huta. Setelah terpilih maka
raja horja inilah yang kemudian memimpin setiap kegiatan horja didampingi beberapa orang dari golongan parbaringin kaum pendetaimam, walaupun ada
beberapa horja yang justru kedudukan raja merangkap juga kedudukan dan pekerjaan golongan parbaringin.
Menurut Ulber Silalahi ada dua fungsi penting dari horja, yakni: pertama, fungsi religi. Fungsi ini dapat diartikan sebagai suatu pesta atau ulaon marga. Jika
diaktualisasikan pada masa kini maka deskripsi yang paling jelas dalam menggambarkan horja adalah ritus pesta adat atau ulaon adat dari marga walaupun
secara esensi telah berbeda. Dalam fungsi ini maka horja melaksanakan ritus
33
Ibid., hl. 214.
Ompu i |56
pemujaan leluhur marga, namun pekerjaan ini haruslah direstui oleh Bius melalui permusyawarahan yang disebut sebagai tonggo raja. Dengan menggunakan tarian
tunggal panaluan tongkat sakti simbol marga maka dalam perayaan tersebut haruslah mengundang roh leluhur yang dinamakan horja santi, dan Datu semacam
Dukun berfungsi dalam pemanggilan roh tersebut. Selain ritus pemujaan leluhur maka horja dalam fungsinya sebagai religi juga melaksanakan pesta besar atau
horja rea yang dipimpin oleh parbaringin kelompok imam. Kedua, fungsi administrasi dan hukum. Fungsi ini menerapkan aturan di dalam horja sebagai suatu
harajaon atau kerajaan yang berlaku baik ke luar diluar wilayah horja ataupun ke dalam bagi anggotanya sendiri. Misalnya jikalau terjadi penggarapan tanah yang
bukan menjadi haknya atau pengambilan hasil ternak diluar hak wilayahnya golat yang dilakukan oleh orangkelompok diluar dari horja tersebut maka aturan dalam
horja akan menuntut hak korban. Jikalau kasus tersebut dilakukan oleh anggotanya maka akan dilakukan perdamaian yang dilakukan di partungkoan yang disebut
sebagai parriaan.
34
Setelah melihat fungsi horja dari urusan religi hingga kepada masalah sekuler maka dalam hubungannya dengan bius, horja menjadi kustituen dari bius
yang merupakan federasi yang lebih tinggi. Dalam konteks ini setiap horja memilih dan mengutus wakilnya untuk menjadi dewan pemerintahan sekuler bius, serta
mengutus wakilnya menjadi imam dalam kelompok parbaringin.
34
Ibid., hl. 165-166.
Ompu i |57
Bius
Pemerintahan bius merupakan pemerintahan konfederasi dari beberapa pemerintahan horja. Terbentunya bius biasanya dikarenakan adanya kedekatan
geografis, walaupun tidak menutup kemungkinan akan adanya faktor genealogis atau sesama marga dalam pembentukan bius. Namun yang menjadi hal esensial dari
kehadiran bius adalah adanya ikatan dari aspek religi. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar kegiatan bius merupakan kegiatan keagamaan. Bahkan bius juga
memiliki ritus-ritus tersendiri yang berbeda dari horja dan huta, atau dengan kata lain ritus tersebut hanya dapat diselenggarakan di tingkat bius, misalnya kegiatan
mangase taon perayaan tahun baru, maname perayaan musim tanam, dll. Ada juga kegiatan bius yang merupakan kegiatan sekuler namun tetap dinaungi secara
religi, misalnya pesta bius yang dipimpin oleh raja bius namun pelaksana ritus tetaplah kelompok parbaringin kelompok kaum imam. Dalam kegiatan tersebut
parbaringin memimpin seremonial dengan memberikan persembahan kurban kepada debata.
Sesuai dengan konsep Sianjurmulamula, yakni adanya 2 pustaha, pustaha laklak dan tumbaga, maka bius selalu mementingkan keseimbangan di dalam unsur
duniawi sekuler dengan religi. Dengan konsep tersebut, maka idealnya bius menjadi aparatus yang diisi oleh dewan bius atau biasa disebut raja bius dan
kelompok parbaringin imam atau pendeta. Dewan bius berisi enam anggota dan kepemimpinannya bersifat primus inter pares, di mana anggota tertua dari horja
menjadi pemimpinnya. Dewan bius inilah yang menjadi pengayom hukum secara sekuler, sedangkan kelompok parbaringin merupakan kumpulan para pendeta atau
Ompu i |58
kaum imam yang mewakili tiap horja. Walaupun kelompok parbaringin menjadi pendamping dewan bius namun kehadirannya tetaplah tunduk kepada aturan hukum
sekuler. Keduanya, dewan bius dan parbaringin, bekerja dengan sifat saling melengkapi. Biasanya yang menjadi raja bius adalah marga raja dari sipungka huta
atau pembukapendiri kampung. Menurut Sitor Situmorang, bius yang sesuai dengan Sianjurmulamula
memiliki konsep yang jelas; dari hukum sekuler yang menjadi adat bius hingga religiusitas memiliki pengaturannya. Dengan konsep ini Sitor Situmorang
menganggap bahwa konsep ini dapat menjadi perwujudan suatu bangsa, di mana bius yang memiliki fungsi otonomi tersendiri, adanya fungsi onan pasar serta
ditambah fungsi lembaga Singamangaraja menjadikan Toba sebagai state- tendency.
35
Adapun beberapa fungsi bius dan menjadi adat bius adalah mengatur, yakni:
36
1. Hukum pertanahan
2. Hukum relasi bertetangga
3. Hukum pengusaan tanah atau hukum golat
4. Hukum tali-air irigasi dan perairan sungai, danau
35
Sitor Situmorang, Op. Cit, hl. 19-20.
36
Ibid., hl. 12-13. Sitor Situmorang tidak memasukkan penyetujuan Onan sebagai tugas dari bius. Hal ini berbeda dengan Ulber Silalahi. Menurut Sitor, Onan bukan hanya sekedar dilihat
sebagi pasar atau jual beli belaka melainkan telah menjadi lembaga yang tingkatnya sudah diatas bius, walaupun hasil dari Onan merupakan pengesahan atas kerjasama antarbius. Lebih jauh ia
melihat bahwa Onan menjadi aspek tertib hukum yang kelembagaannya diresmikan oleh Singamangaraja atau Sorimangaraja sebelum adanya Singamangaraja. Bahkan Onan menjadi
pemersatu dari bius-bius. Bdk. Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 156-158.
Ompu i |59
5. Hukum sumber daya komunal hutan, padang rumput dll, dikuasai secara
kolektif oleh paguyuban. 6.
Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarapan atas sawah. 7.
Hukum yang mengatur hak pendiripemilik huta, dll. Walaupun secara aturan sangatlah jelas, namun kenyataan berkata lain. Bius
yang memiliki konsep ideal justru tidak terjadi di setiap bius yang ada. Hal ini berdampak kepada fungsi bius, yang berbeda dengan bius-bius lainnya. Salah satu
faktor yang menjadi penyebab adalah karena migrasi penduduk yang mengakibatkan pendirian bius tidaklah sesuai dengan konsep Sianjurmulamula.
Seperti yang dicatat oleh Sitor Situmorang bahwa terdapat 3 kategori konsep bius, yakni:
37
1. Bius berkembang. Bius yang termasuk dalam kategori ini berada di wilayah
pantai selatan danau Toba dan pulau Samosir. Konsep bius ini mengikuti konsep Sianjurmulamula, di mana konsep ini memiliki aparatus berupa
dewan bius dan golongan parbaringin kelompok para imampendeta. 2.
Bius sedang berkembang. Kategori ini mencakup wilayah Silindung, Humbang dan Pahal. Aparat dari bius ini tidaklah selengkap dari bius
berkembang atau sebagaimana model Sianjurmulamula. Konsep ini tidak memiliki golongan parbaringin yang ideal, sehingga setiap kegiatan pesta
bius, pemimpin sekuler atau dewan bius melaksanakan tugas yang seharusnya diemban oleh golongan parbaringin.
37
Ibid., hl. 31-32.
Ompu i |60
3. Bius terbelakang. Bius-bius yang berada dalam kategori ini yakni wilayah
pinggiran Toba. Bius dalam kategori ini sudah sangat berbeda dari konsep Sianjurmulamula. Bahkan kepemimpinan bius bukan lagi bersifat kolektif
melainkan perorangan. Adanya perbedaan bius-bius ini mengindikasikan arus migrasi masyarakat
Batak yang menyeluruh ke wilayah pinggiran Toba. Ypes, salah seorang mantan residen Tapanuli, mencatat dan mendokumentasikan bahwa jumlah bius yang
tersebar di Toba adalah sebanyak 86 bius yang terdiri dari: 4 bius di wilayah Silindung, 19 bius di Humbang, 40 bius di Toba Hobung dan 23 bius di wilayah
Samosir.
38
Bius bagi masyarakat Batak memiliki peranan penting dalam kehidupan bersama di Toba. Seperti layaknya sebuah sistem organisasi, maka bius menjadi
media atau sarana dalam menghubungkan setiap wilayah-wilayah di Toba lihat skema. Bahkan nantinya sistem bius ini dimanfaatkan kolonialisme Belanda dalam
upaya memecah belah.
38
Data dari Ypes ini berbeda dengan data dari Sitor Situmorang. Menurut Sitor Situmorang terdapat 150 bius pada abad ke-19. Perbedaan ini menurutnya, data statistik yang digunakan Belanda
adalah data bius lama yang merupakan hasil penggabungan dari bius-bius kecil. Bahkan data tersebut menjadi samar ketika Belanda mengubah sistem bius dengan istilah negeri sebagai unit
pemerintahan terbawah Belanda, di mana Kepala Negeri awalnya digelari sebagai Jaihutan yang berarti dipatuhidiikuti menjadi pemimpin bius tersebut lih. Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 17-18.
