Praktik Wacana Ompu i: Sejarah

180 praktik pembentukan wacana yang notabene adalah sebagai suatu bentuk paham kolonialisme bangsa Eropa atau wacana kolonial, di mana bangsa Eropa tampil sebagai penguasa. Sistem Suhi Ampang Na Opat, penerapan pendidikan modern, janji atas hamajuon, dsb adalah aturan-aturan dan praktik-praktik tersebut dalam pembentukan wacana. Nilai-nilai Kekristenan yang dibawa oleh RMG justru berkata sebaliknya dengan memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari wacana kepemimpinan masyarakat Batak tradisional, sehingga mengakibatkan ambivalensi dalam pengetahuan akan wacana Ompu i Nommensen. Pandangan pengikut terhadap sosok pemimpin sebagai “Debata Na Tarida” yang justru bertentangan dalam pandangan Alkitab yang menekankan egaliterisme, digunakan untuk menundukkan masyarakat Batak dalam bentuk pengkultusan yang di dalamnya rasisme hadir. Inilah yang kemudian memunculkan kerancuan dalam hal penafsiran tentang memandang pemimpin dalam wacana Ompu i Nommensen, baik secara paradigmatik maupun praksisnya. Hal ini kemudian menjadi berhubungan dengan konteks yang berkembang di Eropa abad ke-18 dan 19 di mana kolonialisme dan imperialisme berkembang dan mempengaruhi RMG dalam melakukan misinya di Tanah Batak. Wacana- wacana kolonialisme dan superioritas bangsa Eropa terbesit dalam paham para misionaris RMG dengan dalih sebagai suatu bentuk pengadaban dan kemajuan bagi masyarakat Batak. Dalam konteks ini maka bagaimanapun RMG berada di dalam kursi kekuasaan bersama pemerintah kolonial Belanda yang menghalalkan segala cara dalam menundukkan dan menaklukkan bangsa pribumi di bawah kekuasaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 181 bangsa Eropa. Kekerasan, pembunuhan yang terjadi pada raja-raja Batak adalah kisah faktual dalam perebutan kekuasaan. Wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen justru melahirkan kehidupan sosial masyarakat Batak yang tanpa disadari telah membangun ketimpangan dalam hubungan pemimpin dan pengikut relasi kuasa, di mana pemimpin sebagai pihak penguasa telah membangun komunitas baru yang tidak mengakomodasi seluruh masyarakat Batak. Sistem kerajaan Kekristenan yang dibangun bagi sebagian masyarakat Batak dianggap sebagai suatu hamajuon, namun bagi sebagian yang lain adalah sejarah “kelam” dalam hubungan yang dijajah dan penjajah. Hal inilah yang perlu mendapatkan penekanan, di mana praktik kekuasaan memunculkan ketimpangan relasi kuasa, yang dengan menggunakan adat dan budaya Batak, bentuk relasi kuasa tersebut tercermin dalam hubungan sikap superior dan inferior, yang sayangnya hubungan yang seperti ini akan selalu memunculkan kontroversi. Ompu i |182

BAB V PENUTUP

RELASI KUASA DALAM WACANA KEPEMIMPINAN OMPU I EPHORUS HKBP Kesatuan masyarakat Batak tidak dapat dilepaskan dari wacana kepemimpinan Ompu i. Paling tidak, sejarah telah mencatat bahwa kesatuan ini menyangkut kepada komunitas komunal masyarakat Batak yang di dalamnya unsur religi dan sekuler saling berhubungan. Dalam masyarakat Batak Toba tradisional, wacana kepemimpinan Ompu i berada dalam struktur yang melekat dalam kesatuan para raja bius, kelompok Parbaringin, serta masyarakat Batak Toba sendiri. Hal ini tidak lepas dari ikatan religiusitas sebagai suatu konsep pemahaman masyarakat Batak, di mana Raja Singamangaraja diyakini sebagai seorang yang mampu mengakomodasi ketiga struktur tersebut, meskipun Raja Singamangaraja adalah juga bagian dari raja bius Bangkara. Hal ini menandakan bahwa kuasa religiusitas mengambil bentuk dan tempatnya dalam suatu sistem struktur masyarakat Batak. Raja Singamangaraja diyakini memiliki sahala yang berasal dari tuhandewa, sehingga mampu menyatukan dan memimpin masyarakat Batak. Dari pandangan ini maka relasi kuasa dalam wacana Ompu i Raja Singamangaraja berada dalam kaitannya antara unsur sekuler dengan religi, di mana Ompu i |183 hubungan pemimpin dan pengikut diikat dengan sistem struktur masyarakat Batak Suhi Ampang Na Opat dengan pemerintahan konfederasi dan keyakinan pengikut terhadap pemimpin sebagai titisan dewa. Keduanya saling berkaitan sehingga praktik-praktiknya dilanggengkan. Masuknya badan zending RMG ke Tanah Batak merubah dan mereproduksi wacana kepemimpinan Singamangaraja dalam mewujudkan kekuasaannya dengan tampilnya Nommensen, seorang Jerman, sebagai pemimpin. Perwujudannya adalah praktik-praktik yang dilakukan Nommensen dalam mempersatukan bius-bius dan masyarakat Batak dibawah pemerintahankerajaan Kekristenan. Namun demikian proses reproduksi ini atau pembentukan wacana ini justru menggambarkan adanya kepentingan dalam wacana kolonial sebagai suatu hal yang tidak disadari. Hal ini sangat terlihat jelas di dalam Surat Kuliling Immanuel bahwa adanya perwujudan komunitas baru dalam menggantikan komunitas yang lama atau dinasti Singamangaraja merupakan buah hasil konstruk RMG sebagai pihak kolonial yang menciptakan menciptakan dan menempatkan Surat Kuliling Immanuel sebagai media yang mengkonstruk atau memberikan opini umum kepada masyarakat dan kaum intelektual raja-raja. Beberapa konstruk itu antara lain: 1. Imajinasi komunitas dan pengetahuan modern. Dalam Surat Kuliling Immanuel, adanya narasi-narasi dari pekabaran Injil di Borneo, Tanzania, dll. memberikan imajinasi bagi masyarakat Batak. Hal ini secara tak langsung merupakan konstruk RMG untuk melepaskan masyarakat Batak dari keterisolasiannya. Melepaskan ikatan-ikatan tradisi menuju imajinasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI