Ompu i |36
dihadapan masyarakat, baik dalam bentuk posisi silsilah, jabatan baca: raja dan otoritas. Maka dari itu, ketika ketiga definisi ini dikaitkan dengan Nommensen,
yang merujuk kepada Ephorus HKBP, pertanyaan mendasar adalah dimanakah posisi gelar Ompu i Nommensen tersebut, mengingat latar belakang Nommensen
yang merupakan seorang non-pribumi, namun dapat diberikan gelar Ompu i oleh masyarakat Batak baca: pengikut? Pertanyaan ini akan membuka posisi penting
atau kedudukan Nommensen dalam bentuk relasi kuasa. Dalam fenomena pemakaian gelar Ompu i, Nommensen sering dikaitkan
atau disandingkan dengan Raja Singamangaraja. Hal ini terlihat dari beberapa ahli sejarah yang mengaitkan kedua orang tersebut, misal salah satunya Van den End
yang mengungkapkan bahwa dengan pemakaian gelar tersebut maka Nommensen sendiri dapat disandingkan dengan Raja Singamangaraja.
10
Sedikit berbeda dengan Van den End, menurut PTD Sihombing dalam bukunya Tuan Manullang 2008,
gelar Ompu i yang ada di Nommensen merupakan gelar yang dialihkan dari Raja Singamangaraja XII sepeninggalan dirinya. Gelar kehormatan ini dialihkan atas
kebaikan dan kelembutan hati Nommensen oleh pengikutnya.
11
Lain halnya dengan pengakuan Ds. K. Sitompul yang merupakan seorang Pendeta HKBP seperti yang
dicatat oleh Bonar Sidjabat, gelar Ompu i yang digunakan oleh Nommensen memanglah dahulu digunakan oleh Singamangaraja. Dan catatan tersebut
melepaskan unsur religius dari gelar tersebut dengan hanya melihat secara sosial-
10
Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, hl. 186
11
Dr. PTD Sihombing, Tuan Manullang Humbang: Albert-Orem Ministry, 2008, hl. 352.
Ompu i |37
politik mengenai peran Singamangaraja sebagai pendamai bagi masyarakat Batak. Yang menarik kemudian dalam catatan tersebut ada semacam klaim atas
kesengajaan yang dilakukan oleh para misionaris Jerman yang secara sadar menggunakan gelar tersebut untuk mempengaruhi agar tidak lagi mengikuti
Singamangaraja XII.
12
Namun terlepas dari banyaknya interpretasi mengenai asal muasal gelar Ompu i tersebut; baik itu berupa klaim sepihak dari para misionaris atau pemberian
dari pengikut; saya melihat dari pemikiran Foucault yang menyatakan bahwa kekuasaan itu menyebar atau bersifat desentralisasi, maka munculnya gelar Ompu
i Nommensen merupakan tak lepas suatu konstruk atau reproduksi wacana yang mempengaruhi pengikut baca: masyarakat Batak dalam bentuk dominasi
kekuasaan tentang sosok seorang pemimpin atau dalam wacana kepemimpinan, sehingga memunculkan pengetahuan mengenai wacana kepemimpinan Ompu i
Nommensen. Hal inilah kemudian muncul fenomena dalam kehidupan masyarakat Batak hingga sekarang bahwa kedua tokoh ini selalu disandingkan bersama,
misalnya saja TB Simatupang, seorang mantan purnawirawan TNI Tentara Republik Indonesia yang juga sebagai kaum intelektual dalam isu Gereja, dan
budaya Batak, menyatakan bahwa masyarakat Batak berada di dalam dua Ompu i, yakni Singamangaraja dan Nommensen.
13
Bahkan penyandingan ini justru
12
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 431.
13
Panda Nababan, dkk eds, Selagi Hari Siang: Tugas Mendesak untuk Segenap Warga Jemaat Huria Kristen Batak Protestan; Notulen Seminar Sehari HKBP Memasuki Era
Industrialisasi Jakarta: Yayasan Sinar Mampang, 1988, hl. 36. Hal yang sama juga saya dapatkan ketika melakukan wawancara dengan Wilson Lumbanraja, salah seorang penganut Ugamo Malim,
yang mengatakan: “Ompu i yang mana, Singamangaraja atau Nommensen?”. Wawancara dengan Wilson Lumbanraja pada 30 April 2016.
Ompu i |38
menimbulkan polemik bagi masyarakat Kristen Batak antara identitas kesukuan dengan keyakinan agamanya.
14
Tak heran bahwa kemudian hari muncul tokoh- tokoh intelektual yang berusaha mendamaikan kedua sosok tersebut melalui
penelitian sejarahnya, walaupun tak menutup kemungkinan hal-hal yang kontroversi turut muncul dalam bentuk pertentangan kedua tokoh tersebut yang
memang dalam realitas sejarahnya kedua tokoh tersebut pernah berjumpa. Terlepas adanya polemik tersebut, namun yang pasti, kaitan antara wacana Ompu i
Nommensen dengan Singamangaraja menjadi wacana umum yang berkembang di tengah masyarakat Batak, terlebih Toba.
Ketika terdapat penyandingan antara kedua tokoh tersebut maka masyarakat Batak baca: para pengikutnya meyakini bahwa gelar Ompu i yang dikenakan oleh
Nommensen merupakan gelar dalam bentuk definisi yang digunakan oleh raja walaupun memiliki kedudukan dan peran yang lebih dari raja lainnya, atau dengan
kata lain, memiliki definisi yang sama dengan gelar Ompu i yang dikenakan oleh Raja Singamangaraja. Maka dari itu, di sini saya perlu terlebih dahulu melihat dan
menggali pengetahuan masyarakat Batak mengenai gelar ini dalam bentuk posisi serta kedudukannya, sebelum masuknya misionaris ke Tanah Batak, atau ketika
Singamangaraja tampil sebagai raja dan memiliki kedaulatan yang penuh.
14
Banyak wacana-wacana yang membangun kebimbangan ini, misalnya salah satunya http:fransaritonang.blogspot.co.id201301antara-nommensen-dan-sisingamangaraja.html
Ompu i |39
B. Gagasan Suhi Ampang Na Opat
Dalam adat dan budaya Batak Toba, masyarakat Batak Toba selalu berpegangan kepada 3 prinsip, yakni Dalihan Na Tolu, Paopat Sihal-Sihal dan Suhi
Ampang Na Opat. Telah banyak para ahli adat yang membahas tentang ketiga prinsip ini, namun terkadang pembahasan ketiga prinsip ini tidaklah dibahas secara
holistik, serta tidak melihat konteks pemahaman atas fungsi wilayah atau konteksnya awalnya, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah kesalahan atau
kebingungan persepsi. Dalam menjelaskan ketiga prinsip ini maka perlu untuk melihat fungsi wilayah dari ketiga prinsip tersebut. Fungsi wilayah ini menjadi
penting karena kehidupan masyarakat Batak terpola dalam 3 prinsip ini.
Pertama adalah Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga
merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu menjadi prinsip yang selalu dipegang
masyarakat Batak dan menjadi pondasi dalam kekerabatan hingga akhir hayatnya. Prinsip ini mengatur kehidupan masyarakat yang hanya sebatas pada lingkup
keluarga, di mana aturan tersebut memiliki 3 kelompok hubungan kekeluargaan, yakni: Dongan Sabutuha teman semarga, Boru anak perempuan atau keluarga
dari pihak menantu lakilaki, dan Hulahula keluarga dari pihak istri.
15
Adapun dari ketiga unsur ini diatur dengan aturan yang berada di dalam Suhi Ampang Na
15
T.M. Sihombing, Filsafat Batak: Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hl. 71. Menurut PH. O.L. Tobing, Dalihan Na Tolu merepresentasikan
pembagian dunia dalam agama tradisional Batak, yakni: dunia bawah, dunia tengah dan dunia atas. Lih. PH. O.L. Tobing, The Structure Of The Toba-Batak Belief In The High God Amsterdam: South
and South-East Celebes Institue For Culture, 1963, hl. 150
Ompu i |40
Opat: manat mardongan tubu yang artinya sesama marga haruslah saling menghargai, sepemahaman dan sepenanggungan. Hal ini sebagai dasar untuk
terciptanya kerjasama sesama marga dalam menggarap tanah yang dimiliki oleh marga na mamungka huta marga yang memiliki kampung. Kedua, adalah elek
marboru. Artinya, kelompok hula-hula haruslah membujuk boru anak perempuan, mengingat peran boru cukup besar, terlebih dalam perayaan Horja. Dalam perayaan
tersebut, boru menjadi pelaksana dan bertanggung jawab atas atas terlaksananya perayaan tersebut. Hula-hula menjadi pemberi perintah kepada boru. Yang ketiga
adalah somba tu hulahula. Hula-hula memiliki posisi yang paling tinggi, di mana hula-hula dianggap sebagai perwujudan dari dewa Batara Guru atau dalam arti
kelompok ini sering dikatakan sebagai Debata Na Tarida Tuhan yang terlihat, sehingga kedua kelompok sebelumnya haruslah somba bersujud kepada
kelompok hulahula.
16
Dalam Dalihan Na Tolu, ketiga kelompok ini tidak mengikat kepada marga tertentu saja, melainkan hanya melihat posisi kelompok dari setiap
individu. Dengan kata lain, setiap individu pastilah akan pernah berada di kelompok-kelompok tersebut ketika berada di lingkungan masyarakat. Dalam
Dalihan Na Tolu konsep Ompu i lebih kepada dikenakan kepada galur keturunan sebagai silsilah marga.
Kedua , Paopat Sihalsihal. Prinsip ini berada di dalam wilayah huta
kampung. Paopat Sihalsihal berarti penyangga batu keempat yang digunakan untuk menyangga tungku ketika ketiga batu Dalihan Na Tolu tersebut tidak
16
Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba Jakarta: Obor, 2009, hl. 81-82.
Ompu i |41
sanggup menampung tungku tersebut. Dengan kata lain, dalam lingkup wilayah huta, maka paopat sihalsihal dimaksudkan untuk menampung kelompok, selain dari
kelompok yang ada di Dalihan Na Tolu. Kelompok ini sering dikatakan sebagai dongan sahuta teman sekampung. Di zaman sekarang, paopat sihalsihal sering
dikatakan sebagai STM serikat tolong menolong yang juga turut membantu dalam suksesnya sebuah pesta atau perayaan.
Ketiga , adalah Suhi Ampang Na Opat. Dalam bahasa Indonesia Suhi
Ampang Na Opat berarti bakul yang memiliki empat sudut. Keempat sudut ini adalah pondasi dari hukum dan adat Batak yang dapat berupa: tona pesan, poda
nasehat, uhum hukum dan patik larangan. Dialah juga yang mengatur kelompok di dalam Dalihan Na Tolu, termasuk paopat sihalsihal. lihat gambar2
Dalam kebanyakan pesta di zaman sekarang pengertian Suhi Ampang Na Opat telah berbeda pengertiannya dari yang sesungguhnya. Padahal makna Suhi Ampang Na
Opat memberikan pondasi yang bukan hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan pesta, tetapi juga memberikan penegakkan dan kedaulatan harajaon atas kerajaan dan
budaya Batak. Intinya, di dalam Suhi Ampang Na Opat terdapat dua bagian penting yang setiap bagiannya memiliki empat ajaran, yakni: Bagian pertama tentang
Kebenaran Habonoron, yang di dalamnya terdiri dari pengetahuan Parbinotoan, kepercayaan Haporseaon, ketaatan Pangoloion dohot budi pekerti Parulan.
