Komunitas Baru: Kerajaan Kekristenan

Ompu i |123 kabar-kabar di Surat Kuliling Immanuel mengenai pekabaran Injil yang dilakukan RMG, baik yang ada di Tanah Batak maupun di luar Tanah Batak, yakni Afrika, Papua, Eropa Jerman dan Borneo. 100 Imajinasi seperti ini akan mengkonstruk rasa ke”kita”an dalam suatu komunitas baru di bawah bendera RMG melalui pertukaran atau komunikasi yang sebelumnya dalam masyarakat Batak tradisional sendiri masih terikat dengan batasan suatu wilayah, yakni bius dan huta. Sikap bela rasa dapat lahir dari imajinasi seperti ini. Namun dari kasus ini yang pasti, jikalau melihat pemikian Ben Anderson, maka komunitas baru yang dibentuk dari lahirnya kapitalisme cetak adalah komunitas tersebut tidak lagi hanya membayangkan dirinya lagi, melainkan kepada bangsa-bangsa diluar dirinya. Selain menciptakan komunikasi dalam komunitas maka faktor penting lainnya dari kehadiran kapitalisme cetak menurut Ben Anderson adalah bahasa, baik yang menyangkut kepastian baru dalam bahasa, serta adanya bahasa kekuasaan yang berbeda dengan bahasa ibu. Hal ini menandakan bahwa bahasa bukan hanya digunakan sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai alat kekuasaan. Di dalam surat kuliling Immanuel sangatlah jelas terlihat bahwa bahasa digunakan untuk mereproduksi kekuasaan, bahkan bahasa tersebut juga direproduksi oleh RMG. Walaupun penggunaan bahasa dalam majalah tersebut adalah bahasa Batak-Toba 101 namun hal ini tak lepas dari reproduksi yang digunakan oleh RMG. Bahasa lama diganti dengan bahasa baru; dan hal ini akan membedakan suatu komunitas baru 100 Surat Kuliling Immanuel menampilkan kisah-kisah pekabaran Injil yang tidak hanya di Tanah Batak tetapi juga di luar Tanah Batak, yakni Borneo, Namibia, Papua. Misalnya seperti di Surat Kuliling, No. 7, 1 Juli 1892, No. 8, 1 Agustus 1893, dll. 101 Bahasa Batak-Toba selalu digunakan oleh RMG dalam melakukan misinya di Tanah Batak, termasuk ke wilayah Simalungun. Walaupun daerah-daerah tersebut memiliki sedikit perbedaan bahasa namun Bahasa Batak-Toba menjadi bahasa penghubung. Ompu i |124 dari yang lama. Artinya, konstruksi ini menciptakan adanya bahasa yang baru. Di dalam Surat Kuliling Immanuel sendiri sangat tampak adanya peralihan bahasa lama ke bahasa baru ini, walaupun sama-sama menggunakan bahasa Batak-Toba. Selain diperkenalkannya aksara Latin dalam tulisan di Surat Kuliling Immanuel, maka terdapat juga pengadopsian bahasa dengan menggunakan bahasa lingua franca Melayu atau juga bahasa Sansekerta yang turut juga diadopsi ke dalam bahasa Melayu, walaupun pengadopsian tersebut berasal dari pihak kolonial yang sarat dengan politik kekuasaan, misalnya saja kata tuan, Tuhan, nyonya, dll. 102 Meskipun demikian dalam pemakaian bahasa Melayu ini, RMG sendiri masih bersifat selektif di dalam pelaksanaannya akibat pemahaman RMG yang menganggap bahasa Melayu telah diresapi oleh agama Islam. 103 Namun gelombang besar dari pemakaian bahasa Melayu menyebabkan, mau tidak mau, bahasa melayu juga diadopsi di dalam Surat Kuliling Immanuel. Peralihan inilah yang berdampak kepada masuknya pengaruh-pengaruh bangsa lain ke dalam masyarakat Batak, seturut dengan membayangkan bangsa lainnya sebagai bentuk melepaskan keterisolasiannya dalam membentuk komunitas yang baru. Selain masuknya bahasa-bahasa baru, maka di dalam penciptaan bahasa yang baru juga terlihat dalam penciptaan makna dalam bentuk penerjemahan. Dalam dunia perbincangan mengenai misiologi, bahasa sering menjadi pembahasan, terlebih ketika menyangkut masalah penerjemahan pada masa 102 Menurut Saya Sasaki Shiraishi, istilah tuan, nyonya mengakomodasikan hirarki kolonial. Pandangannya ini berdasarkan Ki Hadjar Dewantara yang melihat istilah-istilah tersebut menyiratkan status superioritas dan inferioritas. Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia Dalam Politik Jakarta: KPG, 2001, hl. 136-137. 103 Bdk. Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit, hl. 215. Ompu i |125 kolonialisme. Penerjemahan dipandang bukan hanya menerjemahkan setiap kata melainkan sebagai suatu strategi untuk melihat makna yang terdapat di dalam suatu kalimat, selain dari menghindari kata-kata yang terisolasi. Dalam penerjemahan maka penting untuk melihat istilah yang digunakan dalam bahasa tradisional. 104 Salah satu contoh yang paling terlihat adalah penerjemahan untuk menghindari istilah yang berbau sinkretisme. Hal ini berlaku ke semua literatur, baik Alkitab, Katekismus, Kamus, dll. Hal yang sama juga dilakukan RMG dalam melakukan strategi penerjemahannya. Bentuk penerjemahannya, seperti yang dicatat oleh Uli Kozok: “…Warneck 1904 menjelaskan kebijakan bahasa yang ditetapkan oleh RMG: Bahasa sasaran bahasa-bahasa Batak dipandang sebagai musuh yang harus diubah menjadi alat yang penurut. Sebagai bagian inti Volkstum Batak, bahasa sasaran harus dilestarikan dalam “kemurnian bahasanya,” tetapi sekaligus Warneck juga menyadari bahwa bahasa sasaran itu harus dikembangkan. Dalam bahasa-bahasa Batak terdapat sejumlah kata Pinjaman dari bahasa Sanskerta yang menurutnya sesuai dengan tujuan- tujuan zending. Kata-kata debata Tuhan, dosa, portibi dunia, sorga diangkat menjadi dalam terminologi Kristen.” 105 Di dalam penerjemaahan maka konstruksi bahasa yang dilakukan RMG juga memasukkan atau menciptakan makna baru dalam meluaskan penyebaran Kekristenan, serta menciptakan musuh atau kriminal di dalam penerjemahannya. Misalnya adalah mengenai istilah begu. Pada awalnya istilah ini dikenakan bagi agama tradisional Batak dalam menyebut ‘penyembah roh nenek moyang.’ Namun 104 Otto Zwartjes, “The Missionaries’ contribution to Translation Studies in The Spanish Colonial Period”, dalam Otto Zwartjes, cs. eds. Missionary Linguistic V: Translation Theories and Practies Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 2014, hl. 7-8. 105 Uli Kozok, “Sejarah Terjemahan di Tanah Batak” dalam Henri Chambert-Loir, Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia Jakarta: KPG, 2009, hl. 258. Ompu i |126 kemudian RMG memaknainya dan membuat terjemahannya ke dalam Alkitab sebagai daimon atau roh-roh jahat setan. Hal ini juga diakui oleh Warneck sendiri: “Kita harus mengubah konsep itu sehingga begu tidak lagi dilihat sebagai roh-roh nenek moyang yang meminta persembahan, tetapi sebagai para pembantu Setan Hal ini menimbulkan perlawanan yang sangat besar dalam pikiran orang Batak. 106 Dengan konstruksi ini maka Warneck sangatlah menginginkan pembedaan yang jelas antara Kekristenan dengan agama tradisional Batak yang dianggapnya sebagai musuh, di mana citra penyembah nenek moyang dianggap sebagai figur yang jahat setan.

2. Misi Pengadaban

Di dalam pembentukan komunitas baru, maka usaha RMG sebagai badan misi adalah dengan melaksanakan misi pengadaban. Misi ini dilakukan melalui pendidikan yang sesuai dengan pendidikan Eropa kepada masyarakat Batak. Dengan penilaian atas masyarakat Batak yang dungu atau bodoh maka pendidikan dilaksanakan sebagai bentuk pengasihan dari para Misionaris. 107 Beberapa sekolah didirikan untuk mendidik masyarakat Batak; mulai dari pengetahuan umum, kesehatan, pengetahuan keagamaan, dan ketrampilan. RMG 106 Ibid., hl. 259-260. 107 Hal ini seperti dicatat oleh Pdt. Jan S. Aritonang: “walaupun para zendeling menilai agama suku Batak itu sebagai kegelapan finsternis ataupun kedunguan thorheit dan upacara- upacaranya sebagai keberhalaan yang terkutuk, namun mereka tidak secara agresif mempersalahkan penganut agama suku itu. Bahkan mereka dipandang sebagai “orang-orang Batak yang malang”, yang layak dikasihani dan ditolong.” Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit, hl. 153. Ompu i |127 berpandangan bahwa pendidikan haruslah sejalan dengan pekabaran Injil sebagai suatu misi pengadaban. Dengan pemahaman ini maka pendirian sekolah haruslah melihat jemaat yang ada, karena jemaat dengan sekolah merupakan satu kesatuan. Hal ini seperti digambarkan dalam Tata Gereja 1881 mengenai aturan pendirian sekolah: 108 Pada setiap desa yang di antara penghuninya terdapat 50 keluarga Kristen, atau pada gabungan beberapa desa dengan jumlah keluarga Kristen yang serupa, maka pada desa itu harus didirikan sebuah sekolah. Selain fungsi pendidikan kepada masyarakat Batak melalui sekolah-sekolah maka RMG juga selalu mengusahakan pengajaran kepada para raja, kaum imam parhalado selaku pembantu para Misionaris. Hal ini terlihat dari adanya bahan- bahan pelajaran pengetahuan umum di Surat Kuliling Immanuel yang dikeluarkan oleh RMG, seperti ilmu berhitung matematika, geografi, budaya, dsb, selain, tentunya pengetahuan tentang agama Kristen yang menyangkut etika dan teologi. Misalnya saja di Surat Kuliling Immanuel di edisi No. 2 terbit pada 1 Februari 1893 yang menampilkan pertanyaan mengenai nama-nama gunung di Eropa, atau edisi No. 5 terbit pada 1 Mei 1893 yang memuat tentang pelajaran berhitung dalam mengukur luas tanah, dsb. Proses pengadaban yang dilakukan oleh RMG memang pada awalnya didahulukan dan diperuntukkan kepada para pembantu misionaris yang dianggap dapat menyebarluaskan serta mempengaruhi masyarakat Batak sesuai dengan keinginan RMG sendiri. Namun demikian, pendidikan yang dibuat oleh zending dan pemerintah kolonial lambat laun mulai diberikan dan diterima oleh masyarakat 108 Ibid., hl. 164. Ompu i |128 Batak pada umumnya. Bahkan, keinginan masyarakat terus bertumbuh seturut keinginannya untuk bekerja di kantor-kantor kepemerintahan dengan minta pendidikan bahasa Belanda atau Melayu yang notabene kedua bahasa tersebut digunakan di dalam pemerintahan, serta menuntut kesempatan dan penambahan fasilitas belajar. Kehadiran pengajaran-pengajaran dalam majalah tersebut menegaskan akan adanya konstruk atau usaha dalam pembentukan komunitas yang baru berdasarkan pada rasionalitas bangsa Eropa. Paling tidak, adanya bahan pengajaran-pengajaran ini ingin mengubah pemikiran, karakter atau sifat masyarakat Batak tradisional yang dianggap masih primitif dengan pemikiran, karakter atau sifat yang baru, untuk menuju komunitas atau masyarakat modern.

