Sistem Peradilan Pidana Militer

Ke-3 yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan dalam Pasal 85 ke-2. 2 Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan. 3 Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan. Persoalan tindak pidana yang dilanggar adalah muatan dari hukum pidana materil yang berisikan tingkah laku yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana, dan berbagai macam pidana yang dapat dikenakan dengan perkataan lain hukum pidana materil berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan- ketentuan yang membatasi, memperluas, dan menjelaskan ketentuan norma tersebut. Desersi juga termasuk pidana formil sebab diatur dalam UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pada bab IV dari Pasal 69 sampai dengan Pasal 264 UU No.31 Tahun 1997 diatur hukum acara peradilan pidana militer.

B. Sistem Peradilan Pidana Militer

Sebagaimana Sistem Peradilan Pidana SPP yang telah dijelaskan di atas, pada hakikatnya elemen-elemen atau unsur-unsur yang saling terkait dalam Sistem Peradilan Pidana Militer SPPM sama halnya dengan SPP. Namun, terdapat perbedaan dimana SPPM atasan yang berhak menghukum Ankum adalah penyidik selain dari Polisi Militer serta Oditur sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 69 ayat 1 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sedangkan dalam SPP, penyidik adalah Polisi dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil PPNS tertentu disebutkan dalam Universitas Sumatera Utara Pasal 6 ayat 1 KUHAP. Oditur dalam SPPM yang seharusnya sebagai penuntut sebagaimana juga dapat melakukan penyidikan dasar hukumnya adalah Pasal 64 ayat 2 UU No.31 Tahun 1997. Perbedaan komponen antara SPP dengan SPPM, yang pertama tampak pada komponen SPP tidak mengenal adanya Ankum sedangkan dalam SPPM terdapat Ankum sebagai atasan langsung yang mempunyai wewenang sebagai penyidik dan menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang. 114 Perbedaan kedua bahwa dalam SPP tidak dikenal Papera melainkan terdapat dalam SPPM. Walaupun Ankum berwenang menghukum, tetapi karena adanya Papera sebagai elemen kedua dari SPPM yang bisa saja tidak bersedia menyerahkan anak buahnya yang disangka melakukan tindak pidana misalnya desersi dengan tidak mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara Skeppera untuk diadili di pengadilan militer, sehingga oditur sekalipun selaku penuntut tetap tidak dapat melakukan fungsinya. Perbedaan ketiga, penyelidik dan Penyidik dalam SPP adalah Polisi. 115 114 Petunjuk Pelaksanaan Kasal Nomor: Juklak14III2006 tentang Penyelesaian Administrasi Tindak Pidana Desersi di Lingkungan TNI Angkatan Laut. Lihat juga: Pasal 1 angka 11 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sedangkan dalam SPPM, Penyidik Penyidik militer adalah Ankum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Keempat, pada prinsipnya Jaksa dan Oditur Militer memiliki 115 Pasal 1 angka 8 dan angka 10 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Universitas Sumatera Utara tugas dan fungsi yang sama yaitu sebagai penuntut, namun istilah Jaksa sebagai penuntut dalam SPP sedangkan Oditur Militer sebagai penuntut dalam SPPM. Kelima, begitu pula dalam hal Hakim dalam SPP dan Hakim Militer dalam SPPM hanya perbedaan penggunaan istilah saja. Keterlibatan Ankum dalam hal penyidikan dalam SPPM berkaitan erat dengan asas yang mendasari kehidupan dalam militer. Misalnya asas komando, komando berasal dari seorang komandan yang menempati kedudukan penting dalam militer. Komandan diberi wewenang penyerahan perkara dalam SPPM. Asas komando tidak mengenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan melainkan dalam hukum acara militer dikenal adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi. Keenam, perbedaan selanjutnya istilah yang digunakan SPP sebagai lembaga pembina narapidana adalah Lembaga Pemasyarakatan Lapas yang berdasar hukum pada UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sedangkan sebagai lembaga pembina dalam SPPM adalah Pemasyarakatan Militer Masmil yang berdasar hukum pada Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep792XII1997 tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Masmil dan penundukan pada UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Tampaknya