Pengetahuan dalam Wacana Kepemimpinan Ompu i

154 Fungsi dari kelompok Parbaringin ini dapat dikatakan sebagai suatu institusi yang mereproduksi nilai-nilai spritualitas yang diwariskan dari Pustaha Laklak yang merupakan pelengkap atas dunia sekuler yang telah diatur dalam Pustaha Tumbaga. Bagaimanapun kedua pustaha ini merupakan dasar dari tatanan kehidupan masyarakat Batak tradisional, yakni Dalihan Na Tolu, Paopat Sihalsihal dan Suhi Ampang Na Opat, maupun juga dasar dari pengetahuan akan wacana kepemimpinan yang memiliki unsur spiritual sebagai Debata Na Tarida. Dengan dasar ini maka kepemimpinan Singamangaraja tidak hanya dipandang sebagai raja para imam kelompok Parbaringin yang dihubungkan dengan sesuatu yang religius saja tetapi melihat wilayah kekuasaannya maka banyak raja-raja bius yang juga menaruh hormat kepadanya, sehingga pengaruh Raja Singamangaraja terhadap kebijakan yang sifatnya sekuler cukup besar. Misalnya saja di bidang pertanian, hukum, rumah tangga, militer dan adat-istiadat, di samping urusan agama. 8 Sistem kerajaan dalam dinasti Singamangaraja sangatlah berbeda dari sistem kerajaan lainnya. Seperti yang sudah digambarkan pada bab sebelumnya maka dinasti Singamangaraja bersifat konfederasi dari bius-bius yang ada. Pola semacam ini justru menghendaki sikap akan karakter kepemimpinan dari seorang pemimpin, dikarenakan raja tidak menguasai wilayah, dalam pengertian kepemilikan tanah. Kesaktian, pendamai, pengampun, dsb, merupakan sifat dan karakter seorang pemimpin dari pola kepemimpinan semacam ini. Seberapa besar pengaruh kekuasaannya tergantung dari perilaku seorang pemimpin. Hal ini juga 8 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op.Cit., hl. 78. 155 dilihat Vergouwen sebagai suatu penghargaan pengikut kepada pemimpinnya: “Semua orang yang memperlihatkan suatu kekuasaan yang istimewa selalu dihormati dan dimuliakan oleh rakyat sebagai orang-orang yang patut mendapat kehormatan, na sangap. ” 9 Walaupun hal ini tidak memandang secara umum mengenai sifat seorang pemimpin, tetapi sebagai suatu keyakinan para pengikut, masyarakat Batak, yang meyakini akan sifat dan karakter tersebut yang berasal dari dewa-dewa.

2. Wacana Ompu i Nommensen

Setelah melihat sistem pengetahuan dalam wacana kepemimpinan Ompu i Singamangaraja maka untuk melihat sistem pengetahuan yang ada dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen tentunya selalu berkaitan dengan aturan-aturan pembentukan wacana itu sendiri. Bagi Foucault yang melihat bahwa kekuasaan dapat direbut melalui reproduksi kekuasaan maka wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen ingin menunjukkan adanya reproduksi kekuasaan itu sendiri; dan pengetahuan memainkan peranan dalam pengkondisian wacana tersebut. Maka dari itu, untuk melihat pengetahuan dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen, saya akan membagi ke dalam 2 unsur yang sebelumnya menjadi pengetahuan di dalam wacana Ompu i Singamangaraja, yaitu unsur religius dan sekuler. 9 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatera Utara Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975, hl. 33. 156 A. Unsur Religius. RMG dalam mereproduksi kekuasaan tidaklah merubah semua pemahaman masyarakat Batak. Bahasa dan budaya Batak masih turut juga digunakan oleh RMG, walaupun tak dapat dipungkiri bahwa beberapa hal mengenai adat dan budaya Batak turut juga dirubah atau dihilangkan. Dalam hal ini, konstruk yang dibangun oleh RMG mengedepankan hibriditas antara rasionalisasi Eropa yang berdasarkan nilai-nilai Kekristenan dengan adat dan budaya Batak. Hal ini menandakan adanya peralihan kekuasaan yang diiringi dengan adanya perubahan dalam sistem-sistem pengetahuan, sehingga kekuasaan kepemimpinan Nommensen dapat dilanggengkan. Salah satu hal yang menonjol di dalam konstitusi “Ompu i” sebagai objek pengetahuan dalam masyarakat Batak tradisional adalah unsur religiositas yang terkandung di dalamnya. Namun demikian pengetahuan ini justru tidak mendapatkan tempatnya pada wacana Ompu i Nommensen. Sebagai suatu badan zending yang membawa nilai-nilai Kekristenan para Misionaris merubah paradigma masyarakat Batak atas pemahaman agamanya yang notabene selalu dipegang teguh oleh kelompok Parbaringin yang mewarisi Pustaha Laklak, pedoman ajaran agama tradisional masyarakat Batak. Dalam mewujudkan pengetahuan ini maka konstruk yang dilakukan oleh RMG adalah pertama, menyebarkan pengetahuan modern. Melalui pendidikan maka RMG berusaha menciptakan pengetahuan dasar mengenai ilmu pengetahuan modern kepada masyarakat Batak sebagai suatu misi pengadaban. Sekolah-sekolah 157 yang dibangun mulai tingkat SD hingga Sekolah Tinggi menjadi bukti atas konstruk yang dilakukan RMG dalam mewujudkan dan membangun masyarakat Batak kepada rasionalisasi modern ke segala aspek kehidupan, misalnya dalam hal ilmu kesehatan, petukangan, geografi, dll, termasuk bahasa Batak sendiri yang juga dimasukkan dalam pelajaran. Bahkan usaha terhadap pendidikan juga digenapi dengan terbitnya buku-buku dan media cetak, termasuk Surat Kuliling Immanuel, yang dikeluarkan oleh RMG sendiri. Konsep RMG tentang “pargodungan” yang menggabungkan dan menyatukan urusan agama dengan urusan-urusan sekuler, yakni pendidikan, kesehatan, dll. dalam satu wilayah atau lingkungan menjadi bukti atas misi pengadaban ke