1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Tidak dapat dipungkiri, belajar merupakan kegiatan yang penting dalam kehidupan
manusia. Belajar
adalah proses
memperoleh pengetahuan,
meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku maupun sikap, dan mengokohkan kepribadian Suyono Hariyanto, 2011: 9. Manusia mengalami
proses belajar setiap waktu. Alasan yang mendasari manusia senantiasa belajar adalah untuk memecahkan masalah sehari-hari. Kemampuan untuk menyelesaikan
masalah perlu ditanamkan dari sekolah dasar sehingga di kemudian hari dapat digunakan sebagai dasar memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Sekolah sebagai salah satu tempat untuk belajar memberikan pengetahuan dan keterampilan melalui berbagai mata pelajaran yang berkaitan dengan
kehidupan. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting untuk dipelajari. Matematika merupakan ilmu dengan simbol angka untuk
menyelesaikan masalah sehari-hari berkaitan dengan hitungan dan pengukuran Runtukahu Selpius, 2014: 29. Karena matematika diciptakan dari kegiatan
manusia sehari-hari, matematika tidak seharusnya terlepas dari realitas kehidupan. Salah satu tujuan kegiatan belajar dalam mata pelajaran matematika adalah
membangun kemampuan berpikir matematis atau logis. Untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika, diperlukan langkah belajar yang tepat. Proses belajar
yang tepat hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi sehingga memungkinkan siswa menyelesaikan masalah matematika di
2
kelas maupun di kehidupan sehari-hari dengan mudah karena masalah tersebut dapat dibayangkan dan tidak jauh dari kehidupan siswa Wijaya, 2012: 21.
Kebenaran tentang matematika ialah ilmu hitung yang secara teoritis berupa angka, namun penerapannya berupa hitungan konkret meski disimbolkan secara
abstrak. Meski demikian, banyak siswa sekolah dasar yang mengalami kesulitan belajar matematika karena penyajian materi dalam pembelajaran yang tidak
disajikan dengan konkret. Berdasarkan analisis kebutuhan, diketahui hasil belajar sebagian besar
siswa kelas III SD Kanisius Demangan Baru 1 Yogyakarta khususnya pada mata pelajaran matematika materi garis bilangan masih kurang dari KKM 70,00. Jika
dipersentasekan, maka jumlah siswa yang memiliki nilai sama dengan atau lebih dari KKM sebesar 40 dari total siswa kelas III. Hasil yang tidak jauh berbeda
ditemukan melalui analisis kebutuhan yang dilakukan di tiga sekolah lainnya yang serumpun, yakni wilayah Sleman Timur meliputi SD Kanisius Sengkan, SD
Kanisius Eksperimental Mangunan, dan SD Negeri Deresan. Kegiatan analisis kebutuhan tersebut dilakukan dengan wawancara mengenai permasalahan belajar
matematika dan studi dokumen mengenai jenis dan isi buku pelajaran yang biasa dipakai di sekolah. Para siswa mengeluhkan materi yang dipelajari sangat sulit
dipahami. Hal tersebut menggambarkan materi yang abstrak disajikan secara abstrak sehingga tidak dapat dibayangkan dan sulit dipahami siswa.
Analisis kebutuhan dilakukan dengan wawancaara dan studi dokumen. Wawancara yang pertama kali dilakukan dengan narasumber guru kelas III.
Berdasarkan wawancara dengan guru, diketahui materi yang sulit bagi siswa
3
adalah materi garis bilangan, bangun datar, dan alat ukur. Dari ketiga materi tersebut, materi garis bilangan adalah materi yang paling sulit dikuasai siswa. Di
sisi lain, guru juga mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi garis bilangan kepada siswa karena materi garis bilangan sangat abstrak. Meskipun
demikian, sebagai guru beliau menyadari bahwa usia siswa sekolah dasar membutuhkan hal konkret dalam memahami materi, namun keterbatasan ide
membuat penyampaian materi dilakukan secara teoritis dan abstrak sehingga hal tersebut dirasa turut menjadi penyebab kesulitan siswa dalam memahami materi.
Setelah mendapat informasi dari guru kelas III, peneliti melakukan wawancara kepada siswa untuk menganalisis penyebab masalah maupun
kebutuhan dengan subjek siswa kelas IV pada bulan Juni tahun 2016. Peneliti memilih siswa kelas IV menjadi narasumber karena siswa kelas IV sudah pernah
menerima materi garis bilangan sehingga jawaban dari pertanyaan wawancara akan lebih valid daripada apabila wawancara dilakukan kepada siswa kelas III
yang belum pernah menerima materi garis bilangan. Siswa kelas IV yang menjadi narasumber berjumlah dua anak dari setiap sekolah, sehingga jumlah narasumber
dari keempat sekolah adalah delapan anak. Siswa kelas IV yang menjadi narasumber adalah siswa yang pernah mempelajari materi garis bilangan dari guru
yang sama di kelas III. Hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti adalah hampir seluruh
siswa kelas IV mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal garis bilangan ketika duduk di kelas III. Mereka sudah memperhatikan dan mencatat penjelasan
guru, namun ternyata tidak cukup membuat mereka berhasil memecahkan
4
masalah dalam soal-soal garis bilangan. Ketika guru meminta siswa untuk meletakkan beberapa bilangan yang tidak urut dalam garis bilangan yang kosong,
para siswa tidak meletakkan bilangan-bilangan tersebut pada garis yang tepat. Hal tersebut menunjukkan para siswa cenderung kesulitan memahami materi yang
disampaikan guru sehingga tidak dapat menerapkan pengetahuan yang dipelajari. Untuk lebih mendukung data hasil wawancara, peneliti melakukan studi
dokumen mengenai buku pelajaran yang biasanya digunakan untuk proses pembelajaran di kelas. Materi garis bilangan dibahas secara singkat kemudian
dilanjutkan dengan materi bilangan loncat. Dalam buku pelajaran matematika yang peneliti amati, tidak terdapat aktivitas yang dilakukan selama proses belajar.
Buku yang biasa digunakan di kelas berisi penjabaran materi garis bilangan hingga bilangan ratusan dan beberapa latihan soal terkait garis bilangan. Terlalu
sedikit dan dangkalnya pembahasan materi garis bilangan serta tidak adanya aktivitas nyata ataupun gambar-gambar dan keterangan yang relevan dalam
pembelajaran agaknya menjadi alasan siswa kesulitan memahami materi. Belum tuntasnya kemampuan siswa memahami materi garis bilangan tersebut
mengakibatkan siswa kesulitan menyelesaikan soal bilangan loncat maupun operasi hitung penjumlahan dan pengurangan bilangan ratusan.
Berdasarkan hasil pengumpulan data, dapat dipahami bahwa rendahnya hasil belajar matematika terjadi karena materi tidak disampaikan dari tahap
konkret. Hal tersebut tentu tidak sejalan dengan tahap perkembangan kognitif siswa kelas III menurut Piaget Dahar, 1988: 183. Tahap perkembangan kognitif
siswa kelas III sekolah dasar adalah operasionel konkret, yaitu siswa sudah
5
mampu memecahkan masalah dengan berpikir logis, namun membutuhkan benda atau hal konkret. Dengan demikian, dibutukan adanya pendekatan pembelajaran
atau alat bantu belajar matematika yang dapat memfasilitasi tahap belajar konkret siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran dalam mata pelajaran matematika
yang dapat memfasilitasi tahap belajar konkret adalah pendekatan PMRI Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Bagaimanapun penyebab kesulitan
belajar yang dialami siswa dalam pembelajaran matematika adalah karena konsep matematika yang dipelajari tidak bermakna bagi mereka sehingga cepat dilupakan
Kieran dalam Wijaya, 1992: 31. Pendekatan PMRI merupakan pendekatan yang dapat memberikan
pembelajaran bermakna. Dalam pembelajaran bermakna, proses belajar selalu diawali dengan permasalahan yang realistik ataupun kontekstual sehingga mudah
dibayangkan karena dekat dengan siswa. Pembelajaran bermakna memberi kesempatan bagi siswa untuk memahami materi dengan mudah dan membangun
pengetahuan secara mandiri berdasarkan proses belajar yang dialami sehingga pengetahuan dapat terekam dalam memori jangka panjang dan dapat diterapkan
dalam kehidupan. Pendidikan
Matematika Realistik
Indonesia PMRI
merupakan pendekatan yang tepat untuk mengatasi masalah belajar matematika dalam
konteks siswa kelas III SD Kanisius Demangan Baru 1 Yogyakarta karena pendekatan tersebut menekankan penggunaan suatu situasi yang kontekstual atau
dapat dibayangkan oleh siswa sebagai dasar belajar Wijaya, 2012: 20. Materi yang diajarkan guru bersumber pada pengalaman-pengalaman yang biasa dialami
6
siswa sehari-hari. Hal tersebut membantu para siswa untuk memahami materi karena sangat mudah dibayangkan dan dekat dengan mereka. Pembelajaran yang
dikemas dengan pendekatan PMRI sangat menarik. Langkah belajar siswa mencakup lima karakteristik yaitu penggunaan konteks hal yang dapat
dibayangkan, penggunaan model sebagai jembatan pengetahuan konkret ke abstrak, adanya proses kontruksi siswa, interaktivitas, dan keterkaitan. Pada
akhirnya, proses belajar dengan pendekatan PMRI menciptakan pembelajaran bermakna sehingga siswa dapat terbantu memahami materi dan menggunakannya
dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan masalah matematis atau masalah hitung menghitung.
Berdasarkan paparan di atas, penggunaan pendekatan PMRI dalam proses belajar matematika di kelas adalah solusi yang dapat mengatasi masalah siswa
dalam memahami materi garis bilangan. Untuk menjembatani penggunaan pendekatan PMRI dalam proses belajar, peneliti mengembangkan produk
penelitian berupa buku. Buku yang menjadi produk penelitian terdiri dari buku siswa dan buku guru yang disusun dengan mempertimbangkan hasil analisis
kebutuhan di kelas yakni diperlukan sumber belajar yang dapat mempermudah proses pembelajaran di kelas terkait materi garis bilangan bulat untuk siswa kelas
III sekolah dasar. Buku siswa dan buku guru yang menjadi solusi permasalahan mengandung pendekatan PMRI yang terintegrasi dalam langkah-langkah
pembelajaran melalui lima karakteristik PMRI.
7
1.2 Identifikasi Masalah