1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan
pendidikan sebaik mungkin, mulai dari merencanakan mencapai jenjang pendidikan setinggi-tingginya hingga pemilihan lembaga pendidikan yang
akan dijalani. Penelitian yang dilakukannya, Ros dan Wu 1996 menyampaikan bahwa pendidikan memiliki dampak besar terhadap berbagai
peluang kehidupan manusia untuk memperoleh kualitas hidup. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional di Indonesia, pendidikan
dibagi ke dalam 4 jenjang yakni Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar,
Pendidikan Menengah
dan Pendidikan
Tinggi www.paud.kemdiknas.go.id. Sejalan dengan prespektif psikologi mengenai
rentang kehidupan
life-span prespective
bahwa perkembangan manusia saling berkaitan dengan tahap perkembangan lainnya Santrock, 2002,
keberhasilan pendidikan seseorang juga dipengaruhi oleh keberhasilan pendidikan di tingkat sebelumnya. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1999
oleh Balibang Depdiknas dalam Setiawati 2011 menemukan bahwa lemahnya pembinaan anak pada usia dini diduga sebagai penyebab tingginya
angka mengulang kelas di awal SD, yakni sebesar 13 di kelas 1 SD dan 8 d kelas 2 SD. Temuan ini didukung oleh hasil laporan yang dilakukan Unicef
yang menunjukkan bahwa hampir 70 anak putus sekolah pada usia SD karena mereka belum siap untuk mengikuti pendidikan di SD
www.okezone.com. Temuan-temuan
tersebut menunjukkan
bahwa ketidaksiapan sekolah dapat berdampak pada kelanjutan pendidikan seorang
anak di tingkat selanjutnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penting bagi seorang anak untuk memiliki kesiapan sekolah yang memadai
sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar. Kesiapan sekolah merupakan kesiapan belajar yang memungkinkan
anak untuk dapat mengasimilasi kurikulum serta memenuhi kebutuhan yang ada di sekolah, meliputi kesiapan fisik, intelektual dan sosial Kagan, 1990.
Keterampilan yang dibutuhkan anak untuk dapat mengikuti pembelajaran menurut Wylie 1998 adalah keterampilan menyimak dan mendengarkan,
keterampilan akademik, keterampilan bekerja secara mandiri dan berkelompok, serta keterampilan berkomunikasi. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk dapat mengembangkan kesiapan sekolah anak adalah dengan mengikutsertakan anak pada Pendidikan Anak Usia Dini PAUD. Sesuai
dengan PP Nomor 17 Tahun 2010 pasal 61 ayat 1, PAUD berfungsi untuk membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia
dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki
pendidikan selanjutnya. Halimah dan Kawuryan 2010 menemukan bahwa anak yang mengikuti pendidikan prasekolah memiliki kesiapan sekolah yang
lebih baik dibandingkan anak yang tidak mengikuti pendidikan prasekolah.
PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan menyebutkan bahwa satuan PAUD terbagi menjadi 2 bentuk dan
jenis yakni PAUD jalur formal yang terdiri dari TK, RA atau bentuk lain yang sederajat serta PAUD jalur non-formal yang terdiri dari KB, TPA, dan
satuan PAUD yang sejenis. Data yang diperoleh dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, estimasi jumlah anak usia 0-6 tahun pada tahun
2013 ini adalah 30,35 juta anak. Target sasaran angka partisipasi kasar APK PAUD sebesar 69,3 yang terdiri dari 19,6 target PAUD formal dan
49,7 target PAUD non-formal dari jumlah anak usia 0-6 tahun di tahun tersebut. Penyelenggaraan PAUD di Indonesia menerapkan sistem
penyelenggaraan yang holistik dan integratif dengan memperhatikan semua aspek termasuk aspek kognitif, sosioemosi, spiritualitas, serta kesehatan fisik.
PAUD yang dibahas dalam penelitian ini adalah PAUD formal, yaitu TK. Ismira Dewi 2008 menyebutkan bahwa kualitas program prasekolah
yang dijalankan
ikut berpengaruh
pada kesiapan
sekolah www.kabarindonesia.com. Berbicara mengenai program pendidikan yang
dijalankan tentu berkaitan dengan model pembelajaran yang diterapkan oleh lembaga prasekolah tersebut. Model pembelajaran merupakan hasil
rancangan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasi operasional di kelas berdasarkan turunan dari psikologi pendidikan dan teori
belajar yang dijadikan landasan praktik dalam pembelajaran Suprijono, 2009.