Ompu i |61
Skema Bius
3. Sistem Pemerintahan dan Kelompok Parbaringin
Dua pustaha, laklak dan tumbaga, di dalam konsep Sianjurmulamula menjadikan Toba memiliki tata kelola pemerintahannya sendiri. Konsep ini
bermula kala dinasti Raja Sorimangaraja membuka dan menerapkan kedua pustaha tersebut, sehingga menjadikannya kerajaan termasyur dalam masyarakat Batak
Toba yang pada waktu itu berpusat di Baligeraja. Dari dinasti Sorimangaraja inilah nantinya kemudian menjadi dinasti Raja Singamangaraja. Seperti yang sudah
dikatakan di atas mengenai 3 struktur tata kelola pemerintahan, yakni bius, horja dan huta, maka di setiap struktur tersebut di isi oleh jabatan-jabatan yang dibagi
berdasarkan tugasnya, termasuk dalam hal ini kelompok parbaringin yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mendampingi jabatan-jabatan sekuler.
Aparatus dan Dewan Raja
Sesuai dengan konsep Sianjurmulamula dalam dinasti Sorimangaraja terdapat jabatan-jabatan yang melingkupi ketiga struktur pemerintahan, yakni
pertama, di tingkat bius atau yang sering dikatakan sebagai Raja Junjungan, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |62
diisi dengan jabatan Pande Bolon, Pande Raja, Pande Mulia, Pande Namora sering juga dikatakan raja naopat karena terdiri 4 jabatan. Keempat ini ini menjadi
junjungan marga atau yang paling dihormati di marga-marga yang ada di Bius tersebut. Tugas utama dalam keempat jabatan ini adalah ritus partondion rohani
atau yang berhubungan dengan tuhan Debata. Kedua, di tingkat horja. Jabatan atau aparat di tingkat horja mempunyai fungsi sebagai Wakil Raja Junjungan.
Jabatan tersebut masing-masing adalah Raja Saning Naga sebagai orang kedua paidua atau wakil dari Raja Pande Bolon
39
, Raja Parsinabul atau Hinalang sebagai wakil dari Pande Raja, Raja Parsirambe atau Patuatgaja sebagai wakil
dari Pande Mulia dan terakhir Raja Mamburbuang atau Raja Parjuguk sebagai wakil dari Pande Namora. Tugas wakil junjungan ini merupakan tugas horja serta
menjadi wakil dari Raja Junjungan ditingkat bius dalam urusan kerohanian. Ketiga adalah di tingkat huta yang memiliki 4 jabatan. Raja-raja di tingkat huta inilah
yang menjadi pelaksana karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Raja-raja di tingkat huta adalah Undotsolu atau Raja Laut, Panguluraja atau Ulu Porang,
Pande Aek atau Parhauma-Pangulaon dan Panguludalu atau Parpinahanon.
40
Namun struktur birokrasi dari Dinasti Sorimangaraja ini sedikit berbeda dengan Dinasti Singamangaraja. Pada masa Dinasti Singamangaraja, maka sistem
pemerintahannya lebih teorganisir berdasarkan fungsi teritorialnya dan juga pembagian tugas yang lebih fungsional. Artinya, secara fungsi, pendefinisian akan
39
Menurut Sitor Situmorang pada era Raja Singamangaraja, Pande Bolon adalah jabatan ahli utama yang merupakan ketua kelompok Parbaringin yang juga mengurus ritual-ritual. lih.
Ibid., hl. 201.
40
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., 201-202.
Ompu i |63
sebuah lembaga atau departemen lebih spesifik dibanding Dinasti Sorimangaraja. Misalnya, fungsi adat, sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan, peradilan,
keuangan dan religi. Itulah sebabnya di dalam struktur pada masa Dinasti Singamangaraja, aparatur yang menggerakkan roda kerajaan berjalan dan lebih
permanen. Menurut Ulber Silalahi pembagian fungsional tersebut berupa: Pande Bolon
yang mengurus adat, Raja Ulu Taon yang mengurus ekonomi pertanian dan perdagangan, Raja Ulu Balang yang mengurus pertahanan dan keamanan, Raja
Toguan mengurus peradilan, Raja Ulu Dalu atau Raja Namora mengurusi keuangan, dan kelompok Parbaringin menjadi urusan religi.
41
Kelompok Parbaringin
Selain dari jabatan-jabatan yang menduduki 3 struktur federasi tersebut, terdapat juga kelompok Parbaringin yang tugas utamanya mengurus atau membantu
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan religi berdasarkan kalender Batak, walaupun terkadang turut bekerja di urusan sekuler. Kelompok ini memiliki sebutan-sebutan,
yakni malim yang tugasnya menjadi parhalado petugas dalam kegiatan atau ritus partondion rohani, Paniroi yang memberikan nasehat untuk penyelenggaraan
kegiatan sekuler, dan Sijujur ari yang tugasnya memberikan kekebalan di dalam berperang, serta menentukan hari baik atau keberuntungan.
42
Dewan Raja dan kelompok Parbaringin menjadi kekuatan dalam membangun dan mempersatukan
dinasti Sorimangaraja, termasuk juga nantinya Dinasti Singamangaraja. Walaupun
41
Ibid., hl. 272-273.
42
Ibid., hl. 234.
