77
4.2 Sejarah Haji di Indonesia
Ibadah haji bukan hanya terkait dengan aspek spiritual sebagai pelaksanaan rukun Islam. Lebih dari itu, ibadah ini memiliki dimensi sosial
sebagai simbol ketinggian status seserang yang telah melaksanakannya. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa biasanya akan mengganti nama kecilnya dalam dua
momen; pernikahan dan haji. Secara historis, realitas tersebut sudah mapan jauh sebelum kemerdekaan.
Setelah berhaji, seringkali orang-orang Jawa yang memiliki nama Jawa akan segera mengganti namanya dengan yang berbau Arab dan menambahkan gelar
haji di depan namanya. Meski demikian, dalam banyak kasus, pemberian status tersebut biasanya
berbanding lurus dengan peran yang mereka lakukan setelah kembali dari Makkah. Ketika kembali dari Makkah, banyak di antara jamaah haji yang
memainkan peran penting dalam proses transformasi masyarakat, sepertiKH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, H Samanhoedi, dan Hamka.
Setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi itu, yaitu tantangan internal berupa keterpurukan masyarakat Nusantara dan tantangan eksternal berupa
kolonialisme Belanda. Ketika di Makkah, jamaah haji bertemu dengan banyak bangsa yang lebih
maju dari bangsanya. Dalam pertemuan inilah jamaah haji Nusantara berefleksi diri dan membandingkan bangsanya dengan berbagai bangsa yang lebih maju itu.
Dari sini lahirlah ide dan gerakan pembaharuan sosial keagamaan dan semangat anti penjajahan.
Universitas Sumatera Utara
78 Faktor itu diperkuat oleh kenyataan panjangnya masa haji di masa lampau.
Di masa lampau, perjalanan haji memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dalam perjalanan itu, jamaah haji tidak langsung ke Makkah, tapi
transit di berbagai pulau dan negara sebelum sampai ke Makkah. Sebagai gambaran, di abad ke 17, perjalanan haji Sultan Haji dari Banten yang memakan
waktu 1,5 tahun pergi-pulang dianggap sudah cepat. Pun demikian, ketika selesai berhaji mereka tidak bisa langsung kembali
ke tanah air. Mereka harus menunggu kapal untuk kembali. Dalam masa penantian itulah jamaah haji memanfaatkannya untuk berdagang atau menuntut
ilmu. Banyak juga di antara mereka yang tinggal bertahun-tahun dengan niat menuntut ilmu di berbagai zawiyah di tanah suci. Pengetahuan baru yang mereka
peroleh di tanah suci itulah yang melahirkan kesadaran untuk melakukan perubahan sosial dan menentang penjajahan saat pulang ke tanah air.
Keadaan itu tentu saja mengkhawatirkan pemerintah kolonial Belanda. Untuk menangkal semangat perlawanan yang dibawa jamaah haji, pemerintah
kolonial membuat regulasi yang mempersulit perjalanan haji, seperti Resolusi tahun 1825 dan 1831.
Dalam Resolusi tahun 1825, setiap calon jamaah haji harus membayar f 110 110 gulden untuk mendapatkan paspor haji. Di samping itu, para Residen
dan Bupati diharapkan dapat membendung keinginan masyarakat untuk berhaji. Resolusi 1825 itu kemudian diubah dengan Resolusi tahun 1831 yang
memuat ketentuan; pelanggar paspor haji atau yang tidak memiliki paspor haji akan dikenakan denda f 1000. Besaran jumlah denda kemudian hari diubah
Universitas Sumatera Utara
79 menjadi f 220. Di tahun 1852 kedua Resolusi itu dihapus, tetapi aturan keharusan
memiliki paspor haji tetap ada meski pembayarannya tidak terlalu mahal. Pada tahun 1859 Belanda kembali mengatur haji dengan mengeluarkan
Ordonansi Haji yang berisi; 1. harus memiliki surat keterangan dari bupati bagi yang ingin berhaji, dan memiliki bekal yang cukup selama haji dan bagi keluarga
yang ditinggalkan; 2. diadakan ujian bagi yang telah datang dari haji; 3. bila telah lulus ujian baru jamaah haji bisa memakai gelar haji dan memakai busana khusus
haji. Hingga kini masih belum diketahui secara pasti kapan pertama kali
masyarakat Nusantara melakukan haji. Meski demikian, setidak-tidaknya di abad ke 14 sudah ada masyarakat Nusantara yang berangkat haji mengingat ramainya
pelayaran antara Timur Tengah dengan Nusantara saat itu. Sebelum menggunakan pesawat seperti saat ini, perjalanan haji Nusantara
menggunakan kapal sebagai alat trasportasinya. Di masa-masa awal perjalanan haji Nusantara, para jamaah haji tidak naik kapal layar khusus untuk maksud
ibadah tersebut. Mereka ikut kapal dagang dan berpindah-pindah dari satu kapal ke kapal lainnya. Dari berbagai pelabuhan di Nusantara, jamaah haji berkumpul di
pelabuhan Aceh, kemudian menunggu kapal yang akan mengangkut mereka ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Karena menjadi tempat transit
utama, Aceh dikenal sebagai serambi Makkah. Perjalanan menggunakan kapal layar tidaklah mudah. Hingga pertengahan
abad ke 19, tidak sampai separoh jamaah haji yang mampu berangkat hingga ke Makkah karena mereka sudah meninggal dunia di perjalanan atau dijual sebagai
budak.
Universitas Sumatera Utara
80 Pada tahun 1860-an, perjalanan haji sudah menggunakan kapal uap.
Perubahan itu tidak lepas dari dibukanya Terusan Suez yang menghubungkan Laut Tengah dengan Laut Merah. Pembukaan itu menjadikan jumlah kapal uap
dari Eropa ke Nusantara yang singgah ke Jeddah semakin banyak. Saat itu, calon haji Nusantara biasanya menggunakan tiga maskapai kapal
uap milik Belanda, yaitu Nederland, Rotterdamsche Lloyd, dan Blue Funnel Line. Meski demikian, masalah kesejahteraan jamaah haji tidak diperhatikan oleh
pemilik dan petugas kapal-kapal tersebut. Dalam kapal, jamaah haji berdesak- desakkan, berjubel, dan tidak sedikit yang mati. Yang mati jenazahnya langsung
dibuang ke laut. Sebagai catatan, pada tahun 1920-an, tiap seribu orang ada 2 hinnga 5 orang yang mati. Dan tahun 1930-an, jumlahnya naik jadi sekitar 10
orang yang mati. Kesulitan juga menimpa mereka ketika sampai di Jeddah. Di sini mereka
harus dikarantina dulu di Pulau Kamaran di Laut Merah, sebelum melapor ke Konsulat Belanda di Jeddah. Dalam perjalanan ke Makkah, jamaah haji juga tidak
lepas dari ancaman perampokan suku Badui yang mengambil seluruh perbekalan mereka, bahkan banyak pula yang dijual sebagai budak.
Tidak cukup sampai di sini, ketika kembali ke tanah air pun mereka mengalami banyak kesulitan. Mereka harus dikarantina dahulu di Pelabuhan
Sabang untuk yang dari Sumatra atau di Pulau Ornust di Laut Jawa untuk yang dari Jawa. Pemeriksaan kesehatan di karantina sangat tidak mengenakkan
mengingat jamaah haji harus menanggalkan semua pakaian mereka. Karena itu, para ulama saat itu mengeluarkan fatwa yang tidak membolehkan wanita naik
haji.
Universitas Sumatera Utara
81 Sebelum abad ke 20, jumlah jamaah haji tidak naik secara signifikan.
Tetapi di abad ke 20 jumlahnya naik secara cepat. Tahun 1895, haji Indonesia hanya 11.788 orang, tapi pada tahun 1910 naik jadi 14.234 orang. Tetapi di awal
kemerdekaan pelaksanaan haji terhenti karena perang kemerdekaan. Dan di tahun 1949 mulai ada lagi yang berhaji, yaitu sebanyak 9.892 orang dan tahun
berikutnya naik jadi 10.000 orang. Penyelenggaraan haji mulai setelah Indonesia merdeka tahun 1945 ialah pada tahun 19591950.
Penyelenggaraan haji Indonesia pada masa-masa permulaan dilaksanakan secara bersama-sama Departemen Agama, Yayasan Perjalanan Haji Indonesia
YPHI dan badan-badan lainnya karena sebagai bangsa yang baru merdeka memerlukan seluruh potensi yang ada sesuai fungsi dan kedudukan masing-
masing pemerintah sebagai penyelenggara dan PHI sebagai pelaksana di lapangan.
Penyelenggaraan haji Indonesia pada masa-masa permulaan kurang menguntungkan karena pada waktu itu negara dalam masa-masa peralihan dan
belum berpengalaman. Penyelenggaraan masih meraba-raba dipengaruhi oleh badal-badal syekh, broker atau tengkulak haji, bermunculan usaha-usaha
perorangan dan panitia-panitia penyokong haji yang banyak melibatkan pihak- pihak swasta dam jasa haji.
Panitia-panitia penyokong haji swasta ini tidak mempunya rasa tanggungjawab, mereka cenderung mencari keuntungan semata. Mereka
mempengaruhi calon jemaah haji dengan prosedur yang mudah dan pelayanan yang rama ternyata tidak memenuhi ketentuan sesuai dengan izin yang diberikan
pemerintah sehingga di lapangan banyak terjadi penipuan, kesulitan teknis,
Universitas Sumatera Utara
82 adiministrasi dan tidak seperti yang dipropagandakan dan dijanjikan. Akhirnya
menimbulkan kekecewaan, kesulitan, kericuhan yang berkepanjangan dan tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Pada tahun 1964 dibentuk PT Arafat sebagai satu-satunya perusahaan yang menangani angkutan haji laut, dengan kapal-kapalnya antara lain: KM
Gunung Jati, Tjuk Nyak Dien, Pasifik Abeto, dan lain-lain. Kapal-kapal tersebut dapat membawa penumpang dari Indonesia ke Timur Tengah kurang lebih satu
bulan. Biaya haji tahun itu sebesar Rp 400.000 untuk kapal laut dan 1.400.000 untuk pesawat.
Sebenarnya, penggunaan pesawat terbang sudah dimulai tahun 1952. Tetapi karena biayanya lebih mahal dari kapal laut, yaitu Rp 16.691 untuk
pesawat dan Rp. 7.500 untuk kapal laut, jamaah haji lebih suka menggunakan kapal laut. Saat itu, yang naik pesawat hanya 293 orang, sedangkan yang naik
kapal ada 14.031 orang. Ibadah haji naik kapal laut masih dominan hingga tahun 1960-an. Namun
di tahun 1970-an pesawat udara lebih mendominasi karena biayanya yang tidak jauh berbeda. Seperti pada tahun 1974, biaya haji udara Rp 560.000, sedangkan
haji laut berdikari Rp 556.000. Jamaah udara ada 53.752 orang, sedangkan yang pakai kapal laut hanya 15.396 orang.
Nasib haji laut terhenti pada tahun 1979 ketika PT Arafat dinyatakan pailit lewat SK Menteri Perhubungan No SK-72OT.001Phb-79. Hal tersebut
dipilih pemerintah karena PT Arafat tidak mampu mengurusi haji laut lagi. Apalagi saat itu biaya haji laut lebih mahal daripada haji udara. Tahun 1978, biaya
Universitas Sumatera Utara
83 haji udara hanya Rp 766.000, sementara biaya kapal laut mencapai Rp 905.000
Nogarsyah,2007.
4.3 Kebijakan Pemerintah di Bidang Haji dan Tabungan Haji