dalam SPPM, selain asas komando, asas kepentingan militer sangat mendasari perbedaannya dengan SPP. Asas kepentingan militer selalu diutamakan melebihi dari kepentingan golongan dan perorangan namun khusus dalam SPPM kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum. Asas ini merupakan kekhususan dari KUHAP yang dianut dalam UU No.31 Tahun 1997. Universitas Sumatera Utara Walaupun Ankum diberi wewenang menghukum, namun dalam SPPM terdapat Papera sebagai elemen kedua dari SPPM yang bisa berkemungkinan tidak bersedia menyerahkan anak buahnya yang disangka melakukan tindak pidana misalnya tidak mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara Skeppera untuk diadili di pengadilan militer, oditur sekalipun selaku penuntut tetap tidak dapat melakukan fungsinya. Berdasarkan Pasal 74 UU No.31 Tahun 1997, atasan yang berhak menghukum Ankum, diberi wewenang sebagai berikut: 1. Melakukan penyidikan terhadap Prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf b atau huruf c; 2. Menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf b atau huruf c; 3. Menerima berkas perkara hasil penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf b atau huruf c; dan 4. Melakukan penahanan terhadap Tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya. Wewenang yang disebutkan dalam Pasal 74 huruf a sedikit membingungkan jika dibandingkan dengan huruf b sebab menurut huruf a Ankum yang melakukan penyidikan sementara dalam huruf b Ankum menerima laporan penyidikan dari penyidik yaitu Polisi Militer. Makna yang tidak tersirat dalam Pasal 74 huruf a dan huruf b ini dipertimbangkan oleh sebab waktu atau kesempatan Ankum melakukan penyidikan itu terkadang bertabrakan dengan tugas-tugas lain yang terpenting. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda, dijelaskan dalam penjelasan Pasal 74 UU No.31 Tahun 1997 bahwa pengaturan yang demikian dibuat demi efektifnya pelaksanaan kewenangan penyidikan dari Ankum tersebut dan untuk Universitas Sumatera Utara membantu supaya Ankum dapat lebih memusatkan perhatian, tenaga, dan waktu dalam melaksanakan tugas pokoknya, pelaksanaan penyidikan tersebut dilakukan oleh Penyidik Polisi Militer atau Oditur. 116 Polisi Militer atau Oditur setelah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana, hasilnya diserahkan kepada Ankum sesuai dengan Pasal 71 ayat 2 huruf b junto Pasal 74 huruf b UU No.31 Tahun 1997. Bahkan dalam pelaksanaan penyidikan, Ankum bisa langsung melakukan penyidikan atau menyerahkannya kepada penyidik Polisi Militer atau Oditur. Pasal 99 ayat 2 UU No.31 Tahun 1997 diatur ketentuan tersebut bahwa dalam hal yang menerima laporan atau pengaduan adalah Ankum, maka Ankum harus segera menyerahkan pelaksanaan penyidikan kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf b atau huruf c untuk melakukan penyidikan. Jelas ditegaskan kewenangan Ankum dalam UU No.31 Tahun 1997, Ankum mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum militer, Polisi Militer sekalipun yang melakukan penyidikan harus melalui ijin Ankum kecuali si pelaku tertangkap tangan seperti diatur dalam Pasal 102. 117 Menurut KUHAP, apabila suatu berkas perkara dari hasil penyidikan Polisi sudah berada di Kejaksaan dan Jaksa menilai bahwa berkas perkara tersebut telah sesuai atau telah lengkap, maka Jaksa harus menyerahkan berkas tersebut kepada Ketua Pengadilan untuk di sidangkan. 118 116 Penjelasan Pasal 74 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sementara Otmil bukanlah pihak yang menentukan untuk menyerahkan berkas perkara kepada Hakim, melainkan harus 117 Moch. Faisal Salam, Op. cit., hal. 99. 118 Pasal 143 KUHAP. Universitas Sumatera Utara melalui campur tangan Ankum atau Komandan secara langsung. Penentu terakhir suatu perkara diserahkan atau tidak diserahkan ke pengadilan bukan terletak pada Otmil. Meskipun Otmil yang mempersiapkan segala sesuatu mengenai perkara tersebut, tetapi Otmil harus terlebih dahulu meminta pendapat dari Ankum dan Papera. 