Ompu i |64
tidak semua bius dilengkapi dengan jabatan-jabatan tersebut namun secara struktur dan budaya membuat Dinasti Sorimangaraja memiliki pengaruh yang signifikan di
wilayah Toba. Dalam struktur tersebut kelompok Parbaringin diketuai oleh Pande Bolon. Pande Bolon jugalah yang menjadi pengganti atau mewakili
Singamangaraja di Bius Bangkara ketika Singamangaraja tidak ada di tempat. Menurut Sitor Situmorang, kelompok Parbaringin merupakan kelompok
yang berasal dari kelompok Guru Tateabulan yang mewarisi pustaha laklak berisi pedoman kerohanian, kebatinan dan hadatuhon ilmu pengobatan.
43
Kelompok ini sangat permanen yang jabatannya bersifat turun temurun. Lebih jauh, Sitor
Situmorang melihat bahwa kelompok parbaringin inilah yang menjadi pondasi dan pemersatu dari masyarakat Toba, walaupun terkadang memiliki kendala atau
konflik sesama kelompok Parbaringin akibat mempertahankan wilayah bius.
44
Namun di dalam perkembangannya kelompok ini selalu aktif dalam mendukung Raja Singamangaraja XII, dan konsisten dalam melawan kolonialisme, bahkan
sesudah tewasnya Raja Singamangaraja XII pada 1907 kelompok ini masih aktif dalam mempersatukan masyarakat Batak Toba. Hal inilah yang membuat
pemerintahan kolonial Belanda berusaha untuk menghapus kelompok tersebut dengan melarang setiap kegiatan pesta bius, walaupun gelombang pengaruh
Parbaringin tidak dapat terbendung dengan lahirnya Parmalim, Parhudamdam, serta gerekan Si Raja Batak.
43
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 26.
44
Ibid., hl. 97.
Ompu i |65
Saya melihat bahwa dengan adanya kelompok Parbaringinlah maka kesatuan dari masa lalu di dalam lembaga kerajaan dapat tercipta. Mereka jugalah
yang mempersiapkan kedatangan Singamangaraja. Maka dari itu kelompok inilah yang juga selalu mendorong akan adanya ompu raja sebagai pemersatu di tengah-
tengah masyarakat Batak Toba. Struktur Birokrasi Harajaon Dinasti Singamangaraja
4. Dinasti Singamangaraja Mitos Raja Bona Ni Onan dan kisah kesaktian
Keberlanjutan kejayaan dinasti di dalam masyarakat Batak Toba semakin besar pasca munculnya dinasti Raja Singamangaraja. Walaupun kebesaran dan
Ompu i |66
kejayaan Dinasti Singamangaraja masih menimbulkan pro-kontra, namun beberapa sumber mengatakan bahwa dinasti Raja Singamangaraja masih cukup disegani di
wilayah Toba, bahkan hingga di luar wilayah Toba, misalnya di daerah Deli dan Langkat yang di dalam naskahnya,
“Riwayat Hamparan Perak”, mengakui kekuasaan Singamangaraja. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kekuasaan
Singamangaraja hingga ke wilayah kesultanan Siak. Hal ini terbukti dengan adanya peta lama yang menggambarkan kekuasaan Singamangaraja, walaupun peta
tersebut belum tentu menggambarkan realitas aslinya.
45
Namun yang pasti kejayaan Raja Singamangaraja telah tersiar ke seluruh wilayah penjuru di Toba dan
sekitarnya. Bagi masyarakat Batak Toba, kehadiran dan kejayaan dinasti
Singamangaraja bukanlah melalui penaklukan atas wilayah-wilayah di Toba, tetapi sebagai bentuk keyakinan atas kelanjutan dari dinasti Sorimangaraja 1395-1425.
Peristiwanya adalah pasca dinasti Sorimangaraja maka terjadi pergolakan sosial, politik, ekonomi, agama dan kebudayaan di dalam masyarakat Toba. Hal ini akibat
dari ekspansi para kerajaan yang berasal dari luar wilayah Toba, misalnya Aceh, Sriwijaya, Majapahit dan juga dari negara asing Portugis. Pasca Sorimangaraja,
maka dinasti memiliki kepemimpinan yang dapat mempersatukan. Bahkan pengganti Sorimangaraja, yakni Sibagot Ni Pohan yang merupakan anak sulungnya
tidak cukup mumpuni dalam mempersatukan bius-bius yang ada. Kekuasaannya hanya terasa di Baligeraja dalam bius Patane Bale Onan Balige. Alih-alih
mempersatukan, justru terjadi perselisihan antarbius, bahkan hingga merambat
45
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op.Cit., hl. 70.
Ompu i |67
kepada marga-marga. Dengan situasi tersebut maka para raja bius sepakat untuk melakukan horja bius akhir abad ke-
15 dengan mengucapkan “tonggo-tonggo Bius Sianjurmulana” sebagai bentuk permohonan doa kepada Debata Mula Jadi
Na Bolon agar mengaruniakan seorang pemimpin besar Maharaja seperti layaknya Sorimangaraja di saat memimpin Toba-tua.
