BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Stroke
2.1.1 Definisi Stroke merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan
suatu gangguan neurologis yang disebabkan terputusnya aliran darah ke sebagian otak Black Hawks, 2009. Smeltzer dan Bare 2008 mendefinisikan stroke
Gangguan Pembuluh Darah Otak GPDO Cerebro Vascular Disease CVD, Cerebro Vascular Accident CVA
adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah sebagian otak Sedangkan menurut
Ginsberg 2007, stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal atau global yang berkembang cepat.
Istilah Cerebro Vascular Disease CVD menunjukkan setiap kelainan serebral yang disebabkan karena proses patologis pembuluh darah serebral yang
disebabkan karena proses patologis pembuluh darah serebral seperti sumbatan pada lumen pembuluh darah otak oleh trombus atau embolus, pecahnya pembuluh
darah serebri, lesi atau perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan peningkatan viskositas atau perubahan lain pada kualitas darah yang
menyebabkan pasokan oksigen dan nutrisi ke serebral terhambat Mokhtar, 2009 dan Standford Stroke Center, 2009.
Stroke merupakan penyebab kematian ke tiga paling sering di Amerika Serikat, disamping kanker dan penyakit jantung. Lebih dari 275.000 orang
meninggal karena stroke Lewis, et al, 2011. Stroke merupakan penyebab utama
Universitas Sumatera Utara
ketidakmampuankecacatan pada orang dewasa dan membutuhkan perawatan jangka panjang. Lebih dari 4 juta penderita stroke hidup dalam derajat
ketidakmampuan di Amerika Serikat. Dari penderita stroke tersebut, 31 membutuhkan bantuan dalam perawatan diri, 20 membutuhkan bantuan dalam
hal ambulasi, 71 mengalami beberapa kerusakan dalam kemampuan bicara bahkan sampai 7 tahun setelah terkena stroke, dan 16 membutuhkan perawatan
institusional Black Hawks, 2009.
2.1.2 Klasifikasi Stroke Price dan Wilson 2006 mengklasifikasikan stroke berdasarkan patologi
anatomi dan penyebabnya, yaitu: 1.
Stroke Iskemia Iskemia serebrum ini menduduki 80-85 dari seluruh kasus stroke.
Penyakit serbrovaskular iskemia ini dibagi menjadi dua kategori besar yaitu oklusi trombolitik dan oklusi embolitik. Penyebab pasti stroke iskemia masih belum
dapat ditentukan dengan pasti. Lima belas persen stroke iskemia disebabkan oleh stroke lakunar. Iskemia serebrum disebabkan karena berkurangnya aliran darah ke
otak yang berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit, dimana bila terjadi lebih dari beberapa menit akan terjadi infark pada jaringan otak Price dan
Wilson 2006. Lewis et al 2011 menyatakan bahwa stroke iskemik dihasilkan dari tidak
adekuatnya aliran darah ke otak yang disebabkan adanya sumbatan sebagian atau total pembuluh darah arteri. Transient Ischemic Attack TIA biasanya prekursor
terjadinya stroke iskemik. Berdasarkan penyebab dan patofisiologi terjadinya,
Universitas Sumatera Utara
stroke iskemik dapat dibagi menjadi: Transient Ischemic Attack TIA, Thrombotic Stroke, A Lacunar Stroke,
dan Embolic Stroke Lewis et al, 2011. 2.
Stroke Hemoragik Stroke hemoragik menduduki 15-20 dari semua kasus stroke. Pendarahan
intrakranium ini dapat terjadi di jaringan otak itu sendiri parenkim, ruang subarachnoid, subdural atau epidural. Stroke jenis ini disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadian berlangsung saat melakukan aktifitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat.
Kesadaran pasien umumnya menurun. Perdarahan otak dibagi 2 yaitu: a.
Perdarahan Intraserebral Pecahnya pembuluh darah mikroaneurisme terutama karena hipertensi
yang mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema otak. Peningkatan tekanan
intrakranial TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hipertensi
sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons, dan serebelum. b.
Perdarahan Subarachnoid Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisme berry atau arterivenous
malvormation AVM. Aneurisma yang pecah ini berasalh dari pembuluh darah
sirkulasi willis dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak Juwono, 1993. Pecahnya arteri dan keluar ke ruang subarachnoid menyebabkan
TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka nyaeri dan vasospasme pembuluh darah serebral yang berakibat disfungsi otak global nyeri kepala,
Universitas Sumatera Utara
penurunan kesadaran maupun fokal hemiparesis, gangguan hemisensorik, afasia, dll. Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subarachnoid mengakibatkan
terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-
tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subarachnoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid
dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya
pada hari kelima sampai kesembilan, dan dapat menghilang setelah minggu kedua sampai kelima. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-
bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serbrospinalos dengan pembuluh arteri di ruang subarachnoid. Vasospasme ini dapat
mengakibatkan disfungsi otak global nyeri kepala, penurunan kesadaran maupun fokal hemiparesis, gangguan hemisensorik, afasia dan lain-lain. Otak dapat
berfungsi jika kebutuhan oksigen dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kerusakan dan kekurangan aliran darah otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 akan terjadi gejala
Universitas Sumatera Utara
disfungsi serebral. Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi oksigen melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah otak Price Wilson, 2006. 2.1.3 Faktor Risiko Stroke
Lewis, et al 2011 membagi faktor resiko stroke menjadi dua bagian yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, riwayat keluarga, jenis kelamin, dan ras. Usia sangat berperan dalam resiko peningkatan
penyakit stroke, yaitu pada usia 55 tahun ke atas. Prevalensi kejadian stroke pada pria dan wanita hampir sama, hanya saja wanita lebih banyak meninggal akibat
stroke dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan wanita lebih rendah dalam bertahan hidup. Ras African American mempunyai insiden tertinggi dari stroke dan
kejadian meninggal lebih tinggi dibandingkan berkulit putih. Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi, kadar
kolesterol dan lemak darah, diabetes mellitus, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, penggunaan kontrasepsi hormonal, dan obesitas. Faktor resiko yang dapat diubah
ini sangat berhubungan dengan gaya hidup, sehingga sangat diperlukan kerjasama keluarga dalam perubahan gaya hidup ke arah yang lebih sehat.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Smeltzer dan Bare 2008 menyebutkan stroke dapat menyebabkan berbagai defisit neurologis yang bergantung pada lokasi lesi pembuluh darah
mana yang terkena, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran
Universitas Sumatera Utara
darah kolateral sekunder atau aksesoris. Beberapa defisit neurologis yang dapat ditimbulkan akibat stroke yaitu defisit motorik, defisit sensori, defisit perceptual,
kerusakan bahasa dan komunikasi, kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik, disfungsi aktifitas mental dan psikologik, dan gangguan eliminasi.
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan control volenteer terhadap gerakan motorik. Disfungsi motor paling umum adalah
hemiplegia paralisis pada salah satu sisi tubuh, dan hemiparesis kelemahan pada salah satu sisi tubuh. Defisit motorik yang lainnya adalah disatria
kerusakan otot-otot bicara dan disfagia kerusakan otot-otot menelan Smeltzer Bare 2002. Lewis et al 2011 menyebutkan bahwa defisit motorik pada stroke
adalah efek yang paling sering ditemukan. Defisi motorik meliputi kerusakan 1 mobilitas, 2 fungsi respirasi, 3 menelan dan berbicara, 4 reflex gag, 5
ketidakmampuan self-care. Defisit sensori pada pasien stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan
atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan audiotorius Smeltzer Bare, 2008. Defisit visual umum terjadi karena jaras visual terpotong sebagian besar
pada hemisfer serebri. Defisit visual ini terdiri dari hemianopsia homonimosa kehilangan pandangan pada setengah bidang pandang pada sisi yang sama,
diplopia penglihatan ganda, serta penurunan ketajaman penglihatan. Defisit sensori yang lain yaitu hilangnya respon terhadap sensasi superfisial sentuhan,
Universitas Sumatera Utara
nyeri, tekanan, panas dan dingin dan tidak memberikan atau hilangnya respon terhadap proprioresepsi pengetahuan tentang posisi bagian tubuh.
Defisit perseptual gangguan dalam merasakan dengan tepat dan menginterpretasi diri dan atau lingkungan juga dapat terjadi pada penderita
stroke. Defisit perseptual ini terdiri dari gangguan skemmaksud tubuh amnesia atau menyangkal terhadap ektremitas yang mengalami paralisis; kelainan
unilateral, disorientasi waktu, tempat, orang, apraksia kehilangan kemampuan untuk menggunakan objek dengan tepat dan agnosia ketidakmampuan untuk
mengidentifikasi lingkungan melalui indera. Selain itu juga dapat terjadi kelainan dalam menemukan letak objek dalam ruang, memperkirakan ukurannya dan
menilai jauhnya, kerusakan memori untuk mengingat letak spasial objek atau tempat, serta disorientasi kanan kiri Smeltzer Bare, 2008.