3. Hukum Baru dan Penciptaan Musuh Bersama

Salah satu yang menandakan adanya komunitas baru adalah dengan terciptanya hukum baru sebagai suatu standar baru dalam mengatur kehidupan masyarakat. Di dalam negara-negara terjajah standar hukum juga diberlakukan pemerintahan kolonial selaku pemangku kekuasaan. RMG sebagai badan misi yang merupakan mitra dari pemerintahan kolonial Belanda dalam membentuk kerajaan Kekristenan juga memberlakukan standar hukum baru kepada masyarakat Batak mengganti hukum tradisional. Hal ini menandakan adanya kekuasaan dalam terbentuknya komunitas baru. Memang dalam metode zendingnya RMG tetap menggunakan adat dan budaya Batak, namun hal ini tidak membuat hukum PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ompu i |129 tradisional dalam masyarakat Batak lestari, melainkan dirubah dan digantikan menjadi hukum yang baru. Hal ini sesuai dengan Kotbah J.H. Meerwaldt pada Sinode tahun 1888 yang diucapkan dengan menggunakan dan mengubah umpasa Batak : 109 Tumbuh si rungguk Pada batang pohon tada-tada Berubahlah kini hukum Karena datang si putih mata si bontar mata. Hukum baru tersebut diciptakan sebagai bentuk bagian dari misi pengadaban berupa larangan-larangan yang diberlakukan kepada masyarakat dengan berdasarkan nilai-nilai Kekristenan. Misalnya saja, seperti yang sudah disebutkan diatas, larangan terhadap pesta bius, larangan terhadap mengikuti acara- acara adat yang diberkati oleh raja pasu-pasu raja, palarangan terhadap kelompok Parbaringin, dll. Bahkan mengenai hukum baru tersebut, berpengaruh hingga kepada praktek-praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat Batak, misalnya menyangkut pernikahan, permusuhan, dll, yang kemudian menjadi tata tertib pelaksanaan adat Batak, dan dituliskan oleh Raja Jacob Lumbantobing berjudul Patik dohot Uhum ni Halak Batak. Buku ini kemudian diterbitkan pada tahun 1899 oleh American Mission Press di Singapura. 110 Bagi RMG, hukum baru yang diberlakukan di dalam masyarakat Batak ingin mengganti keyakinan masyarakat Batak tradisional yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Batak sendiri dengan nilai-nilai Kekristenan: suatu 109 Lothar Schreiner , Op.Cit., hl. 54. 110 Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Patik Dohot Uhum Ni Halak Batak Medan: Universitas HKBP Nommensen, 1987, hl. iii. Ompu i |130 komunitas baru yang modern dan dikultuskan. Hal ini dapat terlaksana dan menjadi pengetahuan dalam suatu komunitas bilamana dalam wacana publik selalu membawa atau menyangkutpautkan dengan komunitas itu sendiri, misalnya mengenai adanya berita-berita, laporan cerita storytelling, lagu, dsb. tentang komunitas tersebut. 111 RMG di dalam Surat Kuliling Immanuel juga memberlakukan hal yang sama dengan membawa masyarakat Batak tertentu dalam cerita-cerita yang dikonstruk. Misalnya saja cerita mengenai masyarakat desa Bungabondar yang terjadi pada tahun 1868 yang sebelum menerima Injil maka desa tersebut selalu mendapatkan malapetaka, sehingga menyebabkan banyak masyarakat menjadi Kristen ketika Misionaris, Betz mengabarkan Injil ke tempat tersebut. 112 Pendekatan-pendekatan semacam ini ingin mengkonstruk dan menyentuh masyarakat Bungabondar ke dalam wilayah pengalaman experience masyarakat ketika masyarakat Batak secara umum dan Bungabondar secara khusus mengalami krisis akibat perang Paderi. Bukan hanya masyarakat Bungabondar tetapi juga masyarakat di desa lainnya, misalnya Parausorat, Hutadame, dsb. Namun demikian penciptaan dan penegakan akan hukum yang baru berarti memayungi dan memagari komunitas yang baru, sedangkan untuk komunitas yang masih memegang prinsip-prinsip yang tradisional dianggap berada diluar dari komunitas mereka atau berada diluar hukum mereka. Hal inilah yang kemudian dalam berita atau tulisan, Surat Kuliling Immanuel, penciptaan akan musuh 111 Teun A. van Dijk, “Contextual Knowledge Management In Discourse Production: A CDA Perspective,” dalam Ruth Wodak Paul Chilton eds. A New Agenda in Critical Discourse Analysis Amsterdam: John Benjamin Publishing Company, 2005, hl. 73. 112 Surat Kuliling Immanuel, No.4, 1 April 1892. Ompu i |131 bersama menjadi penting dan mendapatkan tempatnya. Melalui sebuah kepastian bahasa maka akan tercipta bahasa yang tidak lagi membiaskan, melainkan sebuah konstruksi dalam bentuk citra negatif; yang menakutkan, yang mengganggu, kekerasan, dsb, kepada sosok yang dianggap musuh. RMG dalam Surat Kuliling Immanuel menghadirkan 2 musuh bagi kerajaan Kristen, yakni: pertama, Islam, atau yang dalam bahasa Batak dikatakan sebagai Silom. Kelompok Islam yang dimaksud adalah orang-orang melayu di awal-awal permulaan penginjilan dan orang Aceh pada permulaan penginjilan ke wilayah Toba. Keduanya dianggap sama yakni menghambat masuknya pekabaran Injil di Tanah Batak. Untuk urusan ini, para Misionaris sangat menjaga agar Islam tidak masuk ke masyarakat Batak. 113 Bahkan segala cara dilakukan untuk melakukan proteksi tersebut, yakni dengan mengandalkan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda atau dengan pelarangan terhadap orang Kristen untuk tidak ikut serta pesta- pesta atau perayaan parbegu atau Islam. 