46
Kelompok Parbaringin sangat berperan besar terhadap munculnya pengharapan ini sebagai suatu
komunitas kolektif religious. Doa para raja bius pun dikabulkan dengan lahirnya Raja Manghuntal, anak dari Raja Bona Ni Onan Sinambela dengan pasangannya
boru Pasaribu di Bangkara-Toba. Peristiwa kelahiran Raja Manghuntal ini dilukiskan dengan umpasa, sbb:
Marbunga ma jarugi, sajongkal dua jari. Muba ma ugari sian bongka siapari
Tubu ma sada raja tinongos ni Mulajadi Raja Nahasaktian na uja manotari.
Lahirlah Raja yang diberikan oleh Pencipta Mulajadi
Raja yang sakti yang mengikat
Pun demikian mengenai kesaktian Raja Manghuntal sendiri, sehingga dapat diyakini sebagai kelanjutan dinasti Sorimangaraja, digambarkan di dalam mitos
yang diceritakan secara turun temurun, yakni dalam mitos Raja Bona Ni Onan. Dalam mitos tersebut dikisahkan bahwa Raja Bona Ni Onan didatangi oleh roh dan
menjelaskan menjelaskan bahwa bayi dalam kandungan isterinya adalah titisan roh Batara Guru
47
dan kelak akan menjadi raja yang bergelar Singamangaraja. Janji itupun terealisasi dengan mengandungnya istri Raja Bona Ni Onan, yaitu boru
Pasaribu yang merasa bahwa cahaya telah memasuki tubuhnya. Setelah
46
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 250.
47
Di dalam keyakinan tradisional masyarakat Batak, Batara Guru termasuk yang pertama dan terutama dalam Debata Na Tolu Dewata Trimurti yang diciptakan oleh Debata Mulajadi Na
Bolon. Lih. Dr. Anicetus B. SInaga, Op. Cit., hl. 319.
Ompu i |68
mengandung, maka lahirlah Raja Manguntal yang artinya gemuruh karena pada waktu melahirkan diiringi dengan suara gemuruh gempa. Dalam mitos tersebut juga
diceritakan bagaimana Raja Manghuntal berkomunikasi dengan Raja Uti manusia khayangan untuk melihat kelayakan Manghuntal sebagai seorang raja.
48
Setelah dianggap layak maka Raja Manghuntal menjadi Raja Singamangaraja yang
dilegitimasi oleh para raja bius. Secara berurutan Dinasti Sisingamangaraja telah memiliki 12 raja yang semuanya, sbb:
Singamangaraja I Raja Manghuntal
1540-1550 Singamangaraja II
Raja Tinaruan, gelar Raja Manjolong
1550-1595 Singamangaraja III
Raja Itubungna 1595-1627
Singamangaraja IV Tuan Sorimangaraja
1627-1667 Singamangaraja V
Raja Pallongos 1667-1730
Singamangaraja VI Raja Pangulbuk
1730-1751 Singamangaraja VII
Ompu Tuan Lombut 1751-1771
Singamangaraja VIII Ompu Sohalompoan gelar
Datu Muara Labu 1771-1788
Singamangaraja IX Ompu Sotaronggal gelar Raja
Manubung Langit 1788-1819
Singamangaraja X Ompu Tuan Na Bolon gelar
Aman Julangga 1819-1841
Singamangaraja XI Ompu Sohahuaon gelar Raja
Pansom 1841-1871
Singamangaraja XII Ompu Pulo Batu gelar Raja
Patuan Bosar 1871-1907
Selain dari mitos kesaktian Raja Bona Ni Onan maka kesaktian Singamangaraja juga diukur dan diperlihatkan dengan sebuah legitimasi tanda,
yakni dengan mencabut pedang piso gajah dompak dari sarungnya. Konon, piso
48
Diambil dari http:www.kompasiana.comitnaibaho.blogspot.comsisingamangaraja-
xii-bagian-i-antara-silsilah-dan-mitos_5518cf3f81331140719de0ed . Diakses pada 18 Maret 2016
pukul 22.25 WIB.
Ompu i |69
yang menyerupai keris dan memiliki gagang berbentuk gajah ini mempunyai kekuatan magis dan menjadi tanda kebesaran dari Singamangaraja. Piso ini bisa
diangkat oleh orang-orang tertentu yang merupakan keturunan dari Singamangaraja. Namun peristiwa kesaktian dari Piso Gajah Dompak ini berakhir
hingga di Singamangaraja XI setelah diambil oleh pihak kolonialis.
49
Dari mitos-mitos mengenai kesaktian Singamangaraja, sebenarnya masih banyak lagi kisah-kisah yang menggambarkan kesaktian dari Singamangaraja yang
belum terungkap dan hanya sebatas tradisi oral bersifat turun temurun. Namun paling tidak kisah-kisah tersebut ingin menggambarkan bahwa sosok
Singamangaraja memiliki kesaktian dan menjadi keyakinan bersama bagi masyarakat Batak tradisional.
Bius Bangkara dan Kedaulatan Dinasti Singamangaraja
Di dalam pemerintahannya, Raja Singamangaraja tampil menjadi pemimpin yang memberikan dampak bagi kesatuan para raja-raja bius. Tentunya, hal ini
didukung dari posisi kedudukannya. Menurut Dr. Ulber Silalahi, sistem pemerintahan kerajaan tradisional Batak yang bersifat konfederasi-teritorial
memberikan keuntungan kepada Singamangaraja dalam Paling tidak sebelum terjadinya perang Paderi atau sebelum Singamangaraja X 1819, bius-bius yang
ada di tanah Batak dapat dikatakan memiliki persatuan dan perdamaian. Melalui sistem lembaga, Raja Singamangaraja dapat mengatur dan memberikan
pengaruhnya bagi masing-masing bius, walaupun secara teritorial Raja
49
Muhammad Said, Singa Mangaradja XII Medan: Waspada, 1961, hl. 3-4.
Ompu i |70
Singamangaraja tidak mencampuri dan mengambil kedaulatan atas bius, beserta Horja dan Huta. Artinya, sistem konfederasi sangat menghargai birokrasi
wilayahnya Bius atau bersifat otonom, namun demikian hal-hal yang tidak dapat diselesaikan oleh bius, atau tersangkut paut dengan bius-bius yang ada lintas bius,
maka Singamangaraja memiliki peran yang signifikan. Seperti misalnya dalam hal ini ialah Onan pasar pekan. Onan menjadi urusan Singamangaraja ketika sudah
berkaitan dengan wilayah seluruh Toba dan juga diluar wilayah Toba. Salah satu contoh onan yang menjadi tanggung jawab Singamangaraja adalah adalah onan di
Limbong. Menurut Sitor Situmorang, Onan menjadi penting bagi perkembangan masyarakat Batak bukan hanya dikarenakan sebagai lalu lintas ekonomi, tetapi juga
memiliki hukum yang terlihat dari adanya norma-norma, yakni: Pertama, pantang melakukan tagihan piutang pada hari pasar. Hutang piutang harus diselesaikan di
luar hari pasar. Kedua, Onan juga berfungsi untuk memperoleh perlindungan suaka. Ketiga, Onan sebagai pusat lalu lintas sosial antarwilayah, sehingga
dimanfaatkan sebagai tempat bersosialisasi.
50
Selain Onan peran Singamangaraja juga terlihat di bidang pertanian, ekonomi, religi, dsb.
Sistem konfederasi membatasi keterlibatan Singamangaraja kepada bius- bius. Tugas Singamangaraja hanya pada hal-hal yang signifikan. Namun,
keterbatasan ini tidak terjadi dengan Bius Bangkara
51
yang sebagai kedudukan dari
50
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 157.
51
Bius Bangkara memiliki 6 horja yang masing-masing dipimpin oleh marga Bangkara, Sinambela, Sihite, Manullang, Marbun dan Purba. Keenam marga ini diangkat menjadi perwakilan
dan sebagai anggota kabinet di harajaon Bangkara, dan mereka diberikan simbol kerajaan berupa barang pusaka kerajaan. Lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 258. Bahkan, menurut Cucu dari
Singamangaraja XII, Raja Napatar, kuasa dari 6 marga tersebut sangatlah besar, yakni termasuk menyepakati terpilihnya Raja Singamangaraja. Lih.
https:tobadreams.wordpress.com2008 1221wawancara-dengan-cucu-tertua-sisingamangaraja-xii
. Diakses pada 4 september 2016.
Ompu i |71
teritori Singamangaraja memiliki kedaulatan dan kemandiriannya yang lebih dari bius-bius lainnya. Menurut Sitor Situmorang, perbedaan tersebut adalah karena
adanya kedudukan Singamangaraja yang mempengaruhi dua bidang, yakni: pertama, bidang simbolis sebagai bentuk penghormatan atas kehadiran
Singamangaraja yang ditandai dengan penanaman enam batang beringin sebagai tempat keramat paguyuban. Dan kedua dalam bidang pelaksanaan upacara dalam
hal religi yang berkaitan dengan kedirian Singamangaraja sebagai dewaraja. Hal ini menjadikan Bius Bangkara menjadi tempat ziarah dan kiblat dalam doa-doa yang
dilakukan oleh kelompok Parbaringin.
52
Di dalam sistem konfederasi , maka diperlukan “kerelaan” akan bius-bius
untuk masuk menjadi bagian konfederasi. Kehadiran Dinasti Singamangaraja memberikan keuntungan bagi para bius. Paling tidak keuntungan tersebut
didapatkan dalam bidang ekonomi, sosial, pertanian, dsb. Catatan-catatan mengenai adanya penyelesaian konflik antarbius ataupun antarhuta, penghapusan perbudakan
seringkali melekat kepada kebijakan Singamangaraja. Bahkan, bius-bius yang sudah termasuk dalam konfederasi Singamangaraja sangat meyakini akan
supremasi Singamangaraja dalam memecahkan masalah sosial dengan meberikan solusi. Biasanya penyelesaian masalah tersebut berada di dalam kegiatan pesta bius,
yang merupakan ajang kegiatan religius dan sekaligus sarana perjumpaan masyarakat dalam memupuk persatuan di masyarakat Batak. Saya tidak menampik
juga bahwa tidak semua bius rela mengikuti Singamangaraja. Terlebih pasca perang
52
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 203.
