Ompu i
|101
kebijakannya dengan mencari mitra zending sebagai sekutunya yang kemudian mengutus RMG. Salah satu alasan yang diyakini menjadi dasar kebijakan ini adalah
faktor Islamisasi yang berkembang pesat. Ide pengkristenan ini sebenarnya bukanlah yang pertama di Tanah Batak.
Sebelumnya, ketika orang-orang Inggris tiba ke Jawa dan Sumatra pada 1811, Sir Thomas Stamford Raffles dan Lord Moira juga mendorong usaha penginjilan di
Tanah Batak. Hal ini dilakukan untuk memisahkan orang Islam Aceh daerah utara dengan orang Islam Minangkabau daerah selatan. Mereka mengutus dua misionaris
Richard Burton dan Nathaniel Ward yang berasal dari badan zending Baptis, Inggris.
49
Namun usaha pengkabaran Injil tersebut kurang memberikan hasil. Hanya beberapa orang yang dibaptis, yakni: Jacobus Tampubolon dan Simon
Siregar pada 31 Maret 1861 yang sekaligus menjadi orang Batak pertama yang menerima Injil.
50
Menurut Jan Aritonang, kehadiran badan-badan zending ke Tanah Batak dapat dikatakan sebagai suatu kesempatan dan juga sekaligus tantangan masyarakat
Batak dalam hubungannya dengan kehidupan sosial-politik, budaya dan agama.
51
Zending menjadi kesempatan bagi masyarakat Batak untuk tampil menjadi bagian dari pemerintahan kolonial, kantor ataupun sekolah yang selama ini hanya diisi oleh
orang Melayu pesisir beragama Islam.
52
Faktor lainnya adalah masalah internal
49
Ibid., hl. 45.
50
Ibid., hl. 47.
51
Jan Aritonang, “The Batak People,” Op. Cit., hl. 127.
52
Paul B. Pedersen, Op.Cit., hl. 43. Menurut Robert van Niel masyarakat pribumi dibagi menjadi dua kasta, rakyat jelata yang terdiri dari petani, orang desa yang dinamakan dan kaum
elitpriyayi yang diisi oleh administrator, pegawai pemerintahan dan orang-orang yang berpendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa masuknya zending ke Tanah Batak memberikan
Ompu i
|102
teratasi, yakni keamanan, ekonomi, pendidikan dsb. Namun walaupun demikian, masyarakat Batak yang kuat dengan adat dan budaya merasa enggan dalam
meninggalkan identitas adat dan budayanya terlebih wilayah Toba atau yang masih mengakui Singamangaraja sebagai pemimpinnya.
Adanya krisis yang melatarbelakangi masuknya badan zending RMG ini memberikan titik tolak bagi masyarakat Batak untuk mau menerima para zending.
53
Bagaimanapun falsafah Batak tradisional tetap menjadi suatu acuan dalam menerima pengaruh asing demi terwujudnya, yakni hamoraon kekayaan,
hagabeon keturunan, dan hasangapon kemuliaan atau martabat. Dan hal inipun terbukti dengan masuknya RMG dapat menjawab krisis yang dibutuhkan berupa
faktor keamanan, ekonomi, pendidikan, dsb. Perbedaan yang jelas tampak adalah masalah perlakuan dari pihak kolonial kepada orang Batak yang berbeda dari
perlakuan kepada Minangkabau atau Jawa yang tersiksa akibat tanam paksa.
54
Walaupun di sisi lain, hal ini dapat dilihat dengan adanya pendidikan keahlian atau ketrampilan yang diberikan pihak kolonial, termasuk zending, kepada masyarakat
Batak, misalnya sekolah pertukangan yang ada di Balige, dan sekolah lainnya. Tanggal 7 Oktober 1861 merupakan hari penting bagi HKBP dan RMG yang
mengingatkan kepada awal mula masuknya RMG ke Tanah Batak yang sekaligus
potensi kepada masyarakat untuk naik kasta. Lih. Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, hl. 31.
53
Dari laporan BRMG, selain faktor adanya krisis akibat Perang Paderi, maka ada faktor lain yang menyebabkan jatuhnya wibawa Raja Singamangara di wilayah Silindung, yakni adanya
masalah internal, di mana ia membawa lari istri seorang Raja. Lih. BRMG 1878 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 121.
54
Ibid., hl. 78.
Ompu i
|103
juga menjadi tanggal lahirnya HKBP,
55
di mana pada tanggal tersebut diadakan rapat di Sipirok yang dihadiri oleh 4 orang Pendeta, yakni Pdt. Heine, Pdt.
Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Assselt yang membahas mengenai pembagian tugas pekabaran Injil di Tapanuli. Masuknya RMG ke Tanah Batak ini tak lepas
dari jasa Dr. Friedrich Fabri yang pada waktu itu menjabat inspektur RMG yang memutuskan untuk memindahkan wilayah pos pekabaran Injil dari Borneo ke
Tanah Batak akibat adanya perang Hidayah di Borneo Kalimantan yang menyebabkan terbunuhnya sejumlah misionaris, serta hilangnya ladang pekerjaan
mereka.