aras kehidupan tersebut, misalnya Huta Dame 1864, Pearaja 1872, dsb. Usaha RMG terhadap pendidikan ini ingin menggantikan dunia “primitif” yang dianggap oleh para Misionaris RMG sebagai suatu kebohongan. Sasarannya adalah kelompok Parbaringin yang dianggap menyebarkan kebohongan kepada masyarakat Batak dengan memberitakan tentang ajaran-ajaran kebohongan yang dilakukan oleh kelompok ini. Hal ini seperti terlihat di dalam Surat Kuliling Immanuel yang menceritakan kelompok Parbaringin yang tidak dapat menyembuhkan penyakit dengan kebohongan-kebohongan yang mereka lakukan. Menurut Norman Fairclough, pentingnya ilmu pengetahuan, seperti yang dilakukan RMG tersebut, memberikan pengaruh terhadap pembentukan objek the formation of Objects dalam pembentuk an wacana, di mana konstitusi “Ompu i” selalu berkaitan dengan penamaannya itu sendiri, penggambarannya, dsb. Hal ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 158 dikarenakan berkaitan nantinya dengan bagaimana wacana itu diproduksi, ditransformasi dan direproduksi. 10 Penyebaran pendidikan modern kepada masyarakat Batak, khususnya kepada keluarga-keluarga raja, ingin mereduksi pengaruh ajaran kelompok Parbaringin di dalam agama tradisional Batak, sehingga dalam hal ini, konstruk yang hendak dibangun kepada masyarakat Batak adalah rasionalisasi modern atas kehidupan dalam masyarakat Batak, misalnya sesuatu yang dianggap klenik, mitos- mitos, dll yang mulai disingkirkan. Pentingnya pengaruh pendidikan akan mempengaruhi reproduksi yang dilakukan masyarakat Batak, khususnya para raja, dalam pembentukan wacana Ompu i Nommensen. Namun demikian persoalan pengetahuan modern tidak hanya dipandang sebagai bentuk rasionalisasi peradaban, melainkan juga akan memiliki kepentingan-kepentingan elite, kelompok, pelaku yang mendominasi, terlebih ketika pengetahuan itu dilembagakan. 11 Hal ini juga berlaku dari sistem pendidikan yang dibentuk oleh RMG yang memiliki kepentingan-kepentingan sebagai suatu konstruk kekuasaan. Fenomenanya adalah ketika pengetahuan yang berasal dari RMG pihak kolonial membentuk suatu pengetahuan tandingan dari pengetahuan tradisional, sebagai suatu yang dinamakan, ambivalensi. Tentunya pengetahuan modern ini diperuntukkan bagi pembentukan identitas, namun demikian, dalam ranah publik menjadi sesuatu yang ambigu. Hal ini dapat terjadi akibat “penularan” 10 Lih. Norman Fairclough, Op.Cit., hl. 41. 11 Bdk. Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A critical introduction Sydney: Allen Unwin, 1998, hl. 75. 159 pengetahuan yang tidak pernah penuh yang dilakukan oleh pihak kolonial. Bentuk- bentuk semacam ini terjadi akibat subjek kolonial yang juga memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari pengetahuan tradisional, yang notabene dianggap “primitif”. Hal ini berlaku bagi seluruh pengetahuan baca: religius dan sekuler di mana pengetahuan modern ketika disandingkan dengan pengetahuan tradisional akan memunculkan ambivalensi. Unsur religius dalam wacana Ompu i pada masyarakat Batak tradisional, yaitu sebagai “Debata Na Tarida” memang direduksi dan direproduksi dengan wacana ompu i yang berbasis rasionalitas modern. Namun demikian hal ini bukanlah sesuatu yang mutlak terjadi dalam ranah praksis. Masih ada kerancuan dalam pemahaman, terlebih ketika berkaitan dalam hubungan pemimpin dan pengikut praksis dalam tradisi masyarakat Batak yang justru tetap mengandaikan Ompu i sebagai yang memiliki sahala dari tuhandewa. Misalkan saja kerancuan tersebut ketika masuknya ilmu pengetahuan modern maka akan merusak tatanan logika dalam adat dan budaya Batak - yang dalam hal ini rasionalitas tidak memandang atau mempedulikan suatu tatanan dalam adat dan budaya tertentu walaupun itu bertentangan. Itu artinya, rasionalitas hanya mengadopsi nilai dari adat dan budaya tertentu sesuai dengan kinerja rasionalitas itu sendiri tanpa mempedulikan kinerja adat dan budaya dalam masyarakat Batak. 12 Namun demikian hal ini juga dapat terjadi sebaliknya dengan memaksakan logika adat dan 12 Contoh yang paling nyata adalah pemanggilan ompu i kepada Nommensen yang akhirnya akan merusak tatanan dalam logika adat dan budaya Batak dalam struktur Dalihan Na Tolu dalam pola bahwa kakeknenek moyangTuhan memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari ama bapak; yang justru digunakan di dalam Bibel Alkitab dalam bahasa Batak untuk penyebutan Tuhan. 160 budaya untuk melihat kinerja rasionalitas dalam wacana kepemimpinan Ompu i tersebut dapat menyebabkan adanya ketidaksinambungan. Hal inilah kemudian dalam tataran praksis, praktik-praktik wacana dalam pengetahuan Ompu i memunculkan ambivalensi antara pengetahuan modern yang rasional dengan adat dan budaya Batak tradisional dalam memandang Ompu i Nommensen, akibat tindakan RMG yang mengambil keuntungan dari pengkultusan sosok pemimpin yang memandang Ompu i, terlebih ketika dikaitkan dengan sistem struktur sosial masyarakat Batak tradisional Suhi Ampang Na Opat. Ambivalensi dalam pengetahuan mengakibatkan kerancuan dalam membangun penafsiran mengenai Ompu i; yang tak dapat dipungkiri bahwa Ompu i Nommensen melebihi kesaktian dan kemampuan Raja Singamangaraja sebagai “Debata Na Tarida” terlebih ketika RMG sendiri mengkonstruk wacana kepemimpinan dengan meninggikan Nommensen daripada kelompok Parbaringin dan Raja Singamangaraja seperti di dalam Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1890, dll. Dengan kata lain, dalam tataran praksis, pengertian Ompu i sebagai “Debata Na Tarida” masih memiliki dampak dan pengaruhnya dalam hubungan pemimpin dan pengikut; yang walau bagaimanapun, melekat dalam makna Ompu i sebagai sesuatu yang turut digunakan oleh Kekristenan dalam bentuk pengkultusan. Kedua , menawarkan hamajuon kemajuan. Seperti yang dikatakan oleh Johannes Warneck bahwa dalam agama tradisional masyarakat Batak penilaian dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 161 kehidupan duniawi menentukan kebaikan tertinggi, 13 maka yang membuat RMG diterima oleh masyarakat Batak adalah karena menawarkan hamajuon. Adanya krisis yang menimpa masyarakat Batak akibat perang Paderi, dan juga konflik internal yang sering terjadi di masyarakat Batak yang menambah keterpurukan mereka, membuat mereka akhirnya memalingkan dirinya ke orang asing, selain tentunya prinsip 3 H hasangapon, hamoraon, hagabeon yang menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat Batak dalam menggapai hamajuon. Hal ini terjadi pada awal-awal dilaksanakannya misi di Tanah Batak oleh RMG. Ucapan Raja Pontas Lumbantobing menegaskan hal ini yang mengatakan: “Pada hemat saya adat dan kebiasaan kami sangat sangat baik, dan tidak perlu diubah lagi. Tapi kalau tuan-tuan tau jalan untuk mencapai kemuliaan dan kekayaan, tunjukkanlah kepada kami” 14 Sebagai satu kesatuan dengan pihak pemerintahan kolonial Belanda tentunya RMG memiliki kekuatan dalam menciptakan dan membawa masyarakat ke dalam hamajuon kemajuan. Hal inilah yang kemudian ditawarkan kepada masyarakat Batak. Dalam Surat Kuliling Immanuel, kisah-kisah faktual yang menjadi pengalaman masyarakat Batak tertentu, misalnya, Sipirok, Bungabondar, dll. selalu diangkat dalam media ini untuk membangun keyakinan tersebut. Bahkan konstruk ini dibangun untuk meyakinkan masyarakat Batak dengan menyudutkan 13 Lih. Joh. Warneck, The Living Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In Animistic Heathendom London: Oliphant, Anderson Ferrier, 1867, hl. 130. 14 J.T. Nommensen, Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974, hl. 90. 162 musuh-musuh RMG yang telah gagal dalam memberikan hamajuon, misalnya orang-orang Islam dan Parbegu kelompok Parbaringin. Sebagai bagian dari suatu strategi, maka tema-tema yang diangkat dalam prinsip hamajuon dapat berupa ekonomi, keamanan, dsb. Menurut Norman Fairclough, keberlangsungan akan tema-tema semacam ini ditentukan dari praktik diskursif dan non diskursif. 15 Itu artinya di dalam suatu strategi maka unsur-unsur atau tema-tema dalam hamajuon dapat tercapai sesuai dengan strategi itu sendiri. RMG sebagai yang memiliki kekuasaan tentunya memiliki strategi dalam menciptakan tema-tema tertentu yang berdasarkan pada keinginan atau hasrat masyarakat Batak mengenai hamajuon itu sendiri. Kaitannya adalah bahwa tema- tema inilah yang kemudian dapat mengubah paradigma masyarakat Batak tradisional dalam memandang seorang pemimpin, yakni Nommensen yang membawa hamajuon; yang hanya dimiliki oleh orang yang memiliki sahala. Hal senada juga ditekankan oleh Lance Castle yang melihat bahwa para Misionaris dianggap memiliki sahala yang akan menambah hasangapon masyarakat Batak. 16 Konstruk semacam ini akan menitikberatkan kepada fungsi atau peran raja yang dipandang sebagai pembawa keadilan, kedamaian, dsb. Raja tidak dipandang sebagai pembawa masalah, melainkan dapat mengatasi atau memberikan solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat Batak. Hal ini berlaku dari tingkat huta hingga bius. Walaupun RMG memiliki strategi-strategi yang beraneka ragam cara, namun 15 Norman Fairclough, Op. Cit., hl. 48. 16 Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940 Jakarta: KPG, 2001, hl. 23. 163 demikian tema besar yang menjadi hasrat dalam masyarakat Batak tidak dapat dilepaskan dari konsep hamajuon yang merupakan tugas dari seorang raja. Kedua konstruk ini mengubah paradigma masyarakat Batak mengenai gambaran akan sosok kepemimpinan. Pengetahuan yang selama ini berkembang mengenai adanya sisi religi dalam gelar Ompu i dapat direproduksi oleh RMG dengan mempertimbangkan hasrat atau kebutuhan, serta unsur kognitif dalam bentuk pemahaman masyarakat Batak. B. Unsur Sekuler. Selain mengenai unsur religi di dalam pengetahuan dalam wacana kepemimpinan Ompu i, maka unsur lainnya yang juga penting karena menyangkut kedudukan penting di tengah-tengah masyarakat adalah unsur sekuler. Memang pada awalnya gelar ini dalam masyarakat Batak tradisional hanyalah menyangkut urusan religi seperti yang dikatakan oleh Sitor Situmorang, namun lambat laun, kekuasaannya tidak dapat dipisahkan dalam urusan sekuler. Hal ini berkaitan di dalam reproduksi yang dibangun melalui dominasi kelompok Parbaringin yang mendudukkan atau memposisikan seseorang sebagai seorang raja yang memiliki peran dan fungsi dalam masyarakat Batak, termasuk dalam hal ini Raja Singamangaraja. Di dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen maka pengetahuan ini juga direproduksi ke dalam status kepemimpinan di dalam masyarakat Batak Kristen atau dalam hubungan pemimpin dan pengikut. Paling tidak pengetahuan 164 ini, menjadi kedudukan penting di dalam melihat kepemimpinan hingga sekarang baca: sistem episkopal HKBP dengan adanya praktik-praktiknya. Sistem struktur sosial masyarakat yang turut digunakan oleh RMG adalah Suhi Ampang Na Opat. Walaupun di zaman sekarang penekanan prinsip ini sudah berbeda di dalam pelaksanaan adat praktis yang diakibatkan pembagian antara urusan religi dengan sekuler, namun demikian fenomena ini masih terlihat dari praktik-praktik penggunaannya hingga sekarang. Hal ini tak lepas dari peran RMG atas kontruk kekuasaan di dalam adat dan budaya Batak. Misalnya yang menjadi suatu kebiasaan bahwa ketika adanya pertikaian marga atau kampung, maka Ephorus HKBP menjadi juru damai dari konflik tersebut seperti yang digambarkan dalam majalah Suara Batak pada 12 dan 19 Juli 1930. 17 Di dalam masyarakat Batak tradisional, kedudukan seorang raja dalam unsur sekuler berarti memiliki kuasa di dalam struktur masyarakat yang mengurus masalah-masalah non-religi atau sekuler, misalkan saja masalah tanah, pengairan, dsb. Hal ini terlihat sangat jelas dalam sistem yang dimiliki masyarakat Batak “tradisional”, yakni Suhi Ampang Na Opat, tunduk kepada raja. Secara birokrasi kedudukan dan peran raja sangatlah penting untuk mengatasi masalah-masalah kekeluargaan dalam pengertian Dalihan Na Tolu. Memang di dalam dinasti Raja Singamangaraja, kedudukan Raja Singamangaraja mendapatkan penekanan di dalam dua unsur, yakni religi dan sekuler, namun secara de jure, kedudukan raja 17 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba Yogyakarta: LKIS, 1986, hl. 613. 165 mendapatkan tempatnya, serta memiliki wewenang di dalam sistem struktur sosial masyarakat dan juga wilayah di tengah-tengah masyarakat. Selain sebagai Raja Bius di Bius Bangkara, Singamangaraja juga menjadi pemimpin konfederasi bagi bius-bius yang tergabung di dalamnya. Praktik-praktik yang dilakukannya membuktikan kekuasaannya yang melintasi bius-bius. Di dalam wacana Ompu i Nommensen, pengetahuan ini tidaklah dibuang sepenuhnya oleh RMG. Konstruk yang dilakukan RMG justru menimbangkan sistem struktur sosial masyarakat Batak tradisional, walaupun hal ini tetaplah memiliki perbedaan dari yang lama. Pembentukan aturan-peraturan, pendirian sekolah ataupun gereja, dsb merupakan praktik-praktik dengan mempertimbangkan sistem struktur sosial masyarakat Batak. Bahkan dengan kekuasaannya ini menandakan RMG sebagai penguasa lintas bius. Beberapa konstruk yang dilakukan RMG untuk menandakan bahwa RMG menggunakan sistem struktur sosial masyarakat adalah pertama, memanfaatkan kedudukan para raja. Berbeda dari sistem kerajaan yang memiliki kekuasaan tunggal atas wilayah atau tanah, seperti yang ada di Jawa atau daerah lainnya, maka sistem raja yang berada di Tanah Batak adalah para raja bius yang memiliki kuasa atas wilayah dan tanah yang menyebar di Tanah Batak. Dengan sifatnya yang majemuk maka penguasaan atas satu raja tidaklah menjamin penaklukan atas kekuasaan raja lainnya. Ada hak otonom atas kekuasaan raja di wilayahnya masing- masing. Maka dari itu, usaha yang dilakukan RMG dalam menyebarkan Injil ke Tanah Batak, mau tidak mau, berada dalam bentuk penjajakan keseluruh raja-raja 166 bius. Silindung, Simorangkir, Pansurnapitu, dll adalah contoh-contoh wilayah bius yang telah menerima Injil hasil dari usaha penjajakan tersebut. Bagi RMG, para raja sangatlah penting di dalam menyebarkan dan memperluas Injil ke seluruh masyarakat Batak. Bahkan tidak tanggung-tanggung, para raja juga diikutsertakan atau dilibatkan di dalam urusan pekabaran Injil, misalnya rapat-rapat, pesta zending, dsb. Berbagai upaya pendekatan dilakukan kepada raja-raja untuk mendapatkan rasa simpatik kepada RMG; mulai dari janji keamanan, faktor ekonomi, memberikan perlakuan khusus kepada para raja dan keturunannya, dll. Namun terlepas dari adanya pendekatan tersebut, upaya yang dilakukan RMG merupakan suatu konstruk kepada para raja dalam menyebarkan dan memperluas Injil di Tanah Batak. Mengkristenkan raja berarti akan juga mempengaruhi para pengikutnya. Sebagai suatu misi pengadaban maka konstruk ini ingin menciptakan komunitas baru, yakni Kerajaan Kekristenan, sehingga satu hal penting yang dilakukan oleh RMG adalah memberlakukan standar baru di dalam hukum yang mengatur komunitas baru yang berdasarkan nilai-nilai Kekristenan baca: Eropa. Dengan standar baru ini maka RMG juga menerapkan dengan bentuk perilaku dan sikap para raja yang sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini bukan hanya mempertegas aturan atau hukum kepada para raja, tetapi juga untuk menjaga masuknya pengaruh agama-agama lain di dalam komunitas tersebut. Dengan prinsipnya seperti ini maka RMG selalu berupaya dalam memberikan pemahaman 167 atau pendidikan serta memberikan contoh ideal mengenai kepemimpinan raja yang sesuai dengan kehendak RMG baca: nilai-nilai Kekristenan. Salah satu raja yang paling dekat dengan RMG dan sering dijadikan contoh adalah Raja Pontas Lumbantobing. Dengan nama baptis, Obaja, yang berarti Hamba Tuhan, para RMG memuji perilakunya yang sesuai dengan namanya tersebut, mengingat atas jasanya maka banyak masyarakat Batak yang menerima Injil. 