114 Citra Islam yang dibangun oleh RMG kepada masyarakat Batak Toba pada waktu itu adalah agama yang mengganggu masuknya Kekristenan; atau dengan kata lain menghambat kemajuan yang diberikan bangsa Eropa kepada masyarakat Batak Toba tradisional. Beberapa gambaranya adalah: “…djadi lan ma dipambahen halak silomi paaloalo hata ni Debata. Alai atik pe songoni sai ma hot do baga-baga ni Debata na mandok ndang na mulak bohi anggo hatana, manang di diape didjamitahon. Songoni ma dohot di Prausorat.” jadi Muslim itu semakin melawan firman Tuhan, tetapi walaupun demikian anugrah Tuhan yang 113 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 82. 114 Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 53. Ompu i |132 berkata tidak akan pernah mempalingkan wajahNya selalu setia dan hadir dimanapun firman itu dikotbahkan. Inilah yang terjadi di Prausorat 115 Selain itu, Islam juga digambarkan sebagai agama penipu. Citra ini dibangun sebagai suatu kesaksian dari raja-raja yang meninggalkan agama Islam di wilayah Sipirok. “songon na monang ma djolo hasilomon idaon, ai ido diihuthon angka radja dohot angka na sangap ro di lan halak na torop , alai ndang manongtong hamonangannai, tibu ma tanda ugamo pangansi…” pada awalnya agama Islam dapat memenangi pengaruhnya terhadap para raja dan beberapa orang yang berpengaruh sehingga diikuti oleh banyak orang, tetapi kemenangannya itu tidaklah abadi, lambat laun muncullah pandangan sebagai agama pembohong.. 116 Kedua gambaran tersebut sengaja digunakan di dalam konteks di mana Islam semakin menyebar di wilayah Tapanuli Selatan. Beberapa desa telah memeluk agama Islam akibat perang Paderi dan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda, meskipun beberapa desa masih ada yang memeluk agama suku, misalnya di Sipirok, Bungabondar, Prausorat, dll. Bahkan penyebaran ini hingga ke wilayah- wilayah yang memiliki keuntungan ekonomis, misalnya wilayah pesisir, tempat- tempat pemerintahan, dsb, sehingga membuat citra Islam dianggap sebagai pintu dari hamajuon modernisasi dan kesejahteraan. Beberapa masyarakat Batak yang masih memeluk agama suku juga meyakini kemajuan yang diberikan dengan mengikuti Islam. Dengan perkembangan inilah, maka RMG berusaha mengkonstruk pemahaman masyarakat Batak mengenai Islam dengan wacana-wacana yang menyudutkan. J.H. Meerwaldt sebagai penulis Surat Kuliling Immanuel tampaknya paham mengenai masalah yang dihadapi RMG sendiri dengan berangkat dari kisah- 115 Surat Kuliling Immanuel, No. 7, 1 Juli 1892. 116 Surat Kuliling Immanuel, No. 3, 1 Maret 1892. Ompu i |133 kisah lokal, yakni di daerah Prausorat dan Sipirok, tempat di mana Islam sendiri berkembang, yang justru dianggap oleh RMG sendiri telah gagal dalam membawa keinginan masyarakat Batak kepada hamajuon yang sesuai dengan hamoraon kekayaan, hagabeon keturunan, dan hasangapon kemuliaan atau martabat. Pengangkatan kisah ini bukan hanya merubah pandangan masyarakat Batak terhadap agama Islam, tetapi juga memproteksi masyarakat Batak sebagai komunitas baru terhadap Islamisasi yang berkembang seturut masuknya pemerintahan kolonial ke wilayah Toba, di mana pada tahun 1892, tahun di mana tulisan di Surat Kuliling ini telah terbit, pemerintahan kolonial telah menguasai wilayah pedalaman Tanah Batak pasca Perang Toba pertama. Sasarannya adalah para raja yang dianggap menjadi garda terdepan dalam menjaga masyarakat akan masuknya Islam di Tanah Batak, sehingga dalam beberapa hal keteguhan iman raja selalu diutamakan oleh RMG. Kisah di Sipirok di atas adalah salah satu contoh dari banyaknya usaha RMG dalam mendidik para raja dengan memberikan pandangan akan sikap raja yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Bahkan di satu sisi dalam Surat Kuliling Immanuel, RMG juga menampilkan sosok ideal akan ketokohan sang raja dengan menampilkan sosok Raja Pontas Lumbantobing yang selalu menjadi teladan kepada komunitasnya, serta mendukung usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dengan membuka jalan bagi masuknya Kekristenan. 117 117 Lih. Surat Kuliling Immanuel No. 11, November 1893. Ompu i |134 Kisah Raja Pontas ini juga menegaskan akan sikap raja yang memperbolehkan masuknya pendidikan dengan memberikan jalan kepada para imam untuk mengajar dan mendidik anak-anak seperti dalam kisah yang selalu di angkat oleh J.H. Meerwaldt, yakni Halode Na Oemboto Mandjaha Soerat Keledai yang tidak bisa membaca di buku Boengaboenga Na Angoer. 118 Kedua, penciptaan musuh juga dikenakan bagi pengikut agama tradisional Batak yang sering dikatakan sebagai agama sipelebegu agama roh oleh RMG, meliputi: kelompok Parbaringin, para pengikutnya dan Raja Singamangaraja XII. Citra yang dibangun oleh RMG tentang agama ini adalah agama pembohong. Tokoh-tokoh seperti J. Warneck sangat tegas menyatakan bahwa agama ini mengajarkan kebohongan, termasuk dalam hal ini kelompok Parbaringin yang menjadi musuh Kekristenan yang pandai berbohong. 