Kesimpulan MERAJUT GAGASAN OMPU I

Ompu i |81

A. Kesatuan Badan Zending dan Kolonialisme

1. Wacana Kolonial dan Peran Institusi Agama

Pada abad ke-18, kolonialisme dan zending tidak dapat dipisahkan. Namun wacana ini justru muncul jauh sebelum abad tersebut, yakni tepatnya pada akhir abad ke-15. Hal ini ditunjukkan dengan tampilnya kekuatan negara-negara Barat baca: Eropa dalam mengekspansi Asia dan Afrika dengan melibatkan zending. Dalam ekspansi tersebut terdapat agresi misi mission yang melibatkan institusi- institusi agama dalam bekerjasama dengan pihak kolonial setelah melihat adanya peradaban-peradaban yang bagi mereka tradisional atau kuno, disamping adanya agresi politik sebagai bentuk penghilangan kekuasaan atas raja-raja, agresi ekonomi di dalam menjaga keseimbangan organisasi dengan menghilangkan cara-cara tradisional, agresi sosial dengan mengganggu tatanan kearifan lokal yang berhubungan dengan nilai-nilai kekeluargaan maupun bermasyarakat, agresi intelektual yang dilakukan untuk menciptakan kekuatan dari negara dengan mengandalkan pendidikan. 1 Menurut Stephen Neill, adanya pengaruh misi atau zending di dalam kolonialisme ini tidak dapat dilepaskan dari kemajuan peradaban Barat yang diyakini berasal dari faktor agama, dalam hal ini Kekristenan, sehingga pengaruh gereja terhadap peradaban negara-negara Barat sangatlah besar dan menyeluruh. Hal ini didasarkan atas hampir seluruh peristiwa sejarah pada abad pertengahan 1 Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions London: Mcgraw-Hill Book Company, 1966, hl. 12. Ompu i |82 yang adalah juga merupakan sejarah Kekristenan; rasionalisasi yang didengungkan oleh negara-negara Barat. 2 Ania Loomba juga menegaskan hal yang serupa bahwa Kolonialisme yang dilakukan negara-negara Barat, dalam hal ini Eropa, tidak bisa dilepaskan dari sejarah-sejarah Eropa sebelumnya, yakni Perang Salib, invasi bangsa Moor ke Spanyol, dsb. 3 Dengan pengaruh-pengaruh tersebut maka keterlibatan Kekristenan di dalam penjajahan yang dilakukan negara-negara Barat merupakan keniscayaan untuk tujuan pengadaban, yakni memodernkan peradaban tradisional. Terlepas dari adanya keterlibatan institusi-institusi agama, kolonialisme yang dilakukan negara-negara Barat tak lepas dari keinginannya untuk menguasai dunia, termasuk menguasai jalur-jalur perdagangan yang sebelumnya telah dikuasai oleh Muslim dari Timur Tengah. negara-negara Muslim dianggap sebagai musuh bagi bangsa-bangsa Eropa, bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga faktor sejarah yang turut mempengaruhi. Dengan dasar inilah kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat pada abad ke-18 dan 19 sangat berbeda dengan kolonialisme sebelumnya, yang menurut Loomba, kolonialisme bersatu dengan kapitalisme yang menguntungkan Eropa dengan pertumbuhan ekonomi dan industri di Eropa. 4 2 Ibid., hl. 39. 3 Ania Loomba, KolonialismePascakolonialisme Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2016, hl. 4. Kolonialisme pada abad ke-19 juga menjadi gelombang terbesar ekspansi Eropa ke seluruh penjuru dunia. Tercatat menjelang tahun 1930an kolonialisme telah menguasai lebih dari 84,6 permukaan bumi seperti dicatat oleh Ania Loomba. Ibid., hl. 23. 