26
Apabila pasangan terpengaruh oleh keluarga, apabila seseorang anggota keluarga berkunjung dalam waktu yang lama dan hidup dengan mereka untuk seterusnya.
d. Mobilitas sosial
Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota keluarga atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap membawa mereka dalam latar
belakangnya. Banyak orangtua dan anggota keluarga sering bermusuhan dengan pasangan muda.
e. Anggota keluarga berusia lanjut
Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang sangat sulit dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak menyenangkan terhadap orangtua
dan urusan keluarga khususnya bila dia juga mempunyai anak-anak.
f. Bantuan keuangan untuk keluarga pasangan
Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung jawab, bantuan keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering membawa hubungan keluarga yang
tidak baik. Hal ini dikarenakan anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi marah dan tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.
2.4.4. Kondisi Yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan
Hurlock 1999 mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian pernikahan. Faktor-faktor tersebut adalah :
Universitas Sumatera Utara
27
1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan
Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan masa lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami istri hanya
menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik, mengasuh anak, dan manajemen uang.
2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.
Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam pernikahan
semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu.
3. Pernikahan dini
Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing-masing pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu matang dalam hal
emosional, ekonomi, dan seksual.
4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan.
Orang dewasa yang belajar perguruan tinggi dengan pengalaman yang sedikit cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan dengan
pekerjaan, pembelanjaan uang, atau perubahan pola hidup.
5. Pernikahan campuran
Penikahan yang dilakukan antara dua adat istiadat yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
28
6. Pacaran yang dipersingkat.
Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan masa lalu, sehingga pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan masalah tentang
penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan.
7. Romantika perkawinan
Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab
pernikahan.
2.4.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan
Burgess Locke 1960, menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor dasar yang dapat digunakan untuk mengetahui pernyesuaian pernikahan, yaitu :
1. Karakteristik kepribadian
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian perkawinan dan karakteristik kepribadian. Berikut ini 6 karakteristik kepribadian yang dapat
menyebabkan ketidak bahagian dalam pernikahan yaitu : a. Individu yang memiliki kecenderungan pesimis yang lebih besar dari pada sikap
optimis. b. Individu yang memiliki kecenderungan neurotis yang ditampilkan dengan ciri-ciri
pekasensitif, mudah marah dan merasa tidak berdaya serta kesepian.
Universitas Sumatera Utara
29
c. Individu yang memiliki kecenderungan tingkah laku dominan menguasai terhadap orang lain suamiistri dan keras kepala.
d. Individu yang selalu mencela dan tidak memperhatikan orang lainsuami istri. e. Individu yang kurang percaya diri.
f. Individu yang merasa sanggup memenuhi kebutuhan sendiri yang ditunjukkan dengan tingkah laku menyendiri bila menghadapi masalah, menghindari dan menolak nasehat
orang lain. Apabila antara suami istri tidak ada rasa saling percaya akan membuat kehidupan
pernikahan menjadi tidak bahagia. Faktor keterbukaan antara suami dan istri cukup penting dalam penyesuaian pernikahan. Saling terbuka memudahkan proses penyesuaian
dalam pernikahan, sedangkan saling menutup diri tidak terbuka antara suami dan istri cenderung menyulitkan pernikahan. Jika suami istri menyelesaikan masalah sendiri atau
tidak saling terbuka menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan emosional satu sama lain.
2. Latar belakang Budaya
Persamaan latar belakang budaya antara suami dan istri merupakan hal yang baik, sedangkan jika terdapat perbedaan latar belakang yang cukup besar maka hal tertentu ini
dapat menyulitkan penyesuaian dalam pernikahan. Suami dan istri dengan latar belakang budaya yang berbeda akan mengalami kesulitan berkomunikasi. Beberapa penelitian
menunjukkan beberapa hasil diantaranya :
Universitas Sumatera Utara
30
1 Tingkat budaya orang tua suami lebih berpengaruh daripada orang tua istri. Umumnya pria boleh menikahi wanita dengan kondisi ekonomi dan status sosial lebih rendah.
Sedangkan wanita tidak boleh menikahi pria yang memiliki tingkat ekonomi dan status sosial lebih rendah darinya.
2 Perbedaan budaya antara suami dan istri diasumsikan akan mengakibatkan pernikahan yang tidak sukses.
3. Pola Respon
Secara umum keromantisan dihubungkan dengan adanya saling ketertarikan. Hal ini merupakan kebahagian terbesar dalam pernikahan. Gairah cinta ini tidak dibatasi oleh
perbedaan budaya dan kelas sedangkan gambaran yang membosankan apabila cinta berkembang tanpa adanya keakraban dan persahabatan. Hal ini tidak tergantung pada
kecantikan, daya tarik seks, atau ciri fisik lain, tetapi pada keserasian, ketertarikan, dan hubungan yang akrab.
4. Hasrat Seks
Data statistik yang didapat Terman dan Locke dari penelitian yang dilakukan oleh Burgess Cottrel, serta beberapa penelitian lain memberikan informasi bahwa terdapat
hubungan antara perilaku seksual dengan penyesuaian pernikahan. Menurut Walgito 1984 adanya saling pengertian antara suami dan istri terhadap dorongan seks,
pasangannya akan menghindarkan ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seksual. sedangkan bila pasangannya memiliki dorongan seksual yang tidak seimbang dan tidak
dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, hal tersebut akan menimbulkan persoalan. Sedangkan menurut Burgess dan Locke 1960 faktor psikologis merupakan faktor yang
Universitas Sumatera Utara
31
lebih besar mempengaruhi penyesuaian seksual dalam perkawinan dibandingkan dengan faktor biologis.
2.4.6. Pola Penyesuaian Perkawinan
Landis dan landis dalam wahyuningsih, 2002 mengemukakan tiga pola penyesuaian perkawinan berdasarkan cara
–cara memecahkan konflik, yaitu :
1. Kompromi compromise, yang berarti bahwa dalam memecahkan konflik pasangan,
suami istri melakukan kesepakatan-kesepakatan yang memuaskankedua belah pihak. Suami istri berusaha untuk menyatukan pendapat melalui kesepakatan sehingga
meraih tingkat penyesuaian yang tinggi yang kemudian menumbuhkan rasa saling percaya dan rasa aman.
2. Akomodasi accomodate, pada pola ini pasangan berada pada posisi bertolak
belakang, memiliki karakteristik yang bertolak belakang, tetapi menerima kenyataan bahwa ada perbedaan. Pasangan suami istri melakukan akomodasi untuk mencapai
keseimbangan dengan mentoleransi tingkah laku atau hal-hal lain dari pasangannya yang berbeda dengannya. Selama proses akomodasi pasangan dapat melakukan
diskusi untuk meraih cara pandang yang menguntungkan kedua belah pihak.
3. Permusuhan hostility, pada pola ini pasangan suami-istri berusaha untuktetap
mempertahankan pendapat masing-masing dengan segala cara. Pasangan sering bertengkar mengenai berbagai hal yang berbeda. Pasangan suami istri tidak dapat
menyelesaikan perbedaan yang ada dengan cara yang memuaskan, sehingga pernikahan diliputi oleh tekanan.
Universitas Sumatera Utara
32
2.5. Remaja
2.5.1. Pengertian Remaja
Menurut Papalia 2004 remaja adalah transisi perkembangan antara masakanak- kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif, dan perubahan
sosial. Lahey 2004 menyatakan bahwa remaja adalah periode yang dimulai dari munculnya pubertas sampai pada permulaan masa dewasa. Hurlock 1999,
mengemukakan istilah Adolescence atau remaja yang berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang
dipergunakan saat ini juga mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, social, dan fisik.
Menurut Piaget dalam Hurlock 1999 secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Lazimnya masa remaja
dianggap mulai ada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai ia menjadi matang secara hukum. Batasan remaja menurut WHO dalam Sarwono, 2003
lebih konseptual .Dalam definisi ini dikemukakan 3 kriteria yaitu biologi, psikologi, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut :
Remaja adalah suatu masa dimana : 1. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. 2. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identitas dari kanak-kanak
menjadi dewasa. 3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang
relatif lebih mandiri.
Universitas Sumatera Utara
33
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan masa remajamerupakan masa dimana individu mengalami transisi perkembangan dari masa kanak-kanak menuju
dewasa, kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik, usia dimana individu mulai berhubungan dengan masyarakat, dan telah mengalami perkembangan tanda-tanda
seksual, pola psikologis, dan menjadi lebih mandiri.
2.5.2. Pembagian Masa Remaja
Menurut Monks 2001 batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia ini dalam tiga fase, yaitu :
1. Fase Praremaja atau remaja awal 12 - 15 tahun
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak – anak dan
berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang mandiri. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan
teman sebayanya. Masa praremaja biasanya berlangsung hanya dalam waktu yang relatif singkat. Masa ini ditandai dengan gejaknya seperti tidak tenang, kurang suka bekerja,
pesimistik dan sebagaianya. Secara garis besar sifat-sifat negatif tersebut dapat diringkas, yaitu : negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental, dan negatif
dalam sikap sosial, baik dalam bentuk menarik diri dalam masyarakat maupun dalam bentuk agresif terhadap masyarakat.
2. Fase remaja Madya atau pertengahan 15 - 18 tahun
Masa ini ditandai dengsn berkembangnya kemampuan berfikir individu yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu
mengarahkan diri sendiri. Pada masa ini, remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas dan membuat keputusan-keputusan
Universitas Sumatera Utara
34
awal yang bertujuan dengan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu, penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
3. Fase remaja Akhir 18 - 21 tahun Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang
dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang
dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.
Batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia sendiri adalah antara usia 11 tahun sampai usia 24 tahun. Hal ini dengan pertimbangan bahwa usia 11 tahun adalah
usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak. Batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal individu yang belum dapat memenuhi persyaratan
kedewasaan secara sosial maupun psikologis. Individu yang sudah menikah dianggap dan diperlukan sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai
remaja Sarwono, 2003. The UN Convention on The Rights of The Child CRC menandakan bahwa usia
18 tahun merupakan usia yang berada diantara masa anak-anak dan masa dewasa, usia ini merupakan batasan usia remaja. CRC juga mengatakan bahwa individu yang berusia
dibawah 18 tahun masih dianggap sebagai usia anak-anak atau remaja. The World Health Organization WHO memiliki batasan yang tidak jauh berbeda. Batasan usia remaja
menurut WHO adalah individu yang berusia pada rentang 10-19 tahun. Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata batasan usia remaja
berkisar antara 10 tahun sampai 24 tahun, dengan pembagian fase remaja awal berkisar
Universitas Sumatera Utara
35
10-15 tahun, fase remaja tengah berkisar 16-18 tahun dan fase remaja akhir berkisar 19- 24 tahun.
2.5.3. Ciri-ciri Remaja Yang Melakukan Perkawinan muda
Hurlock mengatakan bahwa semua periode perkembangan memiliki ciri-ciri perkembangan yang membedakan dari satu periode dengan periode berikutnya. Masa
remaja juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Remaja yang menikah baik itu remaja putra maupun remaja putri akan
mengalami masa remaja yang diperpendek, sehingga ciri dan tugas perkembangan mereka juga ikut diperpendek dan masuk pada masa dewasa Monks, 2001.
1. Remaja yang telah menikah akan mengalami suatu periode peralihan yang cukup signifikan. Peralihan yang terjadi adalah beralih dari masa anak-anak menuju masa
dewasa, dimana remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak- kanakan dan harus mempelajari pola dan sikap baru terutama dalam pernikahan.
2. Remaja yang telah menikah akan mengalami periode perubahan, yaitu meliputi perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan minat, perubahan nilai-nilai yang
berlaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. 3. Remaja yang telah menikah, mereka diharuskan masuk pada masa dewasa, tidak lagi
pada ambang masa dewasa. Masa remaja mereka menjadi diperpendek dan mereka harus meninggalkan stereotip belasan tahun dan menjadi dewasa.
Universitas Sumatera Utara
36
2.5.4. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
Dalam Hurlock 1999, semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan
persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Monks 2001 menyebutkan bahwa remaja yang telah menikah maka masa remaja menjadi diperpendek sehingga tugas-tugas
perkembangannya juga mengalami penyesuaian. Adapun tugas perkembangan pada masa remaja adalah :
1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. Remaja mulai mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis dengan
tujuan untuk mengetahui lawan jenis lebih dalam bagaimana harus bergaul dengan mereka. Remaja yang menikah mulai mempelajari hubungan baru dengan pasangan
dan lebih matang, hubungan dengan teman sebaya mereka juga sudah mulai terbatasi. 2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita Remaja putri yang telah menikah
pencapaian peran sosial sebagai wanita yaitu menjadi istri dan ibu yang baik. Peran sosial ini terbentuk mulai saat kanak-kanak, seperti pada wanita dimana mereka
didorong untuk berprilaku feminin sejak mereka masih kanak-kanak. Peran sosial ini biasanya diakui oleh masyarakat dan diterima oleh masyarakat.
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif Seringkali sulit bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanak-kanak mereka telah
mengagungkan konsep mereka tentang penampilan saat dewasa nanti. Remaja yang telah menikah akan mengalami hal baru berkaitan dengan kondisi fisiknya, seperti
ketika mereka hamil dan melahirkan anak.
Universitas Sumatera Utara
37
4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri secara
emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain merupakan tugas perkembangan yang mudah. Remaja yang menikah diusia muda diharapkan mencapai kemandirian
emosional dari orang tua walaupun mereka belum cukup siap. 5. Mempersiapkan karier ekonomi Remaja putri yang menikah di usia muda menjadi
terhambat dalam persiapan karier ekonomi mereka. Mereka kehilangan kesempatan untuk melanjutkan keterampilan lainnya sehingga menghambat proses persiapan karier
ekonomi mereka. 6. Mempersiapkan pernikahan dan keluarga Kecenderungan kawin muda menyebabkan
persiapan pernikahan merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahun-tahun remaja. Persiapan pernikahan dan keluarga saat ini hanya sedikit diberikan
baik itu dalam keluarga maupun disekolah dan di Perguruan tinggi, kurangnya p
ersiapan ini merupakan salah satu penyebab dari “ masalah yang tidak terselesaikan” yang oleh remaja dibawa kedalam masa dewasa. Remaja putri yang telah menikah
biasanya tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka sehingga persiapan mereka dalam menghadapi dunia pernikahan juga terbatas Santrock, 1995. Persiapan yang
terbatas itu tidak hanya dari pendidikan saja, kesiapan yang terbatas dari segi fisik mereka, psikologis, maupun segi finansial.
Universitas Sumatera Utara
38
2.6. Pernikahan Dini
2.6.1. Definisi Pernikahan Dini
Pernikahan merupakan salah satu bentuk interaksi antara manusia. Menurut Duvall dan Miller Aryaaulia, 2004, pernikahan dapat dilihat sebagai suatu hubungan
dyadic atau berpasangan antara pria dan wanita, yang juga merupakan bentuk interaksi antara pria dan wanita yang sifatnya paling intim dan cenderung diperhatikan. Menikah
juga didefinisikan sebagai hubungan pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling
mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Duvall 2002 juga menyatakan bahwa pernikahan merupakan upacara pengakuan dan pernyataan menerima suatu
kewajiban baru dalam tata susunan masyarakat. Menikah adalah memasuki jenjang rumah tangga atas dasar membangun dan membina bersama.
Dariyo 2002 menambahkan bahwa menikah merupakan hubungan yang bersifat sucisakral antara pasangan dari seorang pria dan seorang wanita yang telah menginjak
atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa dan hubungan tersebut telah diakui secara sah dalam hukum dan secara agama. Menurutnya, kesiapan mental untuk menikah
mengandung pengertian kondisi psikologis emosional untuk siap menanggung berbagai resiko yang timbul selama hidup dalam pernikahan, misalnya pembiayaan ekonomi
keluarga, memelihara dan mendidik anak-anak, dan membiayai kesehatan keluarga. Pasal 1 Undang-undang Pernikahan No 1 tahun 1974 menyatakan pernikahan
adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa Munandar, 2001. Pernikahan Dini early Married merupakan pernikahan
Universitas Sumatera Utara
39
yang dilakukan oleh pasangan yang berusia dibawah 19 tahun WHO, 2006. Hal ini sesuai dengan rekomendasi The Eliminatian of All Forms of Discrimination against
Women CEDAW yang menyatakan bahwa usia 18 tahun seharusnya menjadi usia minimum yang resmi untuk menikah baik pada pria maupun wanita.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh individu yang berusia dibawah 19
tahun dan merupakan suatu hubungan dydic atau berpasangandan interaksi antar pria dan wanita yang bersifat suci aau sakral yang melibatkan melibatkan hubungan seksual,
adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri.
2.6.2. Alasan Menikah
Menurut Bowner dan Spanier dalam Rahmi 2003 terdapat beberapa alasan seseorang untuk menikah seperti mendapatkan jaminan ekonomi, membentuk keluarga,
mendapatkan keamanan emosi, harapan orang tua, melepaskan diri dari kesepian, menginginkan kebersamaan, mempunyai daya tarik seksual, untuk mendapatkan
perlindungan, memperoleh posisi sosial dan prestise, dan karena cinta. Duvall 2002 mengatakan ada beberapa alasan seseorang untuk menikah yakni
untuk melepaskan diri dari beban hidup, untuk mengatasi perasaan trauma terhadap pengalaman berhubungan dengan lawan jenis, tekanan dari lingkungan keluarga, karena
daya tarik seks, untuk merasakan kesenangan dan untuk status. Turner dan Helms dalam Dariyo 2002 menyatakan bahwa terdapat beberapa motivasi seseorang untuk menikah,
yakni :
Universitas Sumatera Utara
40
a. Motif Cinta
Cinta dan komitmen merupakan dasar utama pasangan untuk menikah. Banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan karena memiliki kecocokan dan kesamaan
minat.
b. Motif untuk memperoleh legitimasi terhadap pemenuhan kebutuhan biologis.
Dengan menikah mereka dianggap tidak melanggar aturan dan norma masyarakat jika ingin melakukan hubungan seksual.
c. Untuk memperoleh legitimasi status anak.
Anak yang lahir dari hubungan antar laki-laki dan wanita yang terikat dalam lembaga perkawinan akan memperoleh pengakuan yang sah dihadapan ajaran agama
maupun hukum negara.
d. Merasa siap secara mental
Keadaan siap untuk menikah akan membawa pasangan untuk menikah sesegera mungkin.
2.6.3. Pengaruh Faktor Kesiapan Menikah terhadap Penyesuaian Pernikahan
Kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan yang bijak mencari pasangan dan mampu saling berbagi dengan pasangan merupakan langkah awal menuju
perkawinan. Pasangan yang terlihat cocok satu ama lain dalam cinta, belum tentu siap untuk menikah. Menghadapi jenjang pernikahan dipermukan beberapa kesiapan dalam
menikah. Aspek kesiapan yang dikemukan oleh Blood 1978 membagi kesiapan
Universitas Sumatera Utara
41
menikah menjadi dua bagian yaitu kesiapan pribadi personal dan kesiapan situasi ciscumstantial. Aspek-aspek tersebut adalah :
a. Kesiapan pribadi personal 1. Kematangan Emosi.
Kematangan emosi yang berarti kemampuan seseorang untuk dapat siaga terhadap diri dan kemampuan mengidentifikasikan perasaan sendiri. Kematangan emosi
yaitu konsep normatif dalam perkembangan psikologis yang berarti bahwa seorang individu telah menjadi seorang yang dewasa. kematangan emosi berasal dari pengalaman
yang cukup terhadap suatu perubahan dan terhadap suatu permasalahan. Kehidupan pernikahan memerlukan harapan yang realistik. Harapan yang realistik dapat membuat
seseorang mampu menerima dirinya sendiri apa adanya dan mampu menerima orang lain sebagaimana diri orang tersebut. Kehidupan pernikahan yang memiliki pasangan yang
dewasa secara emosi dan memiliki harapan-harapan pernikahan yang realistik akan lebih mudah melakukann penyesuaian pernikahan sehingga lebih mudah dipertahankan.
Sebaliknya jika tidak maka akan sulit mempertahankan pernikahan.
2. Kesiapan Usia
Kesiapan usia berarti melihat usia yang cukup untuk menikah. Menjadi pribadi yang dewasa secara emosi membutuhkan waktu, sehingga usia merupakan hal yang
berkaitan dengan kedewasaan.
Universitas Sumatera Utara
42
3. kematangan sosial
Seseorang bisa saja dewasa secara emosional tapi bukan berarti memiliki cukup pengalaman dalam kehidupan sosial orang dewasa untuk siap menikah. Kematangan
sosial dapat dilihat dengan cukupnya pengalaman berkencan enough dating dan cukupnya pengalaman hidup enough single life.
4. Kesehatan emosional
permasalahan emosional yang dimiliki oleh manusia, diantaranya adalah kecemasan, merasa tidak aman, curiga dan lain-lain. Setiap individu memiliki perasaan
seperti itu, namun jika hal itu berada tetap pada diri seseorang maka ia akan sulit menjalin hubungan dengan orang lain. Masalah emosi biasanya menjadi tanda ketidakmatangan
yaitu bersikaps posesif, ketidakmampuan bertanggung jawab dan tidak dapat diprediksi.
5. Kesiapan Model Peran
Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik dalam proses perkembangan mereka kelak. Mereka belajar apa artinya menjadi suami mapun istri yang
baik dengan melihat figur ayah dan ibu mereka. orang tua yang memiliki figusr suami dan istri yang baik akan dapat memepengaruhi kesiapan menikahkan anak-anak mereka yang
nantinya akan mempengaruhi pola penyesuaian pernikahan mereka.
b. Kesiapan Situasi 1. Kesiapan Sumber finansial
Kesiapan finansial tergantung dari nilai-nilai yang dimiliki masing-masing pasangan. Pasangan yang menikah diusia muda yang masih memiliki penghasilan yang
Universitas Sumatera Utara
43
rendah, maka sedikit banyak masih memerlukan bantuan materi dari orang tua. Pasangan seperti ini dikatakan belum mampu mandiri sepenuhnya dalam mengurus rumah tangga
yang memungkinkan akan menghadapi masalah yang lebih besar nantinya.
2. Kesiapan Sumber Waktu
Masing-masing pasangan perlu mempersiapkan rencana-rencana untuk pernikahan, bulan madu, dan tahun-tahun pertama pernikahan. Persiapan rencana yang
tergesa-tergesa akan mengarah pada persiapan pernikahan yang buruk dan memberi dampak yang buruk pada awal-awal pernikahan.
2.6.4. Peranan Usia dalam Pernikahan
Usia adalah salah satu hal yang memiliki peran besar dalam pernikahan, sebagaimana yang disampaikan Walgito 1984 mengenai beberapa kaitan usia pasangan
dalam keluarga yang terbentuk sebagai akibat dari pernikahan, yaitu : 1. Hubungan usia dengan faktor fisiologis dalam pernikahan.
Usia pernikahan yang ditentukan dalam undang-undang pernikahan tahun 1974 adalah untuk pria yang sudah berusia 19 tahun dan bagi wanitanya berusia 16 tahun. Usia
ini dapat dilihat dari segi fisiologis seseorang yang pada umumnya sudah matang, yang berarti pada usia tersebut pasangan sudah dapat membuahkan keturunan. Pernyataan ini
dapat disimpulkan bahwa batasan usia 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita lebih menitikberatkan pada segi fisiologis mereka.
Universitas Sumatera Utara
44
2. Hubungan usia dengan keadaan psikologis dalam pernikahan.
Usia memiliki kaitan dengan keadaan psikologis seseorang. Semakin bertambah usia seseorang diharapkan lebih matang aspek-aspek perkembangan psikologisnya.
Remaja putri yang berusia 16 tahun belum dapat dikatakan dewasa secara psikologis, demikian pula dengan pria berusia 19 tahun. Pernikahan pada usia yang masih muda akan
mengundang banyak masalah karena dari sisi psikologis pasangan yang belum matang. Pasangan akan mengalami keruntuhan dalam rumah tangganya karena faktor usia yang
terlalu muda sehingga dapat menimbulkan perceraian.
3. Hubungan usia dengan kematangan sosial, khususnya sosial-ekonomi dalam perkawinan.
Kematangan sosial-ekonomi pada umumnya berkaitan dengan usia individu. Semakin bertambahnya usia seseorang kemungkinan untuk kematangan dibidang sosial
ekonomi juga akan semakin nyata. Bertambahnya usia seseorang akan semakin bertambahnya dorongan untuk mencari nafkah sebagai penopang kehidupan, sehingga
dalam pernikahan masalah kematangan ekonomi perlu juga mendapat perhatian sekalipun dalam batasan minimal. Seseorang yang berani membentuk keluarga melalui pernikahan
berarti segala tanggung jawab dalam hal menghidupi keluarga terletak pada pasangan tersebut. Remaja yang menikah diusia muda biasanya belummemiliki pekerjaan yang
tetap dan sesuai dengan pengeluaran keluarga diperkirakan akan mengalami kesulitan yang berkaitan dengan sosial-ekonomi dan dapat membawa akibat yang cukup signifikan.
Universitas Sumatera Utara
45
4. Usia yang ideal dalam penikahan.
Tidak terdapat ukuran yang pasti mengenai penentuan usia yang paling baik dalam melangsungkan pernikahan, akan tetapi untuk menentukan umur yang ideal dalam
pernikahan, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan :
a. Kematangan fisiologis dan kejasmanian
Keadaan jasmani yang cukup matang dan sehat diperlukan dalam melakukan tugas dalam pernikahan.
b. Kematangan psikologis.
Terdapat banyak hal yang timbul dalam pernikahan yang membutuhkan pemecahannya dari segi kematangan psikologis. Walgito 1999, mengemukakan bahwa
didalam pernikahan dituntut adanya kematangan emosi agar seseorang dapat menjalankan pernikahan dengan baik. Beberapa tanda kematangan emosi tersebut adalah mempunyai
tanggung jawab, memiliki toleransi yang baik dan dapat menerima keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa adanya. Kematangan seperti ini pada umumnya
dapat dicapai saat seseorang mencapai usia 21 tahun.
c. Kematangan sosial, khususnya sosial-ekonomi.
Kematangan sosial khususnya sosial-ekonomi diperlukan dalam pernikahan, karena hal ini merupakan penyangga dalam memutar roda ekonomi keluarga karena
pernikahan. Usia yang masih muda pada umumnya belum mempunyai pegangan dalam hal sosial-ekonomi, padahal jika seseorang telah menikah, maka keluarga tersebut harus
Universitas Sumatera Utara
46
dapat berdiri sendiri untuk kelangsungan keluarga tersebut, tidak bergantung lagi pada pihak lain termasuk orang tua.
d. Tinjauan masa depan atau jangkauan kedepan.