119 Dalam Surat Kuliling Immanuel, hal ini juga sering diungkapkan. “Djala sai di dok angka begui ingkon malum sahitna, hape mate do. Djadi tangkas ma diida saluhut halak, na margabus do begu i sude.”Sangat sering dikatakan oleh orang-orang begu datu bahwa penyakit orang tersebut pasti sembuh, tapi yang terjadi justru kematian. Jadi jelaslah terlihat oleh semua orang bahwa semua begu itu adalah pembohong. 120 Pandangan seperti ini sering diutarakan oleh RMG sebagai upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya ilmu pengetahuan, sehingga masyarakat Batak mau menerima ilmu pengetahuan dan mengijinkan 118 J.H. Meerwaldt, “Halode Na Oemboto Mandjaha Soerat” dalam J.H. Meerwaldt ed. Boengaboenga Na Angoer jilid II: Boekoe Sidjahaon ni Anak Sikola Metmet angka na di Rongkanan Pargindjang Lagoeboti: Pangarongkoman Mission, 1919, hl. 11-13. 119 Joh. Warneck, Op.Cit., hl. 145. Para datu sering menyangkal atas tuduhan para misionaris yang mengatakan pembohong dan sering mengambil keuntungan sendiri. Bdk. Pdt. Dr. Andar M. Lumbantobing, Op. Cit., hl. 38. 120 Surat Kuliling Immanuel, No. 2, 1 Februari 1892. Ompu i |135 masuknya para misionaris dalam proses misi pengadaban, serta meninggalkan pemahaman yang selama ini dikuasai atau dikonstruk oleh kelompok Parbaringin. Konstruk yang dilakukan RMG ini bersifat menyeluruh di segala unsur-unsur atau aspek-aspek dari agama tradisional masyarakat Batak; baik yang menyangkut ilmu pengobatan hingga kepada teologi yang dikembangkan oleh agama suku tradisional tersebut. Selain kelompok Parbaringin, maka citra Raja Singamangaraja juga terkena dampak dari konstruk yang dilakukan oleh RMG. Sikap kekerasan dan pencuri hadir dalam citra Singamangaraja dan pengikutnya. Dalam cerita itu dikatakan bahwa Raja Singamanagaraja XII tidak senang atas yang terjadi pada 1878, yang dalam hal ini menunjuk kepada Perang Toba pertama. Citra ini justru terbalik dari sikap Singamangaraja yang selama ini dikenal toleran, pendamai, dsb. lih. Bab II “…ai tongon do udju di Sipoholon tuan Kessel nangkok ma Si Singamangaraja sian Bangkara tu Lintong ni huta rap dohot torop halak dungi dihaliangi ma bagasi dibahen ma gogo mangungkap, dungi diboan ma angka ugasan tu onan, diribahi ma angka buku, disegai ma angka poti dohot poti marende mangalului ringgit , dungi disurbu ma bagasi….”..persis ketika Tuan Kessel berada di Sipoholon, maka datanglah Si Singamangaraja beserta pengikutnya dari Bangkara ke Lintong ni huta yang kemudian langsung mengelilingi rumah itu dan dibuka kuat, setelah itu diangkatlah harta benda ke pasar, dirubuhkanlah buku-buku, dihancurkan peti-peti dan peti nyanyian untuk mencari ringgit mata uang . Setelah itu diserbulah rumah itu… 121 Selain kisah tersebut masih ada lagi kisah lainnya yang dikonstruk RMG dalam mencitrakan Raja Singamangaraja XII, misalnya rencana pembunuhan yang ingin dilakukan oleh Raja Singamangaraja XII kepada semua pendeta di Bahal Batu dan Silindung Immanuel No. 1 , 1 Januari1891, rencana pasukan Aceh bersama Raja Singamangaraja XII untuk melawan pemerintahan kolonial Immanuel No. 8 121 Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1891. Ompu i |136 1 Agustus 1894, dsb. Raja Singamangaraja XII diyakini oleh kelompok Parbaringin dan masyarakat Batak tradisional sebaga titisan Tuhan. Bersama dengan kelompok Parbaringin, Raja Singamangaraja XII menjadi gerakan yang menentang resistensi masuknya pemerintahan kolonial Belanda dan RMG sendiri. Dengan menghilangkan kekuasaan Raja Singamangaraja XII berarti menghilangkan kesatuan masyarakat Batak tradisional yang selama ini diikat dengan sistem harajaon kerajaan. Para misionaris terutama, Nommensen, beberapa kali bersinggungan dengan Raja Singamangaraja dan sangat mengharapkan agar Raja Singamangaraja XII mau tunduk terhadap pemerintahan kolonial dan menjadi Kristen, meskipun Raja Singamangaraja XII sendiri bersikeras terhadap permintaan Nommensen. Konstruk atas citra Raja Singamangaraja XII yang digambarkan dalam Surat Kuliling Immanuel ini merupakan salah satu dari upaya yang dilakukan oleh RMG untuk mengecilkan pengaruh Raja Singamangaraja XII dengan anggapan bahwa berakhirnya sistem dinasti dalam bentuk kerajaan Singamangaraja, maka nilai-nilai religiusitas yang mengikat secara kesatuan wilayah di Tanah Batak selama ini semakin memudar, termasuk dalam kesatuan kelompok Parbaringin. Atas usaha dalam menciptakan figur kriminal maka RMG menunjukkan kekuasaannya dengan membentuk hukum kerajaan Kekristenan sebagai suatu legalitas atas kehidupan bermasyarakat. Di luar dari hukum tersebut adalah figur kriminal atau sesat, terlebih bagi kelompok Parbaringin dan Raja Singamangaraja XII yang dianggap sangat menghambat perluasan Kekristenan mengingat mereka Ompu i |137 adalah berasal dari Tanah Batak sendiri. Bahkan kabar yang beredar di masyarakat pada waktu itu sampai menyebutkan bahwa Raja Singamangaraja telah menjadi Muslim dan akan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. 122 Kedua penciptaan musuh ini memberikan pengaruh terhadap kesatuan pengikut. Namun bagi orang-orang yang dianggap kriminal menjadi seperti apa yang dikatakan Vicente Rafael sebagai: “embodiement of popular fantasies about justice;” 123 suatu perwujudan atas keadilan yang tidak tercapai.

4. Mempahlawankan Nommensen: Konstruk atas Ompu i Nommensen

Dalam sebuah komunitas yang berbasis kerajaan maka pemimpin menjadi faktor penting dalam menggambarkan identitas komunitas tersebut. Misi penginjilan yang dilakukan oleh RMG dalam membangun komunitas kerajaan Kristen ditandai dengan adanya kekuasaan dalam meninggikan supremasi Bangsa Eropa. Hal ini dipertegas dengan munculnya Nommensen sebagai pemimpin masyarakat Batak. Pasca meninggalnya Raja Singamangaraja XII maka kepemimpinan di dalam masyarakat di isi dalam bentuk yang lain; melalui Kerajaan Kristen maka Nommensen mengisi kekuasaan tersebut. Sebelumnya, ia juga telah memimpin para raja bius, namun wilayahnya masih meliputi Silindung dan sekitarnya. Pasca kematian Singamangaraja XII maka semakin banyaklah raja-raja yang ikut kepadanya. Ia pun mengambil peran yang dilakukan oleh Singamangaraja XII. Misalnya mendamaikan konflik antar huta, horja maupun bius, mengatur 122 Maraknya berita ini seperti dituliskan Meerwaldt dalam majalah Rijnsche Zending. Lih. Mohammad Said, Singa Mangaradja XII Medan: Waspada, 1961, hl. 28-29. 123 Vicente L. Rafael, “Introduction: Criminality and Its Others” dalam Vicente L. Rafael ed. Figures of Criminality in Indonesia, The Philippines, and Colonial Vietnam Ithaca: Cornell University: 1999, hl. 15. Ompu i |138 tatanan onan pekan atau pasar 124 , atau bernegosiasi dengan pemerintah kolonial Belanda dalam perlindungan warga sipil. Hal ini menandakan bahwa ia menjadi “penyambung lidah rakyat” yang dianggap membela adat dan budaya bagi komunitas Batak dari penghilangan budaya yang sempat didengungkan RMG, serta membela kesejahteraan masyarakat Batak dari pemerintah kolonial dan bangsa- bangsa sekitar. Peran besar Nommensen ini mengindikasikan posisi dan kedudukan Nommensen di tengah-tengah masyarakat Batak yang terus berlanjut pasca Nommensen. Misalnya, salah satu yang tercatat adalah, perdamaian atau pemulihan kerukunan di Sipahutar sesama marga Silitonga. Kisah ini di tulis di dalam majalah Suara Batak pada 12 dan 19 Juli 1930 ketika Misionaris RMG masih menginjili di Tanah Batak. Dalam kisahnya memperlihatkan suatu struktur sosial masyarakat Batak yang sudah memiliki pembagian yang jelas antara sekuler dan rohani, namun masih memerlukan Ephorus sebagai suatu juru damai atau saksi perdamaian sebagai sesuatu yang tidak dimiliki di dalam masalah sekuler. 125 Dengan catatan ini maka usaha-usaha yang dilakukan Nommmensen telah meninggalkan jejak dari fungsi jabatan Ephorus. Kebutuhan ini hampir sama dan dapat dilihat dari suatu tradisi adat dan budaya, di mana dalam Suhi ampang Na Opat, bayangan atas 124 Kebijakan dalam mengatur jadwal onan pasar juga dilakukan oleh Nommensen dan beberapa misionaris yang melibatkan raja-raja bius sebagai penguasa wilayah, sehingga tidak ada hari onan yang sama di setiap daerah dan juga tidak ada hari onan pada hari minggu. Hal ini seperti diutarakan oleh Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing. Lih. http:hkbp.or.id20170225dulunya-missionaris-bersama-dengan-bius-dan-raja-berkumpul- untuk-menentukan-hari-onan . Diakses pada 27 Februari 2017. Bahkan menurut Castles kebijakan Onan ini telah dilakukan oleh para Misionaris sebelum masuknya pemerintahan kolonial Belanda ke Tanah Batak. Lih hl. Lance Castles, Op. Cit., hl. 23. 