18 Hal ini dilakukan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah atau antara raja Kristen dengan raja yang masih menganut agama suku atau juga Islam. Konstruksi semacam ini menjadi penting di dalam membentuk pengetahuan dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen mengingat bahwa ketika sistem Suhi Ampang Na Opat tetap dipakai maka pemahaman para raja yang dikonstruk menghasilkan reproduksi yang berbeda dari kepemimpinan tradisional. Jikalau dilihat dari gagasan Norman Fairclough dalam pembentukan wacana, yakni mengenai the formations of Concepts pembentukan Konsep, maka pendekatan atas raja atau penggunaan prinsip Suhi Ampang Na Opat menjadi penting dalam pembentukan wacana kepemimpinan Ompu i, karena gagasan ini, the formations of concepts, akan memperlihat posisi atau fungsinya dalam meng organisir “the field of statement ” atau ruang munculnya konsep wacana tersebut; yang jika dikaitkan dengan struktur “kegilaan” seperti yang digambarkan Foucault bahwa struktur ini selalu berkaitan dengan konsep penjara, rumah sakit, dsb. 19 Begitu juga dengan prinsip Suhi Ampang Na Opat yang bagaimanapun akan mempertegas konsep 18 Surat Kuliling Immanuel, No. 11, 1 November 1893. 19 Norman Fairclough, Op.Cit., hl. 46. 168 kepemimpinan akan seorang raja sebagai suatu aturan dalam adat dan budaya batak, sehingga reproduksi kekuasaan merupakan hasil dari buah konstruk yang dilakukan kepada para raja berupa kedisiplinan. Sebagai satu kesatuan dalam adat dan budaya, tentunya masyarakat Batak tidaklah berbeda satu dengan lainnya, walaupun memiliki hak otonom atas wilayahnya masing-masing. Ada nilai-nilai yang mengikat dan menggabungkan kemajemukan itu sendiri. Konsep dinasti Singamangaraja yang mengikat bius-bius yang ada di dalam adat, religi dan budaya masyarakat tidak lepas dari strategi yang sama yang juga dilakukan RMG. Dengan mempertimbangkan Suhi Ampang Na Opat, maka usaha-usaha tersebut lebih kepada menciptakan kekuasaan dengan mengumpulkan raja-raja untuk mengikat bius-bius, mendamaikan konflik antarbius, menciptakan onan pekan atau pasar. Praktik-praktik tersebut menjadi penting sebagai suatu pembentukan wacana mengingat hal ini berkaitan deskripsi Fairclough dalam The Formation of Enunciative Modalities, di mana aktivitas- aktivitas tersebut berusaha menggambarkan, membentuk hipotesis, memformulasi regulasi mengenai posisi subjek; 20 dalam hal ini mengenai sosok pemimpin Ompu i. Kedua adalah pengaruh kelompok Parbaringin. Bagi masyarakat Batak tradisional, pengaruh kelompok Parbaringin sangat besar dalam mereproduksi wacana kepemimpinan Singamangaraja. Sebagai kelompok yang bergerak dalam bidang agama dan menyebar di setiap bius, kelompok ini berusaha menyatukan 20 Ibid., hl. 43. 169 raja-raja bius dengan nuansa keagamaan. Raja Singamangaraja yang dianggap sebagai titisan dewa menjadi kiblat bagi raja-raja bius untuk menyatukan masyarakat Batak. Gerakan kelompok Parbaringin ini bagi RMG adalah musuh yang selalu menghambat misi RMG resistensi di Tanah Batak, sehingga RMG beserta pemerintahan kolonial Belanda melarang aktivitas gerakan kelompok tersebut. Namun demikian selain larangan maka RMG juga memproteksi raja-raja Kristen dari pengaruh kelompok Parbaringin ini. Praktik-praktik dilakukan untuk menjaga raja-raja tersebut, diantaranya: 1. Membangun citra negatif dengan menyebut kelompok ini sebagai pembohong di Surat Kuliling Immanuel lihat Bab 3. Hal ini tak lepas dari usaha RMG dalam membentuk opini umum di tengah-tengah masyarakat Batak. James T. Siegel melihat bahwa strategi semacam ini dalam kaitannya dengan pembentukan opini umum adalah sebagai subjek fait divers pemberitaan yang menempatkan subjek kriminal melampaui rubrik majalah Surat Kuliling Immanuel dengan didapati dirinya dirumuskan ulang dalam wacana politik yang lebih luas. Pandangan ini menurut Siegel merupakan “gudang penyimpanan ketakutan dan penawarnya bisa diperoleh dalam keadaan tertentu untuk tujuan yang lebih umum. ” 21 Dalam pandangan ini dapat dikatakan RMG berusaha menempatkan kelompok Parbaringin di 21 James T. Siegel, Penjahat Gaya Orde Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas Yogyakarta: LKiS, 2000, hl. 172-173. 170 tengah-tengah wacana politik; dan sekaligus melepaskan dirinya RMG dari suatu kebersalahan dengan menciptakan ketakutan dan sebuah solusi atas ketakutan itu sendiri. Mekanismenya adalah dengan tumbuhnya keyakinan masyarakat dan raja yang telah memeluk Kristen dalam memandang usaha RMG sebagai suatu solusi atas kepentingan yang lebih besar dalam masyarakat Batak; dan di satu sisi meninggalkan kelompok Parbaringin di wilayahnya masing-masing sebagai suatu efek samping, gejala dari suatu cita- cita bersama, mengingat masih adanya pemahaman masyarakat akan ajaran- ajaran agama tradisional masyarakat Batak, serta hubungan kekeluargaan dalam adat dan budaya Batak dengan kelompok Parbaringin yang mungkin sangat susah untuk diretas. Tercatat beberapa kali RMG sendiri melakukan usaha semacam ini di Surat Kuliling Immanuel. Hal ini menandakan sikap RMG yang sangat tegas terhadap kelompok dan ajarannya ini. Raja Pontas Lumbantobing adalah salah satu yang pernah dihukum oleh RMG akibat mengikuti pesta yang dilaksanakan kelompok ini. 22 Pun demikian sebaliknya, citra positif juga dibangun kepada para misionaris bahwa segala yang telah dilakukan oleh para misionaris merupakan restu dari Tuhan yang memberikan kemajuan, kesejahteraan kepada masyarakat Batak. 