Kesimpulan ANALISA WACANA: ATURAN DAN PRAKTIK

Ompu i |183 hubungan pemimpin dan pengikut diikat dengan sistem struktur masyarakat Batak Suhi Ampang Na Opat dengan pemerintahan konfederasi dan keyakinan pengikut terhadap pemimpin sebagai titisan dewa. Keduanya saling berkaitan sehingga praktik-praktiknya dilanggengkan. Masuknya badan zending RMG ke Tanah Batak merubah dan mereproduksi wacana kepemimpinan Singamangaraja dalam mewujudkan kekuasaannya dengan tampilnya Nommensen, seorang Jerman, sebagai pemimpin. Perwujudannya adalah praktik-praktik yang dilakukan Nommensen dalam mempersatukan bius-bius dan masyarakat Batak dibawah pemerintahankerajaan Kekristenan. Namun demikian proses reproduksi ini atau pembentukan wacana ini justru menggambarkan adanya kepentingan dalam wacana kolonial sebagai suatu hal yang tidak disadari. Hal ini sangat terlihat jelas di dalam Surat Kuliling Immanuel bahwa adanya perwujudan komunitas baru dalam menggantikan komunitas yang lama atau dinasti Singamangaraja merupakan buah hasil konstruk RMG sebagai pihak kolonial yang menciptakan menciptakan dan menempatkan Surat Kuliling Immanuel sebagai media yang mengkonstruk atau memberikan opini umum kepada masyarakat dan kaum intelektual raja-raja. Beberapa konstruk itu antara lain: 1. Imajinasi komunitas dan pengetahuan modern. Dalam Surat Kuliling Immanuel, adanya narasi-narasi dari pekabaran Injil di Borneo, Tanzania, dll. memberikan imajinasi bagi masyarakat Batak. Hal ini secara tak langsung merupakan konstruk RMG untuk melepaskan masyarakat Batak dari keterisolasiannya. Melepaskan ikatan-ikatan tradisi menuju imajinasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ompu i |184 baru yang mampu keluar ke dalam doktrin Eropanisasi. Namun demikian hal ini juga diperkuat dengan adanya pengetahuan modern yang diberikan oleh RMG kepada masyarakat Batak. Rasionalisasi Eropa yang diyakini menjadikan bangsa Eropa maju disebarkan dalam suatu misi pengadaban sebagai suatu hamajuon untuk menggantikan pemahaman-pemahaman yang bersifat klenik dan mitos-mitos. 2. Adanya hukum baru menggantikan yang lama. Hal ini terlihat dari adanya standarisasi dalam bentuk fungsi dan perilaku raja-raja yang sesuai dengan keinginan RMG. Raja Pontas adalah salah satu yang sering digunakan menjadi contoh dari sikap raja. Selain itu adanya hukum baru terlihat dengan adanya musuh bersama bagi komunitas baru tersebut yang notabene adalah masyarakat pribumi itu sendiri, yakni kelompok Parbaringin, Raja Singamangaraja dan Muslim. Peristiwa yang dialami oleh kelompok Parbaringin ini justru bertolakbelakang ketika sebelum masuknya RMG, di mana kelompok ini justru memiliki hak dan kebebasannya di Tanah Batak. Namun demikian, walaupun RMG menerapkan hukum baru, RMG tetap menggunakan sistem struktur sosial masyarakat Batak dengan tetap memfungsikan dan memberdayakan raja-raja. 3. Konstruk terhadap pemimpin. Salah satu unsur terpenting dalam suatu komunitas adalah kedudukan pemimpin dalam komunitas tersebut. Pentingnya Raja Singamangaraja di tengah-tengah masyarakat Batak juga tak lepas dari kedudukan dan perannya ditengah-tengah masyarakat Batak. Hal ini turut diamati oleh para Misionaris yang melihat kedudukan Raja PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ompu i |185 Singamangaraja, sehingga membuat Raja Singamangaraja tak lepas dari konstruk atau opini umum yang dibuat oleh RMG. Surat Kuliling Immanuel hadir dalam membangun opini umum tersebut. Namun demikian puncaknya adalah bahwa dalam konstruk tersebut menghadirkan pemimpin baru dengan wacana-wacana yang meninggikan Nommensen. Hal ini dapat dikatakan sebagai wacana tandingan dalam menegasi pengaruh kepemimpinan Raja Singamangaraja dan mengafirmasikan Nommensen sebagai sosok pemimpin. Ketiga konstruk di atas adalah upaya-upaya RMG dalam menciptakan pengetahuan komunitas baru dengan tampilnya Nommensen menjadi pimpinan sebagai suatu hal yang tanda disadari telah membentuk wacana kepemimpinan yang baru. Hal ini semakin diperjelas dengan keterlibatan dan kesepemahaman RMG dengan pihak pemerintah kolonial Belanda dalam menaklukkan raja-raja di Tanah Batak dengan menggunakan kekerasan militer pada Perang Batak Pertama untuk memperluas komunitas tersebut, sebagaimana dituangkan dalam BRMG, walaupun RMG selalu berusaha untuk menutupi adanya keterlibatan tersebut dengan membentuk opini-opini umum. Dengan demikian dari konstruk-konstruk tersebut maka wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen dapat dikatakan sebagai suatu produk rezim kolonial, di mana RMG tampil dalam menciptakan kekuasaan untuk membawa supremasi bangsa Eropa sebagai suatu bentuk ketaatan dan kepatuhan dari pengikut - masyarakatkomunitas Batak Kristen - kepada pemimpinnya, yakni Nommensen baca: bangsa Eropa. Hal ini semakin diperjelas dengan munculnya Aturan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ompu i |186 Peraturan 1881 yang lebih bersifat hirarkis sebagai sesuatu yang bertolak belakang dari konsep yang selama ini dilakukan Nommensen, atau dalam konsep Suhi Ampang Na Opat menekankan konsep kekuasaan wilayah kepada Raja bius, sedangkan kesatuan tunggal hanya dipahami dalam sistem konfederasi. Tentunya, sistem hirarki semacam ini menempatkan pihak asing memiliki otoritas mutlak dalam mengambil keputusan sewenang-wenang mengingat adanya kesatuan pemerintah kolonial Belanda dengan RMG. 1 Dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen kepatuhan ini tentunya tanpa disadari memunculkan bentuk pengkultusan atau hierophany yang menurut Mircea Eliade ingin menunjukkan pola manifestasi dari yang sakral, 2 karena memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari wacana kepemimpinan Singama ngaraja yang notabene adalah sebagai “Debata Na Tarida”. Hal ini menjadi lumrah karena bagi pengikut, bentuk kepemimpinan Ompu i Nommensen menandakan adanya peniruan antara wacana kolonial dengan wacana tradisional, di mana pengikut memiliki pengalaman yang hakiki dalam wacana kepemimpinan Singamangaraja yang tentunya dengan kehadirannya Nommensen membayangkan suatu komunitas menuju kepada hamajuon sebagai suatu berkat dari Tuhan; dan dalam sudut pandang tersebut, Nommensen dapat dikatakan telah berhasil meyakinkan dan menciptakan hamajuon melalui praktik-praktiknya 1 Sikap hirarkis ini nantinya tercium dengan munculnya aksi resistensi yang dilakukan sebagian kelompok-kelompok lokal pribumi kepada para misionaris asing baca: RMG, misalnya H Ch. B Hatopan Christen Batak yang puncak pertentangannya terjadi pada tahun 1928 dan Gereja Punguan Kristen Batak GPKB pada 1920. Bentuk kesewenang-wenangan ini dapat berupa masalah kebijakan akibat sentralisasi-gereja hingga masalah mencampuri urusan tanah. Lih. HKBP, Tuhan Menyertai UmatNya: Sejarah Huria Kristen Batak Protestan 125 Tahun Tarutung: HKBP, 1986, hl. 29-30. 2 Mircea Eliade, Sakral dan Profan Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, hl. 4.