125 Majalah Suara Batak 12 dan 19 Juli 1930 dalam J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba Yogyakarta: LKIS, 1986, hl. 613. Ompu i |139 kedudukan Singamangaraja dipandang sebagai sesuatu yang religius yang menyatukan bius-bius yang ada. Walaupun secara struktural Nommensen dapat dikatakan memiliki kebijakan atas bius-bius, namun kekuasaannya tak lepas dari konstruk yang dibangun oleh RMG sendiri. Wacana-wacana yang dihadirkan di dalam Surat Kuliling Immanuel justru berusaha menciptakan Nommensen yang lebih memiliki kuasa kesaktian dibandingkan Raja Singamangaraja XII. Hal ini terlihat dalam sebuah kisah di Surat Kuliling Immanuel yang mengangkat kisah di Silindung pada tahun 1866. Dalam cerita tersebut ketika Raja Singamangaraja XII beserta pasukannya telah datang untuk membunuh para pendeta Nommensen dan beberapa misionaris dan umatnya, maka seketika itu datanglah wabah penyakit cacar karena Tuhan tidak berkenan kepada mereka. Semua orang ditempat itu terkena cacar, dan pembunuhan itu tidak terjadi. Orang- orang Kristen yang juga ikut terkena cacar maka seketika itu juga langsung sembuh setelah memakan obat yang diberikan oleh Nommensen. 126 Dalam kisah ini tergambarkan citra Nommensen yang bukan hanya dilindungi oleh kuasa Tuhan melainkan ia menjadi penyelamat bagi pengikutnya. Sama halnya dengan kisah ketika Nommensen mendapat pencobaan pembunuhan yang dilakukan oleh para penganut agama tradisional Sipelebegu pada peristiwa acara persembahan kurban agama tradisional di Siatas Barita. Ketika Nommensen hendak dibunuh maka datanglah hujan lebat yang 126 Surat Kuliling Immanuel, No. 11, 1 November 1890. Ompu i |140 membatalkan niat mereka. 127 Kisah ini sering diangkat sebagai suatu kesaktian Nommensen dalam menghadapi para pemeluk agama tradisional. Sebagaimana yang dikatakan oleh para Misionaris bahwa Nommensenlah yang paling sering mendapatkan tantangan dari pemeluk agama tradisional. Dari kisah-kisah tersebut Nommensen dicitrakan dalam bentuk memiliki kesaktian yang lebih tinggi dari kelompok Parbaringin datu, malim, dsb, bahkan termasuk Raja Singamangaraja sebagai titisan Tuhan. Pengangkatan kisah ini menandakan konstruk yang dilakukan oleh para Misionaris berusaha meyakinkan masyarakat Batak kepada kekuatan kesaktian Nommensen yang lebih tinggi dari pada agama tradisional Batak - sebagai sesuatu yang tidak dimiliki agama tradisional. Memang dari beberapa misionaris yang diutus oleh RMG, Nommensen memang menjadi yang terdepan di dalam penginjilan di Tanah Batak. Ia menjadi yang paling memahami kebutuhan dan adat dan budaya masyarakat Batak, sehingga membuat para misionaris selalu bertanya dan mempercayakan tentang rancana- rencana RMG dalam melaksanakan misinya kepadanya, termasuk dalam hal ini mengenai penyusunan tata gereja. Dari seluruh misionaris RMG, ia pun yang paling lama tinggal di Tanah Batak selama 57 tahun dengan memilih untuk menetap di Tanah Batak di saat banyak para misionaris yang justru pulang ke tanah airnya. Ia pun meninggal pada usia 84 tahun dan dikuburkan di Sigumpar. Melihat sepak terjang Nommensen, maka para misionaris pun selalu mengedepankan 127 Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1890. Ompu i |141 Nommensen, termasuk dalam mengangkat citra Nommensen. Puncaknya, ia pun dipilih dan diangkat menjadi ”Overseer” pengawas atau pimpinan tertinggi misi di Tanah Batak pada tahun 1881. Jabatan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari Ephorus. Konstruksi akan kekuasaan Nommensen semakin berpengaruh ketika keluarnya buku berjudul Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen oleh anak kandung Nommensen, J.T. Nommensen pada tahun 1920an dalam bahasa Batak yang kemudian diterjemahkan dengan judul yang sama dalam bahasa Indonesia pada tahun 1970. Paling tidak menurut Jan Aritonang buku ini menjadi awal legendarisasi atas diri Nommensen. 128 Namun menurut saya, buku ini semacam menjadi kanonisasi atas sikap dan sifat kepemimpinan Ompu i, di mana kisah-kisah Nommensen yang ditampilkan dalam buku biografi tersebut - perjuangan dan pengorbanannya - dibayangkan sebagai sosok pemimpin yang mampu membawa keluar bangsa Batak dari keterisolasiannya, yakni Ompu i.