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi. Defisit bahasa dan kemunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal
berikut yaitu afasia ekspresif, berupa kesulitan dalam mengubah suara menjadi pola-pola bicara yang dapat dipahami. Pada afasia ekspresif, pasien stroke dapat
berbicara dengan menggunakan respons satu kata. Afasia reseptif yaitu kerusakan kelengkapan kata yang diucapkan. Pada afasia jenis ini, pasien stroke mampu
untuk berbicara, tetapi menggunakan kata-kata dengan tidak tepat dan tidak sadar tentang kesalahan ini. Afasia global adalah kombinasi afasia ekspresif dan
reseptif, dimana pasien stroke tidak mampu berkomunikasi pada setiap tingkat. Aleksia dimanifestasikan sebagai ketidakmampuan untuk mengerti kata yang
Universitas Sumatera Utara
dituliskan. Sedangkan agrafasia dimanifestasikan sebagai ketidakmampuan untuk mengekspresikan ide-ide dalam tulisan Smeltzer Bare, 2002.
Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik pada pasien stroke muncul bila terjadi kerusakan pada lobus frontal serebrum. Disfungsi dapat ditujukan
dengan lapang perhatian yang terbatas, peningkatan distraksibilitas mudah buyar, kesulitan dalam pemahaman, kehilangan memori mudah lupa,
ketidakmampuan untuk menghitung, memberi alasan atau berpikir secara abstrak, ketidakmampuan untuk mentransfer pembelajaran dari satu situasi ke situasi yang
lain, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien mengalami rasa frustasi dalam program rehabilitasi yang dilakukan Smeltzer Bare, 2008.
Disfungsi aktifitas mental dan psikologik yang umumnya terjadi pada pasien stroke, biasanya dimanifestasikan dengan labilitas emosional yang
menunjukkan reaksi dengan mudah atau ridak tepat. Selain itu, biasanya pasien stroke menunjukkan kehilangan kontrol diri dan hambatan sosial, penurunan
toleransi terhadap stres, rasa ketakutan, pemusuhan, frustasi, dan mudah marah. Pada tahap lanjut dapat terjadi kekacauan mental, menarik diri, isolasi dan depresi
Smeltzer Bare, 2008. Disfungsi kandung kemih biasanya dimanifestasikan dengan inkontinesia
urinarius yang biasanya terjadi sementara. Hal ini terjadi karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinalbedpan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Lesi unilateral karena stroke mengakibatkan sensasi dan kontrol parsial kandung
kemih, sehingga klien sering mengalami doronganrasa ingin berkemih dan
Universitas Sumatera Utara
inkontinensia urine. Jika lesi ada pada batang otak, maka akan terjadi kerusakan lateral yang mengakibatkan neuron motorik bagian atas kandung kemih
kehilangan semua kontrol miksinya. Sedangkan kerusakan fungsi usus biasanya diakibatkan karena penurunan tingkat kesadaran, dehidrasi atau immobilisasi. Hal
ini biasanya menimbulkan masalah konstipasi dan pengerasan feses pada pasien stroke. Inkontinensia urine dan alvi yang berkelanjutan menunjukkan kerusakan
neurologi luas Smeltzer Bare, 2008. Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke
sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan
penderita. Untuk melihat tingkat keparahan kelumpuhan atau kecacatan stroke, berikut ada skala yang digunakan yaitu Skala Kecacatan Stroke The Modified
Rankin Scale: 1.
Kecacatan derajat 0 Tidak ada gangguan fungsi
2. Kecacatan derajat 1
Hampir tidak ada gangguan fungsi pada aktivitas sehari-hari atau gangguan minimal. Pasien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari-hari.
3. Kecacatan derajat 2 Slight disability
Pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi tetap dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
4. Kecacatan derajat 3 Moderate disability
Pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin membutuhkan tongkat.
5. Kecacatan derajat 4 Moderately severe disability
Pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain, perlu bantuan orang lain untuk menyelesaikan sebagian aktivitas diri seperti mandi, pergi ke toilet, merias
diri, dan lain-lain. 6.
Kecacatan derajat 5 Severe disability Pasien tepaksa terbaring di tempat tidur dan kegiatan buang air besar dan kecil
tidak terasa inkontinensia, memerlukan perawatan dan perhatian. 7.
Derajat 6 Kematian Peneliti memasukkan skala kecacatan stroke tersebut mengingat bahwa
asumsi peneliti yang mengganggap bahwa tingkat keparahan dari kelumpuhan yang dialami oleh penderita pascastroke akan berdampak pada penyesuaian
individu tersebut.
2.1.5 Penatalaksanaan Stroke
Lewis 2011 dan Harsono 2000 membedakan penatalaksanaan stroke ke dalam tahap akut dan paska tahap akut, yang meliputi:
1. Tahap Akut hari ke 0-14 setelah onset penyakit
Pada tahap akut ini sasaran pengobatan yaitu menyelamatkan neuron yang cedera agari tidak terjadi nekrosis, serta agar proses patologis lainnya yang
menyertai tidak mengganggumengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah ke otak adekuat dengan pemeliharaan
Universitas Sumatera Utara
beberapa fungsi diantaranya respirasi yang ahrus dijaga agar tetap bersih dan bebas dari benda asing. Fungsi jantung harus tetap dipertahankan pada tingkat
yang optimal agar tidak menurunkan perfusi otak. Kadar gula darah yang tinggi pada tahap akut, tidak diturunkan dengan drastis.
Bila pasien telah masuk dalam kondisi kegawatan dan terjadi penurunan kesadaran, maka kesimbangan cairan, elektrolit dan asam basa darah harus
dipantau dengan ketat. Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan aliran darah dan metabolisme otak diantaranya adalah obat-obatan anti edema seperti gliserol
10 dan kortikosteroid. Selain itu digunakan anti agregasi trombosit dan antikoagulansia. Untuk stroke hemoragik, pengobatan perdarahan otak ditujukan
untuk hemostasis Lewis, 2011 Harsono, 2000. 2.
Tahap paska akut tahap rehabilitasi Setelah tahap akut berlalu, sasaran pengobatan dititikberatkan pada tindakan
rehabilitasi penderita dan pencegahan terjadinya stroke berulang. Rehabilitasi yang dilakukan berujuan untuk pemulihan keadaan dan mengurangi derajat
ketidakmampuan. Ini dilakukan dengan pendekatan memulihkan keterampilan lama, untuk anggota tubuh yang lumpuh, memperkenalkan sekaligus melatih
keterampilan baru untuk anggota tubuh yang tidak mengalami kelumpuhan, memperoleh kembali hal-hal atau kapasitas yang telah hilang diluar kelumpuhan,
serta mempengaruhi sikap penderita, keluarga, dan terapeutik tim Lewis, 2011 Harsono, 2000.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Dukungan Sosial bagi Pasien Stroke Paska Akut
Dukungan sosial adalah derajat dukungan yang diberikan kepada individu, khususnya saat dibutuhkan oleh orang yang memiliki hubungan emosional yang
dekat dengan orang tersebut. Dukungan sosial ini dapat bersumber dari keluarga, teman atau sahabat, dokter, perawat atau siapapun yang memiliki hubungan
berarti bagi individu tersebut Gonallen Bloney, dalam As’ari, 2005. Keluarga sangat memegang peranan penting selama perawatan tahap paska
akut pasien stroke di rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan perawatan sehari- hari dan rehabilitasi. Merawat pasien dengan stroke merupakan suatu hal yang
serius. Keluarga, berapapun usia dan keadaan mereka, memerlukan informasi, edukasi dan dukungan sosial untuk dapat melaksanakan perawatan pasien dan
dapat beradaptasi dengan peran baru mereka. 2.2. Konsep Caregiver
2.2.1 Definisi Definisi caregiver dalam Merriam-Webster Dictionary 2012 adalah
orang yang memberikan perawatan langsung pada anak atau orang dewasa yang menderita penyakit kronis. Elsevier 2009 menyatakan caregiver sebagai
seseorang yang memberikan bantuan medis, sosial, ekonomi, atau sumber daya lingkungan kepada seseorang individu yang mengalami ketergantungan baik
sebagian atau sepenuhnya karena kondisi sakit yang dihadapi individu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Definisi caregiver dari literatur bahasa Indonesia, dikemukakan oleh Subroto 2012 sebagai:
.. seseorang yang bertugas untuk membantu orang-orang yang ada hambatan untuk melakukan kegiatan fisik sehari-hari baik yang bersifat kegiatan harian
personal personal activity daily living seperti makan, minum, berjalan, atau kegiatan harian yang bersifat instrumental instrumental daily living seperti
memakai pakaian, mandi, menelpon atau belanja.
Menurut Mifflin 2007 menyatakan caregiver sebagai seseorang dalam keluarga, baik itu orang tua angkat, atau anggota keluarga lain yang membantu
memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang mengalami ketergantungan. Caregiver
keluarga family caregiver didefinisikan sebagai individu yang memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan untuk sebagai waktunya secara
sungguh-sungguh setiap hari dan dalam waktu periode yang lama, bagi anggota keluarganya yang menderita penyakit kronis Pfeiffer, dalam Tantono dkk, 2006.
Caregiving merupakan suatu istilah yang berarti memberikan perawatan kepada
seseorang dengan kondisi medis yang kronis. Informal atau lay caregiving adalah aktivitas membantu individu yang memiliki hubungan personal dengan caregiver
Tantono, 2006.
2.2.2. Jenis Caregiver Caregiver
dibagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal. Caregiver informal
adalah seseorang individu anggota keluarga, teman, atau tetangga yang memberikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang
waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan formal caregiver
adalah caregiver yang merupakan bagian dari sistem pelayanan, baik di bayar maupun sukarelawan Sukmarini, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Timonen 2009 menyebutkan terdapat dua jenis caregiver, yaitu formal dan informal. Caregiver formal atau disebut juga penyedia layanan kesehatan
adalah anggota suatu organisasi yang dibayar dan dapat menjelaskan norma praktik, profesional, perawat atau relawan. Sementara informal caregiver
bukanlah anggota organisasi, tidak memiliki pelatihan formal dan tidak bertanggung jawab terhadap standar praktik, dapat berupa anggota keluarga
ataupun teman. Dengan demikian caregiver keluarga merupakan bagian dari informal caregiver.
Family caregiver atau caregiver keluarga menurut Wenberg 2011 adalah
pasangan, anak dewasa, kenalan pasangan atau teman yang memiliki hubungan pribadi dengan pasien, dan memberikan berbagai bantuan yang tidak dibayar
untuk orang dewasa yang lebih tua dengan kondisi kronis atau lemah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa caregiver keluarga adalah
anggota keluarga pasien, yang bersedia dan bertanggung jawab dalam merawat, memberikan dukungan secara fisik, sosial, emosional serta menyediakan
waktunya untuk pasien yang menderita stroke hingga pulih atau bahkan hingga akhir hayatnya.
2.2.3. Tugas dan Peran Caregiver Keluarga Fungsi dari caregiver adalah menyediakan makanan, membawa pasien ke
dokter, dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian Tantono, 2006. Seperti kita ketahui gangguan fisik pasien stroke sendiri adalah
gangguan dimana faktor psikis yang berperan. Caregiver juga membantu pasien dalam mengambil keputusan atau pada stadium akhir penyakitnya, justru
Universitas Sumatera Utara
caregiver ini yang membuat keputusan untuk pasiennya. Keluarga sebagai
caregiver merupakan penasihat yang sangat penting dan diperlukan oleh pasien
Tantono, 2006. Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Arksey, et al 2005 tentang
tugas-tugas yang dilakukan caregiver di United Kingdom, antara lain termasuk: a.
Bantuan dalam perawatan diri yang terdiri dari dressing, bathing, toileting. b.
Bantuan dalam mobilitas seperti: berjalan, naik atau turun dari tempat tidur c.
Melakukan tugas keperawata seperti: memberikan obat dan mengganti balutan luka.
d. Memberikan dukungan emosional
e. Menjadi pendamping
f. Melakukan tugas-tugas rumah tangga seperti: memasak, belanja, pekerjaan
kebersihan rumah, dan g.
Bantuan dalam masalah keuangan dan pekerjaan kantor. Milligan 2004 dalam penelitiannya menarik perhatian terhadap fakta
tugas caregiver pada lansia. Tugas yang dilakukan caregiver tidak hanya terbatas kepada pekerjaan rumah tangga, akan tetapi dibagi ke dalam 4 kategori, sebagai
berikut: a.
Physical Care Perawatan fisik, yaitu: memberi makan, mengganti pakaian, memotong kuku, membersihkan kamar, dan lain-lain.
b. Social Care Kepedulian sosial, antara lain: mengunjungi tempat hiburan,
menjadi supir, bertindak sebagai sumber informasi dari seluruh dunia di luar perawatan di rumah.
Universitas Sumatera Utara
c. Emotional Care, yaitu menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih sayang kepada
pasien yang tidak selalu ditunjukkan ataupun dikatakan namun ditunjukkan melalui tugas-tugas lain yang dikerjakan.
d. Quality care, yaitu: memantau tingkat perawatan, standar pengobatan, dan
indikasi kesehatan, serta berurusan dengan masalah yang timbul.
2.2.4. Beban pada Caregiver Beban keluarga merupakan suatu tolak ukur utama dalam menilai dampak
terhadap anggota keluarga lain dari perawatan penderita gangguan jiwa Djatmiko, 2004. Beban caregiver caregiver burden didefinisikan sebagai
tekanan-tekanan mental atau beban yang muncul pada orang yang merawat lansia, penyakit kronis, anggota keluarga atau orang lain yang cacat. Beban caregiver
merupakan stress multidimensi yang tampak pada diri seorang caregiver. Pengalaman caregiving berhubungan dengan respon yang multidimensi terhadap
tekanan-tekanan fisik, psikologis, emosi, sosial dan financial Tantono, 2006. Beban caregiver dibagi atas dua yaitu beban subjektif dan beban objektif.
Beban subjektif caregiver adalah respon psikologis yang di alami caregiver sebagai akibat perannya dalam merawat pasien. Sedangkan beban objektif
caregiver yaitu masalah praktis yang di alami oleh caregiver, seperti masalah
keuangan, gangguan pada kesehatan fisik, masalah dalam pekerjaan, dan aktivitas sosial Sukmarini, 2009.
Ada 3 faktor beban caregiver yaitu efek dalam kehidupan pribadi dan sosial caregiver, beban psikologis dan perasaan bersalah. Caregiver harus
memberikan sejumlah waktu energi dan uang. Tugas ini dirasakan tidak
Universitas Sumatera Utara
menyenangkan, menyebabkan stress psikologis dan melelahkan secara fisik. Beban psikologis yang dirasakan oleh caregiver antara lain rasa malu, marah,
tegang, tertekan, lelah dan tidak pasti. Faktor terakhir berhubungan dengan perasaan bersalah seperti seharusnya dapat melakukan lebih banyak, tidak dapat
merawat dengan baik dan sebagainya Anneke, 2009. Perawatan yang dilakukan caregiver
tergantung pada level ketidakmampuan pasien progress penyakit. Lefley 1996, dalam Sales, 2003,
menjabarkan beban caregiver dengan penyakit kronis secara rinci antara lain: 1 Ketergantungan ekonomi pasien, 2 Gangguan rutinitas harian,
3 Manajemen perilaku, 4 Permintaan waktu dan energi, 5 Interaksi yang membingungkan atau memalukan dengan penyedia layanan kesehatan, 6 Biaya
pengobatan dan perawatan, 7 Penyimpangan kebutuhan anggota keluarga lain, 8 Gangguan bersosialisasi, 9 Ketidakmampuan menemukan setting perawatan
yang memuaskan. Penelitian yang dilakukan Aoun 2004, menemukan dampak caregiving
pada caregiver dengan pasien paliatif di Australia, yaitu: a.
Pendapatan sering tidak cukup karena biaya yang dikeluarkan selama perawatan.
b. Dampak kesehatan yang umum pada caregiver, akan tetapi caregiver sering
mengabaikannya atau mengurangi pentingnya menjaga kesehatan. c.
Gangguan tidur menyebabkan kelelahan caregiver. d.
Berkurangnya kegiatan sosial dan aktivitas fisik caregiver sehingga mengakibatkan isolasi sosial.
Universitas Sumatera Utara
e. Perawatan pada pasien dengan paliative care secara emosional menuntut
caregiver sehingga mengalami rasa bersalah, kecemasan, kemarahan, frustasi,
takut, depresi, kehilangan kendali, dan perasaan tidak mampu. 2.2.5. Dukungan dan Kebutuhan Caregiver
Dukungan yang diberikan oleh caregiver adalah penting untuk membantu kesembuhan pasien baik dari segi fisik, psikososial, dan spiritual. Tujuan dari
rencana pendidikan kesehatan juga berbeda antara pasien dan caregiver. Caregiver
mungkin membutuhkan bantuan dalam mempelajari perawatan fisik dan teknik penggunaan alat bantu perawatan., menemukan sumber home care,
menempatkan peralatan, menata lingkungan rumah untuk mengakomodasi kesembuhan pasien Lewis, et al, 2011.
Pasien dan caregiver mungkin memiliki kebutuhan akan pengajaran yang berbeda. Misalnya, prioritas utama untuk pasien lansia yang menderita diabetes
dengan luka ynag luas di telapak kaki perlu pengajaran tentang bagaimana berpindah dari kursi dengan cara yang benar. Di lain pihak, caregiver harus lebih
fokus mengetahui teknik mengganti balutan luka. Pemberian rencana pengajaran yang sukses disarankan untuk melihat dari kebutuhan pasien dan kebutuhan
caregiver yang merawat pasien Lewis, et al, 2011.
Penelitian Yedidia dan Tiedemann, 2008 berdasarkan tugas caregiver, menyimpulkan kebutuhan caregiver yaitu: 1 Kebutuhan akan informasi tentang
pelayanan yang tersedia, 2 Manajemen stress dan strategi koping, 3 Masalah keuangan dan asuransi, 4 Masalah komunikasi dengan profesional kesehatan,
5 Informasi tentang penyakit, 6 Menggunakan bantuan yang kompeten,
Universitas Sumatera Utara
7 Bantuan tentang tugas-tugas perawatan, 8 Bantuan berkomunikasi dengan pasien, 9 Nasihat hukum, 10 Informasi tentang obat, 11 Bantuan mengatasi
masalah akhir kehidupan, 12 Panduan memindahkan pasien ke fasilitas yang mendukung, 13 Bantuan berurusan dengan keluarga.
Kebutuhan-kebutuhan caregiver tersebut hendaknya dapat dikaji oleh perawat agar beban yang dirasakan caregiver stroke dapat berkurang. WGBH
Western Great Blue Hill Educational Foundation 2008 menyatakan bahwa dalam memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuan caring, caregiver
diharapkan memiliki keahlian dalam: a.
Berkomunikasi Mengekspresikan kebutuhan dan perasaan serta mampu mendengar
kebutuhan dan perasaan orang lain merupakan keterampilan penting dalam menangani pasien stroke. Saat perasaan pasien dan caregiver mampu diutarakan,
hal tersebut dapat mendukung satu sama lain, dan mengurangi stres yang diikuti oleh kemarahan atau kesedihan. Dengan melepaskan masalah, perawatan pasien
stroek dapat ditata sedemikian rupa sehingga pengobatan dapat lebih efektif. b.
Menemukan informasi Kebutuhan akan informasi stroke sangat diperlukan untuk membuat
keputusan, memecahkan masalah, dan mencari pertolongan. Dengan mencari informasi, caregiver akan lebih mampu memahami penyakit dan pengobatan,
seperti halnya dengan menentukan sumber dan dukungan caring.
Universitas Sumatera Utara
c. Membuat keputusan
Diagnosis stroke membutuhkan keputusan penting tentang pilihan pengobatan dan gaya hidup. Bagi pasien stroke ini membutuhkan bantuan
caregiver dan pandangannya dalam memutuskan sesuatu.
d. Memecahkan masalah
Dalam menghadapi perubahan yang disebabkan oleh stroke dan beradaptasi akan kondisi tersebut, membutuhkan bantuan luar, seperti dari
perawat, pekerja sosial, organisasi stroke, kelompok sosial lainnya, internet, teman dan keluarga.
e. Bernegosiasi
Dengan adanya persetujuan kerja bagi masing-masing orang, akan mengurangi ketegangan peran caregiver.
f. Memberanikan diri
Menghilangkan keraguan untuk mencari bantuan apa saja untuk caregiver sendiri dan pasien.
Universitas Sumatera Utara
Gbr. 2.1. Perawatan Stroke Berkelanjutan dan Beban Caregiver Keluarga
Sumber: Mc Cockle, Grant, Frank-Stromborg, Baird, 1996 Dari gambaran di atas, latar belakang keluarga berupa hubungan keluarga
terdahulu, harmonis, penuh konflik atau tidak, perlu dikaji sehubungan dengan kualitas rawatan yang akan diberikan pada pasen stroke. Integrasi sosial mereka
sebelumnya mempengaruhi keefektifan perawatan dan ketegangan yang dihasilkan. Tahap perkembangan keluarga caregiver juga perlu dikaji, oleh karena
pada caregiver dewasa dan bekerja, ketegangan peran timbul dikarenakan ia harus mengurangi waktu untuk dirinya sendiri. Aktivitas sosial dan privasi bagi
Latar belakang keluarga:
Hubungan keluarga
terdahulu, Jaringan
keluarga, Tahap
perkembangan keluarga, status
sosioeko, Pengaturan
peran Karakteristik
Caregiver: Usia, Jenis
kelamin, Status
pernikahan, Peran,
Sumber
Karakteristik Pasien:
Usia, Jenis kelamin,
Status pernikahan,
Peran, Sumber
Sifat stroke situasi rawatan:
Area yang terkena,
pengobatan efek
samping, Kebutuhan
perawatan
Sistem perawatan
formal:
Rawat jalan, Rawat inap,
home care Permintaan
caregiver pasien:
Pengalaman gejala pasien,
ketergantungan pasien, peran
ketergantungan
Tujuan caregiver: Beban
caregiver, depresi,
cemas, beban peran, beban
ekonomi Sistem rawatan
informal: Keluarga dan teman
Universitas Sumatera Utara
yang pensiun tidak menimbulkan masalah, namun bagi anak dewasa merupakan masalah penting.
Karakteristik pasien berupa faktor usia menimbulkan pengaruh, seperti pada caregiver lansia dengan masalah penurunan kemampuan fisiknya,
memerlukan bantuan untuk perawata fisik dan masalah administrasi yang mengarah kepada ketegangan dan stres caregiver. Dari segi pengaturan hidup,
dengan adanya perpindahan pasien dari rumah ke rumah sakit atau sebaliknya misalnya, alam menimbulkan distres. Karakteristik pasien berupa usia, jenis
kelamin, pekerjaan, status finansial, status pernikahan, pengaturan hidup dan peran biasanya, ini perlu dipertimbangkan dalam kontribusinya terhadap beban
caregiver. Semakin jauh hubungan kekerabatan dengan caregiver, semakin kurang
pula perasaan caregiver untuk merawat pasien. Pada caregiver pasangan, memiliki beban tertentu oleh karena perawatan yang diberikannya mencakup
aspek keseluruhan, berperan lebih lama, toleransi lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan yang bukan pasangannya, kewajiban dan harapannya dalam
merawat kurang. Menurut Walker 2007, beban yang dirasakan caregiver, dapat dibagi atas
2 hal, yaitu: respon emosi caregiver dan kesehatan fisik caregiver. a.
Respon emosi caregiver. Distres pada caregiver biasanya diperlihatkan sebagai depresi atau beban
caregiver. Depresi caregiver adalah gangguan mood yang dihasilkan dari stres
Universitas Sumatera Utara
penyedia layanan keperawatan, yang dimanifestasikan oleh perasaan kesendirian, isolasi, ketakutan dan merasa mudah diganggu.
Hirst 2005 menemukan masalah kesehatan mental yang timbul secara langsung terhadap caregiver dalam proses perawatan pasien. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa caregiver yang memberikan perawatan kepada pasien keluarga lebih dari 20 jam atau lebih per minggu adalah dua kali lipat berisiko
mengalami tekanan psikologis dan efek ini lebih besar pada caregiver wanita. Penelitian yang dilakukan Kalliath dan Kalliath 2000 di Selandia Baru pada
caregiver pasien stroke, menemukan terdapat kelelahan emosional dikaitkan
dengan gejala kelelahan, depersonalisasi, dan penurunan prestasi pribadi. Cameron et al 2006 menemukan sebesar 44 dari 94 orang caregiver
berkebangsaan Canada pada pasien stroke beresiko terkena depresi klinis. b.
Kesehatan fisik caregiver. Pengalaman caregiver akan kondisi yang menghasilkan stres kronik yang
kemudian menimbulkan respon dengan melepas glukokortikoid dan katekolamin sebagai hasil progres penyakit dan pengobatan yang lama, dimana dapat
berdampak negatif pada sistem imunitas caregiver dan mempengaruhi kesehatannya.
Hasil survey yang dilakukan oleh Vitaliano, et al 2003, 2004 menemukan dampak kesehatan fisik bagi caregiver pada lansia dengan demensia.
Pada penelitian tersebut, caregiver melaporkan mengalami gangguan kesehatan fisik dan membutuhkan pengobatan yang lebih sering dibandingkan bukan
caregiver. Sebesar 23 terjadi peningkatan hormon stres pada caregiver. Hasil
Universitas Sumatera Utara
lain menunjukkan bahwa caregiver menghasilkan produksi antibodi yang rendah, tingginya gangguan tidur dan kurang adekuatnya diet.
Sebagian besar caregiver adalah wanita. Menurut Montgomery, Rowse, dan Kosloski 2007, wanita diketahui memiliki waktu istirahat dan latihan yang
kurang dibandingkan pria. Sehingga terjadi perubahan kardiovaskuler seperti tekanan darah meningkat. Kurangnya waktu untuk merawat diri sendiri karena
permintaan rawatan yang berkesinambungan dapat berdampak negatif pada kesehatan caregiver.
2.3. Landasan Teori Keperawatan Theory of Caregiving Dynamics