Penarikan kesimpulan bedasarkan nilai signifikansi: Signifikansi 0,05 Ho diterima
Signifikansi 0,05 Ho ditolak Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, diperoleh nilai t sebesar
2,863 dengan signifikansi 0,005 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kesiapan
sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional.
Jika dilihat dari nilai mean masing-masing kelompok, Montessori memiliki nilai mean sebesar 1018,08 dan konvensional sebesar 1038,87. Hal
ini menunjukkan bahwa kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional lebih tinggi jika dibandingkan anak yang
mengikuti model pembelajaran Montessori. Hasil ini berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini ditolak.
G. Analisis Tambahan
Penulis menyajikan pengkategorian hasil pengukuran masing-masing kelompok subjek sebagai analisis tambahan dalam penelitian ini.
Pengkategorian dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesiapan sekolah pada masing-masing kelompok. Penulis meenempatkan hasil pengukuran ke
dalam tiga kategori kesiapan sekolah, yaitu: belum siap, ragu-ragu, dan siap berdasarkan kategorisasi yang terdapat dalam NST sebagai berikut:
Tabel 7 Kategorisasi Kesiapan Sekolah
Range Kategori
700 ≤ X 850 Belum Siap
850 ≤ X 950 Ragu-ragu
950 ≤ X ≤ 1300 Siap
Keterangan: Skor x 10 subtes
Berdasarkan norma kategorisasi diatas, maka kategorisasi skor kesiapan sekolah untuk masing-masing kelompok subjek adalah sebagai
berikut:
Tabel 8 Kategorisasi Kesiapan Sekolah Anak yang Mengikuti Model Pembelajaran
Montessori
Range Kategori
Frekuensi Persentase
700 ≤ X 850 Belum Siap
850 ≤ X 950 Ragu-ragu
3 6
950 ≤ X ≤ 1300 Siap
47 94
Tabel 9 Kategorisasi Kesiapan Sekolah Anak Yang Mengikuti Model Pembelajaran
Konvensional
Range Kategori
Frekuensi Persentase
700 ≤ X 850 Belum Siap
850 ≤ X 950 Ragu-ragu
1 1,67
950 ≤ X ≤ 1300 Siap
59 98,33
H. Pembahasan
Hasil analisis data menggunakan
Independent Sample T-Test
dalam penelitian ini menghasilkan nilai t=2.863 dengan nilai signifikansi sebesar
p=0,005. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran
Montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional p0,05. Anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional ternyata
memiliki kesiapan sekolah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori. Hal ini ditunjukkan dari
nilai mean yang diperoleh kelompok subjek konvensional sebesar 1038,87, sementara untuk kelompok Montessori sebesar 1018,08.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis model pembelajaran yang dipakai dalam pendidikan prasekolah berpengaruh
terhadap kesiapan anak untuk memasuki sekolah. Model pembelajaran ini berkaitan dengan bagaimana proses belajar-mengajar dilakukan di kelas.
Model pembelajaran meliputi strategi, metode, teknik, dan pendekatan pembelajaran di kelas Uno, 2007. Suprijono 2009 juga menyampaikan
bahwa model pembelajaran berkaitan dengan penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan petunjuk mengajar bagi guru. Dengan demikian,
bagaimana pembelajaran berlangsung di kelas berpengaruh pada pengalaman belajar anak.
Dilihat dari mean yang diperoleh masing-masing kelompok penelitian terhadap hasil pengukuran, diketahui bahwa kesiapan sekolah anak yang
mengikuti model pembelajran konvensional lebih tinggi dibandingkan anak yang mengikuti model pembelajran Montessori. Hal ini bertolak belakang
dengan hipotesis penelitian yang menyebutkan bahwa anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori memiliki kesiapan sekolah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan anak yang mengikuti model pembelajran konvensional. Perbedaan kesimpulan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang terkait
dengan kesiapan sekolah. Kesiapan sekolah bukan hanya tentang kematangan anak, namun juga
banyak faktor yang berpengaruh di dalamnya. Faktor yang paling dekat dengan anak adalah keluarga. Bagaimana peran keluarga, terutama orangtua
dalam mengasuh anak juga berkontribusi terhadap kesiapan sekolah anak. Rendahnya kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajaran
Montessori disebabkan karena program pendidikan Montessori merupakan program pendidikan yang masih jarang diterapkan di Indonesia. Hal ini
menyebabkan banyak orang yang belum mengetahui apa dan bagaimana pembelajaran Montessori dilakukan, termasuk orang tua. Kesenjangan antara
pembelajaran di sekolah dengan pembelajaran di rumah yang terjadi pada siswa Montessori ini menyebabkan keterlibatan orangtua dalam pembelajaran
di rumah kurang optimal. Hal ini didukung oleh temuan Pandia, dkk 2012 yang menyatakan bahwa program pendidikan dan pelatihan bagi orangtua
yang kurang terintegrasi menyebabkan keterlibatan orangtua dalam pembelajaran anak menjadi minim.
Di sisi lain, tingginya kesiapan sekolah pada anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional pada penelitian ini berkaitan dengan
konsep yang dikemukakann oleh Vygotsky. Konsep perkembangan kognitif yang dikembangkan oleh Vygotsky menyatakan bahwa anak akan
memperoleh keterampilan kognitif melalui interaksi sosial. Model pembelajaran konvensional yang menempatkan guru sebagai pengarah
aktivitas yang dilakukan anak menunjukkan bahwa model pembelajaran ini lebih responsif dengan konsep yang dikemukakan oleh Vygotsky. Anak akan
belajar menguasai dan menginternalisasi pelajaran dengan bantuan dan arahan dari orang dewasa Papalia, 2007 sesuai dengan sekolah yang
menerapkan model pembelajaran konvensional. Selain itu, tingginya kesiapan sekolah anak yang mengikuti model
pembelajaran konvensional juga terkait dengan isi program kegiatan belajar yang dibuat oleh pemerintah yang menunjukkan adanya kesinambungan
program antara program kegiatan belajar TK menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1990 dengan isi kurikulum pendidikan sekolah dasar
menurut Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990. Hal ini berarti bahwa model pendidikan konvensional memang diprogram untuk mempersiapkan anak
mengikuti kurikulum pendidikan di sekolah dasar nantinya. Pada sekolah Montessori yang menerapkan kebebasan dalam pelaksanaan pembelajaran
tidak dapat sepenuhnya melaksanakan program dari pemerintah tersebut. Ketepatan alat ukur dalam penelitian ini juga ikut berpengaruh
terhadap hasil analisis data yang dilakukan. Alat ukur NST yang digunakan
dalam penelitian ini lebih mengukur keterampilan-keterampilan akademik untuk kesiapan sekolah seperti kesiapan menulis, menyimak, dan berhitung.
Hal ini menunjukkan bahwa alat tes NST memang lebih cocok digunakan untuk mengukur kesiapan sekolah pada anak yang mengikuti model
pembelajaran konvensional yang lebih banyak menyediakan porsi waktu untuk fokus mempelajari hal tersebut. Selain itu, anak-anak yang mengikuti
model pembelajaran konvensional juga terbiasa dengan media
paper and pencil
seperti dalam tes NST jika dibandingkan dengan anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori.
Faktor lain yang berkaitan dengan alat ukur yang juga berpengaruh terhadap kesiapan sekolah adalah ketidakmampuan alat memfasilitasi anak
yang kurang fasih berbahasa Indonesia. Hasil pengamatan selama pelaksanaan tes, penggunaan bahasa di sekolah Montessori didominasi oleh
penggunaan bahasa Inggris. Selama pelaksanaan tes, didapati beberapa anak yang tidak paham pada kata-kata sederhana seperti pohon, kumbang, dan
tengah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa anak di sekolah Montessori kurang memahami instruksi yang disampaikan karena terkendala bahasa
sehingga berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori.
Selain itu terkait dengan alat ukur, pada pelaksanaan penelitian peneliti tidak berhasil memperoleh data mengenai kemampuan sosioemosi
pada anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori. Padahal Model pembelajaran Montessori lebih menekankan pengalaman langsung yang dekat
dengan kehidupan sehari-hari dalam proses pembelajarannya untuk melatih ketreampilan sosioemosi mereka. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lillard
2012 dikatakan bahwa anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori memiliki keterampilan sosial dan emosional yang lebih baik. Alat
ukur NST yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengukur keterampilan- keterampilan akademik untuk kesiapan sekolah seperti kesiapan menulis,
menyimak, dan berhitung yang bukan menjadi penekanan utama dalam model pembelajaran Montessori.
Hasil analisis tambahan yang dilakukan menunjukkan bahwa anak yang dinyatakan siap sekolah dari kelompok Montessori adalah 94 dan
ragu-ragu 6. Anak yang siap sekolah dari kelompok konvensional sebesar 98,33 dan yang ragu-ragu sebesar 1,67. Berdasarkan hasil analisis
tersebut, baik anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori maupun anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional dinilai sudah
memiliki kesiapan untuk memasuki sekolah dasar. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa baik anak dari sekolah Montessori maupun sekolah
konvensional mampu untuk mengikuti pembelajaran di tingkat sekolah dasar dengan baik.
62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori
dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajran konvensional lebih tinggi
dibandingkan anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori. Hasil tersebut kemungkinan disebabkan karena kurang optimalnya penerapan
model pembelajaran Montessori pada sekolah yang dipilih kelompok subjek penelitian. Selain itu, adanya kesesuaian model pembelajaran konvensional
dengan konsep perkembangan kognitif yang disampaikan Vygotsky dan didukung oleh kurikulum pendidikan pendidikan di Indonesia yang memiliki
kesinambungan pada setiap jenjang ke jenjang berikutnya menjadi salah satu alasan model pembelajaran konvensional memperoleh hasil yang lebih
optimal dalam penelitian ini. Faktor lain yang juga ikut berpengaruh terhadap hasil penelitian adalah ketepatan serta keterbatasan alat ukur yang digunakan
dalam penelitian ini. Berdasarkan temuan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa ada
pengaruh model pembelajaran pra-sekolah terhadap tingkat kesiapan sekolah anak didiknya. Model pembelajaran konvensional dirasa cenderung lebih
mampu mengembangkan kesiapan sekolah anak usia prasekolah menurut