D. Kesimpulan

Penginjilan yang terjadi pada abad ke-18 dan 19 bersamaan dengan munculnya kolonialisme dan rasisme di Eropa. Mereka menganggap bahwa rasionalisme yang ada di dalam nilai-nilai Kekristenan pada waktu itu, tidak bisa dipungkiri, dipandang sebagai yang membawa kemajuan bagi bangsa Eropa. Dengan latar belakang inilah maka reproduksi kekuasaan yang dilakukan oleh 128 Historia, Nomor 27 Tahun III 2016, hl. 63. Ompu i |142 bangsa Eropa merupakan satu kesatuan dengan usaha penginjilan. Tujuannya adalah supremasi bangsa Eropa ditegakkan. RMG sebagai badan zending yang berasal dari Jerman juga melakukan reproduksi kekuasaan atas adat dan budaya yang dianggap primitif. Melalui strategi dan tekhnik maka reproduksi itu terjadi. Mereka mereproduksi sistem struktur masyarakat Batak yang berdasar pada adat dan budaya tradisional, yakni kerajaan tradisional di mana Raja Singamangaraja tampil sebagai penguasa direproduksi menjadi Kerajaan Kristen. Nilai-nilai yang dianggap primitif dihilangkan dengan membangun nilai-nilai modern rasionalitas. Namun demikian RMG tidaklah tampil sendirian. Pemerintah kolonial Belanda ikut membantu dalam terciptanya reproduksi kekuasaan tersebut. Aksi militer berupa kekerasan, pembakaran kampung-kampung dan penaklukan raja-raja yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda adalah wujud dari campur tangan pemerintah kolonial kepada RMG. Aksi militer tersebut dipandang sebagai bentuk pengadaban yang memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik pemerintah kolonial maupun RMG. Hasilnya adalah Kekristenan menyebar dengan pesat di Tanah Batak, dan Nommensen mendapatkan kekuasaan yang sama dengan Singamangaraja. 143

BAB IV ANALISA WACANA: ATURAN DAN PRAKTIK

KEPEMIMPINAN OMPU I Setelah memaparkan dan menjelaskan reproduksi kekuasaan yang dilakukan oleh RMG dan pemerintahan kolonial Belanda maka dalam bab ini, saya akan menganalisa wacana kuasa kepemimpinan Ephorus HKBP melalui gelar Ompu i sebagai objek pengetahuan. Dalam analisa wacana ini, maka dengan studi genealogi akan memberikan sumbangan dalam melihat tentang adanya konstruk sejarah atau paling tidak menemukan masalah-masalah akan adanya rezim baca: dominasi politik dan sosial. Michel Foucault dalam pendekatannya atas analisa wacana lebih memfokuskan kepada wacana-wacana sosial dalam bentuk kemanusiaan dan juga kekuasaan. Masalah-masalah ketimpangan sosial, penindasan atau apapun itu yang menjadi masalah sosial masuk dalam perhatiannya, sehingga dapat dikatakan bahwa Foucault mendasari gagasannya mengenai wacana dalam melihat hubungan pengetahuan, kekuasaan dan kebenaran. Namun dalam pendekatannya terhadap genealogi maka wacana yang sering digunakannya adalah dilihat dalam bentuk aturan-aturan dan praktik-praktik yang menimbulkan masalah-masalah di dalam sosial dalam periode sejarah tertentu, atau dengan kata lain setiap periode sejarah memunculkan struktur pemaknaan tersendiri. Dan setiap aturan-aturan dan praktik- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 144 praktik dibentuk oleh kombinasi dari unsur-unsur diskursif dan non-diskursif mis. material atau tubuh. 1 Dengan prinsip ini maka wacana diatur oleh aturan-aturan pembentukan, atau bukan berasal dari klaim sepihak yang dilakukan subjek, atas identitas sosial yang tersebar. Jadi dapat dikatakan perolehan identitas sosial merupakan kepatuhan pada praktek wacana. Hal ini menjadi penting dalam studi ini, mengingat reaksi pengikut terhadap pemimpinnya tidak dapat disisihkan begitu saja, melainkan sebagai suatu tanda atas konstruksi yang dilakukan RMG sebagai pelaku subjek, atau bukan berdasarkan pada klaim sepihak RMG subjek yang berbicara. Hal ini menjadi penting dan perlu mendapat sorotan mengingat pandangan Ds. K. Sitompul, seorang pendeta HKBP, yang menyatakan munculnya wacana Ompu i Nommensen sebagai klaim sepihak dalam bentuk kesengajaan yang dilakukan oleh para misionaris RMG untuk mempengaruhi agar tidak mengikuti Singamangaraja XII. 2 Istilah “kesengajaan” disini perlu mendapatkan penekanan dengan menghubungkannya sebagai suatu konstruk kekuasaan, atau bukan dalam arti sebagai subjek yang berbicara. Dalam bab ini maka saya akan menganalisa data-data yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya, di mana pembahasan tersebut hanya berupa pemaparan. Bentuk penguraian yang saya lakukan akan melihat subjek-subjek yang terkait dalam bentuk aturan-aturan dan praktik-praktik, sehingga bentuk kontestasi dan pembentukan kekuasaan akan terlihat. Paling tidak keempat pembentukan wacana 1 Lih. Gavin Kendall Gary Wickham, Using Foucault’s Methods London: Sage Publications, 1999, hl. 38-39. 2 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja Jakarta: Sinar Harapan, 1982, hl. 431. 145 seperti yang diutarakan Fairclough, yakni the formation of objects, the formation of enunciative modalities, the formation of concepts dan the formation of strategies, terkandung di dalamnya dan menegaskan pembentukan pengetahuan. 3 Dalam analisa wacana ini maka saya akan membagi menjadi 2 bagian, yakni pertama, mengkaji atau menganalisa untuk melihat pengetahuan wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen dari data-data yang sudah dipaparkan di bab sebelumnya, dan kedua, melihat praktik wacana atas konstruk RMG atas keterlibatannya terhadap pihak pemerintah kolonial Belanda sebagai suatu rezim yang meninggalkan suatu sejarah “kelam” pada Perang Toba I 1878. Namun sebelumnya mengenai data-data yang telah dipaparkan, akan terlebih dahulu diidentifikasi dan dianalisa untuk memberikan gambaran pengetahuan dalam pembentukan wacana tersebut.

A. Identifikasi Arsip

Dari kedua arsip tersebut, yakni BRMG dan Surat Kuliling Immanuel, maka kedua arsip tersebut sangatlah berbeda dari isi, subjek, tujuan dan konsumennya. Namun dari perbedaan-perbedaan tersebut, keduanya memiliki kesamaan dalam membahas mengenai isu-isu pekabaran Injil yang dilakukan RMG di Tanah Batak. Berikut ini adalah identifikasi atas kedua arsip tersebut: 3 Norman Fairclough, Discourse and Social Change Cambridge: Polity Press, 1992, hl. 40-48.