Di Indonesia, model pembelajaran yang sering dijumpai adalah model pembelajaran konvensional di mana semua murid mengikuti instruksi dari
guru Chattin-McNichols, 1992. Selain model pembelajaran konvensional, saat ini di Indonesia juga terdapat TK yang menerapkan model pembelajaran
Montessori. Model pembelajaran Montessori memiliki perbedaan dengan model pendidikan konvesional atau tradisional. Perbedaan tersebut meliputi
lingkungan fisik, metode pembelajaran, dan sikap kelas Lopata, 2005. Dalam kelas Montessori, penataan meja diatur untuk memungkinkan
pembelajaran secara individu dan kelompok kecil dalam rentang lintas usia sampai tiga tahun, sementara dalam kelas konvensional, penataan meja
diorientasikan untuk instruksi satu arah untuk seluruh kelompok dalam rentang usia yang sama Chattin-McNichols, 1992. Di kelas konvensional,
siswa mengikuti tugas yang diarahkan oleh guru Chattin-McNichols, 1992, sementara dalam kelas Montessori, siswa lebih banyak menghabiskan waktu
mengerjakan tugas yang dipilih sendiri oleh siswa atau oleh kelompok kecil Baines Snortum, 1973. Guru di kelas Montessori mengembangkan
kedisiplinan dalam diri anak dengan cara membiarkan anak memilih dan mengatur sendiri aktivitasnya sehingga anak belajar bertanggung jawab
dengan pilihannya, sementara di kelas konvensional guru cenderung mengarahkan bagaimana anak harus bersikap Harris Callender, 1995
dalam Lopata, 2005. Montessori pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf pendidikan
bernama Maria Montessori pada tahun 1907 dengan mendirikan Casai dei
Bambini di Roma. Yus 2011 menyampaikan tiga hal yang ditekankan dalam pendidikan Montessori yaitu pendidikan sendiri, masa peka, dan kebebasan.
Masa peka yang dimiliki anak akan mengarahkan mereka untuk memilih tugas apa yang siap untuk mereka pelajari Pickering, 1992. Pendidikan
Montessori mengijinkan anak-anak didiknya untuk memilih kegiatan yang akan mereka pelajari sesuai dengan munculnya masa peka anak sehingga
guru akan membantu menyediakan fasilitas yang sesuai Yus, 2011. Montessori yakin bahwa anak memiliki potensi untuk berkembang secara
mandiri Yus, 2011. Dalam pendekatan Montessori, guru tidak memberikan pengarahan langsung dalam pembelajaran, namun mereka menghormati dan
memberikan kesempatan pada anak didiknya untuk berupaya menguasai suatu keterampilan secara mandiri Crain, 1992 dalam Lopata, 2005.
Studi – studi yang dilakukan oleh Daux 1995, Dawson 1987,
Takaces 1993 dalam Seldin 200203 dalam Lopata 2005 menyatakan, karakteristik penting lainnya dari pendekatan Montessori adalah bahwa
pendekatan ini menghasilkan prestasi akademik yang lebih unggul. Namun, temuan ini tidak didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lopata
sendiri pada tahun 2005. Lopata 2005 menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua jenis sekolah tersebut. Pada tahun
2012, Lillard membuat penelitian di Virginia, Amerika serikat berkaitan dengan perkembangan anak serta kesiapan sekolah anak prasekolah pada
program Montessori klasik, program yang dilengkapi Montessori, dan program konvensional untuk melihat penyebab ketidakonsistenan tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesiapan sekolah pada ketiga jenis sekolah tersebut yang dipengaruhi oleh kedisiplinan
penerapan model Montessori. Meskipun Lillard telah melakukan penelitian serupa di Amerika
Serikat, di Indonesia sendiri penelitian mengenai kesiapan sekolah berkaitan dengan model pembelajaran masih belum ditemukan. Ada perbedaan
kebijaksanaan pendidikan antara Negara maju seperti Amerika dan Negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia pendidikannya masih
berorientasi pada prestasi
achievement oriented
yang merupakan salah satu ciri kebijaksanaan pendidikan di Negara berkembang Icksan, 1985. Hal
tersebut menyebabkan munculnya tuntutan pencapaian akademik untuk anak usia prasekolah. Adanya tuntutan dari orangtua agar anaknya bisa baca dan
hitung setelah lulus dari PAUD menyebabkan adanya perubahan orientasi pengajar PAUD menjadi lebih menitikberatkan pada upaya peningkatan
kemampuan membaca dan menulis untuk anak didiknya Setiawati, 2011 dalam pelaksanaan penyelenggaraan PAUD.
Selain adanya perubahan orientasi pengajar PAUD dengan model pembelajaran tersebut, penerapan model pembelajaran Montessori di
Indonesia sendiri masih menuai kritik. Seperti yang terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Susanti 2013 yang menemukan bahwa penerapan
model pembelajaran Montessori di Kelompok Bermain Talenta Kabupaten Bandung hanya diterapkan dua kali dalam seminggu dengan durasi masing-
masing 30 menit dan belum diterapkan sepenuhnya di kelas. Selain itu, di KB
tersebut juga belum tersedia tenaga pengajar yang benar-benar menguasai model pembelajaran Montessori. Temuan tersebut didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Rithaudin yang menunjukkan bahwa dalam melakukan adaptasi model Montessori untuk mata pelajaran pendidikan jasmani telah
disesuaikan dengan
muatan kurikulum
di TK
dan SD
staff.uny.ac.idsitesdefault...Adaptasi20metode20montessori.pdf. Hasil temuan-temuan di atas mengindikasikan bahwa ada perubahan
penerapan model pembelajaran Montessori maupun orientasi pengajaran model pembelajaran konvesional yang terjadi di Indonesia jika dibandingkan
dengan yang terjadi di Negara-negara maju seperti Amerika. Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini peneliti ingin melihat kembali apakah
terdapat perbedaan kesiapan sekolah pada anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran
konvensional.
B. Rumusan Masalah