Ompu i |43
mardongan tubu, elek membujuk marboru, somba menyembah marhulahula, dan pantun marraja tunduk kepada raja. Raja yang dimaksud di sini adalah raja
dalam pengertian yang memiliki kuasa atas wilayah dan memiliki lembaga untuk mengatur hukum dan adat Batak, yakni dalam wilayah huta kampung, horja, dan
bius. Tidak ada hubungan genealogis seperti di dalam konsep Dalihan Na Tolu. Paling tidak, adanya raja dalam Suhi Ampang Na Opat dapat menciptakan
kedamaian dan persatuan; sesuatu hal yang tidak bisa dilakukan dalam Dalihan Na Tolu. Maka dari itu, masyarakat Batak meyakini raja merupakan perpanjangan
tangan dari dewatuhan di dalam iklim religiositas masyarakat Batak Toba tradisional.
Konsep di dalam Suhi Ampang Na Opat menghargai peran raja di setiap aspek kehidupan masyarakat Batak. Raja menjadi penuntun kepada masyarakat,
karena ia lah yang menjadi penyelenggara atas hukum dan adat, baik sekuler maupun religi. Ketika Singamangaraja I-XII masih memiliki kedaulatannya,
Singamangaraja menjadi raja yang diakui oleh seluruh bius, horja dan huta. Artinya, Singamangaraja menjadi raja yang tertinggi dari raja-raja lainnya,
sehingga diberikan gelar sebagai Ompu Raja Singamangaraja. Namun untuk melihat lebih mendalam mengenai gelar ompu raja maka haruslah melihat
bagaimana kedudukan secara sosio-politis Raja Singamangaraja di masyarakat Batak Toba, serta bagaimana kuasa Raja Singamangaraja tersebut didapatkan.
Ompu i |44
C. Ompu i dan Kedudukan Raja Singamangaraja
Dinasti kerajaan Singamangaraja bagi masyarakat Batak adalah pemersatu dalam hal adat, budaya dan religi. Sifat kekuasaannya bukanlah berasal dari
peperangan dan kekerasan, namun dari keyakinan masyarakat atas kesaktiannya. Dalam terminologinya, Singamangaraja berasal dari dua kata, yakni Singa dan
Mangaraja. Istilah singa bukanlah menunjuk kepada nama binatang “singa”,
melainkan dari bahasa Batak yang berarti “konstruksi”, sedangkan Mangaraja diartikan sebagai maha raja. Dengan demikian Singamangaraja dapat diartikan
sebagai pondasi dari kerajaan. Singamangaraja juga sering disebut sebagai Singa Ni Uhum undang-undang dan juga Singa Ni Hadatuhon religi.
18
Namun terlepas dari banyaknya istilah yang berkembang dalam bahasa Batak, kekuasaan
Singamangaraja tetaplah memiliki peran penting bagi masyarakat Batak Toba. Para tokoh peneliti ataupun misionaris yang berasal dari luar Indonesia, seperti Marsden
dan Rafles, Van Der Tuuk, B. Hagen, J.F. von Brenner, Meerwaldt, dsb, juga mengakui pengaruh kekuasaan Singamangaraja bagi masyarakat Batak. Bahkan
Van der Tuuk sendiri, salah seorang ahli sastra Batak yang membantu missionaris Jerman, menyebut Raja Si Singamangaraja XII sebagai koning aller Bataks raja
dari segala orang Batak ketika ia berjumpa langsung dengan Raja Si Singamangaraja XII di Bakara pada 1853.
19
18
Adniel Lumbantobing, Sedjarah Si Singamangaradja I-XII Tarutung: Dolok Martimbang, 1959, hl. 13
19
Dr. W.B. Sidjabat, Op.Cit., hl. 71
Ompu i |45
Kebesaran dan kekuasaan Dinasti Singamangaraja tidak terlepas dari adanya paham-paham religiositas, sosial, kesehatan, ekonomi, politik, adat dan
budaya, serta hukum yang berkembang di masyarakat Batak. Dan aspek-aspek tersebut telah di mulai sebelum adanya dinasti Singamangaraja. Itu artinya, telah
terdapat paham berupa ajaran-ajaran yang mempersatukan masyarakat Batak. Dinasti Singamangaraja menjadi kerajaan dengan melaksanakan paham-paham
tersebut, sehingga tanpa disadari, Dinasti Singamangaraja menjadi sebuah lembaga, bahkan dapat dikatakan sebagai bangsa, yang memiliki fungsi hukum, agama,
ekonomi dan sosial yang berpusat di wilayah Toba.
20
Hal ini yang juga dikatakan oleh Sitor Situmorang, yang terkadang justru tidak diamati oleh para peneliti,
semisal, Lance Castles.
21
Maka dari itu, untuk melihat bagaimana Raja Singamangaraja sendiri dapat menjadi raja atas masyarakat Batak perlu terlebih dahulu melihat bagaimana awal
mula munculnya paham atau ajaran tersebut, sehingga dapat menjadi pemersatu bagi masyarakat Batak melalui tatanan atau sistem struktur sosial masyarakat.
1. Mitos Si boru Deak Parujar
Keberadaan masyarakat Batak tidak dapat dipisahkan dari mitos Siboru Deak Parujar. Mitos ini mengungkapkan tentang asal usul masyarakat Batak, dan
juga menjadi bagian penting di dalam terbentuknya sistem pemerintahan di dalam masyarakat Batak tempo dulu. Melalui tradisi lisan secara turun temurun maka
20
Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia: 2010, hl. 69.
21
Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Pada Abad XIII-XX Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hl. 19-20.
Ompu i |46
mitos ini menjadi kekuatan di dalam masyarakat Batak sebagai suatu konsep religiusitas akan keberadaan manusia di dunia. Dalam mitos tersebut masyarakat
Batak meyakini bahwa manusia pertama yang diciptakan adalah si Raja Batak, dan dari Raja Batak inilah kemudian masyarakat Batak menyebar ke seluruh penjuru
dunia dan beranak cucu. Karena mitos ini berasal dari tradisi lisan maka mitos ini memiliki beragam
versi.
22
Di sini saya tidak akan menceritakan ulang mitos tersebut, namun saya melihat bahwa mitos tersebut memiliki dua bagian penting, yakni pertama, Aturan
dan Perintah berupa pernikahan yang diberikan Ompu Mula Jadi Nabolon Sang Pencipta kepada ciptaannya manusia kayanganlangit, termasuk Boru Deak
Parujar agar menikah dengan Raja Odapodap, yang akan membentuk 3 suku dan 3 kerajaan sebagai suatu awal mula Dalihan Na Tolu, yakni satu suku dan kerajaan
Sabutuha, dua suku dan kerajaan boru, 3 suku dan tiga kerajaan hulahula. Kedua, penolakan boru Deak Parujar terhadap aturan dan larangan sebagai suatu
penolakan atas wibawa sang Bapak Ompu Mula Jadi Na bolon, sehingga terciptalah bumi sebagai tempat tinggal manusia beserta isinya. Adanya penolakan
tersebut maka putuslah hubungan antara bumi banua tonga dengan langit banua ginjang. Namun karena kebaikan dari Ompu Mula Jadi Nabolon maka hubungan
tersebut dapat tercipta melalui doa dan juga persembahan. Masyarakat Batak
22
Keberagaman akan mitos Deak Parujar merupakan keberagaman yang dikarenakan bersifat tradisi lisan, serta ditradisikan pada marga-marga di masyarakat Batak. Namun, Anicetus B.
Sinaga di dalam tulisannya membedakan mitos ini ke dalam 3 versi sebagai suatu contoh dan tidak sebagai menutup kemungkinan akan versi lainnya, yakni versi Johannes Warneck yang ditulisnya
pada tahun 1909, versi Philip Lumban Tobing, serta versi Nahum Raja Patik Tampubolon pada tahun 2002 dalam Pustaha Tumbaga Holing. Lih. Dr. Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi Batak-Toba:
Transendensi dan Imanensi Yogyakarta: Kanisius, 2014, hl. 239.
Ompu i |47
meyakini bahwa Pusuk Buhit adalah sebagai altar dari doa dan persembahan tersebut.
Kedua hal ini sangatlah penting karena akan menjadi dasar di dalam terbentuknya pemerintahan kerajaan masyarakat Batak. Ketika bumi telah tercipta
menurut keyakinan masyarakat Batak maka terciptalah Raja Batak sebagai manusia pertama jolma yang kemudian menciptakan huta kampung Sianjurmulamula;
berbeda dari zaman boru Deak Parujar dan 7 generasi setelahnya yang merupakan manusia kayangan. Dari kedua hal ini maka juga bahwa Raja Batak sebagai
manusia pertama mewariskan bumi yang berasal dari penolakan boru Deak Parujar atas larangan Ompu Mula Jadi Na Bolon, sehingga bumi dan manusia telah
melakukan kejahatan. Dengan maksud inilah maka untuk terakhir kalinya Mula Jadi Na Bolon turun ke bumi dan menyerahkan aturan dan perintahnya berupa 2
pustaha, yakni pertama, Pustaha laklak atau yang sering disebut sebagai Surat Agong yang berisi pedoman kerohanian, kebatinan, hadatuhon ilmu pengobatan,
Habeguhon ilmu yang bersifat mistik atau sihir, parmonsahon ilmu silat dan perang, pangaliluon ilmu menghilang dan membuat orang linglung, dan
parhalaan ilmu perbintangan. Kedua, Pustaha Tumbaga atau sering disebut Surat Tumbaga yang berisi tentang ajaran pemerintahan berupa aturan-peraturan
kerajaan, adat dan hukum, parumaon dan parhaumaon perumahan dan pertanian, partigatigaan pengetahuan dagang, paningaon karya seni. Pustaha pertama
diwariskan oleh keturunan Raja Batak, yakni Guru Tateabulan atau yang sering PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |48
dikatakan sebagai sahala tua, sedangkan pustaha kedua diwariskan kepada Raja Isumbaon atau sering dikatakan sebagai sahala harajaon.
23
Kedua pustaha ini merupakan awal mula sistem pemerintahan dan adat dari masyarakat Batak Toba, dan menjadi dasar dari organisasi Huta kampung, Horja
dan Bius. Artinya, kedua pustaha tersebut mencakup aspek religi dan aspek sekuler dalam bentuk pemerintahan harajaon. Kedua aspek ini yang menjadi dasar dari
aspek Bius. Bahkan dikemudian hari pustaha laklak yang menjadi sumber religiositas membentuk kelompok parbaringin pendetaimam dan menjadi ciri
utama dalam sistem Bius Sianjurmulamula. Menurut Sitor Situmorang kedua aspek ini yang seharusnya dapat menciptakan kesatuan dan kemajuan, namun dikemudian
hari justru sering menimbulkan bibit-bibit perpecahan dalam bentuk dualisme.
24
2. Konsep dan Perkembangan Huta, Horja dan Bius
Masyarakat Batak meyakini bahwa huta atau kampung yang pertama kali terbentuk adalah Sianjurmulamula. Hal ini termaktub di dalam tonggo-tonggo atau
doa-doa sebagai berikut:
Sianjurmulamula, Sianjur mula toppa. Parsirangan ni aek, pardomuan ni hosa
Sianjurmulamula, Sianjur mula jadi Mula ni sombayang, mula ni sombauasi.
Parpansur golanggolang, partapian jabi-jabi Sianjurmulamula, Sianjur awal yang diciptakan
Dipisahkan oleh air, disatukan oleh daging Sianjurmulamula, Sianjur awal yang ada.
Permulaan dari sembayang, awal dari sujud.
23
Dalam perkembangannya sesuai turiturian dikisahkan bahwa Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon tidak pernah membuka pustaha tersebut hingga akhirnya keturunan merekalah yang
membuka pustaha tersebut, yakni Martua Rajadoli dan Tuan Sorimangaraja. Inilah sebabnya Martua Rajadoli sering dikatakan sebagai Martua Rajadoli mula ni Raksa ni Hadatuhon sian Pustaha
Laklak Martua Rajadoli awal dari pengetahuan adikodrati yang tertulis dalam pustaha laklak, sedangkan Tuan Sorimangaraja sering dikatakan sebagai Tuan Sorimangaraja Mula ni torsa ni
Harajaon sian Pustaha Tumbaga Tuan Sorimangaraja awal dari pengetahuan tentang pemerintahan yang tertulis dalam Pustaha Tumbaga lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Pemerintahan Harajaon dan
Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba Medan: Bina Media Perintis, 2014, hl. 141.
24
Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 24-26.