56
Dalam p
embagian tugas tersebut, Pdt. Klammer ditugaskan di wilayah Sipirok, Pdt. Betz ke daerah Bungabondar dan Pdt. Heine bersama Pdt. Van Asselt
ke wilayah Pahae. Keempat misionaris ini masih menguasai wilayah perbatasan
Tapanuli Selatan dengan Utara sebelum akhirnya Nommensen datang dan membuka perkampungan di Sait Ni Huta, bius Silindung pada 20 Mei 1964 dan
mengadakan kebaktian pertama kali pada 29 Mei 1964. Perkampungan ini
55
Penetapan tanggal kelahiran HKBP, yaitu tanggal 7 Oktober 1861, didorong atas perlunya semua umat Kristen Batak untuk merayakan hari jadi kekristenan; dan RMG melalui rapat
konfrensi para missionaris tahun 1905 menentukan secara resmi tanggal tersebut sebagai hari jadi kekristenan atau Gereja Batak, istilah HKBP belum menjadi nama resmi pada waktu itu, melainkan
Gereja Batak Batakmission Tahun 1905 yang digunakan sebagai tahun penetapan tanggal kelahiran Gereja Batak secara bersamaan menjadi hari perayaan yang pertama bagi kelahiran Gereja
Batak. Perayaan pertama ini kemudian menjadi titik tolak perlunya kesadaran di dalam mengingat hari jadi Kekristenan di Tanah Batak. Pada tahun 1925 melalui Sinode Agungnya, nama Gereja
Batak diganti dan diresmikan menjadi ”Huria Kristen Batak” Gereja Kristen Batak. Tidak ada lagi nama Gereja Batak yang digunakan pada waktu itu. Baru pada tahun 1929 melalui Sinode
Agungnya, nama ”Huria Kristen Batak” disempurnakan menjadi ”Huria Kristen Batak Protestan” HKBP. Nama ini kemudian menjadi nama gereja yang dipakai sekarang. Penamaan HKBP tersebut
kemudian menjadi resmi ketika pada tahun 1931 diakui sebagai Badan Hukum. Pemerintah pun kemudian mengeluarkan S.K. pemerintah tertanggal 11 Juni 1931 No. 48 sebagaimana tertulis dalam
lembaran pemerintah 1932 No. 360. Pengakuan ulang oleh pemerintah pun dilakukan dengan mengeluarkan surat tanggal 2 April 1968 No. DdPDAKd13568. Lih. HKBP, Tuhan Menyertai
UmatNya: Sejarah Huria Kristen Batak Protestan 125 Tahun Tarutung: HKBP, 1986, hl. 28 32.
56
Th. Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, hl. 184.
Ompu i
|104
kemudian dinamakan oleh Nommensen sebagai Huta Dame Kampung Damai dengan menjadikan perkampungan ini sebagai tempat pelayanan dalam urusan
rohani, kesehatan, serta pendidikan. Dari sinilah kemudian Nommensen berkenalan dengan Raja Pontas Lumbantobing, raja yang mambantu para Misionaris
menyebarkan Injil, dan memberikan lahan di Pearaja sekarang menjadi Kantor Pusat HKBP kepada Nommensen yang dijadikan pargodungan sekolah, gereja,
klinik. Bagi masyarakat Batak masuknya zending sebagai sesuatu yang tidak dapat
ditolak. Paling tidak hal ini dilukiskan di dalam dokumen Die Evangelische Missioner
atas ketidaksanggupan
Raja Pontas
Lumbantobing dalam
mempertahankan adat dan budaya Batak atas masuknya kuasa dari luar:
57
“Alai ianggo Raja Pontas pos do Rohana di nasida. Ai diantusi ibana do, na ingkon mago bangsona, so boi maju ala ni angka hamusuon na so olo mansohot.”
Terjemahannya:
“Tetapi Raja Pontas sangat setuju, karena ia mengerti bahwa bangsanya akan hilang karena t
idak dapat maju akibat konflik sesama yang selalu berlangsung.”
Pasca masuknya RMG ke Tanah Batak, Kristenisasi berjalan pesat. Data yang tercatat, ketika Nommensen meninggal pada tahun 1918, gereja telah bertumbuh
dan mencakup kurang lebih 180.000 orang anggota yang dibaptis, Pendeta yang bersuku Batak sebanyak 34 orang, sedangkan Guru Injil sebanyak 788 orang dan
penatua sebanyak 2.200 orang. Di bidang pendidikan, data yang tercatat, sekolah-
57
Diambil dari “Die Evangelische Missioner” dalam A.A. Sitompul, Sitotas Nambur
Hakristenon Di Tano Batak Jakarta: Dian Utama, 2005, hl. 74.
Ompu i
|105
sekolah yang berdiri sebanyak 510 buah yang mempunyai 32.700 orang murid yang terdaftar.
58
2. Pendekatan Adat dan Budaya
Salah satu faktor yang menyebabkan diterimanya para misionaris RMG di Tanah Batak adalah dengan menggunakan adat dan budaya Batak yang menyangkut
bahasa, sistem sosial dan politik, dsb. Awalnya, sikap penolakan terhadap adat diberlakukan terhadap masyarakat Batak, namun lambat laun dalam prakteknya
terdapat negosiasi antara masyarakat Batak dengan pihak zending. Negosiasi ini dilakukan berdasarkan pada nilai-nilai Kekristenan, meskipun dalam hal ini, saya
sepakat dengan Uli Kozok bahwa ada alasan tertentu dalam melihat adat dan budaya masyarakat yang dianggap primitif, yakni adanya budaya superioritas bangsa
Eropa, terlebih pada abad ke-19 rasisme sangat berkembang.
59
Persoalan-persoalan mengenai nilai-nilai Kekristenan yang diperhadapkan dengan adat dan budaya
Batak menjadi faktor-faktor yang dinegosiasikan, walaupun para misionaris tetap melihat pentingnya bahasa, aksara, struktur sosial, serta intisari budaya Batak yang
perlu dilestarikan sesuai dengan paham Gustav Warneck mengenai “logos
58
P.B. Pedersen, Op. Cit., hl. 64. Pertobatan yang sangat cepat ini mendapat kekhawatiran di tubuh RMG melalui missionaris-missionaris lainnya. Memang tidak ada alasan yang konkret
untuk menjadi bahan bantahan atas apa yang telah dicapai oleh Nommensen di dalam mengabarkan Injil di Tanah Batak, namun alasan mendasar yang dipakai RMG adalah pengalaman sebelumnya,
yaitu ketika RMG juga menjadi badan zending di Kalimantan, di mana pada waktu itu terjadi kehancuran yang sangat vital. Kekhawatiran RMG di Barmen ini hanya ditanggapi Nommensen
dengan sangat dingin, bahwa Allah saat ini memang hadir untuk orang Batak. Lih. Ibid., hl. 60.
59
Menurut Uli Kozok, sikap penolakan terhadap budaya primitif awalnya didengungkan oleh para misionaris RMG yang menganggap adat dan budaya Batak tidak memiliki peradaban,
sehingga hal yang perlu dilakukan adalah transfer budaya dari peradaban Eropa dengan menggunakan Culturkampf perang budaya yang mengingatkan pada usaha pemerintah Jerman
untuk memisahkan dan membatasi ruang gerak gereja Katolik. Lih. Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 72-73.