119 Sesuai Pasal 123 ayat 1 UU No.31 Tahun 1997, Perwira Penyerah Perkara Papera mempunyai wewenang yaitu: 1 Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang: a. Memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan; b. Menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan; c. Memerintahkan dilakukannya upaya paksa; d. Memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 78; e. Menerima atau meminta pendapat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara; f. Menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili; g. Menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit; dan h. Menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umummiliter. 2 Kewenangan penutupan perkara demi kepentingan umummiliter hanya ada pada Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat 1 huruf a. 3 Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan wewenang penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya. Ketentuan Pasal 1 huruf f di atas, penyerahan perkara kepada Pengadilan yang berwenang mengandung maksud memerintahkan Oditur Militer supaya perkara tersebut dilakukan penuntutan di persidangan Pengadilan. Ketentuan dalam ayat 1 119 Paul Sihombing, Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Tesis, Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum-Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009, hal. 117. Universitas Sumatera Utara huruf h mengandung makna bahwa perkara ditutup demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umummiliter berarti perkara yang bersangkutan dihentikan penyidikannya atau dihentikan penuntutannya dan perkaranya tidak diserahkan ke Pengadilan. Perkara ditutup demi kepentingan hukum antara lain karena tidak terdapat cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana, perkaranya kedaluwarsa, tersangkaterdakwa meninggal dunia, nebis in idem, telah dibayarkannya maksimum denda yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang ancaman pidananya berupa denda saja, atau dalam delik aduan pengaduannya sudah dicabut. Perkara ditutup demi kepentingan umummiliter adalah perkara tidak diserahkan ke Pengadilan karena kepentingan negara, kepentingan masyarakatumum danatau kepentingan militer lebih dirugikan dari pada apabila perkara itu diserahkan ke Pengadilan. Berdasarkan Pasal 127 ayat 1 UU No.31 Tahun 1997, apabila pendapat Otmil bertentangan dengan pendapat Papera berkaitan dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan militer. Untuk kepentingan peradilan, perkara perlu diajukan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, jika Otmil tetap dalam pendiriannya harus mengajukan permohonan tersebut kepada Papera dengan alasan-alasan hukum agar perbedaan pendapat ini diputuskan oleh Pengadilan Militer Utama Dilmiltama. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 127 ayat 1 UU No.31 Tahun 1997, Papera tidak dibenarkan semena-mena dalam hal menentukan penyelesaian perkara di luar Universitas Sumatera Utara pengadilan atau dalam peradilan militerumum karena tetap saja akan diputuskan oleh hakim Dilmiltama yang berada di bawah Mahkamah Agung. 120 Mengenai Polisi Militer Pom, jika di lingkungan AL disebut dengan Polisi Militer Angkatan Laut Pomal, sebagai salah satu elemen atau unsur atau sub sistem dari SPPM melakukan kewenangannya yakni penyelidikan dan penyidikan yang ditegaskan dalam Pasal 71 ayat 1 UU No.31 Tahun 1997 bahwa selain melakukan penyidikan, Pom diberi wewenang untuk: 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana; 2. Melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian; 3. Mencari keterangan dan barang bukti; 4. Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya; 5. Melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat- surat; 6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 7. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 8. Meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; dan 9. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Khusus dalam hal memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi sebagaimana angka 7 di atas, dalam perkara desersi yang tersangkanya tidak diketemukan, cukup memeriksa saksi yang ada dan pemberkasan perkaranya tidak terhalang dengan tidak adanya pemeriksaan tersangka. Tindakan lain yang harus dilakukan oleh Pom dimaksud pada angka 9 yaitu tindakan dari penyidik Pom untuk kepentingan penyidikan dengan syarat: Tidak bertentangan 120 Ibid., hal. 119. Universitas Sumatera Utara dengan suatu aturan hukum; Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk di lingkungan jabatannya; Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan Menghormati hak asasi manusia dan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut di atas penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. 