Bagian kedua adalah Kedaulatan Hadaulaton yang terdiri dari rendah hati Haserepon, kesabaran Habengeton, sopan santun Hapantunon dan
kehormatan Hahormaton.
17
17
Diambil dari http:batakweb.blogspot.co.id201002suhi-ni-ampang-na-opat.html
. Diakses pada 4 September 2016.
Ompu i |42
Gambar 2
Istilah Opat yang dalam bahasa Indonesia berarti empat yang merupakan konsep dasar dari hukum dan adat Batak yang selalu bersandar pada 4 sisi atau asas.
Bahkan dalam prakteknya, Singamangaraja selalu menggunakan 4 raja untuk mengisi jabatannya di dalam sistem bius. Keempat raja ini sering dikenal sebagai
raja maropat atau raja na opat, sehingga kerajaan Singamangaraja juga berpondasikan pada suhi ampang na opat.
Di dalam perayaan-perayaan adat Batak falsafah ini juga haruslah berlaku, sehingga adat tersebut dapat dikatakan sah. Namun adat yang berkembang di zaman
sekarang justru tidak lagi memperhatikan Suhi Ampang Na Opat. Telah terjadi pergeseran makna dari pemakaian falsafah ini. Hal ini disebabkan tidak adanya lagi
raja junjungan raja yang dihargai atau dijunjung tinggi sesuai yang dianjurkan dalam Suhi Ampang Na Opat akibat kolonialisme di dalam menyingkirkan sistem
kerajaan. Itu artinya, adat yang digunakan hanyalah sampai kepada kelompok Dalihan Na Tolu, padahal dalam Suhi Ampang Na Opat, terdapat satu kelompok
lagi yang menjadi bagian penting dari terlaksananya adat, yakni raja, sehingga di dalam Suhi Ampang Na Opat haruslah melaksanakan manat menghargai
Suhi Ampang Na Opat
Dalihan Na Tolu
Somba tu Hula-hula
Dalihan Na Tolu
Elek Marboru
Dalihan Na Tolu
Manat mardongan
Tubu
Ompu i |43
mardongan tubu, elek membujuk marboru, somba menyembah marhulahula, dan pantun marraja tunduk kepada raja. Raja yang dimaksud di sini adalah raja
dalam pengertian yang memiliki kuasa atas wilayah dan memiliki lembaga untuk mengatur hukum dan adat Batak, yakni dalam wilayah huta kampung, horja, dan
bius. Tidak ada hubungan genealogis seperti di dalam konsep Dalihan Na Tolu. Paling tidak, adanya raja dalam Suhi Ampang Na Opat dapat menciptakan
kedamaian dan persatuan; sesuatu hal yang tidak bisa dilakukan dalam Dalihan Na Tolu. Maka dari itu, masyarakat Batak meyakini raja merupakan perpanjangan
tangan dari dewatuhan di dalam iklim religiositas masyarakat Batak Toba tradisional.
Konsep di dalam Suhi Ampang Na Opat menghargai peran raja di setiap aspek kehidupan masyarakat Batak. Raja menjadi penuntun kepada masyarakat,
karena ia lah yang menjadi penyelenggara atas hukum dan adat, baik sekuler maupun religi. Ketika Singamangaraja I-XII masih memiliki kedaulatannya,
Singamangaraja menjadi raja yang diakui oleh seluruh bius, horja dan huta. Artinya, Singamangaraja menjadi raja yang tertinggi dari raja-raja lainnya,
sehingga diberikan gelar sebagai Ompu Raja Singamangaraja. Namun untuk melihat lebih mendalam mengenai gelar ompu raja maka haruslah melihat
bagaimana kedudukan secara sosio-politis Raja Singamangaraja di masyarakat Batak Toba, serta bagaimana kuasa Raja Singamangaraja tersebut didapatkan.