2. Mengikuti sistem pemerintahan bius tradisional. Di dalam sistem kerajaan tradisional masyarakat Batak, setiap raja di bius memiliki pendamping raja diantaranya adalah kelompok Parbaringin yang diketuai oleh jabatan Pande 22 Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978, hl. 53. 171 Bolon. Dari sistem ini RMG mengikuti pola sistem kerajaan tradisional masyarakat Batak dengan juga menempatkan Sintua majelis atau pengerja gereja sebagai pendamping raja. Paling tidak, hal ini berlaku sebelum masuknya sistem administrasi pemerintahan kolonial Belanda ke Tanah Batak; ketika urusan agama dan sekuler masih menyatu. Upaya semacam ini dilakukan sebagai bentuk proteksi dan pengawasan terhadap ajaran-ajaran kelompok Parbaringin, termasuk upaya atas dilibatkannya raja dalam aktivitas RMG, seperti rapat, pesta, dll. Praktik-praktik semacam ini menandakan RMG yang berusaha membangun pondasi kerajaan atau komunitas baru dengan tidak meninggalkan sistem pemerintahan bius tradisional. Puncaknya adalah dengan mengambil alih kekuasaan Raja Singamangaraja yang menandakan munculnya komunitas baru di dalam kepemimpinan yang baru. Contoh yang paling terlihat adalah bagaimana Singamangaraja XII juga tak lepas dari upaya konstruksi yang di bangun oleh RMG sebagai sosok yang penjahat yang mengganggu masyarakat Kristen, termasuk keinginan Raja Singamangaraja XII yang ingin menyerang para pendeta. Konstruk semacam ini ingin menempatkan Raja Singamangaraja XII dan kelompok Parbaringin menjadi sosok kriminal bagi hukum RMG, walaupun di satu sisi bagi Raja Singamangaraja XII dan kelompok Parbaringin menjadi bentuk perlawanan atas penjajahan yang dilakukan RMG dan pihak kolonial. Hal ini tak lepas akibat dari hukum baru dalam komunitas baru yang diterapkan oleh pihak RMG. Konstruk yang dilakukan RMG ini justru berbanding terbalik dengan gambaran Singamangaraja XII 1876 -1907 sebelum berkuasanya RMG di Tanah Batak, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 172 khusunya di wilayah Toba pasca 1878 yang menjadi basis Raja Singamangaraja, yang dikenal sebagai sosok pendiam, pendamai, dsb. 23 Namun demikian, kontruk atas kekuasaan dalam komunitas yang baru juga memunculkan sosok Nommensen sebagai seorang pemimpin. Ia dikedepankan oleh para Misionaris lainnya untuk tampil menjadi seorang pemimpin. Hal ini tak lepas dari pengetahuan dan kedekatannya terhadap masyarakat dan budaya Batak. Seorang Meerwaldt yang dengan Surat Kuliling Immanuel-nya sangat sering memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat Batak Kristen tentang sosok Nommensen. Walaupun seperti yang dikatakan Lothar Schreiner bahwa Nommensen justru lebih sibuk kepada urusan sekuler dibandingkan di gereja, 24 namun bagaimanapun konstruk yang dilakukan Meerwaldt ini menumbuhkan keyakinan masyarakat kepada sosok Nommensen. Kisah-kisah yang dilukiskan mengenai rintangan-rintangan yang dihadapi hingga bagaimana Nommensen digambarkan sebagai sosok penolong memberikan imajinasi atas gambaran sosok kepemimpinan yang justru dapat memunculkan penilaian atas perbandingan kedua sosok pemimpin antara Nommensen dengan Raja Singamangaraja XII bahwa Nommensen memiliki kemampuan yang lebih baca: sakti dibandingkan dengan Raja Singamangaraja XII. Di dalam pembentukan suatu komunitas, yakni kerajaan Kekristenan, konstruk yang dilakukan RMG berupa pemakaian sistem sosial masyarakat serta 23 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatera Utara Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975, hl. 33. 24 Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978, hl. 65. 173 melibatkan dan memberikan ruang kepada raja dalam setiap aktivitas RMG merupakan suatu yang bagi Foucault katakan sebagai bentuk menciptakan atau tehnik dalam mendisiplinkan setiap individu, dalam hal ini, raja. Dalam konsepnya mengenai biopolitikbiopower yang dituliskan di dalam bukunya The History of Sexuality 1976, Foucault berargumen bahwa tubuh manusia sebagai “anatomico- politics of the human body ” yang dalam pengertian ini memiliki sisi kedisiplinan diri, di mana secara level yang lebih kecil merujuk kepada individu yang dapat menghasilkan individu dengan sikap kedisiplinan melalui bentuk pengawasan monitoring. 25 Dari pemikiran Foucault ini dapat dikatakan bahwa RMG telah memproduksi individu yang walaupun dengan latar belakang tradisinya dapat meninggalkan sebagian tradisinya dengan membentuk komunitas yang baru. Tentunya hal ini tidak dapat dilepaskan dari komunitas yang dibayangkan seperti yang Bennedict Anderson katakan mengenai peran kapitalisme cetak Surat Kuliling Immanuel bahwa produksi juga akan tercipta melalui imajinasi dari hadirnya bangsa-bangsa lain yang dituliskan di Kapitalisme Cetak, dalam hal ini, Surat Kuliling Immanuel sebagai produk kolonial yang juga membahas bangsa- bangsa lainnya, misalnya Borneo, Papua, Jerman, dsb. Dengan imajinasi ini maka bangsa Batak tidak lagi hanya membayangkan dirinya sendiri sebagai kesatuan wilayah, melainkan dalam bentuk persaudaraan adanya pertukaran informasi dan saling membangun komunikasi yang memberikan pengaruh akan terbentuknya 25 Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1 New York: Vintage Books, 1990, hl. 139-143. 174 komunitas baru, meskipun hal ini bukan berarti meninggalkan identitas keasliannya. 26 Dari konstruk yang dilakukan RMG maka dapat disimpulkan bahwa unsur sekuler dalam pengetahuan wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen menghadirkan suatu komunitas baru yang berdasarkan dengan Suhi Ampang Na Opat, yakni dalam sistem kerajaan Kekristenan. Walaupun secara esplisit sangat berbeda dengan sistem harajaon kerajaanpemerintahan dalam dinasti Raja Singamangaraja, namun hal ini tak lepas dari sistem kerajaan dalam adat dan budaya Batak mengenai hubungan antara pemimpin dan pengikut, di mana RMG mengambil keuntungan dari sistem ini sebagai suatu bentuk ketaatan atau kepatuhan pengikut terhadap pemimpinnya atau pantun marraja tunduk kepada raja. Konstruk RMG tersebut mengindikasikan kerancuan dalam suatu struktur sosial masyarakat dalam bayangan pengkultusan dalam imajinasi pengikut kepada pemimpinnya, yakni “Debata Na Tarida”. Dengan pengetahuan ini maka dalam konteks kerajaan Kekristenan, sistem hirarki yang dibangun masih dalam bentuk tradisional, di mana kesatuan yang utuh masih terjadi atau berkesinambungan dari tingkat yang paling rendah hingga yang tertinggi, atau dari raja huta hingga sosok pemimpin, yakni Nommensen. Istilah 26 Pandangan Ben Anderson berdasarkan kepada kosmopolitanisme kolonial di dalam diri Kwee Thiam Tjing, di mana dalam hal ini, ia melihat bahwa kosmopolitanisme dapat terjadi karena masuknya pengaruh bangsa lain ke identitas bangsa tersebut. Lih. Benedict Anderson “Kosmopolitanisme Kolonial” dalam http:etnohistori.orgcolonial-cosmopolitanism-bagian-1- oleh-ben-anderson.html. Di akses pada 10 januari 2017. 175 “kesatuan” tidak hanya diartikan ke dalam aspek religi, melainkan juga aspek sekuler yang menyangkut: urusan birokrasi, administratif, hukum, adat, dsb. Dari kedua unsur tersebut, religi dan sekuler, dapat disimpulkan bahwa wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen tidak dapat dilepaskan dalam pengetahuan kedua unsur tersebut. Walaupun RMG memberikan pengetahuan modern dan Kekristenan kepada masyarakat Batak, namun wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen memunculkan ambivalensi dalam memandang sosok pemimpin, Nommensen, yang pada titik tertentu menandakan bahwa RMG di dalam pekabaran Injilnya juga mengambil keuntungan dari kuasa tradisional, yakni kedudukan Raja Singamangaraja, sehingga bagaimanapun berpengaruh dalam pandangan dan sikap pengikut kepada pemimpinnya. Itu artinya, wacana kepemimpinan Ompu i yang sebelumnya merupakan wacana tradisional “diangkat naik ” menjadi wacana kolonial, atau dalam perspektif psikoanalisa budaya sebagai suatu penanda utama atas hukum kolonial, sehingga dalam tataran ini memiliki kepentingan demi suatu sistem hirarkis yang di satu sisi dapat dikatakan sebagai suatu penguasaan atas raja-raja, dan di sisi lain, sebagai pengambilalihan kekuasaan kelompok Parbaringin yang selama ini mereproduksi kesatuan masyarakat Batak, khususnya Toba dalam wacana kepemimpinan Singamangaraja. 176

C. Praktik Wacana Ompu i: Sejarah

“Kelam” Pekabaran Injil di Tanah Batak Perang Toba I Konstruk kekuasaan yang dibangun oleh RMG mendapatkan tempatnya ketika sistem sosial masyarakat Batak tradisional digunakan. Pendekatan terhadap raja dilakukan yang kemudian diproduksi berdasarkan nilai-nilai Kekristenan melahirkan suatu komunitas baru, yakni kerajaan Kekristenan. Namun demikian sebagai suatu sekutu dari pihak kolonial Belanda, konstruk kekuasaan ini justru semakin memperlihatkan adanya kepentingan kolonialisme dari sekedar hanya membawa dan menyebarkan nilai-nilai Kekristenan. Sikap superioritas sebagai bangsa Eropa atas konstruk kekuasaan tersebut memiliki maksud terselubung dari pekabaran Injil yang dilakukan RMG. Walaupun pada awal masuknya RMG ke Tanah Batak, RMG tidak mengharapkan campur tangan pihak kolonial namun tidak dapat dipungkiri bahwa kesatuan antara badan zending dengan pihak kolonial masih melekat dalam bentuk Eurosentrisme. Hal ini tak lepas dari konteks yang berkembang pada abad ke-18 dan 19, di mana kolonialisme dan imperialisme berkembang di Eropa. Sikap superioritas bangsa Eropa melahirkan rasisme dalam memandang bangsa di luar diri mereka. Bahkan di wilayah Jerman sendiri perkembangan rasisme seolah tak dapat dibantahkan, di mana hal ini juga berlaku bagi para misionaris RMG yang bermukim diluar Jerman bahwa pemerintah Jerman tidak memperbolehkan para zending untuk menikah dengan bangsa pribumi. 27 Dengan demikian, nilai-nilai 27 Uli Kozok, Utusan Damai Op. Cit., hl. 42-43. 177 Kekristenan yang dibawa oleh zending berusaha menutupi dan menyamarkan sikap superioritas, rasisme yang ada di dalam bangsa Eropa. Praktik-praktik kekuasaan yang diterapkan RMG dalam menundukkan raja- raja di Toba pada Perang Toba I 1878 adalah fenomena yang tak dipungkiri sebagai pendekatan dalam bentuk aturan-aturan dalam menciptakan kekuasaan; dan dibalik semua itu adalah dengan penaklukkan raja-raja dengan kekerasan militerisme. Dalam BRMG terlihat dengan jelas keterlibatan Nommensen akan penaklukkan para raja dalam ekspansi ke Toba, meskipun ia tetap mengedepankan dan mengandalkan dialog kepada para raja. Dalam ekspansi tersebut, kekerasan tak dapat dihindarkan. Selain menimbulkan korban, beberapa kampung yang menolak untuk tunduk kepada pihak kolonial berakibat kepada pembakaran kampung- kampung. Dari sini dapat dikatakan bahwa dalam misi Perang Toba I, maka keterlibatan RMG bukan hanya pada keikutsertaan Nommensen dalam misi militerisme tersebut, tetapi juga ketika RMG mengambil keuntungan dari aksi militerisme tersebut dengan takluknya perlawanan para raja di wilayah Toba, yakni keuntungan dalam mempercepat proses masuknya Injil, serta memperluas wilayah kekuasaan RMG di Tanah Batak. Di mata RMG, ekspansi ini dianggap sebagai suatu kebaikan bagi masyarakat Batak dengan menyalahkan raja-raja yang tidak mau tunduk kepada pihak Belanda. 