Ompu i
|106
spermatikos ”.
60
Kebijakan-kebijakan yang dinegosiasiasikan itu, misalnya, pelarangan tari-tarian atau tor-tor, pemakaian alat musik Batak margondang, dan
pengijinan pernikahan semarga yang ditolak oleh masyarakat Batak dengan alasan menghilangkan konsep Dalihan Na Tolu, walaupun tor-tor dan margondang
tetaplah dilarang.
61
Sikap tegas terhadap adat dan budaya dalam kehidupan masyarakat Batak ini untuk menghilangkan agama tradisional masyarakat Batak
dan menjauhkan unsur sinkretisme dalam Kekristenan. Bahkan pihak zending tidak pandang bulu dalam melaksanakan hal ini, misalnya Raja Pontas Lumbantobing
yang sangat membantu pihak zending justru pernah dibali dikucilkan atau dihukum oleh pihak zending akibat mengikuti pesta penguburan yang berdasarkan
adat Batak.
62
Bagi pihak zending sendiri penyebaran pekabaran Injil dilakukan secara menyeluruh di segala aspek, paling tidak hal ini dilakukan pada masa awal-awal
masuknya zending di Tanah Batak ketika pemisahan antara pemerintahan sekuler dan Kekristenan belum terjadi. Melalui konsep pargodungan
63
maka Injil diberitakan ke segala aspek, misalnya melalui kesehatan, pendidikan dan
pengajaran, bahasa, dll. Bahkan mereka memandang bahwa Kekristenan haruslah menggabungkan dirinya kepada adat dan budaya Batak dan mengambil tempat
dalam pola kehidupan atau tata tertib kehidupan masyarakat Batak. Misalkan saja
60
Dalam hal ini penerapan metode misiologi yang dilakukan oleh badan zending RMG sangat berbeda dengan badan zending dari Inggris yang justru tidak menghargai bahasa pribumi.
Bdk. John McLeod, Op.Cit., hl. 141.
61
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 73-74.
62
Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978, hl. 53.
63
Istilah ini untuk menyebut kompleks halaman gereja yang digunakan juga sebagai tempat pendidikan, kesehatan, dsb.
Ompu i
|107
melalui bentuk penerjemahan, di mana Nommensen menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak-Toba pada tahun 1876, sedangkan Johannsen
menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam Bahasa Batak-Toba pada tahun 1894. Dengan konsep ini maka para misionaris tetap menggunakan tradisi adat
dan budaya Batak dalam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Kekristenan. Bahkan tradisi-tradisi Batak yang bersifat sastra turut digunakan dan
ditransformasi, misalnya salah satunya torsatorsa cerita rakyat,
64
serta masih banyak lagi usaha yang dilakukan para misionaris dalam penggunaannya terhadap
adat dan budaya Batak. Namun salah satu yang menjadi sorotan saya di sini adalah penggunaan sistem struktur dalam kehidupan sosial masyarakat Batak.
Beberapa penulis-penulis dari luar atau lokal yang menulis tentang pekabaran Injil di Tanah Batak mungkin akan rumit dan keliru ketika berhadapan
dengan sistem struktur sosial dalam masyarakat Batak, terlebih ketika mencoba memetakan upaya para misionaris RMG dalam menggunakan sistem struktur sosial
masyarakat Batak. Hal ini diakibatkan kesalahan dalam memahami mengenai harajaon kerajaan dalam struktur masyarakat Batak yang justru sering dipakai
sebagai refrensi buku, seperti yang sudah dijelaskan dalam Bab II. Maka dari itu untuk menerangkan bagaimana para misionaris sendiri, khususnya Nommensen,
dalam menggunakan sistem struktur sosial masyarakat Batak maka perlu
64
Manguji Nababan ed., Torsatorsa Hombung: Turiturian Ni Halak Batak Medan: Vanivan Jaya, 2015, hl. X. Salah satu yang digunakan misalnya torsatorsa Cincin Idam-idaman
yang digunakan oleh F.W Staudte dan G v. Asselt untuk membantu dalam melihat firman Tuhan. Lih. Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 55.
Ompu i
|108
ditempatkan dalam pemahaman adat dan budaya Batak, di mana semuanya telah diatur di dalamnya yang saya telah jelaskan di bab sebelumnya.
Para misionaris dalam melaksanakan pekabaran Injilnya berusaha memasuki wilayah-wilayah di Tanah Batak dengan pendekatannya terhadap
struktur sosial masyarakat Batak, yakni kepada raja-raja baik huta hingga bius. Bahkan strukturnya tidak diubah, melainkan dibina menjadi harajaon kerajaan
Kristen. Para Misionaris tampaknya memahami pondasi struktur masyarakat Batak; dan hal ini, tak lepas dari peran Nommensen yang mengetahui secara mendalam,
serta memberikan saran kepada para misionaris lainnya. Sebagai bukti adalah dengan terciptanya aturan peraturan atau tata gereja 1881 yang berdasarkan tatanan
sosial masyarakat Batak, di mana Nommensen menjadi inspiratornya.
65
Dengan pendekatannya ini maka nantinya akan terlihat, posisi Nommensen sendiri dalam
struktur sosial masyarakat Batak Toba, yang dengan praktik-praktiknya selayaknya seperti gambaran dari kepemimpinan Ompu i Raja Singamangaraja. Namun di sini,
saya akan terlebih dahulu menjabarkan bagaimana Nommensen sendiri aktif dalam mengkonstruk suatu struktur sosial masyarakat Batak Toba menjadi kerajaan
Kristen. Raja bagi masyarakat Batak mengambil peran yang sangat penting dalam
kehidupan sosial masyarakat. Ia menjadi pelaksana atas adat dan hukum, baik sekuler maupun religi. Dengan perannya ini, maka pengaruh raja sangatlah besar
bagi pengikutnya. Pendekatan yang dilakukan Nommensen kepada raja di Tanah
65
Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 47.
Ompu i
|109
Batak memberikan pengaruh penting bagi pengikut raja tersebut. Hal ini dapat terlihat dari pengaruh yang ditimbulkan atas masuknya Raja Pontas Lumbantobing
menjadi Kristen, ditambah dengan sikapnya yang pemberani dalam menyelesaikan konflik-konflik marga atau antarkampung, maka komunitasnya pun turut juga
menerima Kekristenan. Bahkan Raja Pontas sendiri tidak segan-segan untuk mengajak para raja dan para imam kelompok parbaringin untuk menerima Injil.
Raja Pontas sendiri memiliki kekuasaan yang mencakup wilayah bius, sehingga kekuasaannya berada diwilayah lintas huta. Namun demikian ia juga sering
mengajak raja-raja diluar kekuasaannya. Misalnya raja di Sipahutar.
66
Selain Raja Pontas, masih banyak juga raja-raja lainnya yang menerima dan mendukung para misionaris, misalnya Ompu Hatobung dari Pansurnapitu, Kali
Bonar dari Sigompulon-Pahae, dll. Dengan pendekatan atas raja maka tak heran basis yang dibangun mencakup wewenang atas wilayah yang menjadi kekuasaan
raja, baik itu di tingkat huta hingga bius. Nommensen tidak sedikitpun mengganti raja-raja yang berkuasa di wilayahnya masing-masing. Bahkan untuk tingkat huta
hingga bius, ia sangat menghargai peran dari para raja:
“Mereka yang berhubungan dengan saya, orang-orang yang telah dibaptis maupun yang belum dibaptis, tidaklah berada dibawah kekuasaan saya. Saya adalah guru
mereka, tetapi bukan raja mereka. Tak seorangpun yang sudah Kristen atau yang mau menjadi Kristen dengan demikian berubah sukunya; sebaliknya rajanya yang sekarang
ini tetaplah juga rajanya selanjutnya …”
67
66
Pdt. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 155.
67
Pernyataan Nommensen ini diungkapkan pada awal-awal misinya di Huta Dame ketika pemerintahan kolonial Belanda belum masuk ke wilayah Silindung. Lothar Schreiner, Op. Cit., hl.
44.
Ompu i
|110
Pernyataan Nommensen ini menjadi titik tolak dalam pemakaian Suhi Ampang Na Opat dalam adat dan budaya masyarakat Batak, khususnya sistem
struktur konfederasi yang diterapkan Dinasti Singamangaraja. Bahkan peran raja menjadi penghubung antara pengikutnya dengan pihak misionaris, seperti yang
ditulis oleh misionaris Johannsen dalam suratnya von Sibolga nach Silindung: “Pada hari-hari berikutnya, banyak raja-raja yang berlomba-lomba datang
mengundang kami ke rumahnya untuk dijamu. Masing-masing mendesak, supaya dialah yang pertama kami kunjungi…”
68
Peran raja bagi pekabaran Injil sangatlah penting, bahkan atas jasanya tersebut anak-anak raja mendapatkan perlakuan
khusus dengan diperbolehkan menimba pendidikan berbahasa Belanda di Loguboti.
69
Bahkan Warneck sendiri sangat mengakui otoritas raja, serta menghargai peran raja dalam perkembangan Kekristenan di Tanah Batak:
“Sungguh mereka adalah penguasa negeri: tanpa izin mereka baik zendeling maupun evangelis penginjil pribumi tidak boleh bermukim di situ. Dan kalupun
seringkali mereka hanya secara lahiriah saja ikut membantu, yaitu menghadiahkan tempat untuk mendirikan gedung sekolah atau gereja, atau mendorong warganya
datang ke gereja, atau meminta kehadiran zendeling dan hal-hal yang serupa, itu toh sudah merupakan kerjasama yang hakiki, karena mereka sudah membukakan pintu.”
70
Selain pendekatannya kepada raja dalam menarik simpatik para pengikut, ia pun memperkokoh basis komunitas masyarakat Kristen Batak dengan
membangun gereja-gereja berdasarkan marga-marga.
71
Hal ini menandakan bahwa pendekatan ini ingin menanamkan basis komunitas dalam aspek kekerabatan
masyarakat Batak atau Dalihan Na Tolu. Dengan pendekatan ini maka wilayah
68
Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, hl. 80.
69
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 79.
70
Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 154.
71
Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 46.
Ompu i
|111
yang dicakup adalah setiap harajaon-harajaon kerajaan bius yang dalam kehidupan sosial masyarakat Batak menjadi dominasi dari marga-marga tertentu
sebagai pemilik wilayah cuius region eius religio. Misalnya saja Gereja Simarangkir yang merupakan basis dari marga Simorangkir, dsb. Walaupun setiap
gereja tidak dibangun di setiap huta, namun hal ini cukup dalam mengawasi adanya pertikaian-pertikaian yang terjadi, baik di tingkat huta hingga bius. Selain pendirian
gereja, ia pun juga menempatkan marga-marga setempat untuk mengisi gereja atau pos-pos Pekabaran Injil PI tersebut.
72
Dengan pendekatan ini maka Kekristenan semakin menyebar dengan cepat, di mana pada tahun 1881 sudah ada enam distrik
atau lingkungan, yakni Sipiriok, Sigompulon – Pahae, Sibolga, Silindung,
Humbang dan Toba yang kesemuanya merupakan gambaran dari peta marga-marga Batak.
73
Pendekatan Nommensen kepada adat dan budaya dalam sistem sosial masyarakat Batak pada dasarnya membangun dan memperkokoh pondasi kerajaan
Kekristenan yang ia bangun. Bahkan prinsip ini dilakukan oleh Nommensen dengan menempatkan empat orang penatua sintua bersama-sama dengan raja dalam
mengawasi harajaon Kristen bius yang diatur oleh aturan peraturan. Sesuatu hal yang dilakukannya untuk mengantisipasi adanya penolakan-penolakan yang
dilakukan para penganut yang masih memeluk agama tradisional.
74
Menurut saya, penempatan penatua menjadi pendamping raja justru menjadi suatu reproduksi baru
atas kerajaan Kekristenan dalam menggantikan peran kelompok Parbaringin
72
Ibid., hl. 46.
73
Ibid., hl. 47.
74
Ibid., hl. 51.
Ompu i
|112
sebagai pendamping raja, terlebih ketika pesta bius yang menjadi upacara kegiatan bagi agama tradisional Batak yang juga melibatkan kelompok Parbaringin sendiri
dilarang dan dihilangkan dari kegiatan-kegiatan bius. Usaha yang dilakukan ini tidak berhenti sampai di situ saja tetapi terdapat
juga usaha dari para misionaris untuk menyatukan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh raja baca: bius, yaitu dengan melibatkan para raja juga dalam suatu kegiatan-
kegiatan formil, misalnya pesta mission pesta zending, serta mewadahi aspirasi dari setiap wilayah kekuasaannya dengan diciptakannya rapat yang melibatkan para
raja dan penatua sintua sebagai suatu komunitas Kekristenan.
75
Dengan pendekatannya ini, Nommensen justru lebih sibuk dengan urusan-urusan sosial
politik masyarakat, sehingga dengan melibatkan raja maka otomatis para misionaris dibebaskan dari beban masalah tersebut.
76
Pendekatan terhadap raja, serta pengawasan terhadap bius-bius justru mempertegas posisi Nommensen sebagai raja
ompu i atas raja-raja bius Kristen. Semakin berjalannya waktu dan semakin banyak raja yang mengikuti
Kekristenan membuat RMG yang dipelopori Nommensen dan Johannsen akhirnya memisahkan urusan sekuler dengan gerejawi dengan terbentuknya aturan-peraturan
yang menyangkut hukum gereja pada 1866 dan diikuti peraturan atau undang- undang sipil untuk orang Kristen pada 1867 yang mengurus masalah perkawinan,
pencurian, judi, bekerja di hari minggu.
77
Dengan adanya undang-undang sipil ini
75
Surat Kuliling Immanuel No. 6, Juni 1893.
76
Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 65.
77
Seperti yang diutarakan oleh Schreiner bahwa undang-undang sipil ini tidak ditemukan naskahnya. Ibid., hl. 63-64.
Ompu i
|113
maka dimulailah pembentukan suatu adat Kristen yang terpisah dengan urusan rohani, sedangkan adanya hukum yang mengatur gereja berarti manandakan
dimulainya organisasi struktural gereja yang berdasarkan bius-bius atau adat Batak yang merupakan cikal bakal dari organisasi Episkopal yang ada di HKBP sekarang,
di mana hukum selalu berjalan dari atas ke bawah. Adanya pemisahan ini justru sangat berbeda dengan pemahaman masyarakat Batak tradisional yang memiliki
kesatuan hukum.
78
Namun demikian walaupun memiliki dua aturan bukan berarti terjadi pemisahan sepenuhnya antara sekuler dengan agama. Kesatuan tersebut
masih tetap tidak dapat dipisahkan. Bahkan saya melihat pemisahan ini justru menandakan kekuasaan Nommensen terhadap urusan rohani dan sekuler, di mana
Nommensen menjadi misionaris yang paling memahami dalam urusan adat dan budaya Batak.
3. Campur Tangan Pemerintahan Kolonial: Rezim Kekuasaan dan Kekerasan
Setelah melihat mengenai pendekatan RMG kepada pentingnya adat dan budaya masyarakat Batak, dalam hal ini kepada raja-raja sebagai pelaksana adat,
maka usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dalam menaklukkan raja-raja tak dapat dilepaskan dengan tampilnya pemerintahan kolonialis Belanda melalui aksi
militerisme atau kekerasan. Keterlibatan ini tak dapat dipungkiri sebagai upaya dalam mendukung perluasan Kekristenan di Tanah Batak.
78
Walaupun dalam budaya Batak memiliki dua urusan dalam Pustaha laklak rohani dan Pustaha Tumbaga duniawi, namun kesatuan hukum tetap tercipta. Dua pustaha ini tetaplah
menjadi sumber dalam masyarakat Batak tradisional, termasuk juga undang-undang yang dibuat oleh Raja Singamangaraja XI dan XII yang pada waktu itu pemisahan sekuler dan rohani belum ada.
Bdk. Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 234-235.
Ompu i
|114
Pada awal-awal permulaan penginjilan memang terlihat bahwa para Misionaris, terutama Nommensen tidak menghendaki akan masuknya
pemerintahan kolonial Belanda yang menganggap bahwa masuknya pemerintahan kolonial Belanda sejalan dengan masuknya Islamisasi di Tanah Batak. Namun
dalam pandangan ini bukan berarti bahwa pihak RMG sendiri menghindari akan keterlibatan pemerintah kolonial. Para misionaris justru menghendaki akan adanya
kesepemahaman dengan pemerintah kolonial. Yang artinya penginjilan dan kolonialisme haruslah berjalan bersama-sama. Prinsip serupa juga dipahami oleh
Raja Pontas Lumbantobing yang notabene adalah seorang pribumi, terlebih ketika Kekristenan telah menyebar di tanah Batak.
79
Bagi pihak RMG sendiri, keberadaan pemerintah kolonial tidak dapat dipisahkan, karena hal ini berkaitan dengan kerjasama yang dilakukan kedua belah
pihak berupa pembiayaan atau bantuan dana,
80
sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan keduanya merupakan suatu keniscayaan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa mengikuti Kristen berarti tunduk kepada kolonialisme. Hal ini juga dicatat oleh J. Silitonga seperti yang kutip oleh Aritonang:
“Raja Pontas menganjurkan masyarakat Sipahutar untuk menerima zending atau Injil dan pemerintah” Dan menurut pemahaman Silitonga Silindung aman karena Raja
Pontas atas anjuran Nommensen – mau tunduk kepada Belanda.”
81
Campur tangan pihak kolonial dengan RMG baru terasa ketika RMG sendiri memasuki dan melakukan misinya ke wilayah Utara, yakni Toba, di mana menurut
79
Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 70.
80
Lih. S.C. Graaf van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan “Lembaga-Lembaga
Pekabaran Injil yang Bekerjasama” 1897-1942 Jakarta: BPK Gunung Mulia,1989, hl. 165.
81
Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 155.
Ompu i
|115
Uli Kozok, bentuk campur tangan tersebut berupa aksi militer ke beberapa wilayah Toba, sehingga terjadi koalisi keduanya karena memiliki musuh yang sama, yakni
Raja Singamangaraja XII. Menurutnya koalisi ini terus berlanjut hingga kematian Raja Singamangaraja XII.
82
Peristiwa ini dikatakan sebagai Perang Toba Pertama 1878.
Pandangan ini
didasarkan atas
Bericht der
Rheinischen Missionsgesellschaft BRMG 1878 yang berasal dari surat Nommensen 20 Juni
1878 mengenai “Laporan Terakhir tentang Perang di Toba.” Namun selain mengincar Raja Singamangaraja XII sebagai musuh utama dari pemerintahan
kolonialis beserta RMG namun dari isi surat tersebut mengindikasikan bahwa bentuk ekspansi ke wilayah Toba adalah juga bertujuan untuk menaklukkan raja-
raja bius, khususnya yang menolak kehadiran misionaris. Dalam surat tersebut dikatakan bahwa Nommensen menjadi saksi mata dan
ikut di dalam perjalanan bersama militer Kolonial yang dibantu dengan orang-orang Kristen dari Silindung
– sesuatu yang tidak bisa diharapkan dari orang muslim – untuk mengekspansi wilayah-wilayah Toba. Namun demikian mengenai tujuan dari
ekspansi ini menurutnya bahwa hal ini tak lepas dari telah masuknya orang Aceh di wilayah Toba, sehingga para penginjil merasa perlu untuk meminta bantuan
pemerintahan kolonial sebelum terjadinya Islamisasi yang akan menjadi penghambat bagi masuknya Injil:
“Oleh Sebab itu kami merasa perlu meminta-agar pemerintah menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan itu dari barus dan
Singkil, dan sama dengan kami tidak menginginkan orang Aceh menetap di Toba, ternyata sudah mengirim pasukannya.”
83 82
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 94-95.
83
BRMG Desember 1878 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl.139.
Ompu i
|116
Perjalanan Nommensen beserta pasukan dimulai dari wilayah Bahal Batu dan kemudian menguasai wilayah kampung-kampung sekitar, yakni Butar, untuk
seterusnya melanjutkan ekspansinya ke wilayah utara. Beberapa wilayah Toba dikuasai, termasuk diantaranya Bangkara yang menjadi pusat kekuasaan Raja
Singamangaraja XII. Walaupun Nommensen ikut di dalam rombongan militer namun ia selalu menekankan kepada pemerintah kolonial untuk terlebih dahulu
mengedepankan dialog kepada para raja dan masyarakat agar mau tunduk kepada pemerintah kolonial, dikarenakan setiap kampung yang menolak untuk tunduk
kepada pemerintahan kolonial maka kampungnya akan dibakar dan di denda oleh pemerintah kolonial. Ada beberapa kampung yang menolak untuk tunduk misalnya
di bius Bangkara, Lobu Siregar, dll., namun ada juga yang langsung menyerahkan diri tanpa melakukan perlawanan sama sekali. Raja menjadi pusat sasaran dalam
berdialog yang dilakukan Nommensen dengan alasan tunduknya raja maka akan diikuti oleh para pengikutnya.
“Jerit tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema diseluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang dihormati dan
ayah Sembilan anak, dan memintanya agar jangan terlalu cepat membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan meyakinkan mereka agar menyerah
dan tunduk pada Belanda.”
84
Pasca Perang Toba pertama maka sebisa mungkin para misionaris untuk menghilangkan trauma yang ditinggalkan akibat perang, sehingga kekawatiran
akan kebencian terhadap Eropa tidak terjadi. Dalam ekspansi tersebut menurut Nommensen ekspansi ini sangat membantu kedua belah pihak, yakni pemerintah
kolonial dan RMG sendiri.
84
Ibid., hl. 145.
Ompu i
|117
“Penaklukan Toba amat penting untuk pemerintah Belanda, tetapi lebih penting lagi untuk zending kita. Sekiranya Singamangaraja beserta dengan sekutunya, baik
Islam, Aceh maupun yang lain, berhasil mengusir para penginjil dan menghapus agama Kristen di Silindung maka akibatnya bukan revitalisasi kekafiran melainkan masuknya
agama Islam, dan kemungkinan agama Kristen berkembang di sini menjadi hampir sirna.”
85
Namun menurut para Missionaris perang ini justru membawa masyarakat Batak Toba keluar dari keterisolasinnya dan terbuka terhadap pengaruh Eropa.
86
Pasca Perang Toba pertama maka banyak orang Toba yang berbondong-bondong masuk Kristen, seturut dengan takluknya para raja dengan mengikuti perintah
pemerintahan kolonial, serta memeluk agama Kristen. Sedangkan bagi para Misionaris maka pemerintahan kolonial Belanda memberikan penghargaan dan
bantuan dana sebesar 1000 Golden kepada para Misonaris melalui Gubernur Sumatra.
87
Peta Ekspedisi Militer 1878
88
85
BRMG 1882 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 155.
86
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 156.
87
Ibid., hl. 93-94.
88
Diambil dari Ibid., hl. 112.
Ompu i
|118
Selain dalam menaklukkan raja-raja di Tanah Batak untuk memperluas wilayah pekabaran Injil maka usaha pemerintahan kolonialis beserta RMG juga
diikuti dengan memperkecil ruang kelompok Parbaringin di tengah-tengah masyarakat Batak tradisional. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagai suatu lembaga,
kelompok Parbaringin ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mempersatukan masyarakat Batak tradisional; dalam hal ini kesatuan akan raja-raja
bius; serta mempertahankan dinasti Singamangaraja. Hal ini tentunya yang menjadi penghambat bagi masuknya Kekristenan dan ekspansi pemerintahan Kolonial.
Dengan pertimbangan tersebut, pihak zending dan pemerintahan kolonial sepakat dalam menciptakan kelompok ini sebagai musuh bersama dengan melarang
kehadiran kelompok ini, serta tidak diberikannya ruang di tengah-tengah masyarakat dengan bentuk pelarangan Pesta Bius.
89
Bentuk campur tangan pemerintah kolonial dengan penginjilan yang dilakukan RMG menandakan konstruk kekuasaan yang dilakukan bangsa Eropa
dalam mengalahkan kekuasaan bangsa primitif sebagai suatu kesepemahaman yang sama dalam bentuk Eropasentrisme. Puncaknya adalah dengan terbunuhnya Raja
Singamangaraja XII oleh pasukan militer kolonial Belanda yang dikomandani Christoffel pada 17 Juni 1907.
Adanya keterlibatan RMG dengan pemerintah kolonial ini juga diakui oleh RMG, kini bernama UEM United Envangelism Mission, dengan permintaan
89
Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah lembaga sosial politik pada abad XIII-XX Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hl 97.
Ompu i
|119
maafnya atas keterlibatan RMG dengan pemerintahan kolonial: pertama pada tanggal 27 September 1971 dan kedua pada tahun 1990.
C. Komunitas Baru: Kerajaan Kekristenan
1. Media dan Komunitas yang Dibayangkan
Selain adanya keterlibatan pemerintahan kolonial, maka usaha lain yang dilakukan oleh RMG sebagai suatu konstruk kekuasaan di Tanah Batak adalah
dengan menciptakan komunitas baru, yakni kerajaan harajaon Kekristenan, untuk menggantikan komunitas yang lama. Tentunya, dengan penciptaan komunitas baru
ini akan terlihat bentuk-bentuk kolonialisme dalam hubungan penjajah dengan yang dijajah, sikap superior dan inferior dalam bentuk relasi kuasa, serta bentuk-bentuk
penyikiran melalui pembentukan opini umum. Penciptaan atau pembentukan harajaon kerajaan Kristen di Tanah Batak
tidak dapat dilepaskan dengan diciptakannya Surat Kuliling Immanuel. Sama halnya dengan buku atau media cetak lainnya, maka Surat Kuliling Immanuel dapat
mewakili keberadaan media cetak lainnya atau yang Bennedict Anderson katakan sebagai kapitalisme cetak print capitalism yang memiliki pengaruh kepada
masyarakat, karena bersinggungan dan hadir di tengah-tengah masyarakat. Pengaruh tersebut dapat menciptakan kesatuan masyarakat atau pembentukan
komunitas. Di sini, saya akan melihat dan mengkaji majalah ini, karena menurut Foucault, melalui literatur akan terlihat hubungan antara pekerjaankarya dengan
Ompu i
|120
bahasa, di mana reproduksi atau konstruksi dari suatu pelaku dapat terlihat.
90
Dengan kata lain, kehadiran Surat Kuliling Immanuel akan membawa kepada karya besar RMG yang menyangkut visi, tujuan, dan strategi dalam menciptakan
komunitas baru. Surat Kuliling Immanuel ini dibuat oleh misionaris Jacobus H. Meerwaldt
yang terbit pertama kali pada 1 Januari 1890 dengan melihat keinginan A. Schreiber, Inspektur Barmen pada waktu itu.
91
Ia mengasuh Surat Kuliling Immanuel pada periode 1890-1895 dan 1904-1916.
92
Walaupun Surat Kuliling Immanuel ini diasuh secara bergilir oleh para misionaris, namun ide besar yang
menyangkut isi dan struktur penulisan tidak dapat dilepaskan dari Meerwaldt. Kini majalah ini bernama Surat Parsaoran SP Immanuel dan menjadi majalah resmi di
HKBP.
93
Surat Kuliling Immanuel dapat dikatakan sebagai majalah komunitas, karena isinya mengenai isu-isu pastoral, refleksi, pengetahuan Alkitab, theologi dan
dogma Kristen, sejarah dan pengajaran, berita-berita misi dan pengetahuan popular matematika, dsb yang menyangkut kebutuhan komunitas Batak.
94
Dengan terbit sebulan sekali, maka surat ini diedarkan dan diperuntukkan kepada Pendeta Batak
90
Michel Foucault, Language, Madness, and Desire On Literature Minneapolis: University of Minnesota Press, 2015, hl. 46.
91
Tahun 1890 sebagai tahun terbit pertama kali Surat Kuliling Immanuel ini berdasarkan pengesahan HKBP yang tertulis di halaman pertama Majalah SP Immanuel HKBP dan Almanak
HKBP di lembaran “Angka Taon Siingoton”, walaupun konsep Surat Kuliling ini telah ada pada 1 Oktober 1889. Lih. Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889.
92
Rachman Tua Munthe, Allah Beserta Kita: Respons HKBP atas Kondisi Sosial – Politik
di Indonesia Periode 1890-1965 Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, hl. 29.
93
Tahun 1890 sebagai tahun terbit Surat Kuliling Immanuel maka komunitas Kristen di Tanah Batak telah memiliki 18 Jemaat Induk; 81 Jemaat cabang; 18.207 anggota jemaat; Pengerja
Barat yang terdiri dari 22 Pendeta dan 1 schwester; pengerja pribumi terdiri dari 11 pendeta Batak, 88 guru dan 272 penatua majelis; Sekolah yang terdiri dari 92 SD dan 1 Sekolah Lanjutan dengan
jumlah murid 2.666. Lih. Ibid., hl. 28.
94
Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink eds., A History of Christianity in Indonesia Leiden: Brill, 2008, hl. 958.
Ompu i
|121
dan guru-guru yang ada di Sekolah Tinggi untuk menambah pengetahuan mereka, serta tidak menutup kemungkinan masyarakat Batak Kristen yang melek huruf
dengan membayar ganti rugi sebesar 1,25 ringgit selama setahun.
95
Karena sifatnya juga diperuntukkan kepada masyarakat maka Surat Kuliling Immanuel juga
membuka ting-ting atau boa-boa berita atau “iklan” bagi masyarakat Batak
Kristen yang mau diberitakan di majalah ini dengan membayar 0,25 ringgit.
96
Faktor Surat Kuliling Immanuel sangatlah penting bagi pembentukan komunitas terutama kepada orang-orang yang melek huruf, di mana sekolah dan
pendidikan menjadi faktor pendukung dari imajinasi ini, namun demikian hal ini juga tidak menutup dipahami juga oleh orang-orang buta huruf, mengingat Surat
Kuliling ini menjadi satu-satunya media atau pemberitahuan ting-ting dalam lingkungan internal masyarakat Kristen di Tanah Batak yang juga dijadikan bahan
kotbah, warta ibadah, kesaksian, pengajaran, dll. dalam setiap kegiatan atau aktivitas RMG, termasuk dalam ibadah minggu.
Mengenai Meerwaldt sendiri, ia menjadi sosok penting dibalik kehadiran buku-buku atau media cetak yang dikeluarkan oleh RMG di Tanah Batak. Selain
Surat Kuliling Immanuel, ia juga menerbitkan buku anak-anak sekolah, seperti Bunga-Bunga Na Angur, Tolu Pulu Onom Turpuk Sidjahaon Ni Anaksikola, dsb. Ia
sangat mengandalkan fungsi buku atau media cetak sebagai bentuk pengajaran dalam mengubah pemahaman masyarakat.
95
Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889. Lihat juga J.T. Nommensen, Ompu I Dr. Ingwer Ludwig Nommensen Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974, hl. 164. Menurut J.T. Nommensen
Surat Kuliling Immanuel dicetak menggunakan Hektograph oleh Jonatan, salah seorang guru.
96
Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889.
Ompu i
|122
Menurut Ben Anderson, kehadiran kapitalisme cetak, seperti yang ia kutip dari Francis Bacon, telah mengubah tampilan dan keadaan dunia.
97
Hal ini diyakini atas kehadiran kapitalisme cetak di dalam suatu peradaban manusia. Namun
berkaitan dengan suatu komunitas maka lebih jauh Ben Anderson melihat bahwa pengaruh tersebut memungkinkan terciptanya bentuk baru komunitas terbayang,
98
atau singkatnya, komunitas yang baru akan tercipta melalui kapitalisme cetak. Hal ini juga ditunjukkan dengan kehadiran Surat Kuliling Immanuel di mana
kehadirannya justru memberikan imajinasi akan suatu komunitas yang baru, yakni kerajaan harajaon Kristen. Yang menariknya kemudian kehadiran Surat Kuliling
Immanuel juga menghadirkan yang Ben Anderson definisikan sebagai ajang terciptanya pertukaran atau komunikasi, adanya kepastian baru dalam bahasa, serta
adanya bahasa kekuasaan yang berbeda dengan bahasa ibu aslinya.
99
Definisi ini ingin menerangkan pengaruh penting dari kapitalisme cetak sebagai suatu sarana
atau alat dalam menciptakan kekuasaan atau sebagai reproduksi kekuasaan yang di dalam fungsinya sebagai literatur dapat terlihat akan adanya karya atau usaha
tersebut dari subjek. Surat Kuliling Immanuel tidak hanya selembaran yang ditulis dengan
tangan, tetapi isinya melahirkan suatu imajinasi yang membentuk komunitas baru. Mekanismenya adalah sebagai komunitas, masyarakat Batak tidak lagi hanya
membayangkan dirinya sendiri. Hal ini tercipta dengan adanya berita-berita atau
97
Bennedict Anderson, Imagined Community: Reflections on The Origin and Spread of Nationalism London: Verso, 2006, hl. 37.
98
Ibid., 46.
99
Ibid., hl. 44-45. Walaupun Ben Anderson mengartikan istilah kapitalisme cetak ini kepada bentuk nasionalisme, namun saya melihat, nasionalisme dan internasionalisme agama dalam
membentuk dan menciptakan komunitas baru yang berbeda dari komunitas tradisional.
Ompu i
|123
kabar-kabar di Surat Kuliling Immanuel mengenai pekabaran Injil yang dilakukan RMG, baik yang ada di Tanah Batak maupun di luar Tanah Batak, yakni Afrika,
Papua, Eropa Jerman dan Borneo.
100
Imajinasi seperti ini akan mengkonstruk rasa ke”kita”an dalam suatu komunitas baru di bawah bendera RMG melalui pertukaran
atau komunikasi yang sebelumnya dalam masyarakat Batak tradisional sendiri masih terikat dengan batasan suatu wilayah, yakni bius dan huta. Sikap bela rasa
dapat lahir dari imajinasi seperti ini. Namun dari kasus ini yang pasti, jikalau melihat pemikian Ben Anderson, maka komunitas baru yang dibentuk dari lahirnya
kapitalisme cetak adalah komunitas tersebut tidak lagi hanya membayangkan dirinya lagi, melainkan kepada bangsa-bangsa diluar dirinya.
Selain menciptakan komunikasi dalam komunitas maka faktor penting lainnya dari kehadiran kapitalisme cetak menurut Ben Anderson adalah bahasa,
baik yang menyangkut kepastian baru dalam bahasa, serta adanya bahasa kekuasaan yang berbeda dengan bahasa ibu. Hal ini menandakan bahwa bahasa bukan hanya
digunakan sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai alat kekuasaan. Di dalam surat kuliling Immanuel sangatlah jelas terlihat bahwa bahasa digunakan untuk
mereproduksi kekuasaan, bahkan bahasa tersebut juga direproduksi oleh RMG. Walaupun penggunaan bahasa dalam majalah tersebut adalah bahasa Batak-Toba
101
namun hal ini tak lepas dari reproduksi yang digunakan oleh RMG. Bahasa lama diganti dengan bahasa baru; dan hal ini akan membedakan suatu komunitas baru
100
Surat Kuliling Immanuel menampilkan kisah-kisah pekabaran Injil yang tidak hanya di Tanah Batak tetapi juga di luar Tanah Batak, yakni Borneo, Namibia, Papua. Misalnya seperti di
Surat Kuliling, No. 7, 1 Juli 1892, No. 8, 1 Agustus 1893, dll.
101
Bahasa Batak-Toba selalu digunakan oleh RMG dalam melakukan misinya di Tanah Batak, termasuk ke wilayah Simalungun. Walaupun daerah-daerah tersebut memiliki sedikit
perbedaan bahasa namun Bahasa Batak-Toba menjadi bahasa penghubung.