121 Selain itu, Jaksa sebagai salah satu unsur dalam SPP menurut KUHAP diposisikan sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan juga diberi wewenang sebagai penyidik dalam kasus- kasus tertentu misalnya kasus korupsi. Sama halnya dengan kewenangan Oditur Militer dalam SPPM selain sebagai pihak yang berhak melakukan penuntutan juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan. Bedanya kalau dalam SPPM, Oditur Militer tidak diberikan kewenangan untuk menyerahkan perkara yang sudah dipersiapkannya secara langsung ke pengadilan melainkan harus terlebih dahulu melalui gelar pendapat dari Ankum dan Papera. 122 Lebih jelasnya ketentuan mengenai ruang lingkup kekuasaan Oditur Militer ditegaskan dalam Pasal 64 UU No.31 Tahun 1997 yaitu: 1 Oditurat Militer mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya: 1 Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah; 121 Wawancara dengan Mayor Asep sebagai Kadisgakkum Pom Lantamal I Belawan pada tanggal 7 Juli 2011. 122 Paul Sihombing, Loc. cit. Universitas Sumatera Utara 2 Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Kapten ke bawah; 3 Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer; b. Melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum; c. Melakukan pemeriksaan tambahan. 2 Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Oditurat Militer dapat melakukan penyidikan. Berdasarkan Pasal 64 di atas, kewenangan Oditur Militer mencakup sebagai penuntut dan penyidik terhadap pelaku pelanggaran atau tindak pidana apabila subjeknya adalah prajurit yang berpangkat kapten ke bawah atau berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit sesuai Pasal 9 ayat 1 huruf b sedangkan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana sementara yang bersangkutan berpangkat mayor ke atas, maka yang melakukan penuntutan adalah Oditur Militer Tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU No.31 Tahun 1997. 123 Komponen lain dari SPPM adalah pengadilan. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, seperti ditegaskan dalam Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1997 yaitu: 1. Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama dengan 1 satu orang Hakim Ketua dan 2 dua orang Hakim Anggota yang dihadiri 1 satu orang Oditur Militer Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 satu orang Panitera. 2. Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat pertama dengan 1 123 Moch. Faisal Salam, Op. cit., hal. 32-33. Mengenai kepangkatan dijelaskan dalam Pasal 40 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer bahwa dalam hal penentuan tingkat pangkat Kapten ke bawah didasarkan atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Sebagai contoh, orang sipil yang Pegawai Negeri Sipil dengan golongan IIIc setingkat kepangkatannya dengan Kapten. Universitas Sumatera Utara satu orang Hakim Ketua dan 2 dua orang Hakim Anggota yang dibantu 1 satu orang Panitera. 3. Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat banding dengan 1 satu orang Hakim Ketua dan 2 dua orang Hakim Anggota yang dibantu 1 satu orang Panitera. 4. Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat banding dengan 1 satu orang Hakim Ketua dan 2 dua orang Hakim Anggota yang dibantu 1 satu orang Panitera. Hakim adalah pejabat peadilan negara yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk mengadili. Mengadili artinya adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak pada sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam KUHAP. 124 Hakim sebagai aparat penegak hukum dalam SPPM merupakan suatu tumpukan harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Keadilan yang hakiki merupakan suatu syarat yang utama mempertahankan kelangsungan hidup suatu masyarakat dalam penegakan hukum khususnya hukum pidana agar tercapainya suatu keadilan yang diharapkan dan dicita-citakan. 