4 Ibid., hl. 6. Ompu i |83 Dengan melihat kolonialisme pada abad ke-18 dan 19 maka kolonialisme dipandang tidak lagi dalam aspek tertentu saja, misal dengan alasan ekonomi, melainkan ke segala aspek yang didalamnya terdapat stigmatisasi atas sesuatu yang biner akibat kekerasan yang terjadi, diantaranya: penjajah dan terjajah, Barat dan Timur, beradab dan primitif, dsb. Stigmatisasi tersebut tidak berhenti sampai disitu melainkan menjadi titik berangkat dari usaha terus menerus yang dilakukan negara- negara Barat dalam menciptakan, seperti yang Leela Gandhi katakan: “the colonised world had to be emptied of meaning.” 5 Hal ini menjadi dasar terbentuknya generalisasi Eropasentrisme di dunia. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam nilai-nilai kebudayaan di negara-negara terjajah dinegasikan dengan mengafirmasi nilai-nilai Eropasentris yang dianggap lebih rasional dan universal. John McLeod melihat usaha ini lebih spesifik lagi dengan pemakaian literatur- literatur bahasa Inggris dalam menciptakan nilai-nilai yang sama dalam perilaku dan karakter, termasuk dalam hal ini nilai-nilai Kekristenan. 6 Gambaran dari kolonialisme ini tidak dipandang sama equal dalam sebuah kasta melainkan dalam hubungan yang Hegel nyatakan sebagai Tuan dan Budak MasterSlave bahwa manusia mendapatkan identitasnya dari pengenalan orang lain. Di sinilah identitas inferior muncul di mana Frantz Fanon melihat hal ini sebagai sesuatu yang diciptakan oleh kematian dan penguburan budaya lokal yang orisinil. 7 5 Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A critical introduction Sydney: Allen Unwin, 1998, hl. 15. 6 John McLeod, Beginning Postcolonialism Manchester: Manchester University Press, 2000, hl. 142. 7 Frantz Fanon, Black Skin, White Mask London: Pluto Press, 1967, hl. 18. Fanon sepakat mengenai identitas muncul di dalam Hegel, namun di sisi lain ia menolak pendapat Hegel tentang “pengakuan” recognition dari budak. Menurutnya, terjajah hanya dapat melakukan imitasi: “He becomes whiter as he renounces his blackness, his jun gle.” Ompu i |84 Keterlibatan institusi-instusi agama atau badan zending kepada kolonialisme mulai abad ke-15 menjadi sesuatu yang inheren. Di Indonesia masuknya pemerintahan kolonial Belanda juga disertai dengan terlibatnya lembaga-lembaga zending Belanda, misalnya Nederlandsch Zendeling Genootchap NZG, Nederlandsche Zendings Vereeniging NZV, dll. Selain itu, Belanda juga menjalin kerjasama dengan lembaga zending diluar Belanda, misalnya Rheinische Missionsgesellschaft RMG yang menginjili di wilayah Kalimantan, Batak, dan Papua.Walaupun nilai-nilai Kekristenan yang disebarkan memiliki norma-norma yang dapat tidak terfragmentasi sebagai sesuatu yang kontroversi, namun keterlibatan di dalam kolonialisme justru menimbulkan pemahaman yang berbeda. 8 Keterlibatan tersebut menjadi suatu kesepemahaman yang menandakan superioritas bangsa Eropa dengan paham kolonialnya dalam mengkonstruk wacana kekuasaan; dan hal ini termasuk RMG selaku badan zending asal Jerman dalam melakukan misinya di Tanah Batak. 2. Latar Belakang dan Pemikiran Tokoh-Tokoh RMG Rheinische Missionsgesellschaft: Kolonialisme dan Rasisme Keberadaan RMG tidak dapat dilepaskan dari pihak kolonial Belanda selaku penguasa teritorial jajahan di Nusantara yang memiliki otoritas sebagai sesuatu yang mengikat. Selain itu juga, adanya faktor kesamaan dalam satu rumpun - Eropa - membuat badan zending ini memiliki konteks latar belakang yang sama. Misalnya, kebangkitan rasionalisasi menjadi dasar dalam pemahaman mereka. Namun demikian hal ini tidak menutup kemungkinan untuk memahami lebih jauh 8 Bdk. Stephen Neill, Op. Cit., hl. 12-15.