28 Pandangan ini menunjukkan adanya kesepemahaman antara RMG dengan pihak kolonial dalam mengandalkan kekuatan militer, di mana paling tidak 28 Uli Kozok, Utusan Damai Op. Cit., hl. 156. 178 kesepemahaman tersebut memiliki kesamaan dalam memandang bangsa di luar Eropa sebagai bangsa “primitif” yang perlu dirubah, dididik, dan diadabkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan RMG di Tanah Batak menunjukkan bentuk agresi kolonialisme, di mana badan zending RMG mengambil bagian dalam ke-5 agresi kolonialisme seperti yang didefinisikan oleh Stephen Neill 29 , yakni sebagai misi pengadaban. Terbentuknya komunitas baru yang dilakukan oleh RMG memiliki sejarah “kelam” bagi masyarakat Batak akan adanya rezim kekuasaan kolonialisme bangsa Eropa. Hal ini menandakan bahwa komunitas baru tersebut justru memperlihatkan sebaliknya, dari sekedar misi pekabaran Injil, yakni memiliki kepentingan dalam menciptakan pengaruh Eurosentrisme ke bangsa Batak. Sedangkan dalam pembentukan wacana kekuasaan kepemimpinan Ompu i Nommensen, maka wacana kepemimpinan ini memberlakukan sikap penyingkiran dan kekerasan kepada raja-raja dan pengikut. Hal ini menjadi penting mengingat ketimpangan akan relasi kuasa akan muncul akibat bentuk penyingkiran, penindasan, dsb. yang berimbas pada munculnya bentuk-bentuk resistensi atau dekonstruksi. Sebelumnya, legalitas atas hukum baru di dalam komunitas baru juga telah ditegakkan sebagai bentuk penyingkiran raja-raja atau masyarakat yang memeluk agama tradisional Batak yang sebelumnya menjadi tuan atas wilayahnya. 29 Kelima agresi kolonialisme tersebut menurut Stephen Nell adalah agresi politik, ekonomi, sosial, intelektual dan misi. Lih. Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions London: Mcgraw-Hill Book Company, 1966, hl. 12. 179 Mungkin bagi sebagian masyarakat Batak yang tunduk dengan pemerintah kolonial, hal ini tidaklah begitu terasa mengingat tidak terjadinya bentuk kekerasan di wilayah mereka, terlebih konstruk yang dibangun oleh RMG memperlihatkan kerapihan dalam bentuk wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen yang dibuktikan dengan masih digunakannya wacana kepemimpinan Ompu i ini hingga sekarang. Konstruk tersebut berusaha meyakinkan masyarakat dalam membentuk komunitas baru yang berdasarkan kepada hasratnya dalam suatu hamajuon, sehingga menjadi dasar dari pengetahuan akan komunitas baru tersebut, di mana dengan Surat Kuliling Immanuel, konstruk itu terjadi dalam bentuk bahasa kekuasaan yang memberikan suatu sikap kedisiplinan kepada raja-raja atau masyarakat Batak Kristen sebagai sesuatu yang tidak disadari. Namun demikian, sesuatu hal yang berbeda justru dialami sebagian masyarakat yang merasakan adanya kekerasan yang dilakukan pihak kolonial dan RMG yang justru akan memunculkan bentuk resistensi.

D. Kesimpulan

Pembentukan wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen merupakan suatu produk kekuasaan modern. Pembentukan wacana ini ingin menciptakan pengetahuan masyarakat Batak mengenai sosok kepemimpinan yang justru akan membawa kepada supremasi bangsa Eropa. Gambarannya terlihat dengan adanya pembentukan komunitas baru yang menggabungkan rasionalitas bangsa Eropa dengan adat dan budaya lokal hibrid sebagai suatu aturan-aturan dan praktik- 180 praktik pembentukan wacana yang notabene adalah sebagai suatu bentuk paham kolonialisme bangsa Eropa atau wacana kolonial, di mana bangsa Eropa tampil sebagai penguasa. Sistem Suhi Ampang Na Opat, penerapan pendidikan modern, janji atas hamajuon, dsb adalah aturan-aturan dan praktik-praktik tersebut dalam pembentukan wacana. Nilai-nilai Kekristenan yang dibawa oleh RMG justru berkata sebaliknya dengan memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari wacana kepemimpinan masyarakat Batak tradisional, sehingga mengakibatkan ambivalensi dalam pengetahuan akan wacana Ompu i Nommensen. Pandangan pengikut terhadap sosok pemimpin sebagai “Debata Na Tarida” yang justru bertentangan dalam pandangan Alkitab yang menekankan egaliterisme, digunakan untuk menundukkan masyarakat Batak dalam bentuk pengkultusan yang di dalamnya rasisme hadir. Inilah yang kemudian memunculkan kerancuan dalam hal penafsiran tentang memandang pemimpin dalam wacana Ompu i Nommensen, baik secara paradigmatik maupun praksisnya. Hal ini kemudian menjadi berhubungan dengan konteks yang berkembang di Eropa abad ke-18 dan 19 di mana kolonialisme dan imperialisme berkembang dan mempengaruhi RMG dalam melakukan misinya di Tanah Batak. Wacana- wacana kolonialisme dan superioritas bangsa Eropa terbesit dalam paham para misionaris RMG dengan dalih sebagai suatu bentuk pengadaban dan kemajuan bagi masyarakat Batak. Dalam konteks ini maka bagaimanapun RMG berada di dalam kursi kekuasaan bersama pemerintah kolonial Belanda yang menghalalkan segala cara dalam menundukkan dan menaklukkan bangsa pribumi di bawah kekuasaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI