BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI YANG
DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI AL DI LANTAMAL I BELAWAN
A. Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana SPP secara umum melibatkan 4 empat unsur penegak hukum yang meliputi: Polisi, Jaksa Hakim dan Lembaga Pemasyarakatan.
Penegakan hukum secara litigasi harus melalui atau melibatkan keempat unsur penegak hukum tersebut. SPP disebut juga sebagai Criminal Justice System CJS
yang berarti penegakan hukum dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan
pidana di Lembaga Pemasyarakatan.
102
Menurut Romli Atmasasmita, istilah SPP atau CJS telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penegakan hukum dengan menggunakan
dasar pendekatan sistem.
103
Peradilan pidana seperti yang dikemukakan Romli tersebut, menurut Yesmil Anwar dan Adang, SPP memiliki ciri-ciri:
104
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana; 2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana; 3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi
penyelesaian perkara; dan
102
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Putra Bardin, 1996, hal. 33. Lihat juga: Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Konteks
Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982, hal. 70.
103
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Ibid., hal. 14.
104
Yesmi Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung: Widya Padjajaran, 2009, hal. 34-
35.
Universitas Sumatera Utara
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan administrasi peradilan pidana.
Menurut UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, SPP atau CJS tersebut terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat
penegak hukum tersebut sangat berhubungan erat dan sangat menentukan pelaksanaan penegakan hukum berdasarkan KUHAP yang merupakan suatu
rangkaian yang sistematis.
105
SPP yang lazim, selalu melibatkan dan mencakup sub sistem dengan ruang lingkup masing-masing komponen dalam SPP. Kepolisian berdasarkan UU No.2
Tahun 2002 dengan tugas utamanya menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat manakala terjadi suatu pelanggaran atau tindak pidana, melakukan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan ke
kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Kejaksaan berdasarkan UU No.16 Tahun 2004 dengan tugas pokok:
menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke sidang pengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan; melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.
Pengadilan melalui hakim-hakimnya, berkewajiban: menegakkan hukum dan keadilan; melindungi hak-hak terdakwa; saksi dan korban dalam proses peradilan
pidana; melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efektif; memberikan putusan yang adil berdasarkan hukum dan perasaan hakim. Selanjutnya lembaga
105
Ibid., hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
pemasyarakatan sebagai tempat untuk menjalankan putusan pengadilan dalam hal melakukan pembinaan kepada narapidana; memastikan perlindungan kepada hak-hak
narapidana; melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana; mempersiapkan bekal narapidana untuk kembali ke masyarakat. Terakhir adalah Advokat atau
pengacara yang melakukan pembelaan terhadap kliennya, dan menjaga hak-hak kliennya untuk dipenuhi dalam proses peradilan pidana.
Teori legal sistem legal system theory merupakan tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun
menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.
106
Sudikno Mertokusumo, mengatakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur- unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai
tujuan.
107
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, mengatakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan,
pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain.. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam
untuk memahami keutuhan prosesnya.
108
Tiga komponen legal system menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:
109
106
R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 169.
107
Ibid.
108
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Loc. cit., hal. 151.
109
Lawrence M. Friedman, dalam Wishnu Basuki, Op. cit., hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
1. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan
dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain; 2. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas
hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;
3. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan keyakinan- keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari
para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
Hukum akan mampu dan efektif di tengah masyarakat, apabila instrumen- instrumen pelaksananya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang
penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum atau sub sistem sebagai
faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.
110
Struktur hukum merupakan elemen atau sub sistem dalam penegakan hukum, jika elemen-elemen dari tiga kompenen sistem hukum di atas, tidak bekerja dengan
baik, berimplikasi kepada terganggunya elemen yang lain dalam sistem hukum tersebut, hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak efektif.
Komponen-komponen sistem hukum itu merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak
tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.
111
Polri melakukan tugas penegakan hukum, ketika terjadinya suatu perkara mulai dari penyelidikan, penyidikan, pembuatan Berita Acara Pemeriksaan, hingga
pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan. Tugas tersebut harus dilakukan Polri
110
Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Op.cit., hal. 204.
111
Soerjono Soekanto, Op. cit., hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika profesi yang diatur dalam Kode Etik Kepolisian. Sebab, dalam pelaksanaan tugas di lapangan menyangkut dengan
manusianya yakni terbuka peluang besar bagi oknum Polisi melakukan pelanggaran- pelanggaran hukum. Itulah sebabnya, Robert B. Seidman, mengatakan bahwa oknum
itu mereka yang membuat, melaksanakan hukum, justru terkena sasaran peraturan perundang-undangan karena melanggar hukum.
112
SPP sebagai suatu sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisianPM, kejaksaanOditur militer, pengadilan umumpengadilan militer, dan
lembaga pemasyarakatanpemasyarakatan militer yang dengan sub-sub sistem inilah kejahatan dapat ditanggulangi. Menanggulangi diartikan sebagai pengendalian
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sub-sub sistem di dalam SPP menggunakan hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan
pelasaksanaan pidananya.
113
Desersi termasuk pidana materil sebab pengaturannya diatur dalam Pasal 87 KUHPM. yaitu:
1 Diancam karena desersi, militer: Ke-1, yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari
kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu negara
atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
Ke-2, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 tiga puluh hari,
dalam waktu perang lebih lama dari empat hari.
112
Robert B. Seidman, dalam Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama, 2005, hal. 84.
113
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Binacipta, 1996, hal. 14 dan hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
Ke-3 yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari
suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan dalam Pasal 85 ke-2.
2 Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.
3 Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan.
Persoalan tindak pidana yang dilanggar adalah muatan dari hukum pidana materil yang berisikan tingkah laku yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat
dipidana, dan berbagai macam pidana yang dapat dikenakan dengan perkataan lain hukum pidana materil berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan-
ketentuan yang membatasi, memperluas, dan menjelaskan ketentuan norma tersebut. Desersi juga termasuk pidana formil sebab diatur dalam UU No.31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Pada bab IV dari Pasal 69 sampai dengan Pasal 264 UU No.31 Tahun 1997 diatur hukum acara peradilan pidana militer.
B. Sistem Peradilan Pidana Militer