Ompu i |72
Paderi, serta adanya pengaruh kolonialisme, misal pelarangan pesta bius, yang menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan kepada Singamangaraja.
53
D. Raja Singamangaraja dan Sahala Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam masyarakat Batak, khususnya Toba sangatlah berbeda dengan kepemimpinan sekuler selayaknya di pemerintahan, perusahaan,
dsb. Demikian halnya dengan Singamangaraja yang ketika berbicara tentang kepemimpinannya maka ia tidak hanya tampil sebagai pemimpin sekuler,
melainkan juga rohani. Maka dari itu dalam suatu rasionalisasi akan sebuah jabatan kepemimpinan, ia tidak dapat didefinisikan menurut fungsi dan tujuannya. Itu
artinya kepemimpinannya tidak serta merta terikat di dalam suatu birokrasi, melainkan memiliki kharisma yang mempengaruhi pengikutnya.
Istilah kharisma jika dirujuk kepada Max Weber maka kepemimpinan kharismatik merupakan kuasa yang sangat besar yang menunjuk kepada pribadi
seseorang. Pendapat Weber ini tidak mengarahkan kepemimpinan kepada kategori sebuah tujuan yang bermuara kepada baik ataupun buruk. Namun bagaimana
sebuah hubungan pemimpin dan pengikut saling mempengaruhi. Ia juga berpendapat bahwa kepemimpinan kharismatik tidak melekat kepada struktur
birokrasi. Pandangannya ini ia landaskan kepada penggabungan antara sesuatu yang
53
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 429.
Ompu i |73
tradisional dengan yang rasional, sehingga kharisma berhubungan dengan komunitas dan dengan mistis.
54
Pandangan Weber ini menggambarkan fenomena atas kharisma yang tentunya pandangannya berangkat perspektif sosiologi dan psikologi sebagai latar
belakang pendidikannya. Namun mengenai pandangan tentang kuasa dan personal Weber tidak melihatnya secara menyeluruh dan kebelakang. Seolah-olah adanya
fenomena yang melampaui birokrasi dan memiliki pengaruh kepada pengikut disebut sebagai sesuatu yang berkharisma. Pembagian antara yang rasional dan
tradisional justru yang menimbulkan kerancuan dalam memandang kekuasaan.
55
Dalam pandangan
masyarakat Batak
baca: tradisional,
Raja Singamangaraja dianggap memiliki sahala harajaon. Istilah sahala sering sekali
diartikan sebagai kharisma atau wibawa. Memang dalam kamus Batak J. Warneck, istilah sahala berarti memiliki kemuliaan, hikmat, kharisma. Namun menurut Sitor
Situmorang, dan saya pun sepakat dengannya, bahwa istilah sahala sangat berbeda dengan arti yang sebenarnya. Pergeseran ini ditandai dengan adanya
pengrasionalisasian atas perbendaharaan kata di dalam bahasa dan budaya Batak sehingga pengartian dari suatu istilah hanya berdasarkan kepada fenomena
sosialnya, selayaknya Weber mendefinisikannya.
54
George P. Hansen, The Trickster and the Paranormal Philadelphia: Xlibris, 2001, hl. 103-104.
55
Dalam hal ini saya sepakat dengan Ben Anderson yang melihat kuasa tradisional dan rasional dengan melihat kesamaan-kesamaannya, tanpa berusaha untuk membaginya. Menurut Ben
adanya Kuasa justru akan melekatkan dirinya pada kepemimpinannya, bukan menyerahkan dirinya seperti dalam kekuasaan yang rasional, Lih. Benedict R. O’G. Anderson, Kuasa Kata: Jelajah
Budaya Politik di Indonesia Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000, hl. 162-163.
Ompu i |74
Memang di dalam fenomenanya, sahala dapat mempengaruhi pengikut, namun makna sahala tidak dapat dilepaskan realitas pemakaian yang
mengikutinya, yakni sahala yang disandang oleh Singamangaraja bukanlah hasil upaya manusia, melainkan sebagai karunia dari Mula Jadi Na Bolon. Hal ini juga
seperti yang dikatakan Anicetus B. Sinaga seperti yang dikutip Ulber Silalahi: “Mulajadi Na Bolon telah menganugerahkan karunia keadilan dan kerajaan
kepada Sisingamangaraja, yakni “Singa hakikat hukum, hakikat kerajaan, hakikat sabda. Padanyalah satuan ukuran, hakikat kerajaan, ketentuan satuan
segala ukuran, bajak pembelah tali keadilan sempurna, hakikat satuan ukuran isi dan inti serta satuan timbangan. Yang berlebihan disisihkan, dan yang kurang
digenapi ”
56
Dengan pandangan ini maka sahala adalah sesuatu yang diberikan give yang pada saat tertentu tidak terikat kepada individu atau personal.