125 Peranan hakim sangat penting sebagai corong undang-undang. Hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mampu melakukan penafsiran terhadap realitas yang sering disebut dengan penemuan hukum sebab eksistensi hakim sebagai penegak hukum seolah-olah penganut paham legisme belaka. Penafsiran hakim dalam 124 Pasal 1 angka 8 UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 125 Yesmi Anwar dan Adang, Op. cit., hal. 218. Universitas Sumatera Utara memutus suatu perkara dengan memperhatikan persoalan filsafat hukum. 126 Kekuasaan kehakiman sebagai alat negara itu berdiri sendiri di samping dan sejajar kedua kekuasaan negara lainnya yaitu kekuasaan pelaksanaan executive power dan kekuasaan perundang-undangan legislative power oleh sebab itu kekuasaan kehakiman terbebas dari pengaruh dari kedua kekuasaan tersebut. 127 Hakim peradilan militer sebagai sub sistem dalam SPPM sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 48 Tahun 2009 oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Kebebasan kekuasaan kehakiman yang dalam 126 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, New Haven: Yale University Press, 1953, hal. 48. 127 Yesmi Anwar dan Adang, Op. cit., hal. 221. Universitas Sumatera Utara penyelenggaraannya diserahkan kepada badan-badan peradilan menurut Eman Suparman, merupakan ciri khas negara hukum. 128 Perkara yang harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer SPPM seperti tindak pidana desersi. Melihat desersi sebagai tindak pidana karena ketidakhadiran tanpa izin dalam pelaksanaan tugas anggota TNI di lingkungan militer, maka dapat dikatakan bahwa tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang murni militer artinya tidak melibatkan pihak sipil dalam melakukan desersi melainkan menyangkut hubungan antara anggota dengan jabatannya dan terhadap atasannya. Hubungan antara lembaga-lembaga dapat digambarkan melalui skema Standar Operasional Prosedur SOP Perkara Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Militer sebagai berikut: 128 Eman Suparman, Kitab Undang-Undang Peradilan Umum, Bandung: Fokusmedia, 2004, hal. 84. Universitas Sumatera Utara Skema 3: Standar Operasional Prosedur SOP Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Militer 129 7 8 6 2 9 3 4 5 6A 10 11 Terima BHT BHT Terima BHT Keterangan: 1. Terjadi pelanggaran terhadap hukum disiplin militer oleh prajurit TNI. 2. Hasil pemeriksaan sementara oleh Ankum ada unsur pidana. 3. Ankum serahkan kasus kepada POM. 4. POM menyerahkan hasil penyidikan kepada Otmilti. 129 Polisi Militer Lantamal I Belawan. Pelanggaran terhadap Hukum disiplin militer Ankum POM Otmilti Papera -Skep Tupra -Skep Kumplin Skeppera Putusan Vonis Sidang Dilmilti Banding Kasasi Kasasi demi kepentingan hukum PK Universitas Sumatera Utara 5. OtmilOtmilti mengolah perkara dan selanjutnya memberikan Surat Pendapat Hukum SPH tentang penyelesaian perkara kepada Papera. 6. Saran diselesaikan melalui sidang Dilmilti, Papera mengeluarkan Skeppera dan diserahkan melalui Otmilti. 6.A Diselesaikan melalui hukuman disiplin, Papera mengeluarkan Skep untuk didisiplinkan kepada Ankum atau diselesaikan dengan menutup perkara, Papera mengeluarkan Skep Tupra kepada Ankum. 7. OtmilOtmilti menyerahkan berkas dan Skeppera kepada Dilmilti. 8. Dilmilti melaksanakan sidang. 9. Putusan pengadilan. 10. TerdakwaOditur mengajukan banding. 11. TerdakwaOtitur mengajukan kasasi. C. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Desersi Dalam Sistem Peradilan Pidana Militer Atas Kasus Tindak Pidana Desersi di Lantamal I Belawan

1. Kronologis Kasus

Dokumen yang terkait

Penegakan Hukum Oleh Penyidik Tni Al Dalam Penanganan Tindak Pidana ”Illegal Fishing” (Studi Pada Lantamal I Belawan)

3 110 154

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 3 12

SKRIPSI PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 2 13

PENDAHULUAN PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 4 19

PENUTUP PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 2 6

TN TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA.

0 3 12

PENDAHULUAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA.

0 3 13

PENUTUP TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA.

0 3 6

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN DESERSI (Studi Kasus Pengadilan Militer I-03 Padang).

0 0 18

PERAN POLISI MILITER ANGKATAN LAUT DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT (Studi di Denpom Lanal Lampung)

0 0 13