Sitor Situmorang menggambarkan sahala lebih spesifik dari sebelumnya. Menurutnya sahala
berarti “daya kesaktian yang diperoleh lewat wahyu untuk menjadi raja. Sahala yang melekat pada Singamangaraja adalah sahala yang
sempurna dan berbeda pengertiannya dari sahala biasa. Sahala yang melekat pada Singamangaraja adalah satu-satunya, tak ada duanya ataupun tandingannya,
membawahi segala bentuk sahala lain.” Ia pun menyimpulkan: “Dalam paham itu, Singamangaraja adalah penjelmaan sahala, bukan manusia biasa. Roh berwujud
manusia , inkarnasi Batara Guru alias Dewa”.
57
56
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 253.
57
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 62.
Ompu i |75
Pandangan Sitor Situmorang ini dalam menggambarkan sahala sesuai dengan realitas keyakinan masyarakat Batak Toba tradsional. Artinya,
Singamangaraja menjadi raja dan diterima oleh masyarakat Batak Toba tradisional atas keyakinannya kepada Singamangaraja sebagai inkarnasi Batara Guru. Bahkan,
ia menjadi sumber sahala bagi siapapun yang layak ia pilih. Batara Sangti juga menyimpulkan
hal serupa
bahwa Singamangaraja
merupakan suatu
“perhinggapan” dari Debata Mula Jadi Na Bolon, sehingga dengan sahalanya ini, ia menjadi “penjaga ladang yang tak memakai panah atau gembala yang tak
memakai cambuk” bagi para pengikutnya.
58
Fenomena dari keyakinan ini adalah sebagai bentuk pengujian atas kesaktian dari seseorang untuk menjadi Raja
Singamangaraja, baik berupa ritus mencabut piso gajah dompak, mendatangkan hujan, menghilangkan wabah penyakit, dsb.
59
Dalam bentuk realitas-sekuler, kemunculan raja dipandang untuk mengatasi masalah sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat Batak Toba. Namun
fenomena ini bukanlah sesuatu yang pragmatis sebagai suatu kemunculan raja. Munculnya Dinasti Singamangaraja tetap memandang adanya sahala sebagai
sesuatu yang mistis sedangkan birokrasi atau struktur adalah pancaran dari sahala
58
Ucapan Batara Sangti ini sesuai dengan tonggo-tonggo doa dari kelompok Parbaringin yang menghendaki adanya pemimpin di dalam masyarakat Batak Toba Tradisional:
“Ya Debata Mula Jadi Nabolon Engkau yang menjadikan Tuan Singa Mangaraja, Singa melampauiSinga yang
tidak dapat di lampaui di Bangkara. Perhinggapan dari pada Batara Guru. Ya Allah Engkau telah memanggil kesisiMu Tuan Singa Mangaraja tunjukkanlah kiranya kepada kami, siapa yang menjadi
tempat perhinggapanMu, agar supaya kami jangan kiranya seperti kerbau liar yang tidak
mempunyai gembala.” Lih. Batara Sangti, Sejarah Batak Balige: Karl Sianipar, 1977, hl. 331.
59
Pada saat pengangkatan Raja Singamangaraja XII terlebih dahulu ditunjuk oleh masyarakat adalah Raja Parlopuk namun dikarenakan Raja Parlopuk tidak dapat memenuhi syarat-
syarat kesaktian maka Raja Singamangaraja jatuh ke tangan Raja Patuan Bosar. Lih. https:tobadreams.wordpress.com20081221wawancara-dengan-cucu-tertua-sisingamangaraja-
xii
Di akses pada 4 september 2016.
Ompu i |76
ini. Dengan pandangan ini maka sahala mengesahkan kewibawaan raja, sehingga raja-raja bius, horja dan huta melekat
kepada Singamangaraja. Tak dapat dipungkiri bahwa salah satu yang menjadi masalah dalam masyarakat Batak Toba
adalah seringnya terjadi konflik wilayah, baik huta ataupun bius, sehingga keyakinan kepada raja adalah untuk mengatasi konflik sebagai suatu harapan sosial
yang bersifat kolektif. Dengan kehadirannya, maka mediasi, solusi akan hadir tengah-tengah masyarakat. Namun harapan tersebut akan sirna seturut dengan
hilangnya kepercayaan kepada raja dengan memandang tidak adanya sahala di dalam diri seseorang.
Dengan pandangan ini, saya tidak sepakat dengan beberapa pandangan Ulber Silalahi. Pertama, pandangannya mengenai pemisahan antara sahala dengan
kepemimpinan kharismatik yang menyatakan munculnya kharisma melalui sahala.
60
Pandangannya ini muncul untuk membedakan persona atau pribadi sebagai suatu karakterisik dengan manifestasi roh sahala. Dalam pandangan ini,
Silalahi justru terjebak di dalam kerancuan dan ambiguitas dualisme pandangan akibat menafsir dari fenomenologi yang dibangunnya. Bagi saya, sahala adalah
kharisma itu sendiri, di mana masyarakat Batak Toba tradisional hanya meyakini kesaktian yang ada di personal sebagai inkarnasi dari Batara Guru, tanpa
memandang personal karakter. Artinya, sahala adalah roh tondi yang menjadi manusia yang juga akan menentukan karakter personal. Kedua, pandangannya
mengenai kekuasaan tradisional dengan rasional, di mana yang tradisional
60
Lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 505.